Share

Jerat Cinta Sang Selir
Jerat Cinta Sang Selir
Penulis: IyoniAe

Pemburu yang Diburu

Gadis itu meringkuk di dalam gua. Ia menggigil tak sadarkan diri. Gaunnya yang panjang koyak di mana-mana. Selain itu juga basah. Lumpur dan darah menghiasi sosoknya. Rambutnya kusut. Di tangannya tampak belati yang tergenggam longgar.

Lelaki yang bersamanya mulai mencopot satu per satu kain yang membungkus sang gadis hingga habis. Cahaya perapian yang berderak-derak membuat bayangannya tampak menari-nari di dinding gua. Badai salju turun di luar sana. Anginnya yang dingin menusuk tulang, membuat siapa saja bisa mati kedinginan.

Lelaki itu memandang profil sang gadis yang tanpa pakaian. Tangannya yang panjang mengelus pipi sang gadis dengan lembut. Ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya dari hawa dingin yang menawarkan kematian.

 Ia membuka jubah yang dikenakannya, kemudian pakaiannya. Gadis yang pingsan itu dibawanya ke dekat perapian. Ia membaringkan sang gadis ke atas daun kering yang berhasil dikumpulkannya tadi, sebelum badai datang. Ia lalu berbaring di samping sang gadis, memeluknya dari belakang. Jubah yang ditanggalkannya tadi ia gunakan untuk menutupi tubuh telanjang mereka.

Suhu badan sang gadis begitu rendah. Sesaat, lelaki itu bergidik ketika mengentuhnya. Meski begitu, ia harus tahan.

“Apa kau masih hidup?” bisiknya bertanya. Ia menepuk pipi sang gadis, kemudian mengelusnya. “Hei, kau dengar aku?”

Perlahan, sang gadis membuka mata. Ia mengerjap. Sesaat, ia tak tahu apa yang terjadi. Terakhir yang diingatnya adalah dia sedang melawan pemburu kegelapan, makhluk keji pemburu manusia sebelum dirinya jatuh ke danau. Ia berusaha menggerakkan tangannya, tetapi gagal. Tenaganya habis. “Apa yang kau lakukan?”

“Menolongmu,” bisik sang lelaki lagi. Ia megangkat kepala sang gadis, menyusupkan lengannya ke bawah untuk menjadi bantal.

Punggung gadis itu merasa hangat karena menyentuh kulit sang pria. Keningnya berkerut saat menyadari sesuatu. “Kau telanjang?”

“Kau juga,” balas si lelaki mengeratkan pelukannya. Napasnya yang hangat menggelitik tengkuk sang gadis hingga bulu kuduknya meremang.

“Kau gila,” ucap gadis itu lemah. Dia ingin menendangnya, mengusirnya jauh-jauh. Akan tetapi dia terlalu lelah. Kesadarannya mulai hilang. Namun, ia berusaha membuka mata. 

“Kau bisa mati kedinginan.”

 “Jangan,” kata sang gadis menelan ludah dengan susah payah. Napasnya sesak. Tubuhnya mulai mati rasa. Bibirnya amat pucat.

Sang lelaki membalik tubuh gadis itu hingga berhadap-hadapan. Ia lalu memeluknya erat. Perut mereka saling menempel, begitu pun dengan dada mereka.

“Tidak,” bisik sang gadis berusaha sekuat tenaga untuk tetap sadar.

“Percayalah padaku.” Lelaki itu berusaha sekuat tenaga untuk menekan pikirannya. Ia bertekad tak akan membiarkan gadis itu mati. "Kau harus hidup. Kau harus membalas orang yang telah membuatmu menderita." Ia lantas memeluknya erat-erat.

***

Satu bulan sebelumnya.

Fjola Adalward menarik busurnya kuat-kuat. Matanya memicing. Angin yang bertiup membuat helai rambutnya yang lepas dari ikatan melambai-lambai. Lututnya tertekuk di balik batu padas besar. Ia menghirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

Kemerisik daun mengusik seekor kijang yang tengah melepas dahaga di pinggir sungai, di sisi lain tempat Fjola berada. Telinga sang kijang tampak bergerak-gerak tatkala gadis itu membidik. Melihat hal itu membuat Fjola waspada. Ia ikut menajamkan pendengarannya.

Kemudian, dari belakang terdengar suara ranting yang patah karena terinjak. Perhatiannya pada sang kijang kini teralihkan. Pelan-pelan Fjola berbalik. Panahnya masih siaga di tangan. 

