Tiga hari berjalan dengan sangat pahit. Pernikahan tidak bisa Anna hindari, gadis itu kini resmi menjadi istri dari sosok pria yang sama sekali tidak dia kenali. Seorang Boss sombong yang tidak berperasaan.
Dengan balutan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya, Anna berada di dalam kamar bersama Mama dan Papanya, mereka akan pulang dan meninggalkannya di kediaman Arthur."Ingat pesan Papa, Anna! Kau jangan membuat Arthur kecewa, kau harus jadi istri yang baik untuknya, hanya kau yang bisa menyelamatkan keluarga kita!" desak Caisan menuding wajah Anna dengan bibir menipis.Anna menatap sang Papa dengan tatapan kesal."Harusnya Papa memikirkan cara lain, bukan malah mengorbankan kehidupanku di tangan pria yang tidak aku kenali untuk menjadi suamiku," bantah gadis itu menyeka air matanya."Kau ini tidak tahu terima kasih atau bagaimana, hah?! Masih untung Arthur mau menikahimu meskipun kau hamil anak harammu itu!" sinis sang Papa, Caisan menekan telunjuknya di kepala Anna."Sudah Pa, sudah... Kasihan Anna." Alea melerai suaminya.Pria dengan pakaian formal itupun meninggalkan kamar di mana Anna berada bersama Mamanya.Alea memeluk putrinya dengan berat hati dia melepaskan Anna untuk menjadi istri seorang pria yang tidak pernah Anna kenali sama sekali."Mama pulang ya, Sayang. Kalau terjadi sesuatu, Anna hubungi Mama. Jangan sampai terlambat makan, jangan sampai Anna sakit di sini," tutur Alea mengusap pipi sang putri."Iya Ma, Mama jangan khawatir."Setelah Alea memeluk dan mengecup kedua pipi Anna, wanita itu pun gegas keluar dari dalam kamar meninggalkan Anna seorang diri.Takdir yang buruk dan kelam, Anna merasa tidak punya semangat lagi untuk hidup. Gadis itu menatap seisi kamar megah dan duduk di atas ranjang yang bertabur kelopak bunga mawar merah."Untuk apa semua ini, tidak ada gunanya!" kesal Anna, ia meremas selimut putih dan menggeram kesal.Tangisan Anna terhenti begitu suara decitan pintu mengalihkan perhatiannya. Sosok Arthur masuk ke dalam kamar itu, melangkah seraya melepaskan tuxedo hitamnya dengan santai.Dia melirik Anna yang enggan sekali untuk menatapnya. Arthur tersenyum miring dengan ekspresi marah gadis itu."Sampai kapan kau akan berdiam diri di sana? Cepat lakukan tugasmu sebagai istriku," seru Arthur dengan nada memerintah.Anna mengangkat wajahnya. "Tugas apa? Aku tidak mau tidur di sini. Berikan aku kamar yang lain," pinta Anna, dia cukup berani untuk meminta sesuatu.Kedua alis pria itu terangkat, dia melangkah tegas dan angkuh mendekati Anna yang duduk di tepi ranjang.Arthur tersenyum smirk membungkukkan badannya di hadapan Anna dengan satu tangan mengendurkan dasi merahnya."Pisah ranjang di malam pertama?" Arthur menepuk pipi kiri Anna dengan lembut. "Aku menginginkan hakku malam ini, Stesianna!"Bulu roma Anna merinding sekujur tubuh, ia menggelengkan kepalanya menolak, gadis itu menekan pundak Arthur untuk tidak terlalu dekat dengannya.Anna berusaha mengalihkan wajahnya dan berpikir keras untuk membuat alasan agar malam pertama tidak akan terjadi."A-Aku sedang hamil, aku tidak bisa melakukannya!" tolak Anna, dengan napasnya yang naik tutun. "Satu lagi, aku tidak mau melakukan hubungan dengan pria yang tidak aku cintai!""Lalu, apa anak yang ada dalam perutmu hasil dari hubungan dengan pria yang kau cintai? Kenapa dia tidak bertanggung jawab?" Arthur semakin menjebak Anna dengan pertanyaannya."Itu bukan urusanmu, Tuan!" pekik Anna marah.Kedua mata Anna memanas, gadis itu tidak mampu menjawab apapun, pertanyaan bodoh itu hanya membuat Anna semakin membenci bayi yang ada dalam perutnya. Bodohnya Anna, bodohnya dia hamil tanpa tahu siapa yang menghamilinya.Melihat Anna menangis, Arthur menarik lembut dagu Anna dan ia menyeringai lembut di hadapan sang istri."Aku punya penawaran untukmu," bisik Arthur ditatap lekat oleh kedu amata indah Anna."Pe-penawaran?"Arthur kembali