로그인Freya berjalan keluar dari ruangan meeting dengan lesu. Siapa yang menyangka kalau pria yang tidur dengannya semalam adalah cucu dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja? Freya takut kalau nanti dia akan mendapat masalah karena biasanya berurusan dengan orang berduit itu akan berakhir menjadi rumit.
"Menyebalkan!" Selain memikirkan hal tadi, Freya juga merasa kesal kalau mengingat sikap Arya padanya yang begitu menyebalkan saat di ruang meeting tadi. Entah apa yang membuat Arya terlihat begitu kesal padanya. Freya berpikir, apa karena kejadian semalam? Sebenarnya apa yang dia perbuat pada Arya semalam? Sampai Arya seperti ingin menjegalnya. Freya berusaha mengingat lagi kejadian semalam, tapi usahanya nihil. Ingatannya terputus begitu dia masuk kamar Arya. "Sialan!" jerit Freya kesal. Beruntung lorong sedang sepi, jadi tidak ada orang yang mendengar jeritannya. Suara nada dering yang panjang membuyarkan kekesalannya. Saat melihat layar ponsel, wajahnya berubah gembira begitu tahu kalau yang menelepon adalah Rio. "Halo, Sayang." Nada suaranya langsung berubah lembut dan manja. "Sayang, kemana aja kamu semalam? Katanya mau mampir ke apartemenku? Kok gak jadi?" tanya Rio di seberang sana. "Ah, iya, Sayang. Maaf ya, kemarin tiba-tiba aku gak enak badan. Jadi aku putuskan untuk langsung pulang," ujar Freya berbohong. "Aku khawatir banget loh sama kamu, sampai gak bisa tidur dari semalam karena nungguin kabar dari kamu. Kamu gak apa-apa, Kan?" Duh, so sweet banget sih abang Rio! jerit Freya kegirangan dalam hatinya. "Aku gak apa-apa kok. Semalam habis pulang, aku langsung tidur. Terus hapenya mati, baru aku nyalain tadi pagi. Sebagai gantinya nanti aku- aaahh!!" Freya menjerit terkejut lalu tak sengaja melepaskan ponselnya hingga terjatuh saat tiba-tiba Arya datang, menampakkan muka tepat di depan wajah Freya. "Kamu wanita yang tiba-tiba masuk ke apartemenku semalam, Kan?" tanya Arya, tanpa basa-basi. Freya mengerjapkan matanya. Tangannya memegang dada, merasakan debaran di dadanya masih berdegup begitu kencang. Beruntung dia tak punya penyakit jantung. Melihat wajah Arya, Freya menyipitkan matanya. Dia kembali teringat soal perdebatannya dengan Arya saat meeting tadi. Mendadak amarahnya kembali datang. Ide cemerlang untuk membalas perbuatan Arya pun muncul dalam benaknya. "Maksud bapak apa? Semalam saya gak kemana-mana." Freya menatap lurus mata hitam Arya yang gelap dengan tenang. "Jangan pura-pura gak ingat. Semalam kamu mabuk terus maksa masuk ke apartemenku. Perbuatanmu itu bisa aku laporkan polisi, tahu gak?" Freya membelalakkan matanya. "Jangan nuduh sembarangan ya, Pak! Mana ada semalam saya maksa masuk ke apartemen bapak? Perbuatan bapak ini juga bisa saya laporkan ke polisi atas tuduhan yang gak berdasar." Arya menaikkan alisnya sebelah. "Tuduhan gak berdasar katamu?" Dia melangkahkan kakinya, mendekatkan diri ke arah Freya yang reflek memundurkan langkahnya. Matanya bergerak, menelusuri tubuh Freya lalu mendarat di bagian dada. "Terus kamu bisa dapat setelan baju kerja limited edition itu darimana? Dari dalam lemariku, Kan?" Merasa risih karena dadanya terus diperhatikan, Freya menutupi dadanya dengan kedua tangan. "Memang yang punya setelan baju limited edition kayak gini cuma bapak doang?" tanyanya menaikkan dagu. "Setelan baju kerja yang kamu pakai itu hadiah khusus dari desainer terkenal di Paris untuk mamaku. Itu gak diperjualbelikan. Jadi bisa dipastikan setelan baju kerja yang kamu pakai itu hanya satu-satunya di dunia ini." Kedua mata Freya semakin membulat sempurna. Sejenak dia lupa kalau pria di depannya ini merupakan cucu dari pemilik perusahaan Bintara Grup. Tidak perlu diragukan soal kekayaan, kekuasaan dan kenalan hebat dari berbagai negara. "Aku gak percaya," kata Freya, masih tak mau kalah. "Buktinya apa kalau baju ini emang hadiah khusus dari desainer Paris? Bisa aja kan kamu cuma mengarang." Rahang