Mata Fjola yang berwarna kelabu kelam menyapu pepohonan, memeriksa dengan saksama. Suasana hutan itu begitu hening. Burung-burung pun ikut diam. Hanya ada bunyi air yang memercik dari sungai.

Tak adanya suara burung membuat Fjola bergidik. Jantungnya berdetak lebih kencang. Bulu kuduknya meremang.

Tak jauh dari tempatnya bersembunyi Fjola melihat sepasang mata yang menyala dalam bayang-bayang pepohonan, mengintip dari semak.

“Sial!” Gadis itu mengumpat saat menyadari siapa sang pemilik mata.

Bergegas, ia bangkit lalu melarikan diri. Tubuhnya yang langsing bergerak dengan gesit saat melompat dari satu batu ke batu yang lain. Dia menyeberangi sungai, berlari melewati celah di antara pepohonan hutan.

Kijang yang diburunya tadi juga ikut berlari, bahkan lebih cepat darinya.

“Sial!”

Suara auman terdengar menggelegar, memecah keheningan hutan. Burung-burung yang bertengger di dahan beterbangan. Hewan-hewan pengerat bersembunyi, masuk ke liang.

Fjola mempercepat langkah. Meski tak sempat melihat gadis itu tahu bahwa si pemilik auman sedang mengejarnya. Napasnya seolah meledak ketika derap kaki sang pemburu terdengar tepat di belakangnya. Fjola harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini segera. Kalau tidak, dia bisa mati.

Sementara kakinya berlari, tangannya sibuk memasang anak panah pada busur yang dibawanya. Mendadak ia berhenti. Ia lalu memutar tubuhnya ke belakang, membidikkan panahnya secara akurat.

Namun, tangannya gemetar ketika melihat betapa besar tubuh harimau yang mengejarnya. Tak hanya itu, jarak sang harimau juga sudah sangat dekat.

Tanpa aba-aba binatang itu melompat menerkam.

Spontan, Fjola melepas anak panahnya. Dalam hati dia berdoa supaya sasarannya tepat.

Tanpa memeriksa ke mana mata panahnya menancap, Fjola menjatuhkan tubuhnya ke tanah kemudian berguling. Ia menghindari terkaman harimau itu. Ia terus berguling hingga merasa cukup jauh, kemudian bangkit. Sembari berlutut tangan gadis itu mengapai-gapai sarung anak panah di punggungnya. Akan tetapi, sarung itu ternyata tidak ada. Ia lupa telah meninggalkannya di tepi sungai tadi.

Fjola lantas menarik belati dari sabuk di pinggangnya. Dia mengacungkannya ke depan dengan siaga. Dia terkejut ketika melihat harimau yang menyerangnya tadi berjalan dengan sempoyongan. Tampak anak panah mencuat dari tenggorokannya. Meski begitu, binatang itu masih hidup. Bahaya masih mengancam.

Sang harimau meraung. Matanya yang tajam terfokus pada dang buruan. Lidahnya yang panjang menjilat taring-taring mengerikan miliknya. Sekali lagi, binatang itu menerjang Fjola.

Fjola bergerak gesit. Dia menolakkan kakinya pada batang pohon yang berdiri di belakangnya sehingga membuat tubuhnya terangkat dari tanah. Ia lantas memutar tubuh, mengayunkan kakinya ke udara, lalu mendarat tepat di atas sang harimau. Dengan kuat dan cepat dia menghujamkan belati itu ke kepala harimau.

Raungan terdengar keras dan panjang, kemudian sunyi senyap. Gadis itu berhasil membunuh musuhnya. Fjola amat lega, namun juga lelah. Tenaganya habis. Ia terkapar ke tanah, dekat jasad binatang buas itu berada.

Gadis itu bersyukur dirinya masih hidup. Ia juga bersyukur karena kali ini ia mendapat hasil buruan. Menurutnya, satu ekor harimau cukup untuk persediaan daging selama satu bulan jika dia bisa mengirit. Tak hanya itu, kulit binatang itu pasti bakal laku dijual di pasar gelap.

Dia tak mungkin menjual kulit itu ke pasar legal. Pasalnya, hanya orang-orang tertentu yang diizinkan berburu. Apalagi, hutan tempat Fjola berburu merupakan hutan terlarang. Hanya para bangsawan yang diperbolehkan berburu di sana.

Fjola bukan bangsawan. Dia hanya orang biasa.

Ayahnya, Jon Adalward, dulu adalah seorang prajurit perbatasan. Pada saat bertugas, ia diserang oleh pemburu dari luar tembok. Hal itu menyebabkan kaki kanan Jon buntung. Jon terpaksa pensiun.

