LOGIN“Aahh!”
Dengan panik aku menjerit, menyambar handuk yang tergantung di dekatku dan menutup tubuh seadanya. Wajahku memanas, jantungku seperti mau copot.
Dominic tidak segera pergi. Sorot matanya yang gelap menatapku. Rahangnya mengeras, jelas dia juga tidak menyangka akan melihatku seperti ini.
Sepersekian detik yang terasa seperti selamanya berlalu, sampai akhirnya ia menarik napas kasar. “Kunci pintu lain kali,” katanya datar, suaranya berat namun tegas.
Lalu pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkanku berdiri terpaku dengan tubuh gemetar.
Aku menatap pantulan diriku di kaca. Wajahku merah, mataku lebar, napasku masih kacau.
Tak elak, aku membatin, ‘Bukannya dia pergi?! Kenapa bisa tiba-tiba muncul seperti tadi?!’
Selesai mengenakan pakaianku lagi, aku memberanikan diri keluar dari kamar mandi.
Di ruang tamu, Dominic duduk di sofa, satu lengan bertumpu pada sandaran, posturnya santai tapi sorot matanya langsung terarah padaku saat aku muncul.
“Kau sudah selesai?” tanyanya singkat.
Aku hanya mengangguk. Dominic pun berdiri, handuk disampirkan di pundaknya. Kentara dia baru saja mau mandi.
Saat itu, mataku tanpa sadar melirik ke gantungan di dekat pintu. Jaket hitamnya yang biasa tergantung di sana tidak ada.
“Jaket Kak Dom tidak ada di gantungan,” ucapku spontan. “Kukira Kak Dom keluar.”
Dominic ikut melirik ke arah gantungan, lalu kembali menatapku. “Kau mungkin tidak ingat, tapi… karena terburu-buru, wanita tadi malam membawanya.”
Hening seketika memenuhi ruangan. Wajahku memanas, merona merah karena dengan bodoh kembali mengungkit kejadian memalukan tadi malam.
“O-oh…” gumamku canggung, lalu segera berjalan menuju kamar. Meski tidak menoleh, aku bisa merasakan tatapannya masih menempel di punggungku.
Sebelum masuk, aku menoleh sekilas. “Nanti Lily mau datang,” ucapku, sekadar menginfokan dirinya yang tampak hendak memasuki kamar mandi.
Dominic pun mengangguk. “Oke. Selamat bersenang-senang,” balasnya singkat sebelum menutup pintu kamar mandi.
Reaksi dinginnya itu sudah kuduga. Lagi pula, Dominic paling tidak suka menerima tamu di rumah, dan akan memilih pergi kalau memang aku atau Lucien kedatangan tamu. Itulah alasannya kenapa aku sangat terkejut melihatnya membawa seorang wanita tadi malam, dan juga kenapa aku mengira wanita itu kekasihnya.
Sekitar satu jam kemudian, sesuai ucapannya, Lily sampai di rumahku. Saat kubuka pintu, dia berdiri di sana dengan senyum lebar manisnya dan rambut yang diikat kuda. Satu tangannya menenteng sebuah kotak kue.
“Aku bawakan kue soes favoritmu!” katanya riang sambil masuk ke dalam.
Setelah menyerahkan kotak kue itu, pandangannya langsung berkeliling, melirik ke kiri dan ke kanan. “Kak Lucien dan Kak Dom tidak di rumah?”
Mendengar itu, aku hanya bisa memutar bola mata selagi meletakkan kotak soes itu di atas meja.
“Ternyata tujuanmu kemari bukan untuk menemuiku, tapi kakak-kakakku, ya?”
Lily mendekat, lalu merangkulku dari belakang. “Astaga, jangan berpikiran buruk seperti itu, Ella. Tentu saja tujuan utamaku adalah untuk menemuimu. Tapi…” Dia mengedipkan matanya genit. “Kalau ada bonus melihat pria tampan, kenapa tidak?”
