Share

5. Impulsif

Esoknya ....

"Di sini kau rupanya, jal*ng kecil!" Ucapan sinis keluar dari mulut Lucia begitu ia masuk ke dalam ruang perpustakaan milik Julien yang tergolong besar itu saat Serena mengerjakan tugas kuliahnya.

Siang itu Lucia yang mengenakan rok mini berwarna hitam dan berjalan cepat ke arahnya, menatapnya dengan berapi-api. Heels miliknya yang beradu dengan lantai terdengar begitu berisik karena ketergesaannya.

"Apakah karena mengincar deposito itu maka kau merayu Julien hingga ia menikahimu? Jal*ng kotor!" umpatnya kasar. "Sudah kukatakan jangan macam-macam denganku tapi kau berani tak mendengarkannya? Kemasi barangmu sekarang juga sebelum aku membuatmu menyesal karena telah mendekati apa yang tak seharusnya kau dekati, jal*ng kecil!"

Gebrakan pada meja karena pelampiasan amarah Lucia membuat Serena tersentak. Serena lalu mengembuskan napasnya agar tak terpancing emosi setelah mendengar makian wanita itu.

"Nyonya, apa suamiku tahu Anda datang berkunjung ke mari?" tanyanya tenang.

"Ma ... maaf, Nyonya Serena, Nyonya Lucia memaksa masuk. Jika saya tak membiarkan ia lewat, ia akan menabrak pagar!" Arnold, penjaga gerbang di kediaman Julien datang tergopoh-gopoh dengan raut takut untuk memberi tahu Serena.

"Hah, Nyonya? Menggelikan sekali!" ejek Lucia sambil tertawa mencemooh. "Siapa yang kau panggil nyonya, Arnold!" teriak Lucia murka.

"Tenangkan diri Anda, Nyonya Lucia. Tunggu hingga tuan kembali." Kali ini seorang pelayan pria baya masuk dan memperingati Lucia dengan tenang. Ia adalah Simon sang kepala pelayan.

"Benar, Nyonya Lucia. Jangan membuat keributan yang tak perlu di sini," timpal Bella, pelayan wanita.

"Diam kalian!" hardik Lucia.

Serena kini berdiri setelah bangkit dari duduknya dan berhadapan dengan Lucia. Walau tubuhnya lebih pendek dan kecil jika dibandingkan dengan Lucia yang mengenakan heels, namun ia tak terlihat gentar.

"Tolong pergi, Nyonya, sebelum kami menelepon polisi karena Anda telah masuk ke dalam kediaman seseorang dengan paksa. Lagi pula, bukankah kemarin Anda sudah jelas mendengar bahwa suamiku melarang Anda datang ke mari lagi?"

"Suami, suami! Jangan berlagak hebat kau!"

Lucia yang hendak menampar Serena sangat terkejut ketika gadis mungil itu berani menahan tangannya untuk melampiaskan kekesalannya.

"Lepaskan aku!" serunya sambil mengibaskan cekalan Serena.

"Arnold, Simon, tolong bawa Nyonya Lucia keluar sebelum Tuan Julien kembali," ucap Serena seolah tak menghiraukan kekesalan Lucia.

Serena sebenarnya tak takut dengan gertakan Lucia. Ia hanya berusaha untuk tak membuat kekacauan di rumah saat Julien tak ada di tempat karena perjalanan dinasnya. Bukannya tak ingin melawan, tapi ia masih memikirkan dampak apa yang mungkin bisa terjadi pada Julien jika ia nekat membalas Lucia dengan hal yang sama yang wanita itu lakukan padanya.

"Apa-apaan kalian!" Lucia yang kaget karena dicekal oleh kedua pria di kanan dan kirinya, meronta dengan sekuat tenaga hingga penjaga dan pelayan baya itu kewalahan.

"Kurang ajar! Berani-beraninya kau bertingkah seperti nyonya rumah di sini!" geramnya.

"Aakkh!"

Serena memekik dan terkejut secara bersamaan ketika Lucia berubah menjadi brutal dengan menjambak rambut tebalnya setelah ia berhasil melepaskan diri dari cekalan kedua pekerja Julien.

