“Hahh… ahhh… ahhh…” aku terengah, tubuhku terhuyung setiap kali hentakan keras itu menghantamku dari belakang. Pinggangku dipaksa mengikuti irama yang semakin dalam, setiap dorongan membuatku hampir kehilangan suara.
Tangan kekar mencengkeram pinggulku erat, lalu merambat naik ke punggungku. Tubuhku dipaksa menunduk, sementara napas panasnya membakar tengkukku.
“Ahhh…” lenguhanku pecah tanpa bisa kutahan.
Tiba-tiba, sebuah tangan besar mencengkeram rahangku. Dengan tegas, kepalaku dipaksa menatap lurus ke cermin yang ada di dinding.
Bisikan berat dan dalam menyusup ke telingaku.
“Lihat ke depan… jangan berpaling. Lihat bagaimana aku mengisi tubuhmu.”
Tubuhku merinding. Mataku terbelalak menatap pantulan di kaca. Diriku ada di sana, terguncang, basah, wajah merah padam, dengan bibir terbuka menjerit kenikmatan.
Dan di belakangku… sosok pria itu mulai terlihat. Sorot matanya gelap, rahangnya tegas, wajahnya menawan sekaligus menakutkan.
Dan dia adalah ….
Dominic?!
“Ahh!” teriakku, tubuhku tersentak.
Aku langsung terbangun, duduk tegak di ranjang dengan napas terengah, keringat membasahi pelipis. Dadaku naik turun cepat, dan yang lebih parah… inti tubuhku masih berdenyut, basah, seakan mimpi itu benar-benar nyata.
Aku menutup mulutku dengan tangan, tubuhku bergetar. ‘Seriuskah aku baru saja bermimpi tentang Dominic seperti itu!?’
Pria itu memang cinta pertamaku. Tapi selama ini, pun jika aku sempat memimpikannya, hanya bayangan manis yang muncul. Senyum lembutnya, cara dia memperhatikanku, atau ingatan masa kecil yang hangat.
Lalu sekarang … kenapa mimpi itu justru memperlihatkannya seperti pria yang sama sekali berbeda?!
Mencengkeramku, meremas tubuhku, menghantamku dari belakang dengan—
PLAK!
Tanganku sendiri menampar pipi, cukup keras hingga mataku terpejam sesaat.
“Ariella! Sadarlah!” bisikku pada diri sendiri, napasku masih kacau.
Aku menggigit bibir dan menutup wajahku. Ini jelas karena kecelakaan semalam!
Kalau aku tidak batal menginap di tempat Max, lalu tidak memergoki Dominic berhubungan liar dengan perempuan lain, tidak mungkin aku akan memimpikan hal semacam ini!
Cepat, aku segera keluar untuk mencuci pakaian dalamku yang kotor. Untung saja Dominic tidak ada di rumah. Jaketnya, yang biasanya tergantung di ruang tamu saat ia berada di sini, sudah tidak ada. Pertanda dia telah pergi. Aku merasa lega. Setidaknya aku tidak perlu menghadapi kecanggungan kalau harus berpapasan dengannya.
Di saat aku selesai mencuci dan sedang menggantung pakaianku, tiba-tiba ponselku bergetar di atas meja.
Aku langsung mengangkatnya. “Halo?”
“Pagi, Ariella Quinn! Sahabat cantikku!” suara riang Lily—sahabat baikku di ibu kota—langsung memenuhi telingaku. “Sudah siap untuk menghabiskan Sabtu yang indah ini bersamaku?”
Aku mengerjap, bingung. “Hah? Memangnya … kita ada janji?”
Nada suara Lily langsung meninggi. “Ya Tuhan, Ella! Aku sudah ajak kau bertemu sejak sebulan lalu! Bagaimana mungkin kau bisa lupa?!”
Aku menggigit bibir. Memang lupa. Proyek besar kantor yang baru saja kudapatkan adalah alasan janji dengan Lily ini benar-benar hilang dari ingatan.
“Kau sebaiknya jangan beralasan malas atau sibuk, karena aku tidak akan terima!” cecar Lily, seakan bisa membaca pikiranku.
Memaki dalam hati karena Lily seakan bisa membaca pikiranku, aku pun membalas dengan senyum dipaksakan, “T-tidak, tidak. Tenang Lily, aku tidak akan membatalkan janji.” Lalu, aku menambahkan, “Tapi, kita di rumah saja, oke? Aku terlalu lelah untuk pergi keluar.”
“Oke, tidak masalah! Satu jam lagi aku akan sampai di rumahmu. Kau sebaiknya siap untuk menjamu tamu terhormat ini, Nona Sibuk!”
