Serena hanya mampu menatap pintu berkaca yang memisahkan kamar Helena dengan koridor saat Anie ibunya, menahannya ketika ia ingin masuk ke dalam kamar saudara kembarnya itu.
"Helena sedang tertidur, jangan kau ganggu dirinya. Ia belum tahu jika aku telah memberitahumu tentang kondisinya. Ia berkata tak ingin bertemu denganmu sebelum ia merasa kuat dan sepenuhnya pulih. Jadi, untuk sementara kita rahasiakan ini darinya dan tunggu saja hingga ia mau menemuimu, mengerti?"
"Tak bisakah aku menemuinya sebentar saja, Mom? Aku hanya ingin melihat keadaannya," balas Serena.
Anie menatap Serena dengan kesal. "Lalu, apa yang akan kau lakukan? Apa kau ingin membuatnya kesal dengan memamerkan tubuh sehatmu dan berdiri di hadapannya yang masih terlihat menyedihkan? Apa itu yang kau inginkan? Apa kau akan menyombongkan kesehatanmu bahkan mungkin juga pernikahanmu sekarang? Kau ingin membuatnya terluka dengan semua yang kau miliki itu, begitu?"
"Mom? Mengapa kau berpikir seperti itu?" ucap Serena tak percaya. "Bukan begitu maksudku. Aku senang ia telah bangun kembali dan hanya ingin melihatnya, itu saja."
"Ck, sudahlah, jangan membuatnya kesal karena melihatmu, Seren. Kau tentu tahu bagaimana ia akan merasa sedih jika kau berdiri di hadapannya sementara kondisinya masih begitu lemah. Aku memberitahumu tentang kesadarannya sekarang agar kau berjaga-jaga menyiapkan dana kalau-kalau ia membutuhkan perawatan lebih mengingat kondisinya yang masih lemah. Kau bisa mempersiapkan itu, bukan?"
Serena mengangguk setelah beberapa saat terpaku mendengar ucapan ibunya mengenai permintaan dana yang harus disiapkannya. Karena tak ingin menciptakan perdebatan yang lainnya, akhirnya Serena memutuskan untuk mengalah.
"Baiklah aku mengerti, aku akan pulang sekarang, Mom. Tapi beri aku kabar mengenai perkembangan kondisinya. Aku akan segera kemari saat ia sudah ingin melihatku. Mengenai dana, akan aku usahakan."
"Ya sudah, pulanglah," ucap Anie kemudian.
Tanpa ada ucapan terima kasih maupun sedikit senyum di wajah ibunya, akhirnya Serena berbalik dan hanya dapat tersenyum kecut meninggalkan wanita itu. Ia bahkan sudah tak bisa merasa heran lagi jika sikap yang ditunjukkan ibunya tak berubah sedikit pun bahkan setelah ia menikah. Memang bagi ibunya, ia bukanlah seorang putri yang dapat dibanggakan.
Walau itu membuatnya sedih, tapi kini ada satu hal lagi yang membuatnya begitu cemas. Yaitu, kesadaran Helena.
"Oh, Tuhan, apa yang akan terjadi nanti?" lirih Serena putus asa.
Ia duduk sejenak pada salah satu kursi di area taman rumah sakit. Rautnya terlihat begitu cemas dan lelah. Ia tak pernah menyangka bahwa Helena bisa terbangun secepat ini. Ia bahkan belum mengumpulkan tabungan dan mempersiapkan semuanya untuk melarikan diri.
Ya, jika ada satu hal yang ia inginkan saat ini, sesungguhnya itu adalah melarikan diri. Karena Serena tak ingin hidupnya menjadi rumit dan lebih berat lagi ketika nanti Helena mulai mengusik dan membuatnya tertekan, seperti yang selalu ia lakukan padanya selama ini.
"Mengapa ini begitu cepat? Apa yang harus kulakukan?" lirihnya lagi.
****
Sesampainya di kediaman Julien, Serena mendapati pria itu sedang berada di ruang baca saat ia masuk ke dalam kamar mereka.
"Kau sudah kembali? Aku tak dapat menghubungimu setelah Arnold memberi tahu tentang kepergianmu tadi. Kau ke mana? Mengapa tak meminta sopir mengantarmu?"
Hari yang terasa begitu mengejutkan semenjak sore tadi setelah ibunya memberinya kabar mengenai Helena itu membuat Serena lupa waktu hingga ia tak memeriksa ponsel miliknya yang telah tertera beberapa panggilan tak terjawab dari Julien.
"Maafkan aku, Tuan. Aku hanya ke kampus dan mengerjakan beberapa hal di sana hingga lupa waktu," ucap Serena berbohong.
Julien mengangguk. "Aku mengerti. Baiklah, karena sudah hampir waktunya makan malam, bagaimana jika kita bersiap di ruang makan?" ucap Julien.
