Home / Romansa / Jerat Cinta Pembantu Jandaku / Bab 5 Awal Yang Buruk

Share

Bab 5 Awal Yang Buruk

last update Last Updated: 2025-09-15 11:17:40

Kanaya tak dapat membendung air matanya. Hari ini, ia akan berpisah dengan Zahra. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Kanaya mengambil keputusan untuk ikut Lastri kerja ke Jakarta. Meski berat, tapi Kanaya lakukan semua ini demi sang putri.

“Ayo, Nduk. Jangan sampai kita ketinggalan kereta.”

Kanaya meraup oksigen sangat kuat lalu menciumi wajah Zahra yang tertidur pulas di gendongan Rini.

“Titip Zahra ya, Mbak.”

“Iya, Nay. Kamu kerja yang tenang disana, biar Zahra kami urus.”

Kanaya menyeka air matanya dengan cepat lalu mengusap rambut Zahra. Dengan langkah berat, akhirnya Kanaya pergi meninggalkan putrinya.

Sepanjang perjalanan, air mata Kanaya tak berhenti mengalir. Ia menatap kosong ke arah jendela kereta sembari memegang foto kecil putrinya.

“Ibu berjanji akan membuatmu bahagia, Nak. Ibu tidak akan membuatmu merasakan penderitaan seperti yang ibu rasakan dulu.” Kanaya menguatkan hati. Tekadnya sudah bulat untuk mengubah ekonomi keluarganya.

Hendra sudah tak lagi bertanggungjawab dan kini ia yang akan mengambil tugas itu.

Kebahagiaan Zahra ada ditangannya dan hanya dia yang bisa mewujudkannya.

Perjalanan yang memakan waktu berjam-jam, akhirnya harus berakhir. Rasa pegal seolah terbayarkan ketika Kanaya menginjakkan kaki di rumah mewah berlantai tiga. Mulut Kanaya menganga karena ini kali pertamanya melihat rumah gedong sebesar ini.

“Ayo, Nduk!”

“I-iya, Bude.”

Sambil menenteng tas bajunya, Kanaya mengekori langkah Lastri untuk masuk ke dalam rumah itu. Kanaya semakin takjud melihat design interior rumah ini. Sangat mewah dan semua barangnya terlihat mahal.

Brak

Namun, kekaguman Kanaya harus buyar ketika ia mendengar suara keras yang berasal dari bagian dalam rumah.

“Ada apa, Bude?” tanya Kanaya.

“Aku sudah muak karena kamu terus membicarakan masalah pernikahan, Bram.”

Kanaya memaku di tempat ketika melihat seorang wanita cantik menuruni anak tangga. Wajahnya merah padam karena emosi.

Sementara itu, di ujung bawah tangga, laki-laki tampan berjas sedang memegangi kepalanya. Dia nampak kacau.

“Mau sampai kapan kamu terus menghindar seperti ini? Lima tahun, bukan waktu yang singkat, Helena. Aku sudah sabar menunggu. Kau mau apalagi? Karirmu sudah bagus, karirku juga sama. Uang? Aku punya banyak uang. Jabatan? Aku direktur perusahaan ku sendiri. Lantas apalagi yang kamu cari?”

“Uang, uang, uang. Bram, nikah ga cuma butuh uang!” Helena terus membentak Bram dan pertengkaran itu semakin menuju puncak ketika gadis itu mengeluarkan kalimat terakhirnya, “Karirku lebih penting dari pernikahan kita!”

Tubuh Kanaya bergetar ketika menyaksikan pertengkaran dua orang berlawanan jenis itu. Sosok pria berjas rapi itu memiliki wajah blasteran yang tentunya sangat tampan.

Bagi Kanaya, ia tak pernah melihat pria setampan itu. Melihat pertengkaran hebat tadi, rasanya dia mengurungkan diri kagum pada majikannya.

“Ayo ke dapur! Jangan disini!” Lastri langsung menarik tangan Kanaya untuk pergi dari sana.

“Mereka suami istri, Bude?”

“Bukan. Tuan Bram itu majikan Bude dan wanita cantik itu Helena, calon istri Tuan Bram.”

“Kenapa mereka bertengkar seperti itu? Menakutkan sekali.” Kanaya menoleh, tapi budenya tiba-tiba berbalik badan karena sudah tidak kuat menahan perutnya.

"Bude ke kamar mandi dulu. Bude pengen buang hajat."

"Bu-"

Prang

Suara Kanaya tertahan saat mendengar suara benda pecah. Nampaknya, percekcokan Bramantyo dan Helena masih berlanjut.