"Kau menantangku?! Rupanya kau tak tahu apa yang bisa kulakukan ya? Jal*ng berengsek! Berani-beraninya kau bertingkah di depanku! Akan kukeluarkan kau dari sini karena berusaha mencuri uangku! Tempatmu ada di jalanan, dasar pengemis rendah!"

"Lepaskan aku!" teriak Serena panik sambil mencekal pergelangan tangan Lucia.

Walau ia mampu mencekal dengan sekuat tenaga, tapi rupanya kemarahan Lucia yang sudah terlalu besar membuatnya sedikit sulit untuk dikalahkan. Selain karena Serena lebih pendek dari Lucia yang ditambah mengenakan heels, tak disangka ternyata tenaga wanita itu juga lebih kuat darinya sehingga ia dengan mudahnya terseret saat Lucia menjambaknya.

Lucia yang berhasil menjambak rambut Serena, telah membuat gadis itu sangat kesakitan hingga ia mau tak mau mengikuti langkah wanita yang kemudian menyeretnya dengan paksa itu agar rambutnya tak terlepas dari kulit kepalanya.

Dan usaha Serena untuk mempertahankan dirinya sekaligus meronta agar dapat lepas dari cengkeraman Lucia jelas terlihat sia-sia. Lucia bahkan mampu menarik tubuh rampingnya dengan mudah melalui cengkeramannya yang keras.

"Nyonya Lucia, tolong hentikan! Kasihan Nyonya Serena!" 

Seruan-seruan panik dari para pekerja tak dihiraukan Lucia. Ia bahkan berhasil menendang dan menyingkirkan mereka yang berusaha menolong Serena dengan cara yang brutal.

"Oh, bagaimana ini? Bagaimana!" Bella yang panik, bergetar hebat saat ia tak mampu menyelamatkan Serena dari seretan kasar Lucia.

"Kita harus menelepon tuan!" Simon yang sigap, bergegas dengan tergopoh menuju ke sudut ruang tamu tempat di mana telepon berada untuk menghubungi tuannya.

"Aaakh!" teriakan kesakitan kembali keluar dari bibir Serena saat ia merasakan dirinya dihempaskan di atas tanah oleh Lucia yang masih menjambak rambutnya dengan kuat.

Ia terpelanting di atas tanah berkerikil di halaman depan sambil menahan perih yang terasa di kulit kepalanya yang begitu panas, karena sedetik sebelumnya Lucia berhasil membawanya keluar dan membantingnya hingga ia terjerembab.

Rasa malu, sakit, amarah, dan penghinaan yang Serena terima membuatnya bergetar. Ia dapat dengan jelas melihat gumpalan rambutnya yang menjuntai yang berada dalam cengkeraman tangan Lucia setelah wanita itu berhasil merontokkan sejumlah rambut tebal miliknya ketika membantingnya tadi.

Belum lagi, lecet yang ia terima di kedua telapak tangannya yang terasa perih, membuatnya tak habis pikir mengapa ia harus menerima perlakuan tak pantas dan merendahkan seperti ini.

"Srett!" 

"Sraash!"

Tiba-tiba semprotan air dingin dari keran yang mengalir deras, menyembur ke sekujur tubuhnya ketika Lucia mengambil dan mengarahkan selang air yang ada di samping halaman taman untuk membasahinya.

"Oh, ya Tuhan! Nyonya!" teriakan Bella membuat senyum Lucia mengembang.

"Rasakan ini!" Lucia menatap keji pada Serena yang masih terduduk dan diam saja sementara air keran yang ia semprotkan telah membasahi sekujur tubuhnya.

Setelah dirasa puas, Lucia kemudian melempar selang itu dan berjalan mendekat. Ia berjongkok dengan tatapan mengejek pada Serena.

"Kau tak bisa melawanku, bukan? Melihat kau terdiam, aku yakin kau tahu atau mungkin sudah berpikir bahwa aku memegang beberapa kelemahan Julien. Maka dari itu kau tak dapat berkutik di hadapanku atau berbuat semaumu. Cukup mengesankan bahwa gadis pintar sepertimu ternyata tahu diri untuk tak melawan orang yang lebih berkuasa."

