Share

Bab 5

Beberapa saat menjelang tengah malam, Paula dan Rafa bersiap untuk pulang. Saat Paula memakai jaketnya, dia berbalik dan menatap Lily. "Jadi, kita tetap akan pergi ke pesta kantor besok malam, kan?"

"Aku tidak tahu." Jawab Lily sambil mengerutkan keningnya.

"Kenapa begitu?" Tanya Paula.

"Setelah malam ini, hal terakhir yang ingin aku lakukan adalah menonton film horor sambil makan ice cream dan makan cemilan pedas." Jawab Lily.

"Rafa akan kerja lembur dan kau juga sudah berjanji akan menjadi teman kencanku. Selain itu, kau juga belum lama bergabung di perusahaan, kau harus banyak bersosialisasi." Kata Paula.

Lily menghembuskan nafas tanda kekalahan. Dia benci mengakui kalau apa yang di katakan Paula ada benarnya. Setelah empat tahun menjalani pekerjaannya yang sebelumnya, akhirnya dia pindah ke perusahaan barunya atas permintaan salah satu mantan bosnya yang menggunakan pengaruhnya. Lagi pula pekerjaannya yang sekarang dia mendapat gaji yang cukup besar dari sebelumnya. "Baiklah, aku akan pergi."

Paula tersenyum penuh kemenangan. "Bagus. Pakailah pakaian yang super seksi. Karena ini adalah acara pesta natal, pasti akan ada lebih banyak pria lajang yang memenuhi syarat di perusahaan kita."

"Biar kutebak, kau akan merekomendasikan gaun hitam yang kau pilihkan untukku saat kita berbelanja dua minggu lalu?" Tanya Lily sambil memutar bola matanya.

"Oh, gaun punggung terbuka itu?" Tanya Paula bersemangat.

Lily hanya balas mengangguk.

"Tentu saja, kau akan membuat banyak pria berlutut padamu." Balas Paula.

Lily menggelengkan kepalanya dan tertawa ringan sambil memberi ke dua sahabatnya pelukan cepat lalu mereka berjalan ke luar teras. "Hati-hati di jalan." Kata Lily sambil melambaikan tangan untuk terakhir kalinya sebelum menutup pintu. Dia berjalan kembali ke ruang tengah dan menjatuhkan dirinya di sofa di samping Dani. Sambil mendesah panjang dan mencengkeram salah satu bantal ke dadanya. 

"Ini tidak baik." Kata Dani.

"Apanya?" Tanya Lily.

"Semua yang kau lakukan ini akan terus berlanjut." Jawab Dani.

"Apa yang aku lakukan? Aku pikir sudah saatnya untuk kau berhenti minum apalagi kalau kau tidak ingin tinggal di sini malam ini." Kata Lily sambil merampas kaleng bir dari tangan Dani.

"Kau tidak bahagia, aku tahu itu." Kata Dani.

"Tentu saja. Tanggal ini akan selalu membuatku merasa sedih." Jawab Lily.

"Lebih dari itu." Kata Dani sambil menggeleng kemudian membungkuk lebih dekat sampai paha dan bahu mereka bersentuhan. "Jujur padaku."

"Kau tahu semuanya." Kata Lily sambil menunduk.

"Seorang bayi?" Tanya Dani.

Lily hanya balas mengangguk.

"Apakah itu karena pembicaraanku terakhir dengan Ryan?" Tanya Dani kemudian Lily melihatnya sambil mengangkat bahu. "Aku tidak akan pernah lupa bagaimana bahagianya dia saat itu. Aku pikir aku tidak pernah melihatnya sebahagia itu, kecuali di pesta pertunangan kalian, 'Dani, kau tidak akan percaya, Aku akan menjadi seorang ayah.'" Kata Dani sambil tersenyum sedih.