Kanaya penasaran, tapi dia tidak berani melihat ke luar. Dia hanya duduk melamun sembari menerka-nerka, apa yang terjadi. Tak lama, suara deru mobil berbunyi. Nampaknya Helena pergi meninggalkan Bram.

Dia masih termangu dalam lamunan sampai terdengar langkah kaki berat dari samping.

“Sialan!”

Kanaya memaku di tempatnya ketika melihat Bram berjalan mendekat ke arahnya.

Kanaya meremat roknya. Ia benar-benar sendiri di dapur karena Lastri sudah pergi meninggalkannya

“Ambilkan aku minum!” Bram seperti ingin melampiaskan semua emosinya ke Kanaya.

“I-iya, Tuan.”

Dengan tangan gemetar, Kanaya mengambilkan air minum dari dispenser tanpa menyadari jika yang ia ambil adalah air panas.

“Ini Tuan.”

“Panas sekali! Apa kamu ingin membakar lidahku?” Bram membanting gelas itu, tepat di hadapan Kanaya.

Jantung Kanaya berdetak cepat, bahkan telinganya sampai berdengung. Dia hanya bisa menahan tangis.

Bagi orang desa seperti Kanaya, mengurus rumah adalah hal yang mudah, apalagi dia terbiasa kerja, mengurus rumah, dan mengasuh anak. Awalnya, dia mengira bekerja sebagai ART tidak sesulit yang dibayangkan. Namun, ketika dia melihat tingkah Bram yang semena-mena, mentalnya perlahan menciut.

“Maaf, Tuan. Sa-saya tidak sengaja.” Jawabnya dengan suara gemetar.

Bram menatap sengit ke arah Kanaya lalu berjalan mendekati wanita itu, “Siapa kamu?”

“Saya keponakannya Bude Lastri."

“Dasar ceroboh.” Hardik Bram.

Kanaya tak lagi berani mengangkat wajahnya, “Maafkan saya, Tuan.”

“Cepat buatkan aku makanan!” Bram menatap wajah Kanaya. Dia tidak menggubris hati Kanaya. Meski terus menangis, sikap Bram tidak berubah.

“I-iya, Tuan?”

Bram menarik napas panjang. Ia adalah orang paling benci jika harus mengulang ucapan, “Buatkan aku makanan, sekarang! Jangan sampai ini jadi hari pertama dan terakhirmu bekerja di sini!"

“Iya, Tuan.”

“Waktumu sepuluh menit. Jika kamu terlambat, lebih baik kamu kembali ke desa!”

Air mata Kanaya sudah bergelantung.

Kenapa hatinya sakit sekali dibentak seperti ini.

Jujur saja, Bram lebih menakutkan dari suaminya di desa. Semua bentakan itu rasanya mencekam, beda ketika dia dibentak suaminya, dia masih bisa melawan.

Dari meja makan, Bram memperhatikan Kanaya yang berada di dapur. Wanita itu nampak menahan tangis sembari membuatkan makanan untuknya.

Rasa bersalah muncul dalam benak Bram, tapi dia bersikap seolah tidak peduli. Tatapan matanya yang sayu, terus memperhatikan Kanaya memasak dari awal sampai akhir. Dia hanya salah melampiaskan emosi pada perempuan lugu yang baru hari ini datang untuk bekerja.

Kanaya pun sama, dia mencari bahan seadanya dan memasak apapun yang bisa dia lakukan selama sepuluh menit. Tekanan dari Bram terus menghantui, apalagi ketika dia berbalik badan untuk mengambil telur, dia melihat Bram terus memperhatikannya.

Dengan sedikit takut, Kanaya bawa hasil masakannya yang sangat sederhana.

Hanya telur dadar, tempe, terong goreng, dan juga sambal. Ia berharap makanan ini bisa diterima.

“Ini, Tuan.” Tangan Kanaya gemetar ketika meletakkan piring di hadapan Bram. “Maaf, saya hanya bisa membuatkan ini.”

“Hanya ini?" Bram menatap Kanaya sinis. “Dari semua bahan mewah yang ada di kulkas, kamu hanya bisa membuatkan ku masakan murahan seperti ini?”

Kanaya menggigit bibirnya, “Ma-maaf, Tuan, hanya itu yang a– ”

“Ini enak.” Bram mencicip sambal Kanaya dan memakan semuanya sampai habis. Padahal, Bram bukanlah orang yang tahan pedas. Namun, racikan sambal Kanaya seperti memberi isyarat kalau dia sedang sakit hati di hari pertamanya bekerja.

