Merapikan alat makan terakhir di atas meja, Lily Rosanna melangkah mundur untuk mengamati bagaimana tampilan meja yang dia tata. Bukan berarti ke tiga sahabatnya benar-benar peduli dengan apa yang sudah dia lakukan. Tapi sisi lain dari Lily merasa perlu agar semuanya terlihat sempurna.
Ada cahaya lilin yang berkedip-kedip di dalam ruangan sementara musik lembut mengisi ruangan yang sepi. Meski sekarang sudah hampir Natal, ruangan itu tidak di penuhi dekorasi natal, atau mungkin belum. Sebagai gantinya Lily menaruh bunga mawar putih segar dalam vas yang dia beri air dan di taruh di atas sebuah lemari laci empat yang dia beli di toko bunga. Dan di antara vas bunga itu terdapat bingkai fotonya bersama tunangannya di sebelah kanan dan bingkai fotonya bersama sahabatnya di sebelah kiri.
Hari ini tanggal 16 Desember adalah hari peringatan lima tahun kematian tunangannya. Hari yang menjadi akhir dari kehidupan sempurna mereka bersama. Semua itu di renggut oleh sopir mabuk yang melewati garis pembatas jalan yang menyebabkan kecelakaan parah. Lily berhasil di selamatkan setelah melewati dua kali operasi sedangkan tunangannya tewas di tempat kejadian.
Kebanyakan orang tidak membayangkan akan mengadakan makan-makan untuk seseorang yang sudah meninggal. Tapi saat hari peringatan satu tahun, Sahabat Lily mempunyai ide untuk berkumpul dan makan bersama setiap tanggal ini setiap tahunnya dengan memesan makan dari restoran favorit tunangannya. Lily menyukai gagasan itu dan mengajak sahabat dari tunangannya semenjak mereka berada di sekolah kedokteran bersama dengan tunangannya yang kebetulan adalah salah satu sahabat Lily.
Tahun pertama mereka mencoba makan di restoran tapi di sana terlalu berisik dan juga perasaan duka yang mereka rasakan. Tahun berikutnya mereka memutuskan untuk mengadakannya di rumah salah satu dari mereka dengan makan dan minum dari restoran yang sama.
Bel pintu berbunyi membawa Lily keluar dari pikirannya dan bergegas ke pintu depan dan membukannya. "Hai!" Teriaknya.
Sahabatnya selama tujuh tahun terakhir, Paula dan Rafa, berdiri di teras sambil memegang payung untuk melindungi diri dari gerimis hujan di bulan Desember sementara tangan Rafa yang lain memegang sebuah tas yang di yakini Lily berisi bir kaleng dan beberapa cemilan. Paula melambaikan tangannya yang memegang botol anggur di tangan kiri dan botol bir di tangan kanannya. "Halo, halo. Kami datang dengan suka cita."
Lily tertawa saat melihat botol alkohol yang mereka bawa. "Aku senang mendengarnya. Dani baru saja menelepon kalau dia akan tiba dengan makan malam kita."
Rafa tersenyum saat dia dan Paula masuk. "Hanya demi cintaku pada Ryan aku mau makanan dari restoran itu."
Sambil melepaskan jaket dari bahunya Paula mengangguk setuju. "Ingat saat kita membawanya ke restoran yang lebih enak dan dia mengatakan kalau restoran itu tidak lebih enak dari restoran favoritnya."
"Kasihan Ryan. Dia pergi dengan membawa jiwa manusia goanya." Kata Lily.
Rafa menggeleng. "Itu salah satu dari pesonanya."
Lily tersenyum. "Kau benar."
Mereka baru saja akan pergi arah ruang makan dan mereka di kejutkan oleh Dani yang menerobos pintu dengan tangan penuh dengan kantong makanan. "Aku sudah sampai, mari kita mulai makan." Teriaknya.
"Baguslah, aku sudah agak kelaparan." Gumam Lily.
Dani maju dan mencondongkan tubuhnya dan mencium pipi Lily. Dia kemudian berjalan melewatinya ke ruang makan untuk meletakkan kantong makanannya di atas meja. Paula membantu menata makanan itu di atas piring yang sudah di tata. Kemudian menuangkan anggur ke dalam gelas. Begitu semuanya siap, mereka duduk.
Selama makan malam, anggur mengalir bebas seperti percakapan yang mereka lakukan. Untuk sementara, mereka membicarakan masa lalu yang berhubungan dengan masa sekarang. Setelah piring-piring di bereskan, Ryan sekali lagi menjadi topik pembicaraan. "Tolong beritahu aku kalau kau membuat kue favorit Ryan?" Tanya Dani.