Panggilan pun terputus, membuatku menghela napas. Dasar, Nona Lily Dean ini memang tidak ada lawannya.
Karena sudah berjanji, aku pun lekas mandi. Tidak mungkin aku menerima tamu tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.
Air hangat mengalir di atas tubuhku, membuatku rileks. Namun tanpa bisa kuhentikan, pikiranku kembali pada kejadian semalam.
Pada bayangan Dominic yang sedang memuaskan hasratnya dengan wanita asing itu. Bagaimana tubuh tegapnya menghantam wanita itu tanpa ampun, juga otot punggungnya yang menegang setiap kali ia mendorong lebih dalam. Suara napasnya berat, serak, bercampur dengan lenguhan tinggi wanita itu yang terdengar penuh kepuasan.
Sekejap, inti tubuhku berdenyut. Aku menggigit bibir, tubuhku bergetar. Kenapa aku malah…
Tanganku bergerak sendiri, menyentuh bagian yang paling peka. Napasku terengah, bahuku menegang.
“Ahh…” desah lirih lolos, cepat-cepat kutahan dengan gigi yang menekan bibir. Tubuhku bergetar hebat, terbuai dalam gelombang sensasi yang semakin meninggi.
Sampai akhirnya aku mencapai puncak. Tubuhku merosot, telapak tanganku menahan dinding shower. Napasku kacau, kepalaku pening, dan … kesadaran tentang apa yang baru saja kulakukan menghantamku dengan sangat keras.
Apa yang baru saja kulakukan!?
Jantungku serasa berhenti. Bukan hanya mimpi basah tentang sahabat kakakku itu… aku bahkan baru saja membayangkan Dominic saat … aku menyentuh diriku sendiri?!
Ini gila. Benar-benar gila.
Dengan panik aku membasuh tubuh, mencoba menghapus sisa sensasi dan rasa bersalah sekaligus. Tapi baru saja aku mematikan keran dan keluar dari area shower, suara engsel pintu berderit.
Aku menoleh…
Pintu kamar mandi yang lupa kukunci terbuka, dan Dominic berdiri di sana, menatapku yang tidak terlindungi sehelai benang pun dengan terkejut.
BRAK!Suara pintu rumah yang terbanting keras bergema ketika Dominic mendorongku masuk.Dengan bibirnya yang masih melumat bibirku, tubuhku terjepit di antara pintu dan dadanya yang panas.“Mmphh….”Aku melenguh, tanganku melingkar di lehernya, berusaha menahan diri agar tidak terjatuh selagi dia terus mendorong tubuhku ke dalam ruangan.“Aah…” desahanku pecah di sela ciuman kala punggungku menghantam sofa ruang tamu. Dominic menekanku ke sana selagi ciumannya turun ke leher, menggigit pelan kulitku hingga aku menggeliat.“T-tidak di sini…” lirihku, panik bercampur dengan gairah yang tak terbendung. “Kalau Lucien pulang … dia bisa—”Tak sempat kuselesaikan kalimatku, Dominic sudah meraih kedua pahaku, membuat kedua kakiku melingkari tubuhnya kala dia menggendongku ke dalam kamar dengan mudah, seakan aku tidak berbobot sama sekali.“Dom…!” Aku memekik kecil, memeluk lehernya erat saat kurasakan keseimbanganku goyah. Tapi, dia hanya berkata, “Aku tidak akan menjatuhkanmu.”Dengan tubuh
“Lepaskan aku!” seruku, berusaha menarik lenganku dari genggaman Dominic yang terus menyeretku keluar dari kelab. Namun, sia-sia. Cengkeramannya bagaikan borgol baja.Langkah Dominic begitu lebar, sampai aku harus berlari kecil untuk mengimbanginya agar tidak terjatuh. Hal itu, ditambah dengan seruanku, membuat orang-orang yang tadinya sibuk berpesta kini menoleh memperhatikan.Bisik-bisik mulai terdengar.“Itu Dominic Black….”“Bukankah dia salah satu pemilik Nocturne, kelab malam besar di tengah kota itu? Kenapa dia menyeret seorang gadis keluar seperti itu?”Panas menjalari wajahku. Malu bercampur kesal karena sekarang diriku menjadi tontonan semua pengunjung kelab. Dari awal, sudah kuduga akan begini jadinya kalau ada di antara Dominic dan Lucien yang menemukanku. Lagi pula, keduanya sudah berkecimpung di bisnis malam ibu kota semenjak beberapa tahun dan menjadikan Nocturne—kelab mereka, salah satu kelab ternama tengah kota. Oleh karena itu, sengaja aku memilih untuk datang ke ke