“Meski enak, tapi aku penasaran. Kenapa hanya memasak ini?” Bram meminta Kanaya duduk. Nada bicaranya sudah tenang setelah menghabiskan masakan Kanaya.

"A-aku tidak tahu bagaimana mengolah bahan mahal yang ada di kulkas. Aku takut, masakanku tidak sesuai. Ma-maafkan aku, Tuan.” Kanaya terus menunduk, tidak berani menatap wajah Bram. Sembari memberanikan diri, dia meneruskan, “Bagi orang desa seperti kami, ini sudah termasuk makanan mewah. Meski sederhana, makanan ini bergizi dan rasanya…"

Bram menyulam senyum tipis mendengar penjelasan Kanaya. Meski wanita ini sangat ceroboh, tapi Bram suka cara berpikirnya. "Sambal buatanmu enak.”

Pujian dari Bram membuat Kanaya terdiam. Padahal, Kanaya sudah menyiapkan mentalnya jika Bram memarahinya lagi. Tapi, diluar dugaan sekali karena Bram memuji masakannya.

“Terimakasih, Tuan.”

“Jangan senang dulu. Semua orang bisa membuat sambal seperti ini. Bukankah, ini hanya masakan sederhana?”

Senyum yang ingin mengembang seketika luntur kembali. Kanaya seperti diberi harapan palsu oleh Bram. Pria berusia 30 tahun ini, nampaknya tengah mempermainkannya.

“Sekarang, ambilkan minum!”

“Minum?”

“Di kulkas. Ambil botol warna hitam dan bawa kesini.”

“Iya Tuan.”

Kanaya bergegas kembali ke dapur untuk mengambil botol.

Namun, ketika Kanaya membuka kulkas ada tiga botol berwarna hitam yang sama dan hanya beda corak saja.

“Yang mana ini?” Kanaya dilanda kebingungan. Tangannya menggantung di udara sebab ia tak tahu harus mengambil botol yang mana.

“Semoga aku tidak salah ambil.”

“Kenapa lama sekali?” Teriakan Bram membuyarkan lamunan Kanaya. Segera, perempuan itu membawa botol hitam yang ada di sisi kiri pintu kulkas ke ruang makan.

“Ini, Tuan.”

Tanpa melihat , Bram langsung meneguk air dalam botol itu karena rasa pedas sambalnya masih terasa pekat di mulut. Namun, baru satu teguk, dia langsung menyemburkan lagi minuman itu, tepat di kaki Kanaya.

“Apa yang kamu berikan padaku?” Bram membanting botol itu ke meja. “Pahit, Bodoh! Kamu tahu ini apa? Kamu mau meracuniku, hah?!”

“A-ada tiga botol hitam dan saya bingung mau ambil yang mana.” Kanaya kembali bergetar ketakutan. Suaranya parau dan dia ingin roboh.

Bram kemudian melihat botol itu. Ini adalah botol mamanya. Jelas, didalamnya ini adalah ramuan jamu yang sangat pahit.

“Ini kesalahan keduamu.” Bram menggeleng tidak percaya, masih ada perempuan desa seperti Kanaya. Meski dibentak dua kali, dia tetap menurut, tidak melawan. Yang lebih mengherankan lagi, air mata Kanaya sudah hilang.

Kanaya coba tegar dengan semua tekanan Tuan Bram. Dia terus teringat wajah Zahra. Semakin Bram membentak, ingatan Kanaya seputar Zahra semakin kuat. Ini baru hari pertama dan dua amarah Bram juga karena kecerobohannya.

“Maafkan saya, Tuan. Saya bingung yang mana botol milik Tuan.”

“Otakmu di mana? Kamu mikir nggak, sih?” Bram memajukan telunjuknya ke dahi Kanaya, kemudian menyentuhnya pelan.

Deg

Ucapan Bram sangat melukai hati Kanaya.

“Aku akan bicara kepada Mbok Lastri mengenai dirimu. Belum juga satu jam kamu sudah membuatku celaka dua kali.” Pungkas Bram.

"Tolong, jangan pecat saya, Tuan." Kanaya menahan tangan Bram yang hendak pergi. “Saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya mohon. Saya mau melakukan apapun yang Tuan mau!”

"Aku tidak suka dengan pegawai ceroboh seperti dirimu." Bram sebenarnya peduli dengan Kanaya, tapi dia hanya ingin tahu motif Kanaya bekerja di sini. "Lagian, kamu masih muda, masih banyak pekerjaan lain."

