Mag-log inKanaya tak dapat membendung air matanya. Hari ini, ia akan berpisah dengan Zahra. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Kanaya mengambil keputusan untuk ikut Lastri kerja ke Jakarta. Meski berat, tapi Kanaya lakukan semua ini demi sang putri.
“Ayo, Nduk. Jangan sampai kita ketinggalan kereta.” Kanaya meraup oksigen sangat kuat lalu menciumi wajah Zahra yang tertidur pulas di gendongan Rini. “Titip Zahra ya, Mbak.” “Iya, Nay. Kamu kerja yang tenang disana, biar Zahra kami urus.” Kanaya menyeka air matanya dengan cepat lalu mengusap rambut Zahra. Dengan langkah berat, akhirnya Kanaya pergi meninggalkan putrinya. Sepanjang perjalanan, air mata Kanaya tak berhenti mengalir. Ia menatap kosong ke arah jendela kereta sembari memegang foto kecil putrinya. “Ibu berjanji akan membuatmu bahagia, Nak. Ibu tidak akan membuatmu merasakan penderitaan seperti yang ibu rasakan dulu.” Kanaya menguatkan hati. Tekadnya sudah bulat untuk mengubah ekonomi keluarganya. Hendra sudah tak lagi bertanggungjawab dan kini ia yang akan mengambil tugas itu. Kebahagiaan Zahra ada ditangannya dan hanya dia yang bisa mewujudkannya. Perjalanan yang memakan waktu berjam-jam, akhirnya harus berakhir. Rasa pegal seolah terbayarkan ketika Kanaya menginjakkan kaki di rumah mewah berlantai tiga. Mulut Kanaya menganga karena ini kali pertamanya melihat rumah gedong sebesar ini. “Ayo, Nduk!” “I-iya, Bude.” Sambil menenteng tas bajunya, Kanaya mengekori langkah Lastri untuk masuk ke dalam rumah itu. Kanaya semakin takjud melihat design interior rumah ini. Sangat mewah dan semua barangnya terlihat mahal. Brak Namun, kekaguman Kanaya harus buyar ketika ia mendengar suara keras yang berasal dari bagian dalam rumah. “Ada apa, Bude?” tanya Kanaya. “Aku sudah muak karena kamu terus membicarakan masalah pernikahan, Bram.” Kanaya memaku di tempat ketika melihat seorang wanita cantik menuruni anak tangga. Wajahnya merah padam karena emosi. Sementara itu, di ujung bawah tangga, laki-laki tampan berjas sedang memegangi kepalanya. Dia nampak kacau. “Mau sampai kapan kamu terus menghindar seperti ini? Lima tahun, bukan waktu yang singkat, Helena. Aku sudah sabar menunggu. Kau mau apalagi? Karirmu sudah bagus, karirku juga sama. Uang? Aku punya banyak uang. Jabatan? Aku direktur perusahaan ku sendiri. Lantas apalagi yang kamu cari?” “Uang, uang, uang. Bram, nikah ga cuma butuh uang!” Helena terus membentak Bram dan pertengkaran itu semakin menuju puncak ketika gadis itu mengeluarkan kalimat terakhirnya, “Karirku lebih penting dari pernikahan kita!” Tubuh Kanaya bergetar ketika menyaksikan pertengkaran dua orang berlawanan jenis itu. Sosok pria berjas rapi itu memiliki wajah blasteran yang tentunya sangat tampan. Bagi Kanaya, ia tak pernah melihat pria setampan itu. Melihat pertengkaran hebat tadi, rasanya dia mengurungkan diri kagum pada majikannya. “Ayo ke dapur! Jangan disini!” Lastri langsung menarik tangan Kanaya untuk pergi dari sana. “Mereka suami istri, Bude?” “Bukan. Tuan Bram itu majikan Bude dan wanita cantik itu Helena, calon istri Tuan Bram.” “Kenapa mereka bertengkar seperti itu? Menakutkan sekali.” Kanaya menoleh, tapi budenya tiba-tiba berbalik badan karena sudah tidak kuat menahan perutnya. "Bude ke kamar mandi dulu. Bude pengen buang hajat." "Bu-" Prang Suara Kanaya tertahan saat mendengar suara benda pecah. Nampaknya, percekcokan Bramantyo dan