Arya mengeras. Dia pun menarik ujung blus yang tengah dipakai Freya lalu menunjukkan label blus yang bertuliskan 'For Ika Mariana'. Tulisan itu ditulis dengan font berukuran kecil yang membuat orang harus mendekatkan matanya saat ingin membaca tulisannya. "Kamu lihat? Tulisannya 'For Ika Mariana'. Itu nama mamaku. Dan juga, ada nama desainer itu yang di cetak di belakang kerah." Freya panik. Dia gak berpikir kalau blus yang dia kenakan ada label, bahkan tertulis nama si pencipta. Karena otaknya tak dapat menemukan ide lain untuk mendebat Arya, dia pun menundukkan badan, hendak mengambil ponselnya yang terjatuh. Tapi siapa sangka Arya mengetahui aksinya dan malah menyambar ponselnya dengan cepat. "Mau kabur lagi?" Arya memamerkan ponsel Freya yang berhasil dia dapatkan. "Sini, kembalikan ponsel saya!" Freya berusaha merebut ponsel tapi Arya malah menaikkan ponsel dengan tangannya. "Akui dulu kalau semalam kamu memang maksa masuk ke apartemenku." "Saya beneran gak kemana-mana semalam," ujar Freya, enggan mengakui. "Kalau gitu, aku laporkan kamu ke polisi. Aku punya banyak bukti," ancam Arya. "Silahkan saja laporkan ke polisi. Kalau sampai orang-orang tahu masalah ini, yang malu bukan cuma saya aja. Tapi bapak juga." Freya tersenyum sinis begitu melihat Arya mengetatkan rahangnya. Saat ketegangan terjadi, ponsel Freya berdering nyaring. Itu panggilan dari Rio lagi. "Ada yang nelpon, kembalikan ponsel saya, Pak." Freya kembali berusaha meraih ponsel dari tangan Arya. Tapi Arya semakin menjauhkan ponselnya dan menghalangi Freya dengan tangan satunya. Arya melirik ke arah ponsel Freya, untuk mengetahui siapa yang menelpon. Di layar tertera nama 'Rio sayang' dan foto Rio terpampang jelas di sana. "Rio sayang?" gumam Arya. Dia pun bertanya pada Freya, "Jadi kamu pacarnya Rio?"Freya sudah tak punya pilihan lain selain menyetujui tawaran Arya. Di kertas itu sudah tertulis bahwa Freya sebagai pihak kedua akan menjadi kekasih palsu pihak pertama. Lalu di baris selanjutnya, pihak kedua harus menuruti semua perintah pihak pertama dan tidak boleh menolak. Semua poin itu akan berjalan selama sebulan lamanya.Dengan berat hati Freya menandatangani. Ini semua demi nama baik dan bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri.Setelah itu, Freya diajak oleh Arya keluar dari gedung menuju ke suatu tempat yang Freya belum ketahui dimana. Dia hanya harus menuruti perintah Arya dan diam.Begitu mobil berhenti, Freya melirik ke arah luar dari jendela mobil. Sebuah butik mewah dua lantai bernuansa putih membuatnya terpukau takjub. "I-itukan La Maison de Lumiere?" gumam Freya sedikit gugup saat melihat tulisan emas yang melengkung di papan nama kayu hitam pada sebuah butik termewah dan termahal di kota.Arya keluar dari mobil lalu membukakan pintu untuk Freya. Mendapat perlaku
Tentu saja yang dimaksud client oleh Freya adalah Arya.Keesokannya. Tepat di jam setengah enam sore. Freya menaati perintah Arya untuk datang ke apartemennya. Dia sudah siap dengan setelan hitam-hitam. Semua yang dipakainya berwarna hitam. Mulai dari baju panjang, rok lipit panjang, bucket hat dan juga sneakers berwarna senada. Bahkan tas pundaknya pun berwarna hitam. Sengaja dia memilih warna hitam sebagai penyamarannya.Kamar apartemen Rio berada di satu gedung dengan kamar apartemen milik Arya. Kalau Freya tak berhati-hati, bisa-bisa dia terciduk oleh Rio.Begitu taksi sudah mengantarnya di depan gedung, Freya mengenakan masker hitam dan juga kacamata hitam. Dia benar-benar seperti seonggok warna hitam yang bisa berjalan.Dengan mengendap-endap, dia berjalan masuk ke area lobi yang sempit lalu ke lorong lantai dasar yang sedikit gelap. Freya mengetuk pintu kamar Arya dengan hati-hati. Pandangannya tetap awas ke seluruh penjuru. Sesekali dia membenarkan letak masker dan kacamatanya