Kata-kata itu semakin menguatkan imajinasi Kanaya tentang anaknya. Zahra yang tersenyum, riang, tertawa, menangis, semua ingatan itu seketika melintas di pikiran Kanaya.

Kanaya langsung meringkuk di kaki Bram. Dia tidak peduli lagi masalah harga diri. "Saya butuh pekerjaan ini demi menghidup anak saya, Tuan. Saya benar-benar mau melakukan apapun, asal saya tidak dipecat!”

"Ka-kamu sudah punya anak?" Bram tak dapat menahan rasa keterkejutannya. Kanaya masih sangat muda dan Bram pikir, Kanaya masih gadis.

"Saya janda, Tuan." Kanaya menangis sambil meringkuk, memegangi lutut Bram. Sementara Bram sendiri, semakin terbelalak tidak percaya, kemudian berujar sangat keras. "JANDA katamu?!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Cinta Pembantu Jandaku   Bab 8 Kedatangan Helena

    Bram merasakan tubuhnya jauh lebih baik setelah meminum obat penurun demam. Kepalanya yang semula sangat pusing pun perlahan mulai berkurang. Tubuhnya jauh lebih rileks sekarang. Bram tak menampik, jika olesan campuran bawang merah dan minyak telon cukup berdampak pada tubuhnya. Sepertinya, Kanaya cukup terampil untuk merawat orang yang sakit. Bram putuskan untuk turun setelah hidungnya mencium aroma masakan yang sangat enak. Aroma ini jelas berasal dari dapur. “Dia lagi.” Gumam Bram.Langkah Bram tertahan di undakan tangga terakhir. Ia layangkan tatapannya kepada Kanaya yang tengah berkutat di dapur. Meksi hanya berbalut dengan kaos oversize dan juga rok panjang, namun Bram harus akui jika Kanaya memiliki kecantikan yang alami. Tak ada bedak maupun lipstik menghiasi wajah wanita itu. Tapi, kecantikan khas wanita desa terpancar dengan sempurna dalam diri Kanaya. “Ehem...”Bram sengaja berdeham untuk menarik atensi Kanaya. Langkahnya terayun untuk mendekat ke arah dapur.“Tuan B

  • Jerat Cinta Pembantu Jandaku   Bab 7 Perhatian Kanaya

    Dengan bantuan Sarno, Kanaya membawa Bram masuk ke dalam kamar pria itu yang ada di lantai dua. Tubuh Bram yang sangat besar dan tinggi, tentu saja sempat membuat Kanaya dan Sarno kualahan. Namun, setelah bersusah payah, akhirnya Bram berhasil di bawa ke kamar. Sarno yang sudah berumur nampak ngos-ngosan setelah membopong Bram menaiki tangga.“Pak, disini ada persediaan obat tidak?” Tanya Kanaya.“Kalau itu, Bapak kurang tahu. “Kanaya lepaskan sepatu Bram dan juga kaos kakinya. Tubuh Bram panas dan tentunya butuh obat penurun demam.“Boleh minta tolong tidak, Pak?”“Minta tolong apa?”“Boleh minta tolong belikan obat penurun demam tidak? Saya tidak tahu dimana apoteknya.”Sarno mengangguk, “Saya belikan sebentar. Di dekat sini ada apotek.”“Terimakasih, Pak.” Sepeninggal Sarno, Kanaya menyiapkan kompres. Ia membawa baskom berisi air dan juga kain bersih. Dengan duduk di tepi kasur, Kanaya menempelkan kain itu di kening Bram.“Dingin sekali...” Kanaya tersentak ketika Bram mulai

  • Jerat Cinta Pembantu Jandaku   6 Mendapatkan Pujian

    Asap menegepul di dapur mengawali hari Kanaya sebagai pembantu di rumah ini. Kanaya sangat bersemangat setelah ia berhasil memperpanjang nafas untuk bekerja disini. Bram, akhirnya bisa mengerti kondisinya meski ia harus menurunkan harga diri demi bersimpuh memohon kepada sang majikan.Dengan sangat hati-hati, Kanaya gunakan peralatan dapur yang fancy itu. Jika sampai lecet sedikit saja, tentunya Kanaya akan merasa sangat bersalah. Bahkan, gajinya saja mungkin tidak akan cukup untuk mengganti peralatan dapur disini.Apalagi, setelah kejadian kemarin. Kanaya menjadi ekstra hati-hati dalam bekerja. Sudah kepalang tanggung, Kanaya tak mungkin mundur karena ia tak mau pulang dengan tangan kosong. “Nduk.”Kanaya tolehkan kepalanya. Nampak Lastri yang mendekat dengan sapu dan cikrak di tangannya. “Iya Bude?” “Nanti, sebelum jam tujuh makanannya harus sudah siap di meja makan.”“Iya Bude. Ini juga sudah mau selesai.”Lastri mengangguk dan tersenyum. Keahlian Kanaya dalam memasak memang t