Serena balas mengangguk. "Aku akan berganti baju dan membersihkan diri terlebih dahulu."
Julien menggeleng cepat dan tersenyum. "Tak perlu. Aku sudah begitu kelaparan menunggumu."
Langkah Serena terhenti setelah Julien berucap. "Baiklah," jawab Serena kemudian.
Ia beralih ke arah kursi roda di mana Julien telah menempatkan diri. Mereka segera menuju ke arah ruang makan.
Selama makan malam berlangsung, Serena tak banyak berbicara dan sesekali hanya menanggapi ucapan Julien saat pria itu mengajaknya bercakap. Setelahnya, mereka kembali ke dalam kamar.
Serena sendiri masuk ke ruang baca setelah ia membersihkan diri dan berganti dengan baju tidurnya. Ia sengaja menyibukkan diri di ruang baca sementara Julien mandi bergantian dengannya.
"Lihat, sudah kuduga, kau banyak melamun hari ini."
Ucapan Julien membuat Serena tersentak ketika pria itu tiba-tiba sudah berada di belakangnya dengan baju tidur dan penampilan segarnya selepas ia mandi. Ia bahkan tak menyadari sudah berapa lama dirinya berada di sana.
"Oh, Anda mengagetkanku, Tuan," balas Serena karena terkejut.
"Tuan lagi? Panggil aku Julien saja. Sudah kukatakan tak perlu formal lagi padaku, bukan?"
"Ya, Tuan. Maksudku, Julien." Sejenak Serena merasa gugup karena Julien yang tepat di belakangnya sedikit membungkuk sehingga seolah ia sedang mengungkungnya di balik kursi tempatnya duduk.
"Kuperhatikan tak banyak yang sedang kau kerjakan. Apa yang sedang kau tulis? Bahasa baru?" goda Julien sambil menatap laptop terbuka Serena dan sedikit mengerutkan alisnya karena ia mendapati huruf-huruf tak beraturan di sana yang tak membentuk satu kata pun.
Saat menyadari arah tatapan Julien, Serena menjadi salah tingkah. "Oh, ini ... aku hanya sedang tidak fokus saja," ucapnya beralasan.
Julien mengembuskan napasnya. Ia kemudian memutari Serena dan duduk di kursi di sebelah gadis itu. "Ada apa, Serena?" tanya Julien lembut sambil menatap kedua mata Serena dalam-dalam.
"A ... apa maksud Anda?"
"Tak perlu menutupi sesuatu dariku. Aku tahu ada yang sedang mengganggu pikiranmu seharian ini. Katakanlah," balas Julien.
Mendapat perhatian dan pertanyaan yang begitu tulus itu, tiba-tiba saja tenggorokan Serena tercekat. Matanya memanas dan mulai berkaca-kaca. Entah mengapa, ia seolah ingin berhambur ke dalam pelukan dada bidang kokoh milik Julien yang ada di hadapannya itu untuk meredakan kegundahannya seharian ini.
Setelah menimbang sejenak, Serena akhirnya memberanikan diri untuk berkata, "Helena telah terbangun dari komanya."
Ada jeda sejenak sebelum kemudian Julien membalas, "Oh, benarkah? Bukankah itu adalah berita yang bagus?"
"Y ... ya, tentu saja itu bagus," jawab Serena sedikit gugup. Ia sedikit berpaling dari Julien untuk mengerjapkan kedua matanya agar air mata yang mulai tergenang tak jatuh begitu saja.
"Walau begitu, Helena masih harus menjalani perawatan untuk pemulihan, karena kondisinya masih memerlukan itu."
"Tentu, tentu saja, aku mengerti. Jadi, apakah karena itu kau tadi pergi?"
Serena mengangguk. "Ya, maafkan aku, aku tidak ingin membohongimu. Hanya saja, walau ia telah sadar tapi aku belum diizinkan untuk melihatnya. Karena ... karena, itu yang terbaik untuknya. Jadi ... aku, tak memberitahumu jika aku ke rumah sakit dan ..."
"Hei, hei, tak apa," potong Julien. Walau ia tak mengerti mengapa Serena masih terlihat gelisah, namun ia mencoba menenangkannya dengan meraih jemari gadis yang kembali terlihat cemas itu.
"Apa yang sebenarnya mengganggumu, Serena? Jika itu adalah masalah biaya perawatan Helena, kau tentu tahu bahwa kau tak perlu mengkhawatirkan tentang hal itu, bukan? Ada aku."
"Jadi, hentikanlah untuk merasa cemas. Seharian ini kau terlihat tak fokus dan sungguh, itu juga menggangguku."
"Te ... terima kasih," ucap Serena. Ia merasa tak enak hati karena Julien begitu perhatian dan peka tentang masalahnya tanpa ia bercerita banyak.
