Mag-log in“Sus, tolong nenek saya.”
“Kami akan melakukan pertolongan dengan cepat. Silahkan kalian urus pendaftarannya lebih dulu.” Setelah, urusan pendaftaran selesai, Kanaya menunggu bersama Rini dengan penuh kekhawatiran di ruang tunggu IGD. Zahra yang berada di gendongan Kanaya sudah tak berdaya dan terlelap. Penyakit jantung Asih kemungkinan besar kambuh karena mendengar kabar mengejutkan mengenai penyitaan rumah milik Kanaya. “Untung saja kalian cepat membawa nenek kalian kesini. Kalau terlambat sedikit saja, pasti nyawanya tidak akan tertolong. Nenek kalian memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya dan sudah sering keluar masuk rumah sakit.” Ucap Dokter sembari membaca rekam medis milik Asih. Dari kertas rekam medis, tertera jelas jika Asih sudah pernah berobat kesini dan beberapa kali harus rawat inap karena penyakit jantung yang sering kali kambuh. “Apa perlu rawat inap?” Tanya Kanaya. “Kami akan melakukan observasi lebih lanjut. Masalah jantungnya sepertinya bertambah parah dan jika memang diperlukan, kami akan memasang ring pada jantungnya. Dan setelah di cek, ternyata kartu jaminan kesehatan pasien sudah tidak aktif lagi. Jadi, kami berharap untuk kartu kesehatannya bisa segera diurus. Karena jika pemasangan ring memang diperlukan, kalian tidak perlu bingung masalah biayanya.” Kanaya mengangguk, “Baik dokter.” “Setelah kondisinya stabil, barulah kami akan memindahkan pasien ke ruang rawat inap. Untuk sementara ini, pasien harus tetap di ICU.” Kanaya melangkah gontai keluar dari ruang IGD. Semua ini salahnya karena tidak membayar iuran kartu kesehatan milik sang nenek. Himpitan ekonomi yang menerpa keluarganya membuat Kanaya harus mengesampingkan ini. Karena Kanaya pikir, penyakit Asih sudah jarang kambuh. “Memangnya berapa tunggakannya, Nay?” Sadar kalau tunggakannya sudah lama dan ini adalah kesempatan terakhir neneknya mendapat jatah rawat inap, Kanaya tertunduk lesu. Luka di pelipisnya yang sudah mengering, kembali ternganga. Dengan terbata, dia menjawab, “Delapan bulan, Mbak.” Rini menghela napas kasar, “Sudah, jangan dipikirkan. Sebentar lagi, ibu akan datang.” “Bude Lastri?” “Iya. Aku sudah mengabarinya. Dia sedang dalam perjalanan kemari.” *** Tepat pukul sepuluh malam, akhirnya Lastri sampai di rumah sakit. Lastri bekerja di Jakarta sebagai ART, dia langsung pulang begitu mendapat kabar Asih rawat inap lagi. Beruntungnya, majikan Lastri adalah orang baik dan bisa mengerti kondisinya. Lastri mengalihkan tatapannya kepada Kanaya yang nampak duduk termenung sembari menggendong Zahra yang tertidur di pangkuannya. “Nduk...” Lastri duduk disamping Kanaya lalu mengelus pundak keponakannya. Lastri sudah tahu semuanya mengenai Kanaya dari Rini. Air mata Kanaya kembali tumpah ketika Lastri merengkuh tubuhnya. Kanaya tidak pernah selemah ini sebelumnya, namun karena pengkhianatan yang dilakukan Hendra berhasil membuat Kanaya menjadi wanita yang rapuh. Ketika ingin cerita, dokter tiba-tiba keluar dan mengabarkan kalau Asih sudah siuman. Ketiganya bergegas masuk ke ruang ICU dan melihat kondisi Asih. Belum sempat Kanaya mengatakan apapun, Asih menyela cepat. “Mbok nggak tau bisa hidup berapa tahun lagi, Nay. Mbok udah bilang ke Lastri, Bude mu, biar kamu kerja di kota aja.” “Zahra bagaimana, Mbok? Dia masih terlalu kecil untuk ditinggal oleh Naya.” Lastri merasa tidak enak dengan Kanaya. “Kan ada mbok dan Rini. Kami akan mengurus Zahra.” Senyuman Asih sangat tulus. Asih melakukan semua ini demi kebaikan Kanaya dan Zahra. “Melihat hidupmu yang enak setelah bekerja di kota, mbok juga ingin itu terjadi pada Naya. Dia sudah cukup menderita selama ini. Setidaknya, ia bisa menutup hutangnya.” “Kita tidak bisa memaksa Naya, Mbok. Naya berhak menentukan jalan hidupnya.” Kanaya terdiam cukup lama. Ia mempertimbangkan ucapan Lastri. Kanaya dihadapkan dalam dilema besar. Disatu sisi, apa yang Lastri ucapkan memang benar adanya. Sebagai ibu, dia tidak tega meninggalkan