  • Jerat Cinta Pembantu Jandaku   Bab 5 Awal Yang Buruk

    Kanaya tak dapat membendung air matanya. Hari ini, ia akan berpisah dengan Zahra. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Kanaya mengambil keputusan untuk ikut Lastri kerja ke Jakarta. Meski berat, tapi Kanaya lakukan semua ini demi sang putri. “Ayo, Nduk. Jangan sampai kita ketinggalan kereta.”Kanaya meraup oksigen sangat kuat lalu menciumi wajah Zahra yang tertidur pulas di gendongan Rini.“Titip Zahra ya, Mbak.”“Iya, Nay. Kamu kerja yang tenang disana, biar Zahra kami urus.”Kanaya menyeka air matanya dengan cepat lalu mengusap rambut Zahra. Dengan langkah berat, akhirnya Kanaya pergi meninggalkan putrinya.Sepanjang perjalanan, air mata Kanaya tak berhenti mengalir. Ia menatap kosong ke arah jendela kereta sembari memegang foto kecil putrinya.“Ibu berjanji akan membuatmu bahagia, Nak. Ibu tidak akan membuatmu merasakan penderitaan seperti yang ibu rasakan dulu.” Kanaya menguatkan hati. Tekadnya sudah bulat untuk mengubah ekonomi keluarganya.Hendra sudah tak lagi bertanggungjawab

  • Jerat Cinta Pembantu Jandaku   Bab 4 Keputusan Berat

    “Sus, tolong nenek saya.” “Kami akan melakukan pertolongan dengan cepat. Silahkan kalian urus pendaftarannya lebih dulu.”Setelah, urusan pendaftaran selesai, Kanaya menunggu bersama Rini dengan penuh kekhawatiran di ruang tunggu IGD. Zahra yang berada di gendongan Kanaya sudah tak berdaya dan terlelap. Penyakit jantung Asih kemungkinan besar kambuh karena mendengar kabar mengejutkan mengenai penyitaan rumah milik Kanaya. “Untung saja kalian cepat membawa nenek kalian kesini. Kalau terlambat sedikit saja, pasti nyawanya tidak akan tertolong. Nenek kalian memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya dan sudah sering keluar masuk rumah sakit.” Ucap Dokter sembari membaca rekam medis milik Asih.Dari kertas rekam medis, tertera jelas jika Asih sudah pernah berobat kesini dan beberapa kali harus rawat inap karena penyakit jantung yang sering kali kambuh. “Apa perlu rawat inap?” Tanya Kanaya. “Kami akan melakukan observasi lebih lanjut. Masalah jantungnya sepertinya bertambah parah d

  • Jerat Cinta Pembantu Jandaku   Bab 3 Fakta Mengejutkan

    Plak “Berani sekali kamu bicara seperti itu, Mas!” Ucap Kanaya seraya melayangkan tamparan keras ke pipi Hendra. Hendra memegangi pipinya. Tatapan Hendra sangat tajam bak sebuah pedang yang siap menusuk musuhnya.“Semua ini salah kamu, Naya. Jika kamu tidak memperkenalkanku kepada Susi, maka semua ini tidak akan terjadi.” Jawab Hendra mencoba membela diri.Kanaya tersenyum tak percaya, “Kamu bilang ini salahku? Apa kamu tidak punya malu? Kamu yang sudah bermain api dengan Susi dan bisa-bisanya kamu bilang semua ini salahku.”“Sudah cukup! Jangan bertengkar lagi.” Sambar Asih.Asih sudah tidak kuat lagi menyaksikan pertengkaran Kanaya dengan Hendra. “Apa kesalahan yang Naya perbuat padamu?" Dengan tangan keriputnya, Asih menunjuk wajah Hendra. "Selama ini, dia mengabdikan hidupnya padamu, Hendra. Dia bahkan rela bekerja demi membantu mencukupi kebutuhan rumah ini. Tapi, kamu seolah menutup mata dengan apa yang Naya lakukan selama ini. Kamu tidak memberikan nafkah yang pantas untuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status