Memang benar, salah satu kekhawatirannya adalah bagaimana ia akan mengatakan tentang tambahan biaya perawatan Helena yang ibunya minta tadi kepada Julien. Tapi, setelah pria itu meyakinkannya untuk tak khawatir, jujur saja Serena merasa begitu lega.
"Nah, setelah saudarimu sudah dapat dijenguk nantinya, kita bisa bersama-sama mengunjunginya, bagaimana? Dan sekarang, mari kita beristirahat," ajak Julien.
"Kulihat kau begitu tegang dan tampak kelelahan seharian ini. Aku tak ingin kau jatuh sakit sementara aku tak sedang ada di rumah nanti."
"Kau akan pergi?" Pertanyaan dan tatapan Serena yang spontan terucap itu membuat Julien sedikit tersenyum.
"Akhirnya kau benar-benar menatapku sekarang," gumamnya kecil.
"Ya, Serena, aku besok akan mengunjungi salah satu penulis untuk meyakinkannya kembali agar mau menerbitkan karyanya lagi pada perusahaan. Karena ia tinggal di daerah pinggiran kota, kemungkinan aku akan menginap semalam."
"Penulis bernama Lily itu, benar?" gumamnya. Tanpa dapat Serena kontrol, ia tak sadar jika raut wajahnya berubah menjadi sedikit muram. Entah mengapa Serena merasa mengganjal di dalam hatinya.
Ia merasa sedikit kesepian dan perasaan sedih yang tak dapat dijelaskan. Ia yang masih belum tenang itu, merasa seolah kehilangan sosok yang dapat menenangkannya jika Julien tak berada di sisinya.
"Mengapa? Kau tak ingin aku menginap? Jangan katakan karena kau tak ingin tidur sendiri?" goda Julien.
Serena membelalak dan merona. "Apa maksudnya, Tuan? Siapa yang tak dapat tidur sendiri?"
"Kau tentu saja. Setelah terbiasa tidur bersamaku, kurasa kau akan merasa aneh saat tak ada aku di sampingmu, benar? Bukankah kau begitu nyaman saat aku ada di sisimu hingga kau tidur begitu lelap dan tanpa sadar mendengkur?"
"Mendengkur? Aku tidak mendengkur!" protes Serena memerah menanggapi candaan Julien.
Julien sendiri tergelak kecil mendapati reaksi malu Serena. Ia lega karena raut cemas Serena setidaknya telah hilang.
____****____
Saat Helena mengira ia telah berhasil melumpuhkan Julien dengan mengikat kedua tangan pria itu agar tak mengganggunya, saat itu ia mulai kembali melancarkan aksi liarnya. Ia masih menggarap bagian tubuh bawah Julien dengan begitu bernafsu menggunakan mulutnya.Tenaganya saat ini jauh lebih besar dari Julien yang setengah tak sadarkan diri dan begitu lemas tak berdaya. Akibat obat yang diberikan padanya itu, Julien merasa pusing, mual hebat, pandangan menjadi lebih buram, nyeri otot, dan ia merasakan hot flash atau rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Peningkatan aliran darah yang melonjak drastis di area keperkasaannya pun membuatnya merasakan peningkatan sensitivitas, gairah, dan fungsi orgasme.Dalam keadaan tak berdaya tersebut, Julien tentu saja seperti telah dilumpuhkan. Dan ketiks Serena akan memaksa untuk melesakkan keperkasaan Julien ke dalam dirinya, saat itu juha tiba-tiba terdengar pintu kamar terbuka dengan keras."BRAK!"Helena terlonjak. Ia seketika tertegun kar
"Jadi, kau sudah berbaikan dengan ayahku, ya?" tanya Aiden pada Serena yang siang itu mendatangi ruangannya untuk memberikan sebuah bingkisan padanya."Apa ayahmu sudah bercerita?" balas Serena."Yah, begitulah. Ia menceritakan banyak hal termasuk semua yang ia tahan selama ini. Dan berkat itu, aku jadi tahu alasannya tak mencarimu ketika kau pergi. Ia tak ingin aku mengetahuinya karena aku bisa saja terbang ke sana untuk menemuimu dan menyeretmu kembali, begitu yang ia katakan."Serena tersenyum dan mengangguk kecil. "Ya, mungkin karena ia tahu bagaimana dirimu, jadi ia tak membuka hal itu. Tapi, kau telah menemaninya di saat-saat dirinya kesepian dan butuh seseorang. Aku tahu kau begitu sibuk, tapi kau tak meninggalkan ayahmu."Aiden mengembuskan napasnya. "Hanya ia yang kumiliki selain kakek dan nenekku, Seren. Tapi kini, selain dirinya aku juga memiliki kalian, adik-adik kembarku yang menggemaskan, juga kau. Kalian semua adalah keluargaku. Aku baru menyadari bahwa ayahku membutuhk
