Share

Bab 4

Merapikan alat makan terakhir di atas meja, Lily Rosanna melangkah mundur untuk mengamati bagaimana tampilan meja yang dia tata. Bukan berarti ke tiga sahabatnya benar-benar peduli dengan apa yang sudah dia lakukan. Tapi sisi lain dari Lily merasa perlu agar semuanya terlihat sempurna. 

Ada cahaya lilin yang berkedip-kedip di dalam ruangan sementara musik lembut mengisi ruangan yang sepi. Meski sekarang sudah hampir Natal, ruangan itu tidak di penuhi dekorasi natal, atau mungkin belum. Sebagai gantinya Lily menaruh bunga mawar putih segar dalam vas yang dia beri air dan di taruh di atas sebuah lemari laci empat yang dia beli di toko bunga. Dan di antara vas bunga itu terdapat bingkai fotonya bersama tunangannya di sebelah kanan dan bingkai fotonya bersama sahabatnya di sebelah kiri. 

Hari ini tanggal 16 Desember adalah hari peringatan lima tahun kematian tunangannya. Hari yang menjadi akhir dari kehidupan sempurna mereka bersama. Semua itu di renggut oleh sopir mabuk yang melewati garis pembatas jalan yang menyebabkan kecelakaan parah. Lily berhasil di selamatkan setelah melewati dua kali operasi sedangkan tunangannya tewas di tempat kejadian.

Kebanyakan orang tidak membayangkan akan mengadakan makan-makan untuk seseorang yang sudah meninggal. Tapi saat hari peringatan satu tahun, Sahabat Lily mempunyai ide untuk berkumpul dan makan bersama setiap tanggal ini setiap tahunnya dengan memesan makan dari restoran favorit tunangannya. Lily menyukai gagasan itu dan mengajak sahabat dari tunangannya semenjak mereka berada di sekolah kedokteran bersama dengan tunangannya yang kebetulan adalah salah satu sahabat Lily.

Tahun pertama mereka mencoba makan di restoran tapi di sana terlalu berisik dan juga perasaan duka yang mereka rasakan. Tahun berikutnya mereka memutuskan untuk mengadakannya di rumah salah satu dari mereka dengan makan dan minum dari restoran yang sama.

Bel pintu berbunyi membawa Lily keluar dari pikirannya dan bergegas ke pintu depan dan membukannya. "Hai!" Teriaknya.

Sahabatnya selama tujuh tahun terakhir, Paula dan Rafa, berdiri di teras sambil memegang payung untuk melindungi diri dari gerimis hujan di bulan Desember sementara tangan Rafa yang lain memegang sebuah tas yang di yakini Lily berisi bir kaleng dan beberapa cemilan. Paula melambaikan tangannya yang memegang botol anggur di tangan kiri dan botol bir di tangan kanannya. "Halo, halo. Kami datang dengan suka cita."

Lily tertawa saat melihat botol alkohol yang mereka bawa. "Aku senang mendengarnya. Dani baru saja menelepon kalau dia akan tiba dengan makan malam kita."

Rafa tersenyum saat dia dan Paula masuk. "Hanya demi cintaku pada Ryan aku mau makanan dari restoran itu."

Sambil melepaskan jaket dari bahunya Paula mengangguk setuju. "Ingat saat kita membawanya ke restoran yang lebih enak dan dia mengatakan kalau restoran itu tidak lebih enak dari restoran favoritnya."

"Kasihan Ryan. Dia pergi dengan membawa jiwa manusia goanya." Kata Lily.

Rafa menggeleng. "Itu salah satu dari pesonanya."

Lily tersenyum. "Kau benar." 

Mereka baru saja akan pergi arah ruang makan dan mereka di kejutkan oleh Dani yang menerobos pintu dengan tangan penuh dengan kantong makanan. "Aku sudah sampai, mari kita mulai makan." Teriaknya.

"Baguslah, aku sudah agak kelaparan." Gumam Lily. 

Dani maju dan mencondongkan tubuhnya dan mencium pipi Lily. Dia kemudian berjalan melewatinya ke ruang makan untuk meletakkan kantong makanannya di atas meja. Paula membantu menata makanan itu di atas piring yang sudah di tata. Kemudian menuangkan anggur ke dalam gelas. Begitu semuanya siap, mereka duduk.

