Share

Menyakiti dan Menyayangi di Saat Bersamaan

Sejak pagi, Anna sibuk berjalan-jalan dan bersenang-senang bersama Arthur. Sang suami mengenalkan ruangan-ruangan megah dan tempat indah di kediamannya. Tapi sore ini Anna merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, terutama pada perutnya yang terasa nyeri dan sakit.

Anna berdecak berulang kali dan tetap kelimpungan di atas ranjang.

"A-apa yang terjadi? Kenapa perutku terasa tidak nyaman? Apa aku salah makan?"

Perlahan-lahan Anna turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke lantai satu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya.

"Arthur, di mana dia?" Anna menatap semua penjuru rumah.

Sampai akhirnya Anna melihat pintu ruangan kerja Arthur yang terbuka, Anna pun melangkah mendekati pintu ruangan itu hingga ia mampu mendengar suara seseorang marah-marah dalam telepon yang tengah berbicara dengan suaminya.

"Apa-apaan kau Arthur! Bisa-bisanya kau menikah tanpa sepengetahuan Mama dan Papa?! Wanita mana yang kau nikahi, Arthur!"

Suara teriakan dari sambungan telepon itu membuat Arthur menjauhkan ponselnya di tangannya dan laki-laki itu menyergah napasnya panjang.

Dua hal yang Arthur tak sukai di dunia ini, selain diganggu, dia paling benci dicereweti oleh siapapun, kecuali Anna.

"Arthur! Jawab pertanyaan Mama!" teriak wanita itu dibalik panggilan yang sedang berlangsung.

"Apa Ma? Memangnya apa pentingnya?" jawab Arthur dengan santai.

"Siapa wanita yang kau nikahi?! Kau gila hah?! Kau sudah punya Sonya sebagai calon istrimu, Arthur!" teriak Mamanya lagi.

"Sonya?" Arthur tersenyum tipis mengingat gadis itu. "Dia bisa menjadi istri keduaku kalau Mama mau."

"Kau memang sudah gila, Arthur!"

Arthur mengusap telinganya, dia meletakkan kembali ponselnya dan sudah merasa jengah mendengar Mamanya berteriak di telepon.

Tanpa Arthur ketahui, di balik dinding pintu ruangan kerjanya, Anna berdiri di sana. Gadis itu baru saja hendak meminta bantuan Arthur untuk mengantarkannya ke rumah sakit.

Anna terdiam di tempat meremas perutnya sendiri.

'Laki-laki itu bahkan sudah mempunyai calon dan akan menjadikan calonnya Istri kedua? A-atau setelah anak ini lahir dan dia menceraikan aku? Membawa anakku, membesarkannya dengan wanita lain? Mengapa?'

Dada Anna terasa sesak dan bagai dipenuhi oleh duri yang bersamaan menusuk uluh hatinya tanpa ampun.

'Aku yang salah di sini, kenapa aku pula yang merasa menjadi orang yang tersakiti? Kenapa aku menyerahkan anak ini?'

Kepala gadis itu tertunduk dan dia menangis tetap menahan rasa nyeri teramat di perutnya hingga tiba-tiba tubuh Anna ambruk di tempat dan tangannya tanpa sengaja menjatuhkan sebuah vas bunga keramik.

Arthur yang mendengar sesuatu pun langsung beranjak dari duduknya.

"Suara berisik apa lagi?!" geramnya.

Pria itu keluar dari dalam ruangan kerjanya, kedua matanya terbeliak melihat Anna yang tergeletak di lantai.

"Anna!" pekik Arthur mendekatinya.

Dalam dekapan Arthur napas Anna terasa begitu berat. Tubuhnya yang terasa dingin, Arthur menepuk pipi istrinya beberapa kali.

"Anna, apa yang terjadi? Anna bangun! Anna..!"

Tidak ada gunanya, Anna hanya bisa membuka sedikit kedua matanya tanpa bergerak sama sekali.

Kedua mata itu basah, Anna menangis. Arthur memeluknya dan mengangkat tubuh Anna membawanya pergi ke rumah sakit seketika.

**

'Tidak seharusnya dia berteriak dan memasang wajah cemas saat aku pingsan. Wajah khawatirnya membuat aku muak dengan pria ini.'

Anna membatin, ia menatap jendela kamar rumah sakit di mana dia dirawat saat ini. Anna meremas perutnya yang tidak lagi sakit.

Hingga pintu ruangan itu terbuka dan muncul Arthur menatap Anna lekat-lekat sebelum dia mendekat.

"Kau sudah baikan?" tanya pria itu hendak mengusap lembut pipi Anna.