Helena masih berlanjut. Kanaya penasaran, tapi dia tidak berani melihat ke luar. Dia hanya duduk melamun sembari menerka-nerka, apa yang terjadi. Tak lama, suara deru mobil berbunyi. Nampaknya Helena pergi meninggalkan Bram. Dia masih termangu dalam lamunan sampai terdengar langkah kaki berat dari samping. “Sialan!” Kanaya memaku di tempatnya ketika melihat Bram berjalan mendekat ke arahnya. Kanaya meremat roknya. Ia benar-benar sendiri di dapur karena Lastri sudah pergi meninggalkannya “Ambilkan aku minum!” Bram seperti ingin melampiaskan semua emosinya ke Kanaya. “I-iya, Tuan.” Dengan tangan gemetar, Kanaya mengambilkan air minum dari dispenser tanpa menyadari jika yang ia ambil adalah air panas. “Ini Tuan.” “Panas sekali! Apa kamu ingin membakar lidahku?” Bram membanting gelas itu, tepat di hadapan Kanaya. Jantung Kanaya berdetak cepat, bahkan telinganya sampai berdengung. Dia hanya bisa menahan tangis. Bagi orang desa seperti Kanaya, mengurus rumah adalah hal yang mudah, apalagi dia terbiasa kerja, mengurus rumah, dan mengasuh anak. Awalnya, dia mengira bekerja sebagai ART tidak sesulit yang dibayangkan. Namun, ketika dia melihat tingkah Bram yang semena-mena, mentalnya perlahan menciut. “Maaf, Tuan. Sa-saya tidak sengaja.” Jawabnya dengan suara gemetar. Bram menatap sengit ke arah Kanaya lalu berjalan mendekati wanita itu, “Siapa kamu?” “Saya keponakannya Bude Lastri." “Dasar ceroboh.” Hardik Bram. Kanaya tak lagi berani mengangkat wajahnya, “Maafkan saya, Tuan.” “Cepat buatkan aku makanan!” Bram menatap wajah Kanaya. Dia tidak menggubris hati Kanaya. Meski terus menangis, sikap Bram tidak berubah. “I-iya, Tuan?” Bram menarik napas panjang. Ia adalah orang paling benci jika harus mengulang ucapan, “Buatkan aku makanan, sekarang! Jangan sampai ini jadi hari pertama dan terakhirmu bekerja di sini!" “Iya, Tuan.” “Waktumu sepuluh menit. Jika kamu terlambat, lebih baik kamu kembali ke desa!” Air mata Kanaya sudah bergelantung. Kenapa hatinya sakit sekali dibentak seperti ini. Jujur saja, Bram lebih menakutkan dari suaminya di desa. Semua bentakan itu rasanya mencekam, beda ketika dia dibentak suaminya, dia masih bisa melawan. Dari meja makan, Bram memperhatikan Kanaya yang berada di dapur. Wanita itu nampak menahan tangis sembari membuatkan makanan untuknya. Rasa bersalah muncul dalam benak Bram, tapi dia bersikap seolah tidak peduli. Tatapan matanya yang sayu, terus memperhatikan Kanaya memasak dari awal sampai akhir. Dia hanya salah melampiaskan emosi pada perempuan lugu yang baru hari ini datang untuk bekerja. Kanaya pun sama, dia mencari bahan seadanya dan memasak apapun yang bisa dia lakukan selama sepuluh menit. Tekanan dari Bram terus menghantui, apalagi ketika dia berbalik badan untuk mengambil telur, dia melihat Bram terus memperhatikannya. Dengan sedikit takut, Kanaya bawa hasil masakannya yang sangat sederhana. Hanya telur dadar, tempe, terong goreng, dan juga sambal. Ia berharap makanan ini bisa diterima. “Ini, Tuan.” Tangan Kanaya gemetar ketika meletakkan piring di hadapan Bram. “Maaf, saya hanya bisa membuatkan ini.” “Hanya ini?" Bram menatap Kanaya sinis. “Dari semua bahan mewah yang ada di kulkas, kamu hanya bisa membuatkan ku masakan murahan seperti ini?” Kanaya menggigit bibirnya, “Ma-maaf, Tuan, hanya itu yang a– ” “Ini enak.” Bram mencicip sambal Kanaya dan memakan semuanya sampai habis. Padahal, Bram