Duniaku seakan berhenti berputar saat mendengar kalimat Amelia. Bertunangan minggu lalu?Setelah menjalin hubungan denganku selama dua tahun, pria itu ternyata bertunangan dengan wanita lain minggu lalu!?Aku menatap Max. Diriku ingin menjerit, melempar semua dokumen yang berhamburan di lantai, dan menghajarnya habis-habisan. Namun kenyataannya … aku hanya berdiri terpaku.Max berusaha meraihku, wajahnya panik. “Ella, dengar aku—”“Jangan sentuh aku!” bentakku, suaraku pecah di udara.Amelia mengerjap, jelas tidak mengerti. Dia hanya berdiri di sana dengan cincin yang berkilau di jarinya, seolah menertawakan kebodohanku selama dua tahun terakhir.Ada dorongan kuat dalam hatiku untuk melampiaskan semuanya pada Amelia, untuk berteriak bahwa aku adalah pihak yang paling dikhianati di sini. Namun, melihat sorot matanya yang polos, wajah mudanya yang masih diliputi kebingungan, aku tahu dia juga tidak bersalah. Sama sepertiku, dia hanyalah korban dari seorang pria yang tidak bertanggung j
Ucapanku memantul di udara, menghantam dinginnya ruangan. Dominic terdiam sesaat, rahangnya mengeras, sorot matanya berubah sekilas. Antara marah dan… terluka?“A-aku … bukan maksudku—” Aku sendiri tercekat dengan kata-kataku, tapi gengsi membuatku tak menariknya kembali.Di sisi lain, ekspresi Dominic menjadi semakin dingin. Aku tidak pernah melihatnya menatapku dengan air muka yang begitu gelap.Lalu, pria itu berujar, “Aku memang bukan siapa-siapa bagimu, tapi … di rumah ini, kalimatku dan Lucien adalah aturan. Jadi, kalau ingin tetap di sini, sebaiknya kau ikuti aturanku. Kalau tidak,” tatapannya menajam, membuat tubuhku menggigil, “maka kau akan kupulangkan ke Greenwood.”**Dua minggu berlalu dalam sekejap mata setelah pertengkaranku dengan Dominic. Selama dua minggu ini, aku berakhir benar-benar menuruti perintahnya, pulang sebelum jam delapan malam. Dan yang mengejutkan, dia selalu ada di rumah, seakan menunggu kepulanganku, baru kemudian berangkat bekerja.Namun, bukannya me
“Berbohong agar bisa bermalam di apartemen kekasihmu? Hebat sekali kau, Ella ….”Aku duduk dengan kepala tertunduk, wajah pucat seperti seorang bocah yang baru saja ketahuan melakukan kesalahan fatal.Dalam hati, aku sempat membatin, rasanya baru kemarin berada di posisi ini setelah memergoki Dominic dengan wanita pirang itu. Tapi sekarang, aku sudah kembali berada di posisi yang sama.Tadi, setelah Dominic melontarkan ancaman padaku dan Lily, dengan pasrah kami menyatakan semua kebenarannya. Alhasil, usai pengakuan kami selesai, Dominic marah besar dan meminta Lily pulang.Aku sempat memohon padanya untuk tidak mengirim Lily pulang lantaran baru sesaat sahabatku itu menghabiskan waktu denganku, tapi ….“Ini hukuman untuk kalian agar belajar untuk tidak berbohong dan berbuat hal konyol,” tegasnya dengan pancaran dingin yang langsung membuat Lily dan aku ciut.Hanya saja, tidak kuduga, saat mengantar Lily ke depan gerbang, sementara Dominic tetap duduk di sofa ruang tamu, sahabatku itu
“Aahh!”Dengan panik aku menjerit, menyambar handuk yang tergantung di dekatku dan menutup tubuh seadanya. Wajahku memanas, jantungku seperti mau copot.Dominic tidak segera pergi. Sorot matanya yang gelap menatapku. Rahangnya mengeras, jelas dia juga tidak menyangka akan melihatku seperti ini.Sepersekian detik yang terasa seperti selamanya berlalu, sampai akhirnya ia menarik napas kasar. “Kunci pintu lain kali,” katanya datar, suaranya berat namun tegas.Lalu pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkanku berdiri terpaku dengan tubuh gemetar.Aku menatap pantulan diriku di kaca. Wajahku merah, mataku lebar, napasku masih kacau.Tak elak, aku membatin, ‘Bukannya dia pergi?! Kenapa bisa tiba-tiba muncul seperti tadi?!’Selesai mengenakan pakaianku lagi, aku memberanikan diri keluar dari kamar mandi.Di ruang tamu, Dominic duduk di sofa, satu lengan bertumpu pada sandaran, posturnya santai tapi sorot matanya langsung terarah padaku saat aku muncul.“Kau sudah selesai?” tanyanya sing