"Brak!"Serena mendongak seketika saat pintu ruang kerjanya terbuka keras kala ia sedang berfokus pada pekerjaannya. Ia melihat Helena masuk ke dalam kantornya dengan raut memburu yang kuat diikuti oleh sekretarisnya, Amel yang tergopoh-gopoh dan panik."Nyonya, Nona ini memaksa untuk masuk dan ...""Tak apa, Amel, keluarlah," jawab Serena menenangkan wanita itu. Setelah sekretarisnya undur diri, Helena mendekat dan berkacak pinggang di hadapannya."Apa yang telah kau lakukan?" hardiknya pada Serena.Serena meletakkan kaca mata bacanya dan menutup laptopnya untuk menatap Helena."Apa maksudmu?" tanyanya."Tak usah berlagak bodoh, dasar jal*ng!" umpat Helena. "Kau telah menghabiskan malam dengan Julien, bukan? Haruskah kuperjelas lagi peringatan yang pernah kukatakan padamu tempo lalu!? Jauhi dirimya dan jangan berani berbuat macam-macam di belakangku!"Serena hanya mengembuskan napasnya. Sebenarnya ia merasa malas untuk meladeni Helena hari ini karena pekerjaannya sudah begitu menumpu
"Ah, kau sudah kembali?" sapa pemilik penginapan saat melihat Julien masuk ke dalam penginapan dengan sebuah koper di tangannya.Pagi-pagi tadi ia sudah kembali ke area parkir mobil milik istrinya dan membawa kopernya yang kemarin tertinggal karena pertengkaran mereka, sementara Serena sendiri masih terlelap di kamar mereka."Ya, aku membawa koper milik istriku kembali. Sebenarnya ketika kami bertengkar kemarin, ia meninggalkannya di mobilnya di sekitar pertokoan."Pemilik penginapan itu tersenyum. "Aku bisa melihat itu. Dan kurasa, pagi ini kalian telah menyelesaikan pertengkaran kakian dengan baik, bukan? Mengingat betapa cerah dan bersemangatnya dirimu," lanjutnya sambil mengedipkan salah satu matanya seolah sedang menggoda Julien.Julien mengangguk dan tertawa kecil. "Anda benar," balasnya sedikit tersipu malu."Karena kami akan keluar siang nanti, kurasa aku akan menyelesaikan pembayaran sekarang, Nyonya. Terima kasih untuk pelayanan kamar yang begitu baik untuk kami yang kemarin
Paginya, Aiden dan Crystal saling berdiam diri ketika mereka berhadapan di depan meja makan. Ellie dan Bianca yang telah menyiapkan makanan pagi itu tampak sedikit heran dengan kecanggungan mereka."Aku tak mendengarmu datang semalam," ucap Aiden membuka pembicaraan."Ya, tentu saja, Anda sudah tertidur dengan si kembar ketika Nona Crystal datang, Tuan," timpal Ellie."Benar, kami bahkan tidak berani memindahkan mereka karena kami juga tidak ingin mengganggu istirahat Anda." Kali ini Bianca, putri Ellie ikut menimpali."Ya, Crystal yang sudah memindahkan mereka," jawab Aiden."Aku sudah memberitahumu melalui pesan singkat, bahkan meneleponmu ketika aku tiba. Dan saat Ellie memberitahu keberadaanmu, aku melihat kalian telah terlelap. Lalu ... aku memindahkan mereka."Crystal meneguk minumannya untuk menutupi kecanggungannya dan wajahnya yang memerah. Karena ia teringat lagi kejadian yang setelahnya terjadi setelah ia memindahkan si kembar. Ia yakin Aiden juga teringat hal yang sama kar
Dalam kebersamaan mereka, malam itu Julien dan Serena menghabiskan banyak waktu untuk saling berbicara dan mengungkapkan segala perasaan mereka dari hati ke hati. Satu demi satu semua kesalahpahaman terurai dengan baik. Tak ada lagi hal-hal yang saling mereka simpan.Julien menceritakan masa lalunya dan semua yang ia rasa Serena perlu mengetahuinya. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya, Serena menceritakan juga keseluruhan tentangnya, keluarganya, kehidupannya, maupun tentang Helena sendiri."Lalu, mengapa kau tetap membantu keluargaku dan memberi Helena pekerjaan di perusahaanmu?" tanya Serena."Karena mereka adalah keluargamu," balas Julien yang membuat Serena tersentuh. "Saat itu, hanya satu yang kupikirkan. Jika aku tetap menjaga mereka dekat denganku, setidaknya aku tahu kapan kau akan kembali. Itulah yang kupikirkan sebelum aku mengetahui segalanya.""Lalu, setelah kau mengetahuinya, bukankah seharusnya kau sadar bahwa selama ini kami hanya memanfaatkanmu saja? Termasuk diriku."Ada