LOGINMelihat mata Aron yang sedikit basah, Natasya mengira Aron kesakitan.
“Pak, sakit memang nggak enak. Bapak sabar ya, habis ini minum obat pasti sembuh,” ujar Natasya berusaha menenangkan. Dia tersenyum menatap Aron, mencoba memberikan semangat. Namun, Aron mendengus mendengar perkataan Natasya. “Aku tidak selemah itu,” sahutnya dingin. Gantian Natasya yang memberengut. Tidak selemah itu, tapi matanya berkaca-kaca! Dasar dosen killer pembohong! Usai menyuapi Aron, Natasya mengambil obat. Dia juga membantu pria itu meminum obatnya. “Sekarang Pak Aron istirahat, saya harus pulang,” kata Natasya kemudian. “Tapi boleh nggak Pak saya pinjam bukunya?” pintanya sambil tersenyum manis. Sepasang matanya tampak berbinar memohon pada Aron. “Kenapa tidak pinjam di perpus saja?” tanya Aron sambil mengernyit seolah tidak suka. Wanita itu menghela nafas. Materi yang Aron berikan tidak ditemui di buku manapun, termasuk buku di perpus. “Kalau ada saya pasti pinjam di perpus Pak, sayangnya tidak ada.” Dia melemas, berharap Aron mau meminjamkan bukunya. “Alasan!” sahut pria itu malas. Tapi kemudian dia melunak. “Baiklah, tapi tidak boleh kamu bawa pulang.” Lalu Aron menarik selimut, memejamkan mata tanpa memperdulikan Natasya yang masih terbengong mendengar ucapannya. Tidak boleh dibawa pulang? Lalu bagaimana? Netra Natasya menatap kesal Aron. Apa itu artinya dia harus belajar di sini? “Orang ini suka sekali menyusahkanku. Apa salahnya membiarkan aku membawa bukunya?” gerutu Natasya lirih. Aron tersenyum tipis mendengar Natasya menggerutu. Lalu heran sendiri kenapa dia melakukan hal seperti ini pada gadis itu. Kesempatannya yang terbatas mempelajari materi di buku Aron membuat Natasya belajar hingga larut. Saking lelahnya, dia sampai tertidur. Tengah malam saat Aron bangun, dia melihat Natasya yang tidur di meja. Dia bangkit dari tempat tidur kemudian mendekati Natasya. “Malah tidur di sini,” gumamnya. Aron lantas memindahkan tubuh kecil Natasya ke tempat tidur. Bukan tempat tidurnya bersama sang istri, melainkan tempat tidur di kamar sebelah. Saat dia hendak meletakkan tubuh Natasya, wanita itu malah mengigau dalam tidurnya. “Dia sangat tampan tapi kejam…” “Awas saja kalau jadi pasienku nanti… akan aku suntik dengan jarum yang sangat besar….” Mendengar itu Aron geli sendiri, bahkan dia terkekeh. “Lulus saja belum, sudah mau menyuntikku,” sahutnya pelan. Tiba-tiba, Natasya menarik tangannya hingga Aron kehilangan keseimbangan dan jatuh menindihnya. Tanpa sengaja, bibirnya jatuh tepat di atas bibir Natasya. Buru-buru Aron menarik tubuhnya, “Natasya, kamu…!” Aron menyergah napas, lalu bergegas keluar dari kamar tamu dan kembali ke kamarnya. Tangannya meraba bibirnya. Ciuman sekilas tadi cukup membuat perasaannya tak menentu. Siapa sangka, dari ciuman itu Aron justru bermimpi bercinta dengan Natasya. Pria itu mendesah dalam tidurnya hingga mencapai klimaks. Dengan nafas yang memburu, Aron membuka matanya. Dia merasakan celananya basah. Gila… bisa-bisanya dia memimpikan hal seperti itu?! Aron lantas bangun dan membersihkan diri, lalu mengganti celananya dengan yang bersih. Hari-hari terus berlalu, Aron berusaha melupakan mimpi sialan itu. Sampai tak terasa, akhirnya ujian remidi datang juga. Aron memberikan ulangan tersebut ketika jam kuliah usai. “Kalau kamu gagal lagi, maka nilaimu tidak akan bisa diubah,” peringat Aron dengan tegas. Natasya mengangguk, dia yakin pasti bisa mengerjakan soal serumit apapun. Sebulan ini dia sudah berjuang keras untuk hari ini. Namun, saat dia mendapatkan soal ujiannya, mata Natasya seketika membulat. Aron sepertinya sengaja memberikannya soal yang sangat sulit. Bahkan materi yang belum diajarkan dijadikan sebagai soal ujian. ‘Dasar dosen menyebalkan!’ umpat Natasya dalam hati. Wanita itu berusaha mengingat setiap materi yang Aron ajarkan. Untunglah satu demi satu dia bisa menyelesaikan soal itu. Waktu masih tersisa, tapi Natasya mampu mengerjakan empat puluh soal dari Aron. “Ini, Pak.” Dia menyodorkan lembar jawabannya. Senyum Aron mengembang melihat jawaban Natasya. “Setelah ini aku harap kamu tidak merepotkan aku lagi, Natasya,” katanya. “Baik, Pak. Terima kasih telah membimbing saya,” sahut gadis itu sambil tersenyum. Setelah remidi, Natasya merasa sangat lega. Akhirnya, dia tidak lagi berhubungan dengan dosen killer di luar jam kuliah! *** Baru beberapa hari bisa bernafas lega, kali ini Natasya harus kembali masuk ke dalam neraka. Bagaimana tidak? Ternyata Aron lah yang menjadi dosen pembimbingnya! “Mampuslah aku.” Dia berguling di tempat tidur sambil berteriak frustrasi. “Tidaaaaak!” Belum-belum Aron sudah memberi tugas yang sangat sulit sehingga membuat Natasya stres. Semalaman, Natasya memikirkan hal tugasnya hingga dia tidur larut. “Ibu, Natasya telat.” Gadis itu buru-buru mencium punggung tangan ibunya, lalu berangkat tanpa sarapan. Sesampainya di kampus, pintu kelasnya sudah tertutup. “Matilah aku.” Natasya mengembuskan napas panjang, berusaha mempersiapkan diri untuk menghadapi Aron yang tidak menoleransi keterlambatan. Ia lantas membuka pintu, kemudian menghadap Aron yang sudah berdiri di depan podium kecil di depan kelas. “Maaf, Pak, saya telat,” cicit Natasya pelan. Tatapan tajam Aron dia dapat, sehingga membuatnya tak berani menatap. “Duduklah!” titah Aron dingin. Untuk sesaat, Natasya tak percaya dengan apa yang ia dengar. Namun, ia segera berjalan ke bangku belakang sebelum dosennya itu berubah pikiran. “Duduk di depan!” Langkah Natasya berhenti, ia menoleh dan mendapati Aron menatapnya datar. Gadis itu mengembuskan napas pelan sambil mengepalkan tangan. Dia menatap Aron kemudian mengangguk, “Baik, Pak.” Setelah jam mata kuliah Aron selesai, Natasya diminta Aron untuk ke kantornya. “Astaga, dosen ini kenapa terus mencari gara-gara denganku,” batinnya kesal. Singkat cerita, dia telah di kantor Aron. Dosen killer itu memberinya setumpuk tugas. “Minggu depan harus sudah selesai,” titahnya. Kedua bola mata Natasya rasanya mau keluar. Ia menatap tumpukan tugas itu lalu menatap Aron tak percaya. Tugas sebanyak ini harus selesai minggu depan? Gila! “Pak, bagaimana mungkin?” Natasya seketika tampak lemas di depan Aron. “Aku tidak mau mendengar alasan, sekiranya ada yang tidak dimengerti tanyakan padaku,” sahut Aron acuh tak acuh. Di rumah, Natasya melihat tugas dari Aron. Tujuh lembar tugas harus selesai dalam seminggu, berarti satu hari harus menyelesaikan satu lembar. Karena sulit, mau tidak mau Natasya pergi ke rumah dosennya itu. “Ada apa?” Pertanyaan itu langsung keluar ketika Aron membuka pintu. “Mohon bimbingannya, Pak,” jawab Natasya sambil menunduk sopan. Belum apa-apa dia sudah merasa lelah. Aron mempersilahkan Natasya masuk. Anehnya, kali ini perlakuan pria itu sedikit baik, bahkan ia menyiapkan minuman dan camilan