menegakkan badannya, ia berjalan membuka sebuah laci dan mengambil berkas bersampul merah dengan bolpoin di dalam sana sebelum memberikan berkas itu pada Anna yang terus memperhatikan dirinya."Kau bisa bebas dari pernikahan ini. Asal berikan anak dalam perutmu itu, kepadaku saat dia lahir," ucap Arthur memberikan map merah itu pada Anna yang mematung. "Dan tanda tangani surat ini kalau kau menyetujuinya!""Ka-kau tidak membual? Kau benar-benar akan melepaskan aku setelah anak ini lahir?" tanya Anna mengulangi tawaran Arthur."Aku bukan pembohong, Anna!" tegas Arthur dengan iris mata hitamnya yang menajam.Tanpa pikir panjang, Anna menyahut berkas di tangan Arthur dan menandatangani kontrak perjanjian tersebut dengan cepat.Ia memberikan lagi pada pria itu, Anna benar-benar ingin terlepas dari semua ini. Ia tidak mau berurusan dengan keluarga Anderson, dan Anna juga bukan barang yang bisa dijadikan bahan membayar hutang Papanya."Sepuluh bulan pernikahan kita, setelah itu lepaskan aku dari pernikahan ini!" Anna melemparkan berkas itu pada laki-laki tampan di hadapannya.Arthur pun menyeringai dan mengangguk. "Tentu, tapi selama sepuluh bulan ini pula, kau harus mematuhiku. Ini perintah!"Permintaan Arthur tidak membuat hati Anna puas, namun ia mencoba menyetujuinya dan mengangguk pasrah.Perlahan, Arthur kembali membungkukkan badannya dan memberikan usapan sangat lembut di pipi Anna, menyentuh luka lebam di sudut bibir dan tulang rahangnya bekas pukulan yang belum hilang."Perlu kau tahu, kalau aku tidak akan menyakitimu, aku... Berbeda dengan Papamu."Anna meremas gaun putih panjang yang masih melekat di tubuhnya dan memalingkan muka. Berhadapan dengan Arthur membuat detak jantung Anna berpacu, antara marah, kesal, dan rasa aneh yang ia rasakan.Pria itu kembali menegakkan tubuhnya dan melepas kemeja putih yang ia pakai. Anna langsung menoleh terkejut begitu Arthur membuka kemejanya."A-apa yang akan kau lakukan?!" pekik Anna mundur satu langkah menjauh.Arthur tersenyum tipis. "Tentu saja tidur dan menikmati malam pertama denganmu."Kedua kaki Anna terasa bergetar, gadis itu menahan kuat-kuat rasa takutnya."Dasar pria menyebalkan," maki Anna lirih dan nyaris tak terdengar.Detik itu juga Anna langsung melenggang masuk ke dalam sebuah ruangan ganti. Di dalam sana ia berdiri menatap sebuah cermin.Saat make up sudah dihapus dari wajah cantiknya, luka lebam di wajahnya kembali terlihat dengan jelas, Anna pun menyentuh pipinya dengan pelan.'Secara tidak langsung, Arthur membantuku terlepas dari sikap Papa yang kasar,' batinnya sedih.Anna juga gegas melepaskan gaun pengantin yang ia pakai, di hadapannya sudah tertata rapi pakaian perempuan, ia tidak tahu kapan pria itu menyiapkan semua gaun yang sangat mahal.Beberapa menit dia di dalam sana, tidak niat sama sekali ia untuk keluar. Anna takut kalau Arthur bersungguh-sungguh meminta haknya di malam pertama, Anna tidak siap, ia takut dan malu. Trauma tentang malam yang lalu masih melekat padanya."Lebih baik aku tidur di sini, kalau aku keluar... Aku tidak mau tidur dengannya," gumam Anna, ia meremas dadanya dan menggeleng kuat.Gadis itu melangkah mendekati sebuah sofa, di dalam ruangan itu Anna memutuskan untuk tidur di sana, dan sebisa mungkin ia menghindari Arthur.Namun baru saja Anna larut dalam mimpinya, pintu berwarna putih itu terbuka. Sosok Arthur berjalan mendekati Anna yang tertidur meringkuk di atas sofa.Arthur tersenyum hangat, ia mendekatkan wajahnya dan meninggalkan satu kecupan di pipi Anna sebelum dia berbisik, "apa pikir kau bisa terlepas dariku di malam pertama kita, Anna!"Anna merasakan udara hangat menyelimutinya, aroma segar maskulin yang terasa familiar menyambut pagi membangunkannya. Aroma parfum yang membuat kedua mata gadis itu terbuka perlahan, namun seketika tubuh Anna menegang hebat. 