Air mata mulai mengalir di pipi Lily saat ingatan yang menyakitkan itu terbesit di ingatannya. Menstruasinya terlambat dua minggu. Emosinya sangat kacau saat mengira dia hamil, tapi Ryan sangan bahagia saat itu. Meskipun mereka sudah bertunangan selama setahun, Lily bersih keras untuk menunggu sampai selesai melahirkan baru akan mengadakan pernikahan. Lagi pula masih ada saat itu Ryan juga harus menyelesaikan praktek kedokterannya tapi Ryan tidak peduli padahal itu. Dia hanya menginginkan Lily menjadi isterinya. 

Sampai akhirnya mereka dalam perjalanan pulang dari dokter kandungan dan kecelakaan itu terjadi yang membuat Lily harus kehilangan Ryan dan anaknya.

Menangis. Lily menyeka air matanya dengan punggung tangannya. 

Dani mengulurkan tangannya dan menarik Lily ke dalam pelukannya membuat isak tangisnya menjadi lebih keras. "Lily, dia meninggal sebagai pria yang sangat bahagia di dunia. Bersyukurlah untuk hal itu."

"Aku... tapi dia seharusnya tidak meninggal. Dia seharusnya berada di sini bersama kita. Harusnya dia sudah menjadi dokter yang hebat seperti Rafa dan kami.. kami seharusnya sudah memiliki anak." Kata Lily di sela isak tangisnya.

"Tidak baik berkata seperti itu." Kata Dani. "Kau harus melanjutkan hidupmu. Ryan ingin kau bahagia. menemukan orang lain dan habiskan hidup bersama dan menjadi seorang ibu."

Saat Dani menyebutkan kata 'ibu', napas Lily tercekat. Sebuah ide yang gila yang menghantuinya selama berbulan-bulan muncul lagi. "Dan, kalau aku memintamu untuk melakukan sesuatu untukku, apakah kau mau melakukannya?"

"Apakah ada alasan untukku mengatakan tidak?" Tanya Dani penasaran. "Apa itu?"

Lily ragu-ragu. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan semua keberaniannya. "Apakah kau mau memiliki anak denganku?"

Dani terkejut dan langsung melompat berdiri. "Apa katamu?"

"Kau satu-satunya pria yang aku cintai selain Ryan. Aku ingin kau memberiku seorang anak yang selalu aku inginkan." Kata Lily.

Mata Dani melebar. "Lily, apakah kau ingat kalau aku ini gay dan sedang menjalin hubungan dengan pria yang aku cintai? aku tidak bisa..." Dani terhenti dan menyisir rambutnya dengan tangannya. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana bisa melakukannya denganmu."

Dengan ekspresi terkejut sekaligus bingung Lily tidak bisa menahan tawanya. "Aku tidak memintamu untuk tidur denganku untuk bisa memberiku seorang anak."

"Bukan begitu?" Tanya Dani kebingungan.

Lily menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tentu saja tidak. Maksudku aku ingin kau menjadi pendonor sperma untukku, bukan tidur denganku."

Dani menatapnya selama beberapa detik. "terima kasih Tuhan."

"Tapi terima kasih karena sudah memberitahuku kalau tidur denganku akan menjadi mimpi buruk terbesar dalam hidupmu." Kata Lily sambil menyeka hidungnya. 

Dani duduk kembali di sofa sambil tersenyum. "Jangan tersinggung."

"Aku mengerti." Jawab Lily.

"Aku hanya berpikir bagaimana caranya aku berciuman dengan seorang gadis. Aku yakin selama lima detik aku langsung tahu aku ingin mengakhirinya." Kata Dani dan membuat Lily tertawa.

Setelah keheningan beberapa menit yang canggung, Dani menghela napas panjang. "Kau akhirnya akan membahas tentang bayi lagi, kan?"