untuk Natasya. Dua jam telah berlalu, kini Natasya telah menyelesaikan tugasnya. “Akhirnya, terima kasih, Pak Aron,” ujar wanita itu sambil tersenyum. Karena sudah malam, Natasya berniat untuk pulang. Namun ketika dia berdiri, dia malah oleng karena kakinya kesemutan terlalu lama duduk. Aron buru-buru menangkap tubuh Natasya, sehingga mereka terjatuh di sofa. Dan untuk yang kedua kalinya… bibir mereka bertemu. Baik Natasya maupun Aron tertegun, mereka saling pandang dan mematung cukup lama. Hingga tangan Natasya buru-buru mendorong tubuh Aron menjauh. “Ma-maaf, Pak Aron.” Natasya segera beranjak dan berlari keluar dari kediaman dosennya itu. Ia naik dan mengendarai motor bututnya, lalu bergegas dari sana. Sepanjang jalan Natasya menggeleng. Ingatan ciuman itu terus menari di otaknya. “Tidaaak, bibirku sudah tidak perawan lagi!”Malam itu, Natasya terus saja memikirkan ciumannya bersama Aron, sampai-sampai dia tidak bisa tidur karenanya. Keesokan harinya, Natasya sangat gugup ketika Aron memanggilnya. “Masalah semalam jangan kamu pikirkan, semua karena ketidaksengajaan,” kata Aron sambil menatap Natasya lekat. “Baik, Pak,” sahut Natasya. Entah kenapa jantungnya masih berdebar-debar.Karena Aron ada urusan, dia meminjamkan buku-bukunya pada Natasya. Hal ini membuat Natasya senang tak karuan. Itu artinya, dia tidak perlu menghabiskan waktu bersama dosennya!“Pak Aron benar meminjamkan buku-buku ini?” tanyanya antusias. “Iya, kamu belajar sendiri di rumah,” jawab Aron singkat, berusaha mengalihkan perhatian dari wajah Natasya yang berseri-seri.Sementara itu, Natasya mematung. Sekilas, ia melihat Aron tersenyum. Dan itu membuat darahnya berdesir. Natasya tahu Aron memang tampan, tapi ia baru sadar Aron memang setampan itu….‘Andaikan dia masih lajang,’ gumamnya dalam hati.Sekian detik kemudian, Natasya sad
Melihat mata Aron yang sedikit basah, Natasya mengira Aron kesakitan.“Pak, sakit memang nggak enak. Bapak sabar ya, habis ini minum obat pasti sembuh,” ujar Natasya berusaha menenangkan. Dia tersenyum menatap Aron, mencoba memberikan semangat. Namun, Aron mendengus mendengar perkataan Natasya. “Aku tidak selemah itu,” sahutnya dingin. Gantian Natasya yang memberengut. Tidak selemah itu, tapi matanya berkaca-kaca! Dasar dosen killer pembohong!Usai menyuapi Aron, Natasya mengambil obat. Dia juga membantu pria itu meminum obatnya. “Sekarang Pak Aron istirahat, saya harus pulang,” kata Natasya kemudian. “Tapi boleh nggak Pak saya pinjam bukunya?” pintanya sambil tersenyum manis. Sepasang matanya tampak berbinar memohon pada Aron. “Kenapa tidak pinjam di perpus saja?” tanya Aron sambil mengernyit seolah tidak suka. Wanita itu menghela nafas. Materi yang Aron berikan tidak ditemui di buku manapun, termasuk buku di perpus. “Kalau ada saya pasti pinjam di perpus Pak, sayangnya tidak a
Suara lirih Natasya membuat Aron tersentak. Ia buru-buru mengambil jarak, memberi waktu bagi keduanya untuk menguasai diri.Ia menyerahkan buku itu pada Natasya, lalu duduk di salah satu meja yang kosong.Di dalam perpus itu, hanya ada mereka berdua. Natasya tampak bersemangat sekali, kejadian beberapa saat yang lalu seolah tak pernah terjadi. Namun, tiba-tiba wajahnya memucat saat membalik halaman buku. “Pak… untuk bab reproduksi apa harus dipraktekkan?” Sontak Aron melotot. Jurusan kedokteran memang seringnya melakukan praktek, tapi siapa pula yang terpikir untuk mempraktekkan langsung soal materi reproduksi? Apakah Natasya memang sepolos itu?“Kamu mau praktek?” Aron malah bertanya balik. Natasya menggeleng keras, “Tidak, Pak,” ujarnya sambil terkekeh canggung.Di materi itu banyak sekali hal-hal yang membuat Natasya penasaran, terutama alat kelamin lawan jenis.“Pak, saat dia membesar apa memang terasa sakit atau ngilu?” tanya Natasya dengan polosnya. Wajah Aron memerah ketik