"Biar kuperjelas saja. Kau kira aku hanya menggertak tanpa memiliki rencana apa pun? Benar, agar kau tahu, aku memang memegang kelemahan Julien dan siapa saja yang berusaha menghalangiku."

"Jika kau belum mampu untuk menjadi musuhku, maka masih kuberi kau waktu satu minggu untuk meninggalkan Julien dan membatalkan pernikahan itu. Jika kau tak ingin aku melakukan sesuatu pada kembaranmu yang sedang terbaring koma di rumah sakit, maka turuti mauku."

Serena tersentak menatap Lucia saat ia menyebutkan tentang saudarinya. Ia membelalak karena begitu terkejut. Ia tak menyangka jika Lucia akan menggunakannya untuk mengancam dirinya.

Lucia tersenyum licik setelah mengerti tatapan itu. "Kenapa? Terkejut? Ya, Jal*ng, aku sudah menyelidiki kau dan keluargamu yang menyedihkan itu. Jika hanya untuk menghancurkan lalat kecil sepertimu, itu tak akan sulit bagiku. Aku yakin dengan uang dan kekuasaan yang kumiliki, aku bahkan bisa membuat orang-orang seperti kalian lenyap dan tersingkir dengan menyedihkan hanya dengan sekejap mata. Jadi, berpikirlah dua kali sebelum kau ingin melawanku, Bocah."

Tatapan mencemooh masih Lucia layangkan pada Serena yang masih duduk terpuruk dengan basah kuyup dan tampak menyedihkan itu saat ia kembali berdiri.

"Ayo, Baby, sudah cukup bagiku memberi peringatan pada serangga ini. Kita pergi sekarang," ucap Lucia kemudian pada pria muda gagah berotot yang menghampirinya setelah ia puas mengancam Serena.

Ia lalu terbahak keras sambil melenggang pergi dari halaman Julien dengan menggandeng pria muda yang merupakan kekasihnya itu untuk menuju ke arah mobil miliknya.

Kemudian, para pekerja Julien segera menghampiri Nyonya muda mereka untuk memberi bantuan.

"A ... Anda tak apa-apa, Nyonya?" tanya Bella cemas.

"Aku tak apa-apa, Bella," jawab Serena lirih sambil menatap kepergian mobil Lucia yang meninggalkan halaman depan rumah Julien, seolah sedang mengejeknya karena ia tak bisa berbuat apa-apa dengan ancaman wanita itu padanya tadi.

Dengan bantuan para pelayan, Serena akhirnya dapat kembali ke kamarnya. Walau terlihat tenang, Serena sendiri sebenarnya cemas akan perkataan Lucia tadi. Ia yakin wanita itu berani datang siang ini karena tahu Julien sedang tak berada di tempat.

Setelah beberapa waktu membersihkan diri, Serena dibuat terkejut ketika keluar karena Julien telah berdiri di depan kamar mandi dan menyambutnya dengan raut cemas.

"Tuan Julien? Mengapa kau di sini?"

Julien yang terlihat gelisah langsung berhambur ke arahnya yang kini telah membersihkan dirinya dan berganti baju. Serena menatap Julien dengan raut kebingungan. Terlebih, saat pria itu membiarkan pintu kamar terbuka lebar yang tentu saja memungkinkan siapa saja di luar dapat melihatnya berjalan.

Ya, berjalan. Itu membuat Serena kembali terbelalak dan seketika panik lagi.

"Pintunya!" ucap Serena buru-buru melangkah ke arah pintu masuk dan bermaksud menutupnya, saat kemudian Julien tiba-tiba menahannya dan tak menghiraukan kecemasan Serena.

"Bagaimana keadaanmu? Perlukah kita ke rumah sakit? Di bagian mana saja kau terluka?" tanya Julien khawatir. "Aku sudah mendengar dari Bella dan langsung kembali saat Simon meneleponku. Dasar wanita kurang ajar! Bisa-bisanya ia datang kemari dan membuat keributan saat aku tak ada. Sial!" umpatnya tertahan.

"Aku tak apa-apa. Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Ta ... tapi, Tuan, pintunya ..."