Aku menggeleng pelan, tak mampu menahan senyum. “Kak Lucien belum pulang semalaman. Sepertinya dia sibuk menggantikan Kak Dom yang… libur. Dia di kamarnya. Jadi jangan berisik.”
Mulut Lily pun membentuk huruf ‘o’, lalu dia langsung melemparkan bokongnya ke sofa ruang tamu selagi aku mempersiapkan kudapan dan minuman.
Setelah duduk, aku dan Lily pun larut dalam obrolan ringan, membicarakan pekerjaan, tren terbaru, hingga gosip terkini tentang kenalan kami yang membuatku sesekali tertawa.
Kemudian, Lily tiba-tiba mencondongkan tubuh dan bertanya, “Oh ya, bagaimana dengan rencanamu dan Max tadi malam?”
Aku sontak panik, menempelkan jari ke bibirnya. “Lily! Pelankan suaramu!”
Aku buru-buru melirik ke belakang, ke arah pintu kamar Dominic yang tertutup rapat, lalu kembali mendelik ke Lily. “Kalau Kak Dom dengar, bagaimana!?”
Sebenarnya, Lily adalah teman yang namanya kugunakan tadi malam untuk menipu Lucien dan Dominic. Sebuah bantuan kecil yang membuat kedua pria itu tidak curiga sedikit pun bahwa aku bermalam di tempat Max.
Baru sadar betapa keras suaranya barusan, Lily menutup mulut dengan satu tangan. “Maaf, El. Lupa … soalnya Kak Dominic biasanya tidak di rumah ….”
Tapi, cepat ekspresi bersalah wanita itu berubah cerah kembali.
“Jadi, bagaimana?” tanyanya lagi dengan suara lebih rendah. “Ceritakan cepat!” tuntutnya.
Aku tersenyum pahit, jemariku merapikan rambut ke belakang telinga. “Tidak ada yang terjadi. Aku dan Max… tidak melakukannya.”
Lily langsung mendelik. “Apa?! Bagaimana bisa!?” tanyanya, ingin berteriak tapi ditahan.
Tanpa membuang waktu lagi, aku pun menceritakan apa yang terjadi semalam. Dimulai dari bagaimana Max menghentikan tindakannya ketika sang ayah meneleponnya, hingga berujung dengan keputusannya untuk mengirimku pulang dengan taksi tanpa mengantarkanku turun.
Usai mendengar ceritaku, Lily memasang ekspresi marah. “Apa!? Bajingan itu mengusirmu di jam sebelas malam karena tidak ingin mengenalkanmu pada ayahnya? Apa dia sudah gila!?”
Lily terus melontarkan makian yang tidak sesuai dengan wajah cantiknya. Aku berusaha menenangkannya, tapi jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku tahu semua pertanyaan dan kekesalannya itu masuk akal.
“Dia … hanya belum siap, Lily,” ucapku, tidak yakin dengan pembelaanku sendiri terhadap Max.
Lily langsung menggeleng. “Tetap saja itu tidak masuk akal, Ella! Apa wajar ayahnya yang jarang berkunjung tiba-tiba datang di waktu seperti itu dan bukan di siang hari!? Aku lebih percaya dia memiliki pacar lain!”
Begitu kata-kata tajam itu lolos, Lily langsung menutup mulutnya. “Astaga, maaf, Ella… aku… aku kelewatan. Aku—”
“Siapa yang punya pacar lain?”
Suara berat itu tiba-tiba memotong percakapan, membuat aku dan Lily sama-sama terlonjak kaget. Kami menoleh hampir bersamaan.
Di ambang pintu yang tidak kami sadari sudah terbuka sejak kapan, Dominic berdiri dengan kaos hitam ketat yang membingkai tubuhnya yang kekar. Dengan rambut basah yang sudah tertata rapi, sorot matanya tajam menusuk ke arah kami.
“Aku bertanya, apa kalian tidak mendengarnya?” tegas Dominic lagi, membuatku langsung menelan ludah.
