LOGINRisaa menatapnya penuh perhatian. “Jadi semuanya sudah berjalan, ya?”
Kim mengangguk. “Benar. Prosesnya tinggal menunggu jadwal sidang pertama. Dan surat panggilan akan dikirim ke rumah keluarga suami Anda.”
Risaa menarik napas lega. “Syukurlah. Setidaknya satu hal sudah selesai.”
Kim memperhatikan raut tenangnya. Dia terlihat kuat, pikirnya. Tidak seperti perempuan yang sedang berjuang melewati perceraian. Tapi di balik ketenangan itu, ia bisa melihat sisa luka yang disembunyikan Risaa dengan sangat rapi.
“Kalau ada hal yang perlu didiskusikan, saya siap membantu,” ucap Kim.
Risaa tersenyum ke
Ia melirik Dante yang tak menanggapi. Lelaki itu menatap lurus ke arah Risa dengan sorot mata yang tajam, hampir sulit dibaca.Bagi Vivian, itu hanyalah ekspresi kelelahan—mungkin rindu pada sahabat lamanya yang dulu punya senyum serupa.Namun bagi siapa pun yang cukup peka, tatapan Dante malam itu bukan sekadar nostalgia. Ada sesuatu yang dalam, kelam, dan berbahaya berputar di balik matanya.Tawa Risa menggema di antara musik, ringan dan jujur, dan entah kenapa membuat Dante merasa sesak.Ia menatap gadis itu yang kini tertawa bersama Leon—tawa yang sama seperti dulu milik Ruby.Namun kali ini, perasaan yang muncul di dadanya bukan nostalgia, tapi sesuatu yang lebih gelap.Tangannya me
Dante hanya menoleh sekilas. “Terima kasih,” jawabnya datar, tanpa benar-benar melihat Risa.Ucapan singkat itu membuat dada Risa terasa sesak.Namun musik kembali mengalun, para tamu kembali bercengkerama, dan pesta berjalan sebagaimana mestinya.Satu per satu orang datang memberi selamat ulang tahun pada Dante, dan setiap kali itu terjadi, Risa harus tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.Ketika kue ulang tahun akhirnya datang, lampu meredup, dan lagu selamat ulang tahun menggema lembut di udara. Dante berdiri di tengah ruangan—karismatik, tenang, nyaris tak tergoyahkan.Pisau kue di tangannya bergerak perlahan, memotong lapisan lembut kue berkrim putih. Potongan pertama diberikan kepada kakek, lalu nenek.
Setelah Risa mengatakan itu Dante tak menjawab.Sebaliknya, ia menarik Risa ke dalam pelukannya—erat, dalam, tanpa peduli pada semua mata yang menyaksikan.Desis pelan terdengar di antara para tamu. Vivian terpaku di tempatnya, wajahnya memucat.Risa membeku. Ia tak tahu harus berbuat apa—hanya bisa berdiri kaku, jantungnya berdetak terlalu keras. Tangannya refleks mencengkeram lengan Erick, mencoba mencari pegangan di tengah kebingungan.Pelukan itu… hangat, tapi juga berat.Seolah seluruh kerinduan dan kesedihan bertahun-tahun tertumpah di dalamnya.“Om… dilihatin orang,” bisik Risa pelan, nyaris tak terdengar di tengah dentuman musik lembut.
Air mata Risa kembali mengalir. Kini semuanya mulai masuk akal—mengapa Dante selalu menghindar jika ia menyinggung masa lalu, mengapa setiap kali ia bertanya tentang orang tuanya, Dante hanya mengusap kepalanya dan mengganti topik.Semua itu bukan karena tidak peduli. Tapi karena luka itu masih terlalu dalam. Luka yang bahkan waktu tak sanggup menyembuhkan.Risa memejamkan mata. Untuk pertama kalinya, ia bisa merasakan beban di balik setiap senyum Dante—bukan senyum kemenangan, tapi senyum seseorang yang berusaha hidup dengan kehilangan yang tak pernah benar-benar hilang.Risa memandang kosong ke arah jendela kamar yang mulai redup diterpa cahaya senja. Kata-kata Erick masih terngiang di kepalanya—tentang kecelakaan, tentang kegilaan, dan tentang senyum pertama Dante setelah sekian lama tenggelam d
Dunia Risa langsung berhenti berputar. Suara-suara di sekelilingnya lenyap, berganti dengan denging tajam di telinganya. Pandangannya gelap seketika, tubuhnya limbung.“Nona!” Erick cepat-cepat menangkap tubuh Risa yang jatuh tak sadarkan diri. Ia mengangkatnya ke pelukan, wajahnya pucat.“Jangan sampai ada yang lapor Nona pingsan di sini,” bisiknya tegas pada para pengawal lain. “Kalau Tuan tahu… kita semua bisa mati.”Para pengawal langsung menunduk makin dalam, tak berani berkata apa-apa. Erick segera melangkah cepat membawa Risa kembali ke kamar.Tak lama kemudian, dokter keluarga datang untuk memeriksa. Luka di kaki Risa dibersihkan dan dibalut dengan hati-hati. Saat akhirnya Risa sadar, ruangan sudah sunyi. Hanya Erick ya
Risa seolah menanyakan langsung pada foto yang diam membeku di layar.Tangannya gemetar halus, bukan karena marah—lebih karena perasaan tak nyaman yang tiba-tiba merayap dari dada hingga tenggorokannya.Dia menatap foto itu lama, seolah berharap jawabannya bisa muncul dari tatapan mata Dante di masa lalu itu.Di bawah foto itu, tertera empat nama.Dante Santoso.Vivian Kurniawan.Erlang Mahardika.Ruby Aghastya.Empat sahabat masa kecil—dua laki-laki dan dua perempuan.Dante bersama Vivian, sementara Erlang dengan Ruby.Risa menatap layar ponsel