putrinya yang masih berusia dua tahun. Baginya, Zahra masih butuh kasih sayang darinya. Kanaya menatap sang nenek. Ada keraguan dalam hati Kanaya, tapi tatapan dari Asih seolah meyakinkan Kanaya untuk mengambil keputusan ini. "Tapi, aku mau kerja apa bude di kota? Bukannya kalau di kota itu butuh ijazah tinggi, ya? Sedangkan, aku hanya lulusan SMA saja." "Sebenarnya, majikan bude sedang mencari ART bagian masak karena ART yang lama mengundurkan diri. Majikan Bude minta Bude yang nyari. Kalau kamu mau, bude bisa mengajak kamu bekerja disana. Masakan kamu kan enak, Nay." "Kalau jadi ART memang gajinya berapa, bude?" "3.5 juta, itu kalau masih awal-awal. Untuk semua kebutuhan pribadi kamu dan makan sehari-hari sudah ditanggung sendiri oleh majikan. Jadi, kamu bisa menggunakan uang kamu untuk kebutuhan Zahra dan membayar hutang kamu.” Lastri menarik nafas sejenak. “Kalau bulan pertama dia cocok, pasti ada kenaikan gaji.” Kanaya sangat tergiur dengan tawaran dari Lastri. Namun, ia kembali memikirkan Zahra. Usia Zahra baru dua tahun dan putrinya itu tentu saja masih membutuhkannya. "Ikut saja sama bude mu. Kesempatan ini tidak datang dua kali." Ucap Asih menimpali. "Aku hanya tidak tega meninggalkan Zahra, Mbok. Dia masih terlalu kecil." Asih meraih tangan Kanaya lalu menggenggamnya, "Kamu harus berjuang untuk lepas dari kemiskinan. Kamu tidak bisa selamanya hidup dengan dihantui hutang. Mbok tahu ini pasti berat untukmu. Tapi kamu tenang saja, mbok akan merawat Zahra dengan baik." Ada setitik air mata yang menetes dari mata Kanaya. Sang nenek adalah orang yang paling berjasa untuk Kanaya. Sejak kecil, Asih bekerja keras untuk menghidup Kanaya. Dan sampai sekarang Kanaya belum bisa membalas jasa dari Asih. Kini Kanaya menatap lekat Zahra yang ada di pangkuannya. Tubuh kecil itu didekap erat oleh Kanaya. Kanaya seolah ingin menguatkan hatinya untuk mengambil keputusan yang sangat berat ini. Suasana hening menyelimuti ruangan, sampai ketika Zahra bangun dan berkata pada Kanaya. “Ibu mau kemana?”Kanaya menangis tergugu setelah mendengar kebenaran menyakitkan itu dari mulut Aron. Kanaya tak menyangka jika nama yang disebut oleh Aron begitu tega kepadanya. Orang itu ternyata bertekad bulat untuk memisahkan Kanaya dengan Bram. Padahal, Kanaya sama sekali tak pernah berbuat jahat kepadanya. Tapi, kenapa ujian cintanya bersama Bram sangat terjal. Kanaya pikir, setelah ia menikah dengan Bram semua masalah akan berangsur membaik. Tapi, ternyata banyak pihak yang ingin menghancurkan pernikahannya. Bahkan, sampai rela memalsukan kematian Kanaya dan juga Zahra hanya demi keuntungannya semata. "Aku tidak boleh lemah. Aku harus mencari cara untuk keluar dari sini. Jika aku terkurung disini, maka penjahat itu akan menguasai mas Bram. " Kanaya menyeka air matanya dengan cepat. Dengan tekad kuat, Kanaya keluar dari kamar milik Aron. Aron sedang dalam pengaruh alkohol dan itu membuat Aron tak sadarkan diri sekarang. "Aku akan mencari jalan keluarnya." Dengan mengendap-
"Ini sudah satu bulan sejak Kanaya meninggal. Kamu harus memulai hidupmu lagi dengan semangat. Kamu tidak boleh terus menerus terkurung dalam kesedihan ini, Bram." ucap Linda mencoba membuka obrolan di meja makan. Semua orang yang ada disana langsung mengarahkan tatapannya kepada Bram yang nampak santai menghabiskan makan malamnya. "Mama kamu benar. Kamu harus terima kenyataan jika istrimu telah tiada. Jika mendiang istrimu melihatmu bersedih seperti ini, nenek yakin dia tidak akan tenang disana." Bram masih tak menanggapi. Ia tetap mempertahankan diamnya. Sedangkan, Linda menatap suami dan juga mertuanya. Mereka sudah membicarakan masalah masa depan Bram. Dan itulah kenapa mereka mulai memancing pembahasan ini. "Kamu harus membuka hatimu untuk wanita lain. Kamu masih muda dan kamu harus membangun keluarga kembali." Brak Semua orang terkejut mendengar suara gebrakan yang keras dari Bram. Sampai-sampai alat makan di meja bergetar semua karena ulah Bram. Setya yang d