"Menurutmu?" Tanya Lily sambil tersenyum.
"Terima kasih Tuhan. Aku sudah sangat ingin makan kue itu sepanjang minggu!" Kata Dani.
Lily mengambil kue dari dalam kulkas dan menaruhnya di atas meja dan membiarkan mereka melayani diri mereka sendiri dan mereka mulai melanjutkan tradisi lainnya yaitu menceritakan kisah mereka bersama Ryan.
Saat tiba giliran Dani, dia meneguk panjang anggurnya. "cerita favoritku adalah mungkin saat aku mengaku padanya."
Lily mengerang dan menutupi matanya. "Ya Tuhan, jangan yang itu."
Rafa melirik Lily dan Paula. "Aku rasa aku tidak pernah mendengar cerita ini."
Paula menggelengkan kepalanya. "Aku juga."
Dani tersenyum puas. "Aku menyimpan cerita terbaik untuk yang terakhir."
Lily mendengus bosan.
Setelah menatap tajam pada Lily, Dani melanjutkan ceritanya. "Jadi saat itu..."
"Bir merek apa ini? rasanya enak." Potong Lily.
"Bisakah aku mulai bercerita?" Tanya Dani mulai kesal.
"baiklah." Kata Lily sambil mengangkat kedua tangannya seolah menyerah.
"Jadi saat itu kami berada di ruang ganti tim sepakbola dan kosong, hanya ada kami berdua. Kami yang terakhir karena saat itu kami yang bertugas untuk membereskan ruang ganti. Dan saat itu aku menyadari kalau..."
"Kau jatuh cinta padanya?" Tanya Paula.
"Tidak, Demi Tuhan!" Jawab Dani. Dia berpaling pada Lily dan tersenyum sombong. "Jangan tersinggung tapi dia bukan tipeku."
"Selesaikan saja ceritanya dengan cepat." Kata Lily.
"Jadi sementara dia sibuk melepas pakaiannya untuk mandi, aku berpikir untuk melakukannya sekarang atau tidak sama sekali. Maksudku aku sudah memberitahu Lily dua minggu sebelumnya, mereka berdua adalah sahabatku jadi aku merasa mereka harus tahu dari mulutku sendiri. Jadi aku meraih bahunya dan memutar tubuhnya dan berkata 'Ryan, aku tahu kau mungkin akan membenciku setelah aku memberitahumu hal ini dan aku akan mengerti kalau kau tidak ingin bicara lagi denganku. Aku gay, aku menyukai pria.'"
Mata Rafa melebar karena terkejut. "Lalu apa yang dia lakukan?"
Dani tersenyum. "Dia berkata, 'Dan, kau baik sekali mau membuka diri padaku saat kita berdua telanjang bulat tapi aku tidak peduli selama kau tidak merebut Lilyku. Kau adalah sahabatku dan hanya itu yang penting.'"
Paula melirik Lily. "Apakah kau pernah ada niat untuk memberitahu Ryan kalau Dani gay?"
"Tentu saja tidak. Itu bukan hakku." Jawab Lily sambil menggelengkan kepalanya.
Dani tertawa. "Di luar ekspetasiku dengan reaksinya tapi itulah dia. Di sisi lain, dia adalah seorang pemain sepakbola yang kasar tapi di sisi lain dia memiliki perasaan yang lembut. Dia adalah pria paling manis yang menerimaku apa adanya. Dan salah satu sahabat terbaik yang pernah aku miliki." Kata Dani.
Air mata menggenang di mata Lily. "Kau benar."
Paula mengangkat bir kalengnya. "Ayo bersulang untuk Ryan. Salah satu pria terbaik yang sudah di ambil dari kita."
Lily mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendentingkan kaleng birnya dengan yang lain. "Untuk Ryan."