Tangan Anna dengan tidak sopan menepis telapak tangan Arthur dengan kasar.

Sama sekali dia tidak menatap wajah suaminya, meskipun hanya istri sepuluh bulan, tapi Anna juga tidak mau diperlakukan dengan semena-mena, istri penebus hutang, wanita sementara, dan Anna memberikan segalanya untuk Arthur, kenapa? Kenapa harus Anna?

"Anna..." Arthur menyentuh pipi Anna yang basah karena gadis itu menangis.

Kedua telapak tangan Anna mencengkeram erat selimut putih yang menutupi kakinya. Dia tertunduk menangis.

"Harusnya kau bisa menyita rumahku kalau kau memang ingin hutang Ayahku lunas padamu, Arthur. Atau kau bisa mengambil perusahaan Papaku, tanpa menjadikan aku mainanmu seperti ini."

Benar, Arthur sudah menduga. Anna pasti mendengar obrolannya dengan sang Mama.

"Tapi aku menginginkanmu, Anna. aku menginginkanmu menjadi istriku."

"Tidak, kau hanya menginginkan anak ini dan kau... Kau sudah punya wanita lain yang akan kau nikahi, lalu kenapa kau tidak mengambil harta Papaku dan membiarkan aku-"

"Membiarkanmu dipukuli Papamu? Dalam keadaan hamil? Hamil anakku!" seru laki-laki itu mencekal erat kedua pundak Anna.

Mata indah Anna kian berkaca-kaca, Anna tidak tuli untuk mendengar apa kata terakhir yang Arthur ucapakan barusan.

"A-anakmu?" cicit Anna menggeleng-gelengkan kepalanya.

Gadis itu memeluk selimutnya dan memalingkan wajahnya dari Arthur.

"Ini anakku, sampai kapanpun akan menjadi anakku," lirihnya, tubuh Anna merosot dan ia kembali berbaring meringkuk memunggungi Arthur. Menangis seperti dipukuli.

Arthur merasa sangat bersalah, sangat amat bersalah. Anna merasa tersakiti dengan kontrak pernikahan itu?

Berdetik-detik lamanya ia memandangi Anna yang puas menangis sebelum Arthur memeluknya dari belakang dan mengecup pucuk kepala gadis itu.

"Tenanglah, dia anak kita, Anna."

"Kau sangat jahat!"

"Tidak, aku tidak sejahat seperti yang kau pikirkan."

"Ceraikan aku sekarang juga! Ambil semua harta Papaku dan biarkan aku pergi!"

"Aku tidak membiarkan milikku pergi dariku dengan mudahnya, Istriku," bisik Arthur semakin erat dia memeluk tubuh Anna.

Tangisan Anna perlahan tenang, Arthur mengusap rambut panjang istrinya dengan sangat lembut.

Ia tahu Anna pasti patah hati, entah cemburu atau marah, pasti Anna tidak suka saat mendengar Arthur sudah memiliki calon istri dan anak menikahinya juga.

"Arthur..."

"Tidak, aku tidak akan menduakanmu," bisik Arthur meletakkan dagunya di pundak Anna.

Anna membalikkan badannya dan memeluk leher laki-laki itu. Setelah seharian Anna merasa senang karena Arthur mengajaknya berbincang, jalan-jalan di sekitar rumahnya, tapi kenapa obrolan Arthur dan Mamanya membuat Anna marah.

Arthur menepuk punggung gadis itu dengan lembut.

"Istirahatlah, aku tidak akan pergi ke mana-mana."

"Perutku sakit," cicit gadis itu.

"Kau kelelahan, pikiranmu terus buruk, Sayang," bisik Arthur.

Untuk kali pertama dengan ucapan serius dan lembut dia memanggil Anna dengan sebutan Sayang. Anna menyukainya, tapi Anna marah.

"Istirahatlah," ucap Arthur mengecup kening Anna dan menggenggam satu tangannya.

Anna memejamkan kedua matanya, dia meringkuk seperti anak kecil keinginan. Menatap wajah Anna membuat Arthur merasa seperti dikutuk.

Harusnya tidak ada kontrak menikah, harusnya ia tidak bicara aneh-aneh, harusnya Arthur selalu menjadikan Anna sebagai tujuannya, harusnya Arthur mengaku kalau malam itu, dialah yang tidur bersama Anna.

Arthur meletakkan kepalanya di tepi ranjang di samping Anna.

'Apa yang sudah aku layak? Kenapa saat dia sakit baru aku merasa bersalah?' batinnya berteriak marah dan memberontak.

Hingga tiba-tiba telapak tangan lembut menyentuh pipi Arthur. Anna mengusapnya pelan.

"Jangan pergi, Arthur..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status