bukanlah orang yang tahan pedas. Namun, racikan sambal Kanaya seperti memberi isyarat kalau dia sedang sakit hati di hari pertamanya bekerja. “Meski enak, tapi aku penasaran. Kenapa hanya memasak ini?” Bram meminta Kanaya duduk. Nada bicaranya sudah tenang setelah menghabiskan masakan Kanaya. "Saya tidak tahu bagaimana mengolah bahan mahal yang ada di kulkas. Saya takut, masakanku tidak sesuai. Ma-maafkan saya, Tuan.” Kanaya terus menunduk, tidak berani menatap wajah Bram. Sembari memberanikan diri, dia meneruskan, “Bagi orang desa seperti kami, ini sudah termasuk makanan mewah. Meski sederhana, makanan ini bergizi dan rasanya…" Bram menyulam senyum tipis mendengar penjelasan Kanaya. Meski wanita ini sangat ceroboh, tapi Bram suka cara berpikirnya. "Sambal buatanmu enak.” Pujian dari Bram membuat Kanaya terdiam. Padahal, Kanaya sudah menyiapkan mentalnya jika Bram memarahinya lagi. Tapi, diluar dugaan sekali karena Bram memuji masakannya. “Terimakasih, Tuan.” “Jangan senang dulu. Semua orang bisa membuat sambal seperti ini. Bukankah, ini hanya masakan sederhana?” Senyum yang ingin mengembang seketika luntur kembali. Kanaya seperti diberi harapan palsu oleh Bram. Pria berusia 30 tahun ini, nampaknya tengah mempermainkannya. “Sekarang, ambilkan minum!” “Minum?” “Di kulkas. Ambil botol warna hitam dan bawa kesini.” “Iya Tuan.” Kanaya bergegas kembali ke dapur untuk mengambil botol. Namun, ketika Kanaya membuka kulkas ada tiga botol berwarna hitam yang sama dan hanya beda corak saja. “Yang mana ini?” Kanaya dilanda kebingungan. Tangannya menggantung di udara sebab ia tak tahu harus mengambil botol yang mana. “Semoga aku tidak salah ambil.” “Kenapa lama sekali?” Teriakan Bram membuyarkan lamunan Kanaya. Segera, perempuan itu membawa botol hitam yang ada di sisi kiri pintu kulkas ke ruang makan. “Ini, Tuan.” Tanpa melihat , Bram langsung meneguk air dalam botol itu karena rasa pedas sambalnya masih terasa pekat di mulut. Namun, baru satu teguk, dia langsung menyemburkan lagi minuman itu, tepat di kaki Kanaya. “Apa yang kamu berikan padaku?” Bram membanting botol itu ke meja. “Pahit, Bodoh! Kamu tahu ini apa? Kamu mau meracuniku, hah?!” “A-ada tiga botol hitam dan saya bingung mau ambil yang mana.” Kanaya kembali bergetar ketakutan. Suaranya parau dan dia ingin roboh. Bram kemudian melihat botol itu. Ini adalah botol mamanya. Jelas, didalamnya ini adalah ramuan jamu yang sangat pahit. “Ini kesalahan keduamu.” Bram menggeleng tidak percaya, masih ada perempuan desa seperti Kanaya. Meski dibentak dua kali, dia tetap menurut, tidak melawan. Yang lebih mengherankan lagi, air mata Kanaya sudah hilang. Kanaya coba tegar dengan semua tekanan Tuan Bram. Dia terus teringat wajah Zahra. Semakin Bram membentak, ingatan Kanaya seputar Zahra semakin kuat. Ini baru hari pertama dan dua amarah Bram juga karena kecerobohannya. “Maafkan saya, Tuan. Saya bingung yang mana botol milik Tuan.” “Otakmu di mana? Kamu mikir nggak, sih?” Bram memajukan telunjuknya ke dahi Kanaya, kemudian menyentuhnya pelan. Deg Ucapan Bram sangat melukai hati Kanaya. “Aku akan bicara kepada Mbok Lastri mengenai dirimu. Belum juga satu jam kamu sudah membuatku celaka dua kali.” Pungkas Bram. "Tolong, jangan pecat saya, Tuan." Kanaya menahan tangan Bram yang hendak pergi. “Saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya mohon. Saya mau melakukan apapun yang Tuan mau!” "Aku