Maksud Aron dengan kegigihan adalah harus belajar dengan sungguh-sungguh.Namun, Natasya menangkap hal lain. Kegigihan yang dimaksud ialah terus menjadi teman ranjang dosennya itu.Setelah jam kampus selesai, Natasya langsung pergi ke rumah Aron. Karena Aron belum tiba di rumah, Natasya menunggu dosennya itu di teras. Kebetulan rumah Aron adalah tipe perumahan cluster, jadi tidak memiliki pagar. Melihat tanaman yang kering, Natasya beranjak menyiramnya. Hingga suara mobil mengejutkannya. “Pak Aron, maaf saya sudah lancang.” Natasya buru-buru meletakkan selang air, lalu menunduk ketika Aron turun dari mobil. Pria itu hanya berdehem, lalu membuka pintu rumahnya. Seperti kemarin, setelah membersihkan diri, Aron berbaring di tempat tidur. Sementara Natasya masih di sofa menatapnya heran. “Pak apa yang harus saya lakukan?” tanyanya bingung. Ia benar-benar dalam urusan ranjang seperti ini.“Tunjukkan saja kegigihanmu.” Pria itu menjawab asal karena saat ini dia tengah membalas pesan
“Apa? Kamu… mau?” ulang Aron tak percaya. Kini dialah yang dibuat gugup dan bingung. Tadinya, Aron hanya ingin menguji sampai di mana kegigihan Natasya, tapi siapa sangka gadis itu justru menyetujui keinginan tak masuk akalnya? “Pikirkan kembali,” ujar Aron setelah menguasai diri dengan cepat. Ekspresinya kembali datar. “Sekali menjadi teman ranjangku, kamu tidak akan bisa pergi.” Ucapan dingin dan penuh peringatan itu sengaja agar Natasya memilih mundur. Bagaimanapun, Aron tidak serius dengan penawarannya. Namun, gelengan tegas justru didapatkan. Natasya tidak tampak goyah sama sekali.Aron mengelola nafas panjang. Karena tidak ingin menjatuhkan harga dirinya dengan menarik semua ucapannya, akhirnya dia membawa Natasya pulang ke rumahnya. Natasya tidak mengucapkan apapun selain mengikuti Aron.Aron berharap gadis itu berubah pikiran setibanya di rumah, tapi Natasya tetap tidak berkata apa-apa. Seolah sudah pasrah. Aron membawa Natasya ke kamar tamu, dan memberikan mahasiswinya
“Pak, saya mohon jangan beri saya nilai D. Saya bisa remidi agar nilai saya tidak kurang.” Di hadapan pria yang dijuluki dosen killer itu, Natasya memohon dengan wajah memelas, berharap agar dosennya sedikit berbelas kasih. Namun, Aron tampaknya tidak peduli. Wajahnya datar, kilat di matanya menunjukkan kejengahan yang begitu kentara. Di mata kuliah yang diajarnya, tidak pernah ada kata remidi. Nilai ujian jelek adalah mutlak kesalahan mahasiswa sendiri. Sebelumnya, nilai Natasya tidak pernah buruk. Namun, karena sang ibu jatuh sakit, Natasya tidak fokus belajar sehingga nilai ujiannya anjlok. “Pak Aron, saya mohon,” ujar Natasya sekali lagi. Kali ini suaranya bergetar hingga hampir menangis. “Mata kuliah Anda adalah mata kuliah wajib jurusan saya. Ka-kalau Anda memberikan nilai jelek, itu akan menghambat kelulusan saya dan—” “Itu urusanmu, bukan urusanku,” sela Aron dingin. Netranya menatap tajam, tak ada toleransi di raut wajahnya. Dunia Natasya benar-benar runtuh mendeng