Di sebelahku, Lily tergagap, wajahnya pucat. “E-eh, Kak Dom! H-hai! B-bukan apa-apa, aku dan Ella hanya—”
Dominic melangkah maju, ekspresinya semakin dingin. Suara langkahnya terdengar berat di lantai kayu, hingga akhirnya ia berdiri menjulang tepat di hadapan kami yang duduk di sofa.
Tatapannya menancap lurus, penuh tekanan. “Sebaiknya kalian jelaskan padaku dengan jujur mengenai apa yang terjadi kemarin malam atau…” Dominic melirikku tajam dan menambahkan, “... haruskah aku libatkan Lucien untuk ini?”
**
Apa ... Dominic akan tahu perkara Max???
Mendengar pernyataan Max, selama sesaat otakku seakan berhenti bekerja. Sebelum kemudian, ekspresiku berubah keruh selagi dua tanganku menepis tangannya kuat.“Lepaskan aku!” ucapku dengan suara tertahan, berusaha menahan emosi agar tidak menarik perhatian orang lain. “Kita sedang di kantor, kegilaan apa yang kau pikir sedang kau laku—”Namun, mata Max memancarkan amarah seiring dirinya kembali menekan pundakku ke pintu.“Jawab dulu!” bentaknya. “Siapa dia? Siapa laki-laki itu?!”Meringis karena tekanan yang dia berikan, aku pun menggertakkan gigi selagi membalas, “Bukan urusanmu.”“Jadi benar?! Kau sungguh sudah memiliki kekasih lain?!” tukasnya, terdengar sangat tidak terima. “Apa itu pria yang terakhir mengganggu percakapan kita?!”“Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, Max,” jawabku tajam. “Jadi, pun aku memiliki hubungan dengan orang lain, itu adalah urusanku dan bukan lagi urusanmu!” Kutepis lagi dua tangannya selagi menambahkan, “Sadar dirilah bahwa kau memiliki seorang tunang
“Waw, Ella! Kau sudah menyelesaikan rancangan presentasi untuk proyek Escaban Digital?!”Suara Jeff menggema dari seberang bilik, membuatku mendongak dari layar laptop.“Kau sedang bersemangat sekali ya?!” katanya dengan wajah tak percaya, membuatku hanya bisa tersenyum tak berdaya sebagai balasan.Melihat ini, Jeff menggeleng-gelengkan kepala selagi menghela napas tak berdaya.“Haah … aku jadi merasa sia-sia sudah mengkhawatirkan kesehatanmu sejak sebelum libur.”Ucapan Jeff membuatku mengerjap bingung. “Hah? Maksudmu?”Jeff pun menaikkan alis kanannya. “Terakhir kau izin setengah hari karena tidak enak badan, ingat?” katanya, tampak sedikit bingung karena aku tidak mengerti maksudnya.Sontak aku mengerjap, sungguh lupa dengan kebohongan di hari itu. “O-ohh!! Ya, ya! Ha ha ha,” balasku selagi menggaruk kepala yang tidak gatal. “Jangan khawatir, aku sudah lebih baik sekarang.”Mendengar itu, Jeff menghela napas lega. “Ya, baguslah kalau memang begitu. Jadi, kau tidak perlu takut terke
Mencerna omongan Lucien, aku terdiam dan berpikir keras. Kalau mengingat kejadian tadi, tepat ketika Helena melukaiku dan Dominic berusaha menarikku ke dalam pelukannya, aku memang merasakan tubuhnya bergetar hebat saat menyadari adanya luka di wajahku. Tapi, itu hanya sesaat, karena setelahnya Dominic lepas kendali dan bersikap kasar pada Helena, melawan prinsipnya yang tidak pernah menyakiti wanita.Apa … aku begitu penting baginya sampai dia melakukan semua itu?‘Aku menginginkanmu, Ariella … sangat menginginkanmu ….’Mengingat kalimat Dominic tadi, jantungku berdebar kencang. Perasaan hangat spontan menyelimutiku, dan tak sadar sudut bibirku pun terangkat.Karena aku terdiam tanpa memberikan tanggapan berarti, Lucien melirikku cepat ketika lampu lalu lintas berubah merah. Ekspresinya pun berubah melihat senyuman di bibirku, seakan aku aneh dan kehilangan kewarasan. Lalu—PLAK!“Ah!” seruku merasakan tamparan ringan pada belakang kepalaku. Aku langsung menoleh pada Lucien. “Apa yan
