로그인Ya Tuhan... Kekonyolan macam apa ini? jerit Freya dalam hatinya.
Setengah jam yang lalu pria yang baru datang di depan itu masih menjadi teman tidurnya, dan sekarang, pria itu menjadi manajer baru di timnya? Apa dunia sudah gila? "Halo semuanya, nama saya Aryana Bintara. Saya manajer baru yang akan menggantikan Bu Dira. Mohon bantuannya." Arya memperkenalkan diri dengan sopan. Dia menatap ke anggota tim satu persatu, lalu berhenti pada Freya yang mulutnya masih ternganga. Pak Budi tersenyum senang. Kerutan di wajahnya tadi seolah hilang setelah melihat kedatangan Arya. "Selamat datang di tim pemasaran, Pak Arya. Saya sangat berharap anda bisa membawa kemajuan untuk tim ini nantinya." "Baik, Pak." "Baiklah, mari kita mulai meetingnya." Tak ada pergerakan apapun dari Freya, Bintang menyenggol lengan Freya hingga tersadar. "Cepat mulai presentasinya, Fre," bisik Bintang dengan gemas. "Oh... i-iya." Freya sangat terkejut dengan kehadiran Arya hingga tak sadar kalau dirinyalah yang harus presentasi di depan. Sebelum memulai, Freya memperkenalkan diri terlebih dahulu dengan sopan. Lalu memulai presentasi tanpa ada kendala sampai selesai. "Laporan dari saya selesai. Apa ada pertanyaan?" tanya Freya sambil membereskan berkas-berkas. Arya menaikkan tangannya. "Menurutku, ada beberapa poin yang kurang kuat. Terutama proyeksi ROI yang baru saja kamu sampaikan." Gerakan tangan Freya terhenti. Dia menoleh ke arah Arya dengan alisnya naik sebelah. "Kurang kuat? Saya sudah melakukan riset mendalam dan menggunakan data terbaru. Angka-angka itu realistis, Pak." "Realistis menurut versimu," jawab Arya dengan nada meremehkan. "Sepertinya kamu terlalu optimis. Berdasarkan apa yang sudah kamu laporkan, kamu hanya fokus pada potensi keuntungan, tanpa mempertimbangkan resiko yang mungkin terjadi." Freya menggigit bibir bawahnya, tak menyangka Arya akan mendebatnya. "Resiko memang selalu ada, Pak Arya. Tapi kita gak bisa hanya berdiam diri karena takut gagal. Kita harus berani mengambil langkah untuk mencapai hasil yang maksimal." "Berani dan ceroboh itu beda tipis, Nona Freya." Arya mencondongkan tubuhnya ke arah meja, lalu menyatukan kedua tangannya. "Kita harus punya dasar yang kuat sebelum menjanjikan sesuatu pada klien. Kalau proyeksi kita meleset, reputasi perusahaan yang jadi taruhannya." "S-saya gak ceroboh." Freya mulai gugup, tapi masih berusaha menampilkan senyumannya. "Saya hanya percaya pada kemampuan tim kita. Dan saya yakin, dengan strategi yang tepat, kita bisa mencapai target yang kita tetapkan." "Strategi yang tepat atau strategi yang hanya terlihat bagus di atas kertas?" Senyuman Freya seketika memudar. "Kamu terlalu fokus pada visual dan branding, tanpa memikirkan aspek finansialnya," kata Arya, tersenyum sinis. Tangan Freya mengepal di samping celananya. "Branding itu penting untuk menciptakan citra positif di mata konsumen, Pak. Tanpa branding yang kuat, produk kita gak akan laku." "Citra positif saja gak cukup, Nona Freya." Arya masih terus mendebat Freya. "Kita butuh angka yang meyakinkan. Klien tidak akan peduli dengan logo yang bagus atau slogan yang menarik kalau mereka tidak melihat potensi keuntungan yang jelas." "Tapi bisnis itu bukan hanya soal angka, Pak. Ada faktor-faktor lain yang juga berpengaruh, seperti emosi, tren, dan kebutuhan pasar." "Emosi? Tren?" sahut Arya dengan cepat. "Itu semua bisa diukur dan dianalisis. Kita gak bisa mengandalkan perasaan atau intuisi semata." Kedua sudut bibir Freya berkedut tak suka. Bu Dira belum pernah mendebat pendapatnya selama ini. Bahkan selalu memuji setiap dia maju presentasi ataupun laporan. Seolah mengetahui isi pikiran Freya, Arya pun melanjutkan ucapannya, "Sepertinya selama ini Bu Dira gak pernah mendebatmu. Makanya kamu dan anggota tim lain terlena sampai gak tahu kalau Bu Dira menggelapkan dana proyek milyaran rupiah." Napas Freya tercekat di tenggorokan. Ucapan Arya bagaikan pukulan telak untuknya. Begitupun dengan