'Aroma ini? Pria itu!' batin Anna bergejolak. Detik itu juga Anna langsung bangkit menyingkap selimutnya dan betapa terkejutnya Anna saat mendapati dirinya berada di atas ranjang. "Selamat pagi, Tuan putri," sapa seseorang membuat gadis itu menoleh cepat ke arah pintu balkon. Dada Anna terasa sesak mendapati Arthur berdiri di sana. Dengan pakaian formal, tubuh tinggi besar, wajah segar dan tampan, seringai di bibirnya yang membuat Arthur terlihat semakin misterius untuk Anna. Dan satu, aroma parfum yang Arthur pakai membuat Anna mengingat seseorang di suatu malam lalu. "Kenapa kau membawaku ke kamar?" Anna menatap Arthur yang melangkah mendekatinya. "Kau berusaha menghindariku di malam pertama, bukan?""Aku sudah bilang, aku ingin tidur sendiri!" seru Anna
Seharian Anna mengurung diri di dalam kamar, ia mengabaikan semua orang yang menawarinya makan, termasuk para pelayan di rumah itu yang sangat cerewet. Sampai hari menjelang malam pun Anna masih duduk diam di atas ranjang diam memikirkan Arthur dan ucapan suaminya pagi tadi. "Tidak mungkin kalau pria malam itu adalah Arthur." Anna mendongakkan kepalanya pusing. Gadis itu mengerang marah memeluk bantal dan menekan sedikit perutnya dengan kedua mata terpejam. Puas Anna menangis memikirkan segalanya. Tentang kehamilannya, pernikahan sementara, dan tentang siapa Arthur sebenarnya. "Aku tidak punya bukti apapun," gumam Anna sedih. "Dia pasti bercanda. Mana mungkin Tuan Muda sepertinya tidur dengan sembarang wanita. Aaarrgghhh, aku benci ini semua!"Di tengah kemarahan yang Anna rasakan, tiba-tiba pintu kamar kembali terketuk, Anna menoleh dengan wajah kesal. Pelayan wanita itu membuka pintu kamar Anna membawa nampan berisi makanan dan minuman. Namun dia terdiam menatap makan siang An
"Makan yang banyak, Anna. Pelan-pelan ya nak," ujar Alea mengusap pucuk kepala Anna dengan sabar. Anna tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Di rumah Arthur memang ia ingin mual saat menghirup aroma masakan para pelayannya, entah mengapa. Merasakan sup daging yang Mamanya masak, senyuman Anna langsung merekah seketika. "Masakan Mama memang paling enak," sanjung gadis itu dengan wajah merona berseri-seri.Alea pun tersenyum dengan sanjungan putri kesayangannya, namun karena tanpa sengaja pandangannya teralih pada Arthur yang tengah menatapi Anna yang sedang makan. Tatapan mata yang tenang dan teduh, laki-laki itu begitu terlihat tulus. Namun siapa yang tidak mengenal Arthur Anderson di dalam dunia bisnis antar negara di Eropa, dia terkenal akan kepopulerannya dan juga mempunyai julukan Pria Tampan Licik yang Lembut. "Mama ke belakang sebentar," pamit Alea saat menyadari Arthur ingin memperhatikan Anna lebih lama lagi. Anna sibuk memakan sup daging kesukaannya, namun tiba-tiba kuny
'Ukhh, tubuhku rasanya sangat kaku.'Anna meremas selimutnya dengan kedua mata yang masih terpejam. Hawa mengantuk masih menyelimutinya setelah tubuhnya terasa sangat lelah. Tok.. tok.."Nyonya Anna, selamat pagi. Sarapannya sudah saya siapkan di bawah!" Kedua mata Anna terbuka lebar mendengar ketukan pintu tersebut. Ia langsung bangun dan terduduk di atas ranjang. Kesadaran belum terlalu memenuhi pikiran gadis itu hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh punggung polosnya. "Tubuh yang cantik," sanjung seseorang yang tengah menyenangkan jemarinya di kulit punggung Anna. "Kau sudah tidak malu lagi saat selimutmu terjatuh, Istri Sepuluh Bulan-ku?"Hah!!Bagai genderang dipukul di kepala Anna, sontak ia menunduk dan mendelik saat tahu selimutnya melorot dan menunjukkan bagian tubuh atasnya. "Kyaaa... Arthur!" teriak Anna menarik selimutnya tinggi-tinggi dan menatap ngeri pada sosok suaminya yang entah sejak kapan dia di samping Anna, mungkin pria menyebalkan itu belum bangun