Meski mantan prajurit, Jon tidak diberi apa-apa saat pensiun. Uang pun tidak. Dia hanya diberi senjata dan baju zirah yang dulu digunakannya sebagai seragam. Tetapi sekarang baju-baju dan pedang itu sudah habis dijual, kecuali busur dan belati yang digunakan Fjola saat ini.

Setelah Jon pensiun, ibunya yang bekerja keras mencari uang untuk mereka. Tetapi tak lama kemudian ibunya meninggal karena kelelahan.

Fjola memiliki seorang adik laki-laki. Saat ini usianya sudah mencapai 11 tahun. Satu tahun lagi dia akan melamar menjadi prajurit. Namun sebelum itu, dia harus sehat. Dan yang paling penting, dia harus hidup. Maka dari itulah, Fjola nekat masuk ke hutan untuk mendapat sedikit makanan demi adik dan ayahnya.

Awalnya, dia nekat ke sana hanya untuk mencari jamur. Namun, semakin lama jamur saja tidak cukup. Ia mulai berburu. Meski begitu, dia harus berhati-hati supaya tidak ketahuan. Karena kalau sampai penjaga hutan tahu, dewan akan menghukumnya dengan berat.

Pernah satu kali Fjola melihat seorang lelaki diadili di tengah alun-alun kota karena berani mengambil sesuatu dari hutan terlarang.

“Hutan itu merupakan sumber kehidupan kita. Semua hasil dari hutan itu merupakan upeti untuk Negeri Veggur, Negeri Penguasa Tembok. Kalau ada yang berani mengambil sesuatu dari sana, itu tak ada bedanya dengan pencuri. Mereka musuh kita semua. Jika sampai upeti kita berkurang kita akan diserang oleh bangsa besar. Apa kalian mengerti?” jelas salah satu penegak hukum saat itu. “Maka dengan ini, sebagai contoh dan pembelajaran untuk kalian semua, tangan sang pencuri akan dipotong.”

Fjola memalingkan pandangan ketika algojo mengayunkan kapak ke tangan lelaki yang dicap sebagai pencuri itu.

Dulu, waktu ibunya masih hidup, tak pernah sedikit pun terlintas dalam benak Fjola bahwa dia akan menginjak hutan terlarang. Meski kekurangan, ibunya mampu mendapat uang dari bekerja sebagai tuang cuci di rumah para bangsawan. Sesekali, ibunya juga bekerja di bar.

Setelah ibunya meninggal, Fjola tak punya pilihan lain. Tak ada yang mau mempekerjakan ayahnya yang hanya memiliki satu kaki. Umurnya yang masih terbilang muda menghalangi Fjola dalam mendapat pekerjaan, meski hanya sebagai pelayan.

Di tengah kelaparan, ia nekat melewati kawat berduri pembatas hutan terlarang. Sejak saat itu dirinya belajar bersembunyi, menghidari para penjaga hutan. Semakin lama,banyak dia semakin lihai.

Beberapa kali, dia bertemu dengan pemburu ilegal lain. Namun, mereka tak pernah untuk sekadar bertegur sapa. Mereka cukup tahu diri untuk saling menjaga rahasia.

Di tengah istirahatnya Fjola mendadak terjaga. Samar-samar ia mendengar suara langkah kuda mendekat.

Apakah ada bangsawan yang sedang berburu? tanyanya menduga-duga.

Gadis itu segera menyeret harimau hasil buruannya menjauh dari jalan. Tubuh harimau yang berat membuat Fjola kesulitan. Tak habis akal Fjola segera mendorong tubuh harimau yang mati itu ke dalam semak yang rindang. Ia kemudian kembali ke tepi jalan hutan, naik ke pohon untuk bersembunyi.

Tak lama kemudian dua prajurit tampak datang dengan menaiki kuda. Dilihat dari pakaiannya mereka bukan prajurit dari Negeri Haust, tempat di mana Fjola berada. Baju zirahnya berwarna hitam, dengan lambang bergambar sebuah pohon dengan empat ranting bercabang berwarna perak. Di ujung ranting-ranting itu terdapat bintang berwarna emas. Ada lingkaran tembaga yang mengelilingi pohon.

Fjola pernah melihat lambang itu sebelumnya. Ayahnya juga memiliki lambang yang sama pada baju zirah yang sudah dijualnya satu tahun yang lalu. Kedua prajurit itu ternyata dari Negeri Veggur.