Selama makan malam, anggur mengalir bebas seperti percakapan yang mereka lakukan. Untuk sementara, mereka membicarakan masa lalu yang berhubungan dengan masa sekarang. Setelah piring-piring di bereskan, Ryan sekali lagi menjadi topik pembicaraan. "Tolong beritahu aku kalau kau membuat kue favorit Ryan?" Tanya Dani.

"Menurutmu?" Tanya Lily sambil tersenyum.

"Terima kasih Tuhan. Aku sudah sangat ingin makan kue itu sepanjang minggu!" Kata Dani.

Lily mengambil kue dari dalam kulkas dan menaruhnya di atas meja dan membiarkan mereka melayani diri mereka sendiri dan mereka mulai melanjutkan tradisi lainnya yaitu menceritakan kisah mereka bersama Ryan.

Saat tiba giliran Dani, dia meneguk panjang anggurnya. "cerita favoritku adalah mungkin saat aku mengaku padanya."

Lily mengerang dan menutupi matanya. "Ya Tuhan, jangan yang itu."

Rafa melirik Lily dan Paula. "Aku rasa aku tidak pernah mendengar cerita ini."

Paula menggelengkan kepalanya. "Aku juga."

Dani tersenyum puas. "Aku menyimpan cerita terbaik untuk yang terakhir."

Lily mendengus bosan.

Setelah menatap tajam pada Lily, Dani melanjutkan ceritanya. "Jadi saat itu..."

"Bir merek apa ini? rasanya enak." Potong Lily.

"Bisakah aku mulai bercerita?" Tanya Dani mulai kesal.

"baiklah." Kata Lily sambil mengangkat kedua tangannya seolah menyerah.

"Jadi saat itu kami berada di ruang ganti tim sepakbola dan kosong, hanya ada kami berdua. Kami yang terakhir karena saat itu kami yang bertugas untuk membereskan ruang ganti. Dan saat itu aku menyadari kalau..."

"Kau jatuh cinta padanya?" Tanya Paula.

"Tidak, Demi Tuhan!" Jawab Dani. Dia berpaling pada Lily dan tersenyum sombong. "Jangan tersinggung tapi dia bukan tipeku."

"Selesaikan saja ceritanya dengan cepat." Kata Lily.

"Jadi sementara dia sibuk melepas pakaiannya untuk mandi, aku berpikir untuk melakukannya sekarang atau tidak sama sekali. Maksudku aku sudah memberitahu Lily dua minggu sebelumnya, mereka berdua adalah sahabatku jadi aku merasa mereka harus tahu dari mulutku sendiri. Jadi aku meraih bahunya dan memutar tubuhnya dan berkata 'Ryan, aku tahu kau mungkin akan membenciku setelah aku memberitahumu hal ini dan aku akan mengerti kalau kau tidak ingin bicara lagi denganku. Aku gay, aku menyukai pria.'"

Mata Rafa melebar karena terkejut. "Lalu apa yang dia lakukan?"

Dani tersenyum. "Dia berkata, 'Dan, kau baik sekali mau membuka diri padaku saat kita berdua telanjang bulat tapi aku tidak peduli selama kau tidak merebut Lilyku. Kau adalah sahabatku dan hanya itu yang penting.'"

Paula melirik Lily. "Apakah kau pernah ada niat untuk memberitahu Ryan kalau Dani gay?"

"Tentu saja tidak. Itu bukan hakku." Jawab Lily sambil menggelengkan kepalanya.

Dani tertawa. "Di luar ekspetasiku dengan reaksinya tapi itulah dia. Di sisi lain, dia adalah seorang pemain sepakbola yang kasar tapi di sisi lain dia memiliki perasaan yang lembut. Dia adalah pria paling manis yang menerimaku apa adanya. Dan salah satu sahabat terbaik yang pernah aku miliki." Kata Dani.

Air mata menggenang di mata Lily. "Kau benar."

Paula mengangkat bir kalengnya. "Ayo bersulang untuk Ryan. Salah satu pria terbaik yang sudah di ambil dari kita." 

Lily mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendentingkan kaleng birnya dengan yang lain. "Untuk Ryan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status