Beberapa saat menjelang tengah malam, Paula dan Rafa bersiap untuk pulang. Saat Paula memakai jaketnya, dia berbalik dan menatap Lily. "Jadi, kita tetap akan pergi ke pesta kantor besok malam, kan?""Aku tidak tahu." Jawab Lily sambil mengerutkan keningnya."Kenapa begitu?" Tanya Paula."Setelah malam ini, hal terakhir yang ingin aku lakukan adalah menonton film horor sambil makan ice cream dan makan cemilan pedas." Jawab Lily."Rafa akan kerja lembur dan kau juga sudah berjanji akan menjadi teman kencanku. Selain itu, kau juga belum lama bergabung di perusahaan, kau harus banyak bersosialisasi." Kata Paula.Lily menghembuskan nafas tanda kekalahan. Dia benci mengakui kalau apa yang di katakan Paula ada benarnya. Setelah empat tahun menjalani pekerjaannya yang sebelumnya, akhirnya dia pindah ke perusahaan barunya atas permintaan salah satu mantan bosnya yang menggunakan pengaruhnya. Lagi pula pekerjaannya yang sekarang dia mendapat gaji yang cukup besar dari sebelumnya. "Baiklah, aku
Etan bergegas masuk melalui sebuah pintu besar yang terbuat dari kaca yang cukup keras dan tebal. Dia mengangguk pada beberapa rekan kerjanya. Jari-jarinya merapikan dasinya dan jas yang dia pakai. Dia baru saja memakai setelan itu selama tiga puluh menit dan itu sudah terasa seperti mencekiknya. Melihat teman kerjanya, Fredi. Dia bergegas menyelip di antara beberapa orang sambil menyapa mereka dengan senyuman singkat untuk menghampirinya."Halo, teman. Bagaimana keadaanmu?" Tanya Fredi.Etan tidak memberinya tanggapan apa pun dan langsung merampas segelas air soda dari tangan Fredi dan menegaknya dalam satu tegukan dengan tidak sabar. "Seburuk itukah?" Tanya Fredi sambil tersenyum."Maaf, aku sudah berada dalam neraka acara keluarga sepanjang hari ini." Jawab Etan."Acara baptisan itu?" Tanya Fredi lagi.Etan mengangguk. "Acaranya dimulai tengah hari, tapi ada pesta di rumah saudara perempuanku." Etan bergidik saat memikirkan bagaimana dia disudutkan oleh masing-masing saudara perem
Lily merasa pria itu sedang menatapnya lagi... dan tersenyum. Setelah melihat pria tampan yang tidak sengaja dia tabrak tadi sedang menatapnya dari seberang ruangan yang penuh sesak. Lily bersumpah untuk tidak melihat ke arahnya lagi. Sebagai gantinya, dia mencoba memusatkan perhatian pada percakapan antara Paula dan para gadis lainnya dari lantai yang sama dengannya. Tapi saat dia mengintip dari sudut matanya, dia berhasil melihat pria itu tidak malu karena tertangkap basah sedang menatapnya. Dan itulah permainan yang sudah mereka mainkan selama lima menit terakhir. Mencuri pandang sebentar dan tersenyum satu sama lain."Dengan siapa kau tersenyum?" Tanya Paula."Tidak ada." Jawab Lily berbohong. "Oh, kukira kau sedang mencari mangsa." Kata Paula sambil tersenyum. "Tidak." Protes Lily."Jadi siapa pria itu?" Tanya Paula sambil memutar matanya.Lily mendesah kalah. "Baiklah. Aku tidak sengaja bertemu dengan beberapa menit lalu dalam perjalanan kembali dari kamar mandi. Dia terliha
Lily melirik ponselnya sambil meringis. Lalu lintas yang menyebalkan. Tidak peduli dia berangkat tiga puluh menit lebih awal atau satu jam lebih awal, tidak mengubah apa pun kalau dia akan terlambat karena kemacetan. Dia berjalan kaki menyusuri trotoar menggunakan heels ke arah sebuah cafe. Wajahnya tersenyum lebar saat melihat Dani melambaikan tangan dari meja dekat jendela.Saat dia membuka pintu, bel lonceng berbunyi di atas kepalanya. "Aku benar-benar minta maaf. Aku sudah berangkat lebih awal. Aku bersumpah." Kata Lily saat sampai di tempat Dani."Tidak masalah. Aku sudah memesan untukmu." Kata Dani sambil tersenyum."Terima kasih." Lily duduk di hadapannya sambil membuka jaket dari bahunya saat dia melihat tatapan Dani yang sedikit gelisah dan di tambah ada sebuah memar biru di pelipisnya. "Apa kau baik-baik saja?""Jeri dan aku bertengkar." Kata Dani sambil mendesah."Kalian tidak putus, kan?" Kata Lily sambil mengulurkan tangan dan meremas tangan Dani.Air mata mengenang di ma