Satu bulan berlalu... Kanaya masih tak menemukan cara untuk keluar dari tempat ini. Penjagaan yang ketat membuat Kanaya tak bisa bergerak dengan bebas. Apalagi, mansion ini di penuhi dengan CCTV yang tersebar dimana-mana. Jika Kanaya gegabah, yang ada ia akan habis di tangan Aron. Terlebih lagi, sedikit banyak Kanaya sudah tahu bagaimana karakter Aron. Karakter pria itu cepat sekali berubah. Terkadang, pria itu baik tapi dalam hitungan detik bisa menjadi sangat kejam jika ada yang memantik amarahnya. Kanaya harus memperhitungkan semuanya, apalagi ada Zahra disisinya. *** "Zahra disini saja ya. Duduk yang tenang, ibu mau masak dulu." Zahra hanya mengangguk dan begitu senang duduk menunggu di dekat Kanaya. Zahra bermain dengan mainannya yang membuatnya tidak rewel. "Zahra mau pisang?" "Mau." Kanaya menyulam senyumnya lalu memberikan buah pisang yang sudah di potongnya dan ia letakkan di piring. "Jangan rewel ya." "Iya." Kanaya begitu bersemangat memasak
Kanaya menunggu dengan cemas ketika melihat dokter yang tengah memeriksa putrinya. Tidak di rumah sakit, melainkan Aron memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa kondisi Kanaya. Kanaya berdiri dengan cemas disamping Aron. Kanaya bersyukur karena Aron masih mau membantunya. Meskipun, tidak ke rumah sakit tapi setidaknya putrinya sudah ditangani oleh dokter. "Saya akan berikan obat penurun demam. Setelah ini, bisa langsung di minumkan. Tapi, jika dalam tiga hari demamnya tidak kunjung hilang, maka saya sarankan untuk dibawa ke rumah sakit." "Baiklah." jawab Aron. "Apa putrimu mau makan?" Kanaya gelengkan kepalanya dengan lemah, "Sulit untuk makan, dokter. Bahkan seharian ini, hanya makan nasi dua sendok saja. Sisanya dia hanya mau minum ASI saya." Dokter laki-laki itu mengangguk, "Baiklah. Saya resep kan vitamin juga." "Terimakasih banyak, dokter." Kanaya kemudian duduk di pinggiran kasur seraya mengelus kepala Zahra yang tengah tertidur lelap. "Terimakasih."
"Abang yakin mau bertemu dengan Aron?" tanya Setya memastikan lagi. Bahkan, dulu Bram selalu menolak ajakan kerjasama dari Aron karena hubungan keduanya yang tidak baik. Bram dan Aron adalah rival bisnis. Reputasi Aron di dunia bisnis begitu buruk hingga banyak perusahaan yang enggan untuk bekerjasama dengan Aron. Namun, meskipun begitu perusahaan Aron masih bisa berkembang pesat bahkan menjamah pasar luar. Sedangkan, sejak dulu Aron selalu ingin mengganggu usaha milik Bram karena Aron begitu ingin melihat Bram hancur. Tapi, sejauh ini Bram masih bisa bertahan dengan segala cara. Rivalitas keduanya benar-benar sudah di kenal oleh banyak orang. "Aku hanya ingin melihat apa yang dia inginkan sebenarnya." jawab Bram dengan santainya. "Jika papa tahu, dia akan marah besar." "Dengar Setya. Aku sudah menolak untuk memegang perusahaan ini kembali karena aku sudah memiliki perusahaan ku sendiri. Tapi, papa, mama dan juga nenek terus mendesak ku untuk kembali mengambil al
"Mama senang karena kamu mau kembali ke rumah ini, Bram." Linda langsung memeluk sang putra yang begitu ia rindukan kedatangannya. Kondisi Linda yang semakin membaik membuat Linda sudah boleh pulang dari rumah sakit. Begitupun dengan Bram. Kini, semua keluarga berkumpul jadi satu di kediaman utama. Semua orang nampak senang karena pada akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. "Semoga keluarga kita akan selamanya seperti ini. Mama tidak akan biarkan kamu pergi lagi dari hidup mama." Bram hanya diam saja. Meski raganya ada disini, namun pikirannya menerawang jauh memikirkan Kanaya. "Aku mau istirahat." Bram seketika beranjak dari duduknya. "Bram!" sentak Edward seraya menahan tangan Bram, "Apakah seperti ini sikapmu sama mama? Mama kamu baru saja sembuh dan harusnya kamu bisa memperlakukannya dengan baik." "Aku juga baru sembuh, Pa. Harusnya aku dan mama masih butuh istirahat cukup. Jadi, daripada berkumpul disini lebih baik aku istirahat di kamar." "Bram!"