Saat pertanyaan itu melambung, aku langsung mematung. “H-hah?”Pandangan Lucien masih mengarah ke bibirku. “Ini, Ella. Bibirmu bengkak juga! Apa tadi—”“Kak Lu!” seruku seraya menurunkan tangan Lucien dari wajahku. “Tenangkan sedikit dirimu!”Dibentak seperti itu, Lucien agak terkejut. “H-hah? Oh … ya,” balasnya, ling-lung. Tapi beberapa detik kemudian, rasa penasarannya kembali menyala. “Hei! Tapi tidak, aku serius! Bibirmu itu bengkak! Apa jangan-jangan kau makan nanas dan kena alergi? Kalau ya, cepat makan obatmu!” celotehnya dengan lantang, membuatku merona merah lantaran ada begitu banyak tamu berlalu-lalang yang berakhir memerhatikan perdebatan konyol kami.Cepat kutarik tangan Lucien agar dia membungkuk dan mendengar bisikanku. “Berhenti berteriak dan kecilkan suaramu! Atau paling tidak, kalau kau masih waras dan ingin menjaga reputasi adikmu, ayo kita pulang dulu baru bicarakan hal ini, bisa!?” desisku sembari mencengkeram tangannya dengan gemas.Ucapanku refleks membuat Lucie
Walau kesal karena mendapatkan info tersebut, aku berusaha bersikap tenang agar Maya tidak curiga. “Oke,” ucapku sembari memaksakan senyuman, “aku akan segera turun. Tolong minta Kak Lucien tunggu sebentar.”Maya mengangguk pelan. Setelah itu, ia pamit dan melangkah pergi menjauh dari ruangan Dominic dan turun ke lantai bawah.Usai kepergian Maya, aku pun menutup pintu, dan keheningan langsung kembali mengisi udara. Menarik napas saat menatap pintu itu beberapa detik, aku perlahan berbalik pada Dominic.Dengan ekspresi menyayangkan, aku pun berkata, “Sepertinya, percakapan kita harus ditunda.”Dominic terdiam sesaat, meraih tanganku dan mengikatkan jarinya di sana. “Kau bisa tinggal,” ucap pria itu tiba-tiba. Dia mencium punggung tanganku dan melanjutkan, “Aku bisa memintanya untuk pulang.”Jantungku berdebar keras satu kali saat mendengarnya mengatakan itu. Tidak menyangka seorang Dominic, yang lebih sering menyuruhku pulang, akan memintaku untuk tetap tinggal.Namun, terlepas betapa
Dominic menautkan alis, tampak bingung dengan pernyataanku. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan. “Bukankah tadi pagi kau yang berkata ingin melupakan semuanya?”Pertanyaan itu membuat dadaku seketika menegang. Aku menggigit bibir, mencoba menahan debar yang tiba-tiba datang.“Itu tadi… sebelum aku berpikir jernih,” ucapku pelan, membuat kerutan di dahinya semakin dalam. “Sekarang, setelah kupikirkan baik-baik, aku merasa… itu tidak adil.”“Tidak adil?” ulang Dominic, nada suaranya datar tapi tajam.Aku mengangguk, menatapnya dengan keberanian yang hampir goyah. “Tadi pagi aku bilang ingin kita melupakannya. Tapi sebenarnya… itu hanya karena aku tidak ingin Kak Lucien tahu.”Aku menelan ludah, menatap Dominic lurus. “Kalau dia tahu, bukan cuma aku yang akan kena akibatnya, tapi juga Kak Dom… Nocturne… dan semua orang di dalamnya.”Cepat aku menunduk, jemariku meremas erat pakaianku selagi otakku berusaha merangkai kata berikutnya dengan hati-hati.“Tapi, di sisi lain… aku tidak bisa berpura-