Beberapa minggu kemudian Lily berdiri di belakang meja untuk mengagumi hasil kerja kerasnya. Senyum pendek penuh kepuasan terlihat di wajahnya. Entah bagaimana dia bisa menciptakan keajaiban, berhasil mengubah ruang konferensi lantai 4 yang suram dan berantakan menjadi bernuansa merah muda dan terlihat sangat indah seperti yang dia bayangkan. Dia sangat bangga pada dirinya saat ini mengingat mendekorasi dan merencanakan pesta sama sekali bukan keahliannya. Memiringkan kepalanya, dia memperhatikan spanduk 'It's a baby girl' yang tergantung sedikit miring ke kiri. Setelah dia membetulkannya, ujung-ujung jarinya merapikan bagian atas taplak meja warna pink pucat yang di hiasi dengan minuman dan hadiah yang di bungkus kertas warna-warni dari tamu yang akan datang.Dia merapikan sehelai rambut yang menutupi wajahnya dan mencoba menyelipkan rambutnya di belakang telinganya. 'Ya, sebenarnya pesta seperti inilah yang aku inginkan untuk acara baby showerku. Jika aku bisa mengadakannya suatu s
Etan menggosok matanya yang kabur. Dia mengintip melalui sela jari-jarinya melihat jam di layar komputer, sudah jam tujuh lewat. Bahkan jika dia ingin menyelesaikan proyek itu, otaknya sudah terlalu panas. Dia hampir tidak bisa membaca kata-kata di depannya. Dia mematikan komputernya, pikirannya lumayan tenang karena dia baru saja di promosikan sebagai wakil direktur tim pemasaran yang berarti dia bisa menunggu sampai besok pagi dan tidak akan ada orang yang akan memarahinya jika mengulur-mengulur waktu.Sambil mengerang, Etan bangun dari kursinya dan meregangkan tangannya ke atas kepalanya. Dia meraih tasnya dan berjalan menuju pintu. Saat dia mematikan lampu ruangannya, perutnya bergemuruh. Mungkin tidak ada makanan di rumahnya untuk di makan, jadi dia memutuskan untuk membeli sesuatu saat di perjalanan pulang. Sesaat terlintas di benaknya harapan ada seorang wanita menunggunya dengan makanan masakan rumahan. Dia langsung segera menggelengkan kepalanya untuk mengusir pemikiran sepe
Sambil menggelengkan kepalanya Etan mulai berjalan melintasi lobi dan menuju toilet. Dia mengetuk pintu dan mendengar suara tinggi dari dalam kamar mandi. "Pergi Dani! Tidak ada lagi yang harus aku katakan. Kau baru saja mempermalukanku di depan bajingan terkenal di perusahaan ini!" Teriak Lily."Seorang bajingan ya?" Gumam Etan pelan. Julukan yang tidak pantas dia banggakan, terutama berasal dari seorang wanita. Dia sudah terbiasa mendengar hal yang lebih menyanjung dari mereka. Setidaknya di awal sebelum dia bergerak pergi menjauhi mereka dan berubah menjadi julukan yang menjijikkan yang di lempar ke wajahnya. "Aku tidak akan meninggalkan kamar mandi ini sampai kau pergi!" Teriak Lily lagi.Etan mendesah. Dia gadis yang memiliki tekad, itu sudah jelas, belum lagi dia terlihat keras kepala. Di dalam pikiran Etan terlintas kembali bagaimana cantik dan seksinya dia dalam balutan gaun hijau saat pesta perusahaan, bagaimana gaun hijaunya yang ketat melekat ketat pada tubuhnya membuatny
Ketika pintu tertutup, Lily menghembuskan napasnya yang sudah lama dia tahan dengan suara desahan yang berlebihan. Merasa lelah, dia bersandar di meja wastafel. 'Pergi minum dengan Etan Benedict, apa kau sudah gila? Setiap wanita di gedung ini tahu reputasinya. "Tidur dengan mereka dan tinggalkan mereka", kecuali kau sudah siap patah hati. Kau seharusnya menjauhi dia." Batin Lily. Ingatan tentang pertemuan mereka di pesta waktu itu terlintas seperti badai yang merasuk ke dalam benaknya.Menjadi orang baru dalam perusahaan, Lily mengawasi setiap pria lajang. Setelah memergoki Etan yang sering menatapnya beberapa kali, dengan polosnya dia menanyakan pada Paula siapa pria itu. Paula langsung menggelengkan kepalanya begitu cepat, Lily yakin lehernya akan mengalami asam urat. "Dia pria penggoda. Jadi kau harus menjauh darinya kecuali kau memang ingin tidur dengannya." Kata Paula. Wanita yang lain menimpali dengan cerita yang sangat detail mengenai Etan yang terkenal suka memburu wanita y