Sejak pagi, Anna sibuk berjalan-jalan dan bersenang-senang bersama Arthur. Sang suami mengenalkan ruangan-ruangan megah dan tempat indah di kediamannya. Tapi sore ini Anna merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, terutama pada perutnya yang terasa nyeri dan sakit. Anna berdecak berulang kali dan tetap kelimpungan di atas ranjang. "A-apa yang terjadi? Kenapa perutku terasa tidak nyaman? Apa aku salah makan?" Perlahan-lahan Anna turun dari atas ranjang. Gadis itu melangkah ke lantai satu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. "Arthur, di mana dia?" Anna menatap semua penjuru rumah. Sampai akhirnya Anna melihat pintu ruangan kerja Arthur yang terbuka, Anna pun melangkah mendekati pintu ruangan itu hingga ia mampu mendengar suara seseorang marah-marah dalam telepon yang tengah berbicara dengan suaminya. "Apa-apaan kau Arthur! Bisa-bisanya kau menikah tanpa sepengetahuan Mama dan Papa?! Wanita mana yang kau nikahi, Arthur!" Suara teriakan dari sambungan telepon itu membuat Arthur menjau
Saat keadaan sudah membaik, Anna pun terbangun dari tidurnya. Gadis itu terdiam menatap Arthur yang tertidur dengan posisi duduk dan bersedekap. Menatap wajah suaminya, Anna tidak mengerti kenapa laki-laki ini seolah dia kadang terlihat tega pada Anna, tapi sosoknya yang asli begitu cemas dan berteriak kepanikan kalau hal buruk terjadi pada Anna, siapa sebenarnya sosok Arthur ini?"Arthur," lirih Anna, ia mengulurkan tangannya dan hendak menyentuh wajah laki-laki itu. Ya, saat ini Anna bisa menyebut kalau Arthur, adalah lelakinya. Pergerakan tangan Anna terhenti saat ujung jemarinya menyentuh rahang laki-laki itu dengan sangat lembut. "Ada apa, Istriku?" Arthur meraih tangan Anna dan menggenggamnya. Anna sedikit terkejut begitu Arthur langsung meresponnya dengan cepat. "Emm, kau tidak tidur?" tanya gadis itu. Arthur terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya masih dengan kedua mata terpejam. "Aku takut kau pergi," jawabnya begitu tak masuk akal. Barulah Arthur mengembuskan na
"Bisakah kau tidak menemui dan muncul lagi di hadapan Anna?!" Arthur mengatakan hal mengejutkan itu pada Caisan, Papa kandung Anna yang kini berdiri di hadapannya, di luar ruangan Anna di rawat di rumah sakit.Wajah Caisan sedikit terkejut dengan apa yang Arthur katakan barusan, laki-laki itu terlalu membutuhkan Arthur hingga dia mengangguk dan tertawa renyah. "Ya, tentu saja kalau itu yang kau mau. Aku tidak akan datang lagi menemui Anna. Tapi Arthur, kalau bisa kau harus memaksa anak itu untuk makan dan melakukan hal yang baik untuk bayinya, agar anak kalian sehat-sehat nantinya," seru Caisan dengan tampang yang tak berdosa. Arthur tersenyum tipis. "Bukannya kau menyebut anak itu, anak haram?" tanya Arthur lagi.Arthur tidak punya pertimbangan apapun pada laki-laki tua menyedihkan di depannya ini. Ia juga tidak menimbang-nimbang rasa sungkan untuk memanggilnya dengan sebutan Papa mertua. Laki-laki itu terlalu jahat untuk Anna hingga tidak akan pantas disebut Papa. "Arthur, aku
Setelah beberapa hari sudah membaik kondisinya, Anna terbiasa tinggal bersama dengan Arthur sebagai seorang suami. Bahkan di sela kesibukan seorang Arthur, Anna tahu setiap malamnya suaminya selalu menyempatkan menatap wajahnya dan mengecup kening Anna seolah-olah dia benar-benar mencintai Anna. Seperti saat ini contohnya. Arthur mengusap pipi gembil Anna saat istrinya itu belum bangun, tapi Anna hanya pura-pura. "Tertidur pun kau tetap sangat cantik, Istriku," bisik Arthur mengecup lagi pipi hingga dagu Anna. Sudut bibir gadis itu berkedut, dia ingin tersenyum. Melihatnya, Arthur menarik gemas hidung gadis itu. "Aku tahu kau hanya pura-pura," ujar laki-laki itu. "Aku masih mengantuk, kau jangan menggangguku," seru Anna cemberut menatap suaminya. "Ya, tidurlah lagi." "Sudah tidak bisa! Kau mengangguku terus sampai mengantukku hilang, aku tidak akan bisa tidur pulas lagi!" seru Anna dengan wajah muram, masam, dan kesal. Arthur mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala istrin