tidak suka dengan pegawai ceroboh seperti dirimu." Bram sebenarnya peduli dengan Kanaya, tapi dia hanya ingin tahu motif Kanaya bekerja di sini. "Lagian, kamu masih muda, masih banyak pekerjaan lain." Kata-kata itu semakin menguatkan imajinasi Kanaya tentang anaknya. Zahra yang tersenyum, riang, tertawa, menangis, semua ingatan itu seketika melintas di pikiran Kanaya. Kanaya langsung meringkuk di kaki Bram. Dia tidak peduli lagi masalah harga diri. "Saya butuh pekerjaan ini demi menghidup anak saya, Tuan. Saya benar-benar mau melakukan apapun, asal saya tidak dipecat!” "Ka-kamu sudah punya anak?" Bram tak dapat menahan rasa keterkejutannya. Kanaya masih sangat muda dan Bram pikir, Kanaya masih gadis. "Saya janda, Tuan." Kanaya menangis sambil meringkuk, memegangi lutut Bram. Sementara Bram sendiri, semakin terbelalak tidak percaya, kemudian berujar sangat keras. "JANDA katamu?!"Kanaya menangis tergugu setelah mendengar kebenaran menyakitkan itu dari mulut Aron. Kanaya tak menyangka jika nama yang disebut oleh Aron begitu tega kepadanya. Orang itu ternyata bertekad bulat untuk memisahkan Kanaya dengan Bram. Padahal, Kanaya sama sekali tak pernah berbuat jahat kepadanya. Tapi, kenapa ujian cintanya bersama Bram sangat terjal. Kanaya pikir, setelah ia menikah dengan Bram semua masalah akan berangsur membaik. Tapi, ternyata banyak pihak yang ingin menghancurkan pernikahannya. Bahkan, sampai rela memalsukan kematian Kanaya dan juga Zahra hanya demi keuntungannya semata. "Aku tidak boleh lemah. Aku harus mencari cara untuk keluar dari sini. Jika aku terkurung disini, maka penjahat itu akan menguasai mas Bram. " Kanaya menyeka air matanya dengan cepat. Dengan tekad kuat, Kanaya keluar dari kamar milik Aron. Aron sedang dalam pengaruh alkohol dan itu membuat Aron tak sadarkan diri sekarang. "Aku akan mencari jalan keluarnya." Dengan mengendap-
"Ini sudah satu bulan sejak Kanaya meninggal. Kamu harus memulai hidupmu lagi dengan semangat. Kamu tidak boleh terus menerus terkurung dalam kesedihan ini, Bram." ucap Linda mencoba membuka obrolan di meja makan. Semua orang yang ada disana langsung mengarahkan tatapannya kepada Bram yang nampak santai menghabiskan makan malamnya. "Mama kamu benar. Kamu harus terima kenyataan jika istrimu telah tiada. Jika mendiang istrimu melihatmu bersedih seperti ini, nenek yakin dia tidak akan tenang disana." Bram masih tak menanggapi. Ia tetap mempertahankan diamnya. Sedangkan, Linda menatap suami dan juga mertuanya. Mereka sudah membicarakan masalah masa depan Bram. Dan itulah kenapa mereka mulai memancing pembahasan ini. "Kamu harus membuka hatimu untuk wanita lain. Kamu masih muda dan kamu harus membangun keluarga kembali." Brak Semua orang terkejut mendengar suara gebrakan yang keras dari Bram. Sampai-sampai alat makan di meja bergetar semua karena ulah Bram. Setya yang d
Satu bulan berlalu... Kanaya masih tak menemukan cara untuk keluar dari tempat ini. Penjagaan yang ketat membuat Kanaya tak bisa bergerak dengan bebas. Apalagi, mansion ini di penuhi dengan CCTV yang tersebar dimana-mana. Jika Kanaya gegabah, yang ada ia akan habis di tangan Aron. Terlebih lagi, sedikit banyak Kanaya sudah tahu bagaimana karakter Aron. Karakter pria itu cepat sekali berubah. Terkadang, pria itu baik tapi dalam hitungan detik bisa menjadi sangat kejam jika ada yang memantik amarahnya. Kanaya harus memperhitungkan semuanya, apalagi ada Zahra disisinya. *** "Zahra disini saja ya. Duduk yang tenang, ibu mau masak dulu." Zahra hanya mengangguk dan begitu senang duduk menunggu di dekat Kanaya. Zahra bermain dengan mainannya yang membuatnya tidak rewel. "Zahra mau pisang?" "Mau." Kanaya menyulam senyumnya lalu memberikan buah pisang yang sudah di potongnya dan ia letakkan di piring. "Jangan rewel ya." "Iya." Kanaya begitu bersemangat memasak
