Share

BAB 6 - Insiden Di Rumah Bima

"Ya ampun, Tante turut prihatin dengan kejadian yang menimpa kalian."

Dara, yang sekarang terduduk di sofa ruang tamu kediaman Keluarga Handoko, hanya tersenyum canggung di tempatnya.

Ya, sekarang Dara sudah berada di rumah Bima dan tengah berbincang dengan ibu pria tersebut, Winda. Wanita tersebut baru saja mendengar mengenai musibah yang menimpa Dara, dan keluarganya.

Di dalam hati, Dara merasa sangat malu. Awalnya, ketika Bima mengungkit perihal janji masa kecil mereka, Dara mengacu pada janji 'pernikahan'. Ternyata, janji yang sekarang tengah diwujudkan oleh Bima adalah pertemuan mereka kembali, termasuk pertemuannya dengan keluarga Handoko.

Tante Winda kemudian mengambil kedua tangan Dara dan digenggamnya dengan hangat. "Andai saja Bima menemuimu lebih cepat ...."

Dara tersenyum menyambut ketulusan yang diberikan Tante Winda padanya. "Nggak apa-apa, Tan. Saat ini pun, Dara berterima kasih sekali pada Bima."

Senyum kemudian terukir dari bibir mamanya Bima. "Jangan sungkan minta tolong sama Bima ya, Dara. Bima pasti akan dengan senang hati menolongmu."

Dara menganggukkan kepala. Bayang-bayang bagaimana Bima selalu hadir menolong gadis itu di saat-saat terpuruknya kembali terngiang. Sungguh, jika bukan karena Bima yang menolongnya, Dara mungkin sudah jadi gembel yang luntang-lantung tidak jelas.

Sendirian di ruang keluarga yang lumayan besar setelah Tante Winda pamit untuk membuatkannya minum, Dara melihat sekeliling. Sedikit banyak, dia pun penasaran pada kehidupan keluarga Bima yang memang sudah jauh berbeda dengan kehidupan dulu di kampung halaman. Sebersit pikiran liar kemudian muncul di benak Dara.

'Andai aja aku dan Bima tidak pernah berpisah. Mungkin ....'

“PYU!! DOR! DOR!”

Seorang anak lelaki berusia sekitar lima tahun tiba-tiba muncul membuyarkan lamunan Dara. Anak itu menggumam, menirukan suara tembakan dari pistol air mainannya dan mengarahkan tembakan itu ke arah Dara.

“Aw. Berhenti,” ucap Dara sembari menghindari setiap tembakan yang diarahkan kepadanya.

Bocah itu tertawa puas melihat reaksi Dara. Namun, seolah tidak takut, bocah laki-laki itu malah mengajak Dara untuk bermain dengannya. “Rasakan tembakan ini!"

Dara terpaksa berlari-lari kecil untuk menghindar saat anak kecil itu menembakkan pistol air. Anak lelaki itu tak kalah semangat mengincar Dara. Saking semangatnya, bocah itu tidak mengontrol arah tembakannya dan mengenai Tante Winda.

“Ya ampun, Brian! Mainnya jangan di sini." Tante Winda berteriak, karena air yang ditembakkan Brian pun mengenai wajahnya. "Kasihan loh, itu tantenya jadi basah." Tante Winda kembali mengingatkan bocah itu dengan sabar.

Kedatangan Tante Winda sontak membuat serangan Brian dan lari Dara terhenti.

“Tapi aku bosan bermain sendiri,” balas bocah itu sambil menunjukkan wajah melasnya.

Di antara bocah dan wanita paruh baya itu yang tengah berdebat, Dara diam-diam mengamati anak tersebut. Tante Winda tak henti membujuk bocah yang dipanggil Brian itu untuk meminta maaf pada Dara, hingga akhirnya meski dengan wajah cemberut, bocah itu mengulurkan tangannya kepada Dara.

"Maafin Brian ya, Tante ...."

Dara menyambut uluran tangan itu dengan senyum tipisnya.

'Benar-benar mirip Bima waktu kecil,' batin Dara usai mereka melepaskan uluran tangan tanda berbaikan.

Namun, saat anak lelaki itu berpamitan untuk main di luar sesusai instruksi Tante Winda, Dara kembali dihadiahi sebuah tembakan air sambil bocah itu melambaikan tangannya.

"Brian!" Tante Winda kembali memperingati Brian yang sudah lari dengan lincah. "Anak itu, benar-benar. Maaf ya, Dara, bajumu jadi basah." Gantian, tatapan Tante Winda mengarah padanya. Tidak ingin Dara sakit karena memakai baju basahnya, Tante Winda kemudian memanggil seorang pelayan untuk membawakannya handuk, dan meminta Dara mengeringkan badannya di sebuah kamar. Dara pun menurut saja dengan perintah Tante Winda.

Dara tersenyum dengan sedikit canggung setelah menerima handuk. Sebenarnya Dara sedikit merasa kesal, tetapi di sisi lain dia pun memaklumi karena Brian masih anak kecil. Kemudian, Dara melangkahkan kakinya menuju kamar yang tadi ditunjuk mamanya Bima. 'Aduh, yang mana, ya?'

Di hadapannya saat ini, ada dua pintu yang sama. Ragu-ragu, akhirnya Dara memilih pintu di sebelah kanannya.

"Ini kan, ya?" Dara membuka kamar dan melongokkan kepalanya ke dalam. Di dalam kamar ini tidak ada orang, lantas Dara menyimpulkan sendiri jika kamar ini adalah kamar yang benar. Dara memasuki kamar tersebut dan menutup pintunya rapat-rapat.

Dara melepas kemejanya yang basah, dan kini hanya menyisakan sebuah bra hitam juga rok selututnya yang selamat dari basah. Dibantu hairdryer, Dara mengeringkan rambutnya sembali pikirannya berkelana. Dia mengingat-ingat kembali sosok anak kecil yang jadi pelaku yang membuat bajunya basah, dengan anak yang digendong Bima di pigura yang dia lihat di ruangan Bima.

"Sepertinya ... itu anak yang sama dengan anak yang ada di foto tadi."

Suara bising dari hairdryer, juga pikiran Dara yang sedang larut pada identitas anak kecil yang hadir di tengah keluarga Handoko, membuat Dara jadi tidak peka terhadap suara lainnya. Saat itulah, pintu kamar yang ditempati Data terbuka tiba-tiba.

Ceklek!

Waktu seolah terhenti. Dara bahkan tidak sempat menutupi bagian atasnya yang hanya ditutupi bra. Di hadapan Dara, Bima juga menghentikan langkah. Dara jelas tahu ke mana tatapan pria itu terhadapnya.

Sesaat setelah keduanya tersadar akan situasi saat itu, baik Dara berteriak histeris.

"Arghh!!"

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
ya kak .........
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
hai kk Dev kesini juga yah
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
kemana mama nya brian ya kok bisa papa nya brian bisa jadi duda
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status