"Ah, ya." Julien menghela napas sejenak sebelum ia berbalik dan menutup pintu. Ia kemudian membimbing Serena untuk duduk di tepi ranjang.

"Bella berkata bahwa wanita itu telah menjambak dan menyeretmu, dan ... ia juga dengan selang air telah ... ugh! Oh, ya, Tuhan." Kegeraman lagi-lagi melanda Julien hingga ia tak mampu melanjutkan ucapannya karena tak sanggup membayangkan apa yang telah dialami Serena tadi.

"Maaf, Serena, maaf. Harusnya kau tak mengalami hal seperti ini. Lucia pasti murka karena pengacaraku memberitahunya tentang deposito itu hingga ia kemudian menghampirimu untuk melampiaskan kemarahannya padamu."

Tatapan sayu dan rasa bersalah kini mendominasi raut wajah Julien. "Kau pasti sangat terkejut tadi."

"A ... aku tak apa-apa, Tuan." Karena kegugupannya sendiri, Serena refleks menyentuh dan menundukkan kepalanya hingga rambut setengah basahnya menjuntai menutupi wajahnya untuk menghindari tatapan Julien.

Ia tak sanggup menatap kedua mata Julien yang sedang mencemaskannya. Ia jelas tak dapat bersikap atau berbicara dengan benar jika kedua mata teduh itu selalu saja membuatnya berdebar. Maka, sebisa mungkin ia menghindar sebelum jantungnya meledak.

"Tapi kau tak tampak baik-baik saja." 

Julien meraih dagu Serena yang mencoba menghindarinya. Dengan seksama ia mengamati wajah polos gadis itu dan menemukan goresan memanjang di sekitar bawah matanya. Seketika rahangnya mengeras karena ia dapat membayangkan bagaimana goresan itu bisa berada di sana.

Ia tahu, kuku Lucia yang panjang mungkin yang telah melukai Serena saat ia melakukan aksi brutalnya itu. Dan itu, membuatnya kembali mendidih ketika membayangkan bagaimana wanita penyihir itu melukai Serena.

"Wanita berengsek," umpatnya tertahan.

Ia mengembuskan napasnya dan memejamkan matanya sejenak untuk kembali mengontrol emosinya.

"Beristirahatlah, Serena," ucap Julien perlahan. Ia menata beberapa bantal agar Serena dapat berbaring.

"Tuan, aku tak apa-apa. Bagaimana dengan pekerjaan Anda? Tak seharusnya Anda berada di sini sekarang dan ...."

"Jangan membantah," potong Julien gusar. "Dan siapa tuanmu? Panggil aku Julien! Julien! Karena aku adalah suamimu! Lain kali jika wanita jal*ng itu datang lagi padamu, katakan padanya dengan tegas bahwa kau tak bisa ditindas karena kau memiliki aku. Katakan padanya bahwa suamimu tak akan membiarkan ia menyentuhmu sedikit pun dengan tangan kotornya. Panggil aku dengan segera agar aku dapat melindungimu. Lawanlah wanita berengsek itu!"

Julien menggeleng kecil. "Ahh,  tidak, tidak. Aku tak akan pernah membiarkan itu terjadi lagi padamu. Kau tak seharusnya diperlakukan seperti ini karena kau adalah istriku! Ingat itu Serena. Kau adalah istri Julien, nyonya rumah di sini!" ucapnya memburu. Dadanya naik turun karena luapan emosinya yang tak dapat dibendungnya lagi.

Serena yang terkejut, masih membeku saat tanpa sadar Julien telah mencengkeram kedua bahunya ketika pria itu meluapkan kekesalannya padanya. Ia lalu mengerjap dan membasahi bibirnya dengan gugup. "Ma ... Maaf, Julien," lirihnya.

Julien sendiri yang telah tersadar dari amarahnya dan bertindak refleks, menunduk sejenak untuk mengembuskan napasnya. "Oh, Serena, tidak, tidak, bukan kau yang seharusnya meminta maaf," ucapnya dengan raut menyesal.

"Tolong, maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu terkejut dan berteriak padamu. Tapi mengingat bagaimana wanita itu menyerangmu saat aku tak ada di sampingmu, rasanya ... benar-benar membuatku begitu mendidih," ungkapnya jujur.