“Seharusnya kitalah yang datang ke Vor. Kabarnya, di sana banyak wanita cantik,” kata salah satu prajurit berkuda itu. Tameng dari logam terkait pada punggung mereka. Tampak sarung pedang terikat pada sabuk mereka. Ketika kuda berjalan, suara logam-logam dari baju zirah mereka beradu nyaring. Hal itu membuat beberapa hewan kecil pergi menjauh.

“Yah, kau betul. Kebanyakan selir dipilih dari sana. Tetapi, meski kita ke sana pun, kau tak bisa menyentuh para wanita itu seenaknya,” sahut prajurit satunya. Mereka berada tepat di bawah pohon tempat Fjola bersembunyi. Mereka memacu kudanya secara lamban. Sepertinya, mereka sedang tidak terburu-buru.

“Kenapa?”

“Kau boleh mengawini mereka asalkan mereka mau. Asal kau tahu, mereka itu berkelas. Mereka sombong. Berani taruhan, melihatmu saja mereka tak mau.”

Prajurit pertama tadi mendecih. “Kita lihat saja nanti. Aku penasaran, secantik apa gadis yang akan dikirimkan dari negeri ini. Pelacur-pelacur di sini kebanyakan sudah tua. Rupanya, mereka mengeram yang muda dengan sempurna.”

“Jaga ucapanmu!” hardik prajurit satunya. Rambutnya yang pirang tampak menonjol. “Kalau sampai Pangeran dengar, kau akan habis.”

Prajurit tadi mendengkus. “Rupanya, pangeran kita yang satu ini tidak memiliki kesabaran. Nyatanya dia berkeras ikut ke sini. Kata orang dia memiliki hati selembut sutra. Bah! Kalau aku punya anak lelaki seperti itu, lebih baik kupaksa dia memakai gaun saja alih-alih baju perang.”

“Diamlah! Kalau ada yang mendengar, bisa habis nyawamu.”

Namun, prajurit tadi tak mau mendengar kawannya. Ia terus mencerocos. “Kalau aku jadi pangeran, lebih baik aku memilih Vor. Apa kau dengar desas-desus yang ....” Suara mereka semakin samar.

Fjola mendesah lega saat kedua prajurit itu menghilang ke dalam hutan. Gadis itu tahu betul apa yang dibicarakan oleh mereka.

Setiap tahun, masing-masing negeri yang berada dalam lindungan tembok besar wajib mengirim upeti yang diantar bersama seorang gadis tercantik untuk kemudian dipilih menjadi selir raja Negeri Veggur. Biasanya, gadis-gadis itu merupakan seorang putri. Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk rasa terima kasih. Namun bagi Fjola, hal itu dianggapnya sebagai penjajahan.

Sepuluh tahun yang lalu perang besar terjadi. Banyak makhluk-makhluk keji yang menginginkan kehancuran. Mereka menganggap kaumnya lebih baik dari yang lain. Mereka berlomba-lomba menguasai bangsa lain.

Bangsa manusia yang ada di dunia tengah memutuskan untuk bekerja sama. Mereka terdiri dari 5 Negeri besar yaitu Vor, Sumar, Haust, Vetur, dan Hlios. 

Karena Negeri Hlios terletak di ujung perbatasan, mereka membangun tembok untuk menghalangi serangan. Meski begitu, jika tembok itu hanya bangunan yang terbuat dari batu bata saja niscaya tak dapat menghalangi kekuatan para makhluk keji. 

Raja Valdimar, Raja Negeri Hlios, meminta penyihir kerajaan untuk membuat penangkal gaib. Akan tetapi, raja itu harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Bukan berupa harta, melainkan nyawa. Ia harus kehilangan ratunya.

Untuk menghormati pengorbannya, Raja Valdimar meminta upeti dari keempat negeri lain. Dan, mereka tak bisa menolak. Sekarang negeri Hlios mengubah namanya menjadi Veggur. Semua prajurit terbaik berada di sana. Alat-alat tempurnya pun lebih lengkap dan mengerikan. Negeri lain menjadi enggan untuk mencari masalah terhadap negeri itu.

Setelah para prajurit itu menghilang, Fjola melangkah turun. Kakinya menginjak ranting yang salah. Ia jatuh dengan bunyi kerasak, lalu debum yang keras. Hal itu membuat kedua prajurit tadi kembali.

Ketika membuka mata Fjola melihat kedua prajurit tadi berdiri tak jauh darinya. Mereka memandangnya dengan galak. Kedua pedang mereka teracung.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Farah Diina
Yok bales dendam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status