"Aku tidak percaya kau akan sangat terkejut dengan semua itu. Kau tahu betapa aku sangat menginginkan seorang anak dan bagaimana aku selalu menginginkan keluarga yang besar. Aku akan berumur tiga puluh dalam beberapa bulan. Kalau bukan sekarang kapan lagi." Kata Lily.

"Jadi kenapa kau tidak mencari pria dan memiliki bayi bersama. Kau tahu, contohnya teman kantormu. Dan Rafa juga pasti mengenal beberapa pria yang seksi dan baik untukmu." Tanya Dani.

"Aku tidak pernah menjalin hubungan serius sejak Ryan pergi. dan aku tidak yakin apakah memang ada orang lain di luar sana yang memenuhi syarat untuk berhubungan denganku." Jawab Lily.

"Tap kau bahkan belum mencobanya. Maksudku, dengan riwayat penyakit kanker dari ibumu dan Ryan yang membuatmu menutup diri begitu lama. Mungkin ini sudah waktunya untuk pergi keluar dan kembali kehidupan yang nyata." Kata Dani.

"Kau tidak mengerti maksudku? Aku hanya ingin seorang bayi. Aku sudah kehilangan orang-orang yang aku cintai. Aku hanya ingin membawa sebuah kehidupan dari dalam diriku, bagian dari diriku." Kata Lily sambil menggelengkan kepalanya.

"Lily..."

"Aku sangat ingin memiliki seorang bayi. Aku mohon Dan." Kata Lily.

Dani mengambil kaleng bir dan menenggak semua isinya dengan frustrasi. "Tapi kenapa harus aku? Kenapa kau tidak cari pria lain yang mau mendonorkan spermanya padamu? Mungkin kau akan mendapat pria tampan dan IQ 170?"

"Karena aku tidak peduli dengan pria tampan dan IQ tinggi." Jawab Lily.

"terima kasih banyak." Balas Dani sambil mendengus.

Lily memutar matanya. "Bukan itu maksudku. Aku berpikir jauh ke depan, tapi karena kita sedang membicarakan ini, ya, kau memiliki DNA yang bagus tentang penampilan atau kecerdasan." 

"terserah." Gerutu Dani sebelum mengambil kaleng bir lain dan meneguknya kemudian menjatuhkan dirinya kembali ke sofa di samping Lily.

"Apa kau tidak mengerti masalahnya? Jika aku tidak bisa memiliki bayi dari pacarku aku tetap ingin punya bayi dari orang yang aku cintai. Aku tahu kalau kau akan menjadi ayah yang baik. Dan coba pikirkan orangtuamu. Bayiku akan memiliki kakek dan nenek juga. Dan saudara-saudaramu juga akan mencintai bayimu." Kata Lily.

"Benar." Kata Dani masih tidak menatap Lily.

Lily mendesah. Dia tahu kalau dia baru saja menyatakan sebuah bayangan dan membuat Dani memikirkan dan memproses semuanya. "Aku minta maaf karena sudah melibatkanmu." Kata Lily lalu bangun dari sofa.

"Baiklah." Kata Dani

"Apa?" Tanya Lily sambil mengangkat alisnya. 

Dani menghembuskan napasnya dengan keras. "Aku setuju untuk menjadi pendonor untukmu."

"benarkah?" Tanya Lily tidak percaya. 

Dani hanya balas mengangguk,.

"Tapi apa kau yakin? Kau tidak butuh waktu untuk memikirkannya?" Tanya Lily lagi.

"Tidak."

Lily berteriak karena senang dan melingkarkan lengannya ke leher Dani dengan erat. "Aku tidak percaya kau mau melakukannya. Terima kasih." 

Dani balas memeluknya tanpa berkata satu kata pun. 

"Tapi apa yang membuatmu berubah pikiran?" Tanya Lily.

"Ryan." Jawab Dani singkat.

Campuran air mata bahagia dan kesedihan terkumpul di mata Lily. "Aku tidak pernah merasa cukup untuk berterima kasih padamu karena mau melakukannya untukku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status