"Beristirahatlah dan minumlah obat pereda nyeri."

"Aku sudah meminumnya tadi, terima kasih," ucap Serena sambil tersenyum.

"Benarkah? Baguslah. Lalu, di mana lagi ia melukaimu? Bagian mana yang sakit?" Julien yang masih cemas, tanpa sadar menyibakkan rambut lembab Serena dan mengangkatnya dengan lembut ke arah tengkuk.

Ia kemudian memeriksa di sekitar dagu, telinga, hingga leher mulus gadis itu. Sejauh ia memeriksa, ia hanya mendapati beberapa goresan kecil yang samar yang terlihat tak terlalu dalam seperti akibat gesekan rambut Serena sendiri saat ia sedang diseret.

Walau begitu, ia tetap merasa tak suka. Kulit halus Serena yang putih itu harus mengalami luka lagi karenanya. Padahal, saat kemarin gadis itu terluka karena tamparan Lucia, Julien sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak membiarkan hal seperti itu terjadi lagi. Tapi nyatanya, ia kecolongan hari ini.

"Ju ... Julien," lirih Serena gugup sambil menelan ludahnya ketika ia dapat dengan jelas merasakan hembusan napas Julien di lehernya yang terasa menggelitik.

Mendengar namanya disebut, Julien sontak menatap wajah Serena. Mata kecokelatan gadis itu begitu menghipnotisnya ketika tatapannya saling bertemu dengan Serena yang kini hanya berjarak beberapa centi darinya.

Julien sendiri kemudian begitu terkejut saat ia menyadari betapa terlalu dekat wajahnya dengan Serena sehingga gadis itu kemudian berpaling membuang muka dengan semburat merah di pipinya, sambil menahan dadanya dengan kedua tangannya yang entah sejak kapan telah menempel manis di atas setelan yang ia kenakan karena ia terlalu condong ke arah tubuh gadis itu.

"Ah, maaf," ucap Julien sambil refleks menjauh dan melepaskan cengkeramannya pada rambut lembab Serena. Jantungnya seakan ikut melompat karena keterkejutannya sendiri.

Ia mengumpat dalam hati karena untuk sesaat tadi ketika ia menangkap wajah Serena yang begitu dekat dan harum, tiba-tiba saja membangkitkan sesuatu yang menggelitik yang membuat dadanya sendiri berdebar.

Selain amarah, kini bahkan sikap dan posisinya yang tak dapat dikontrol itu membuat dirinya sendiri terheran-heran. Ada apa dengannya? Mengapa ia banyak bertindak impulsif jika itu menyangkut Serena?

Seperti tadi saat ia sedang menghadiri rapat penting di perusahaannya, ia bahkan tanpa sadar langsung berdiri dari kursi rodanya dan melesat meninggalkan ruangan itu setelah Simon meneleponnya.

"Kursi roda Anda, ah, maksudku ... di mana kursi rodamu, Julien?" tanya Serena setelah ia dapat menguasai diri lagi dari debaran jantungnya karena kedekatan pria itu tadi.

"Apa? Oh, kurasa aku meninggalkannya di kantor," jawab Julien masih sedikit linglung.

"Aku ... tadi kembali tanpa kursi rodaku dan berjalan begitu saja. Lalu, aku melakukan hal yang sama saat memasuki rumah," jelasnya sambil tertawa kecil karena menertawakan dirinya yang begitu konyol.

"Apa? Jadi ... semua telah tahu kau sudah pulih dan dapat berjalan lagi?" Serena membulatkan kedua matanya yang lentik karena terkejut.

"Yeah, begitulah," balas Julien sambil mengangkat kedua alisnya. "Jika kuingat lagi bagaimana semua orang melotot ketika melihatku berjalan tanpa kursi rodaku, kurasa aku memang telah membuat mereka begitu terkejut hari ini," lanjutnya sambil tersenyum geli dan menatap lembut gadis itu.

Ya, semua karenamu, Serena, batinnya dalam hati. Semua tindakan impulsifku hari adalah karenamu.

____****____

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status