anggota tim yang sedari tadi hanya diam dan menyaksikan perdebatan antara Freya dengan Arya. Mereka sampai menahan napas dan merasakan aura ketegangan segera menyelimuti seluruh ruangan. Tiba-tiba terdengar suara batuk dari arah ujung meja. "Ehem... sepertinya ada perdebatan seru di sini." Pak Budi selaku atasan nampak santai dan menikmati perdebatan bawahannya dengan tenang. "Semoga saja perdebatan ini bisa menghasilkan ide-ide yang lebih baik lagi untuk perusahaan." "Dan untuk kamu, Freya." Pak Budi menatap Freya yang langsung membuat Freya kaku. "Sebaiknya kamu dengarkan saran dari Pak Arya. Semua ini demi kebaikan tim kamu. Kalau proyek ini bisa terselamatkan, nantinya kamu dan tim juga yang bakal merasakan dampak baiknya." "B-baik, Pak." Setelah itu Pak Budi pergi, begitupun dengan Arya, mengikuti di belakangnya. Kepergian mereka berdua membuat Freya dan tim kembali bisa menghirup udara dengan tenang. "Fre, kamu gak apa-apa?" tanya Bintang cemas. "Wah, gila sih itu si Pak Arya. Dia kayak punya dendam kesumat sama kamu." Dada Freya naik turun. Dia merasakan amarah sudah merasuk ke dalam tulangnya. Arya bukan hanya mendebatnya, tapi juga mempermalukan dirinya di depan anggota tim. "Sebenarnya siapa sih dia? Kenapa tiba-tiba Pak Budi angkat dia jadi manajer di sini?" tanya Freya sambil mendaratkan bokongnya di ujung meja. "Ya ampun, Fre. Kamu kemana aja sih? Perasaan dari tadi gak tahu apa-apa mulu." Ucapan Bintang hanya ditanggapi Freya dengan terkekeh pelan. "Menurut info, dia itu cucunya Pak Bambang Bintara, pemilik perusahaan Bintara grup. Nah, dia ini ditugaskan ke perusahaan cabang sini untuk melatih kemampuannya sebelum bisa memegang perusahaan pusat nantinya." Wajahnya Freya membeku dan memucat seketika. Orang yang semalam tidur bersamanya tadi ternyata cucu dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja? Mampus! Matilah aku! jerit Freya dalam hati.Freya sudah tak punya pilihan lain selain menyetujui tawaran Arya. Di kertas itu sudah tertulis bahwa Freya sebagai pihak kedua akan menjadi kekasih palsu pihak pertama. Lalu di baris selanjutnya, pihak kedua harus menuruti semua perintah pihak pertama dan tidak boleh menolak. Semua poin itu akan berjalan selama sebulan lamanya.Dengan berat hati Freya menandatangani. Ini semua demi nama baik dan bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri.Setelah itu, Freya diajak oleh Arya keluar dari gedung menuju ke suatu tempat yang Freya belum ketahui dimana. Dia hanya harus menuruti perintah Arya dan diam.Begitu mobil berhenti, Freya melirik ke arah luar dari jendela mobil. Sebuah butik mewah dua lantai bernuansa putih membuatnya terpukau takjub. "I-itukan La Maison de Lumiere?" gumam Freya sedikit gugup saat melihat tulisan emas yang melengkung di papan nama kayu hitam pada sebuah butik termewah dan termahal di kota.Arya keluar dari mobil lalu membukakan pintu untuk Freya. Mendapat perlaku
Tentu saja yang dimaksud client oleh Freya adalah Arya.Keesokannya. Tepat di jam setengah enam sore. Freya menaati perintah Arya untuk datang ke apartemennya. Dia sudah siap dengan setelan hitam-hitam. Semua yang dipakainya berwarna hitam. Mulai dari baju panjang, rok lipit panjang, bucket hat dan juga sneakers berwarna senada. Bahkan tas pundaknya pun berwarna hitam. Sengaja dia memilih warna hitam sebagai penyamarannya.Kamar apartemen Rio berada di satu gedung dengan kamar apartemen milik Arya. Kalau Freya tak berhati-hati, bisa-bisa dia terciduk oleh Rio.Begitu taksi sudah mengantarnya di depan gedung, Freya mengenakan masker hitam dan juga kacamata hitam. Dia benar-benar seperti seonggok warna hitam yang bisa berjalan.Dengan mengendap-endap, dia berjalan masuk ke area lobi yang sempit lalu ke lorong lantai dasar yang sedikit gelap. Freya mengetuk pintu kamar Arya dengan hati-hati. Pandangannya tetap awas ke seluruh penjuru. Sesekali dia membenarkan letak masker dan kacamatanya