Freya tak menjawab ucapan Arya, dia masih berusaha mengambil ponselnya meski Arya terus menghalanginya."Gimana kalau aku aja yang angkat?" goda Arya dengan tersenyum jahil."Jangan!" jerit Freya panik. Kalau sampai Arya menjawab panggilan itu, Arya pasti akan membeberkan kejadian semalam pada Rio."Akui dulu kalau yang datang ke apartemenku semalam itu kamu."Freya menggigit bibir bawahnya. Dia panik, merasa berat untuk mengakui perbuatannya semalam. Padahal niatnya tadi, dia ingin membalas perbuatan Arya yang tak mengenakkan tadi pagi. Tapi kenapa malah balasan itu berbalik padanya sekarang?"Gimana? Masih gak mau ngaku? Ya udah aku angkat." Freya kembali menjerit, tapi Arya seolah tuli. Dia sudah menekan tombol hijau dan panggilan sedang berlangsung."Halo? Sayang? Kamu gak apa-apa, Kan? Kok tiba-tiba teleponnya mati tadi?" Suara Rio yang berat menggema di telinga Freya. Membuat pelipis Freya keringat dingin.Masih dengan senyuman jahilnya, Arya mendekatkan ponsel ke bibirnya lalu
Freya berjalan keluar dari ruangan meeting dengan lesu. Siapa yang menyangka kalau pria yang tidur dengannya semalam adalah cucu dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja? Freya takut kalau nanti dia akan mendapat masalah karena biasanya berurusan dengan orang berduit itu akan berakhir menjadi rumit."Menyebalkan!" Selain memikirkan hal tadi, Freya juga merasa kesal kalau mengingat sikap Arya padanya yang begitu menyebalkan saat di ruang meeting tadi.Entah apa yang membuat Arya terlihat begitu kesal padanya. Freya berpikir, apa karena kejadian semalam?Sebenarnya apa yang dia perbuat pada Arya semalam? Sampai Arya seperti ingin menjegalnya.Freya berusaha mengingat lagi kejadian semalam, tapi usahanya nihil. Ingatannya terputus begitu dia masuk kamar Arya."Sialan!" jerit Freya kesal. Beruntung lorong sedang sepi, jadi tidak ada orang yang mendengar jeritannya.Suara nada dering yang panjang membuyarkan kekesalannya. Saat melihat layar ponsel, wajahnya berubah gembira begitu tahu kal
Ya Tuhan... Kekonyolan macam apa ini? jerit Freya dalam hatinya.Setengah jam yang lalu pria yang baru datang di depan itu masih menjadi teman tidurnya, dan sekarang, pria itu menjadi manajer baru di timnya? Apa dunia sudah gila?"Halo semuanya, nama saya Aryana Bintara. Saya manajer baru yang akan menggantikan Bu Dira. Mohon bantuannya." Arya memperkenalkan diri dengan sopan. Dia menatap ke anggota tim satu persatu, lalu berhenti pada Freya yang mulutnya masih ternganga.Pak Budi tersenyum senang. Kerutan di wajahnya tadi seolah hilang setelah melihat kedatangan Arya. "Selamat datang di tim pemasaran, Pak Arya. Saya sangat berharap anda bisa membawa kemajuan untuk tim ini nantinya.""Baik, Pak.""Baiklah, mari kita mulai meetingnya."Tak ada pergerakan apapun dari Freya, Bintang menyenggol lengan Freya hingga tersadar. "Cepat mulai presentasinya, Fre," bisik Bintang dengan gemas."Oh... i-iya." Freya sangat terkejut dengan kehadiran Arya hingga tak sadar kalau dirinyalah yang harus
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menusuk mata Freya sehingga dia terkejut dan bangun. Kepalanya berdenyut-denyut seolah ada gendang yang dipukul dari dalam, dan tenggorokannya terasa kering seperti gurun. Freya menutupi wajah dengan lengan, mencoba menghindari cahaya, tapi ketika Freya menggeser badan, tangannya menyentuh sesuatu yang hangat dan juga lembut. Freya membuka mata perlahan. Jantungnya langsung berdebar kencang. Di sampingnya, seorang pria berambut ikal yang acak masih tertidur lelap, badannya hanya terbungkus selimut sampai pinggang. Wajahnya sama sekali tidak dikenal baginya. Ya Tuhan... siapa dia? Freya menutupi mulut dengan tangan, takut bersuara. Kemudian dia melihat ke arah bawah--tubuhnya sendiri. Dan seperti yang sudah dia duga, tubuhnya juga polos, hanya selimut yang menutupi tubuhnya. Apa sebenarnya yang terjadi kemarin? Freya merenung sambil merasakan tubuhnya lemas di atas kasur yang tidak dikenal. Ingatan semalam hancur seperti kaca peca