Kanaya menunggu dengan cemas ketika melihat dokter yang tengah memeriksa putrinya. Tidak di rumah sakit, melainkan Aron memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa kondisi Kanaya. Kanaya berdiri dengan cemas disamping Aron. Kanaya bersyukur karena Aron masih mau membantunya. Meskipun, tidak ke rumah sakit tapi setidaknya putrinya sudah ditangani oleh dokter. "Saya akan berikan obat penurun demam. Setelah ini, bisa langsung di minumkan. Tapi, jika dalam tiga hari demamnya tidak kunjung hilang, maka saya sarankan untuk dibawa ke rumah sakit." "Baiklah." jawab Aron. "Apa putrimu mau makan?" Kanaya gelengkan kepalanya dengan lemah, "Sulit untuk makan, dokter. Bahkan seharian ini, hanya makan nasi dua sendok saja. Sisanya dia hanya mau minum ASI saya." Dokter laki-laki itu mengangguk, "Baiklah. Saya resep kan vitamin juga." "Terimakasih banyak, dokter." Kanaya kemudian duduk di pinggiran kasur seraya mengelus kepala Zahra yang tengah tertidur lelap. "Terimakasih."
"Abang yakin mau bertemu dengan Aron?" tanya Setya memastikan lagi. Bahkan, dulu Bram selalu menolak ajakan kerjasama dari Aron karena hubungan keduanya yang tidak baik. Bram dan Aron adalah rival bisnis. Reputasi Aron di dunia bisnis begitu buruk hingga banyak perusahaan yang enggan untuk bekerjasama dengan Aron. Namun, meskipun begitu perusahaan Aron masih bisa berkembang pesat bahkan menjamah pasar luar. Sedangkan, sejak dulu Aron selalu ingin mengganggu usaha milik Bram karena Aron begitu ingin melihat Bram hancur. Tapi, sejauh ini Bram masih bisa bertahan dengan segala cara. Rivalitas keduanya benar-benar sudah di kenal oleh banyak orang. "Aku hanya ingin melihat apa yang dia inginkan sebenarnya." jawab Bram dengan santainya. "Jika papa tahu, dia akan marah besar." "Dengar Setya. Aku sudah menolak untuk memegang perusahaan ini kembali karena aku sudah memiliki perusahaan ku sendiri. Tapi, papa, mama dan juga nenek terus mendesak ku untuk kembali mengambil al
"Mama senang karena kamu mau kembali ke rumah ini, Bram." Linda langsung memeluk sang putra yang begitu ia rindukan kedatangannya. Kondisi Linda yang semakin membaik membuat Linda sudah boleh pulang dari rumah sakit. Begitupun dengan Bram. Kini, semua keluarga berkumpul jadi satu di kediaman utama. Semua orang nampak senang karena pada akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. "Semoga keluarga kita akan selamanya seperti ini. Mama tidak akan biarkan kamu pergi lagi dari hidup mama." Bram hanya diam saja. Meski raganya ada disini, namun pikirannya menerawang jauh memikirkan Kanaya. "Aku mau istirahat." Bram seketika beranjak dari duduknya. "Bram!" sentak Edward seraya menahan tangan Bram, "Apakah seperti ini sikapmu sama mama? Mama kamu baru saja sembuh dan harusnya kamu bisa memperlakukannya dengan baik." "Aku juga baru sembuh, Pa. Harusnya aku dan mama masih butuh istirahat cukup. Jadi, daripada berkumpul disini lebih baik aku istirahat di kamar." "Bram!"