Freya tak menjawab ucapan Arya, dia masih berusaha mengambil ponselnya meski Arya terus menghalanginya."Gimana kalau aku aja yang angkat?" goda Arya dengan tersenyum jahil."Jangan!" jerit Freya panik. Kalau sampai Arya menjawab panggilan itu, Arya pasti akan membeberkan kejadian semalam pada Rio."Akui dulu kalau yang datang ke apartemenku semalam itu kamu."Freya menggigit bibir bawahnya. Dia panik, merasa berat untuk mengakui perbuatannya semalam. Padahal niatnya tadi, dia ingin membalas perbuatan Arya yang tak mengenakkan tadi pagi. Tapi kenapa malah balasan itu berbalik padanya sekarang?"Gimana? Masih gak mau ngaku? Ya udah aku angkat." Freya kembali menjerit, tapi Arya seolah tuli. Dia sudah menekan tombol hijau dan panggilan sedang berlangsung."Halo? Sayang? Kamu gak apa-apa, Kan? Kok tiba-tiba teleponnya mati tadi?" Suara Rio yang berat menggema di telinga Freya. Membuat pelipis Freya keringat dingin.Masih dengan senyuman jahilnya, Arya mendekatkan ponsel ke bibirnya lalu
Freya berjalan keluar dari ruangan meeting dengan lesu. Siapa yang menyangka kalau pria yang tidur dengannya semalam adalah cucu dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja? Freya takut kalau nanti dia akan mendapat masalah karena biasanya berurusan dengan orang berduit itu akan berakhir menjadi rumit."Menyebalkan!" Selain memikirkan hal tadi, Freya juga merasa kesal kalau mengingat sikap Arya padanya yang begitu menyebalkan saat di ruang meeting tadi.Entah apa yang membuat Arya terlihat begitu kesal padanya. Freya berpikir, apa karena kejadian semalam?Sebenarnya apa yang dia perbuat pada Arya semalam? Sampai Arya seperti ingin menjegalnya.Freya berusaha mengingat lagi kejadian semalam, tapi usahanya nihil. Ingatannya terputus begitu dia masuk kamar Arya."Sialan!" jerit Freya kesal. Beruntung lorong sedang sepi, jadi tidak ada orang yang mendengar jeritannya.Suara nada dering yang panjang membuyarkan kekesalannya. Saat melihat layar ponsel, wajahnya berubah gembira begitu tahu kal
Ya Tuhan... Kekonyolan macam apa ini? jerit Freya dalam hatinya.Setengah jam yang lalu pria yang baru datang di depan itu masih menjadi teman tidurnya, dan sekarang, pria itu menjadi manajer baru di timnya? Apa dunia sudah gila?"Halo semuanya, nama saya Aryana Bintara. Saya manajer baru yang akan menggantikan Bu Dira. Mohon bantuannya." Arya memperkenalkan diri dengan sopan. Dia menatap ke anggota tim satu persatu, lalu berhenti pada Freya yang mulutnya masih ternganga.Pak Budi tersenyum senang. Kerutan di wajahnya tadi seolah hilang setelah melihat kedatangan Arya. "Selamat datang di tim pemasaran, Pak Arya. Saya sangat berharap anda bisa membawa kemajuan untuk tim ini nantinya.""Baik, Pak.""Baiklah, mari kita mulai meetingnya."Tak ada pergerakan apapun dari Freya, Bintang menyenggol lengan Freya hingga tersadar. "Cepat mulai presentasinya, Fre," bisik Bintang dengan gemas."Oh... i-iya." Freya sangat terkejut dengan kehadiran Arya hingga tak sadar kalau dirinyalah yang harus
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menusuk mata Freya sehingga dia terkejut dan bangun. Kepalanya berdenyut-denyut seolah ada gendang yang dipukul dari dalam, dan tenggorokannya terasa kering seperti gurun. Freya menutupi wajah dengan lengan, mencoba menghindari cahaya, tapi ketika Freya menggeser badan, tangannya menyentuh sesuatu yang hangat dan juga lembut. Freya membuka mata perlahan. Jantungnya langsung berdebar kencang. Di sampingnya, seorang pria berambut ikal yang acak masih tertidur lelap, badannya hanya terbungkus selimut sampai pinggang. Wajahnya sama sekali tidak dikenal baginya. Ya Tuhan... siapa dia? Freya menutupi mulut dengan tangan, takut bersuara. Kemudian dia melihat ke arah bawah--tubuhnya sendiri. Dan seperti yang sudah dia duga, tubuhnya juga polos, hanya selimut yang menutupi tubuhnya. Apa sebenarnya yang terjadi kemarin? Freya merenung sambil merasakan tubuhnya lemas di atas kasur yang tidak dikenal. Ingatan semalam hancur seperti kaca peca







