"Dasar pelakor gak punya malu!"
Hinaan itu meluncur dari mulut seorang perempuan beserta segelas air, yang dia siramkan ke wajah seorang perempuan lain yang duduk di hadapannya. Rautnya terlihat murka dan sangat marah, sebab dia pikir jika perempuan itu sudah merayu suaminya. Sementara Misya yang dituduh sebagai pelakor hanya terbengong-bengong, lantaran terkejut dengan kedatangan perempuan yang mengaku sebagai istri pacarnya. 'Apa-apaan ini?' Misya menarik tisu, lalu mengusap wajahnya yang basah. Hawa panas sudah menjalar di dada. Dia merasa marah serta tak terima karena sudah dipermalukan seperti ini. Namun, sesaat dia pun menyadari sesuatu. Sebentar. Jadi, selama ini dia sudah ditipu? Ternyata, Erik sudah punya istri? Berengsek! Erik sialan! 'Bisa-bisanya pria pelit itu nipu aku. Dasar kadal buntung!' Misya mengutuk pria bernama Erik, yang sudah setahun lebih menjalin hubungan dengannya. Misya tentu tidak terima dituduh sebagai perebut suami orang. Biar gini-gini, masih banyak laki-laki yang rela antre untuk merebut hatinya. Kalau Misya tahu jika Erik sudah beristri, mana mau dia sama laki-laki modelan macam itu. Cuih, ora sudi! 'Enggak! Ini gak bisa dibiarin. Enak aja main asal nuduh. Padahal jelas-jelas lakiknya yang tukang tipu.' Misya mengangkat dagunya tinggi-tinggi, seolah dia tidak merasa terintimidasi. Dengan lantang dia membela diri. "Maaf, aku gak pernah merasa merayu suamimu. Suamimu yang sudah menipuku. Sejak awal pun dia yang ngejar-ngejar. Dia yang ngebet." Manik perempuan di hadapan Misya sontak membulat sempurna. Dari raut wajahnya terlihat sekali jika perempuan ini tidak terima suaminya dijelek-jelekkan. "Eh, mana ada suamiku yang ngejar-ngejar kamu? Kamu, tuh, yang kegatelan sama suamiku. Memangnya aku gak tau kalo tiap malem kamu chat dia, hah! Dasar perempuan murahan!" Rahang Misya mengerat, tisu bekas mengelap wajah dia remas kuat-kuat hingga tak berbentuk. Amarahnya sudah di ubun-ubun, tapi sebisa mungkin Misya menahannya. Dia pun segera tersadar jika saat ini dia sedang menjadi pusat perhatian di kafe itu. Telinganya tidak tuli, matanya tidak buta. Kegaduhan itu memang langsung menyedot perhatian orang-orang yang sedang bercengkrama di mejanya masing-masing. Mereka terkejut bukan main, saat melihat seorang istri sedang melabrak pelakor di siang bolong begini. Tatapan menghakimi semua orang yang berada di kafe itu tertuju pada Misya, yang sudah basah kuyup. Tak lama suara bisik-bisik tak mengenakkan pun seketika memenuhi ruangan itu. Bahkan, ada yang terang-terangan merekamnya. "Astaga, jaman sekarang masih aja jadi pelakor. Kayak gak ada laki-laki single aja." "Iya, ya. Kadang gemes sama perempuan modelan begitu." "Kenapa gak sekalian aja jual diri. Daripada sih rebut suami orang." "Iya, bener." "Mungkin dia memang ngincernya laki-laki beristri." "Awas, loh. Bisa-bisa nanti suami kalian yang jadi targetnya selanjutnya." "Ih, amit-amit!" "Pelakor kayak gitu emang sepatutnya dikasih pelajaran. Sekali-kali dikasih sangsi sosial biar tau rasa!" Misya memejamkan mata sejenak, sambil menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Dalam hati dia mendoktrin dirinya sendiri. 'Sabar Misya … Sabar … Kamu gak perlu takut. Kamu gak salah.' Si wanita yang kesal pada Misya tersenyum puas, merasa menang sudah mempermalukan kekasih suaminya. Namun, senyum itu tak bertahan lama dari bibirnya, setelah kata-kata telak yang terlontar dari mulut Misya. "Aku kasian sama kamu. Capek-capek kamu ngelabrak aku yang gak tau menahu soal pernikahan kalian. Kalo kamu pikir aku yang salah, oke, aku minta maaf. Tapi, aku harap setelah ini suamimu bisa setia sama kamu dan gak cari mangsa baru." Misya berdiri setelah mengatakan, yang ingin dia katakan. Pandangannya mengedar, menatap satu persatu orang-orang yang berada di kafe itu. Dia sudah muak berada lama-lama di tempat ini. Oh, masih ada satu lagi yang ingin dia sampaikan ke wanita yang ternyata sedang hamil itu. "Bilang sama suamimu, kalo dia gak perlu bayar utangnya ke aku. Jumlah segitu gak ada apa-apanya buatku. Aku ikhlas, dan semoga uang itu bermanfaat buat biaya melahirkanmu nanti." Misya menyampirkan tali tas ke bahu, lalu berpamitan. "Permisi!" Si wanita berambut ikal itu melotot pada Misya. Keterkejutan bercampur rasa malu tercetak jelas di wajahnya. Kini, giliran dia yang merasa kesal. "Kamu? Apa maksudmu?" Misya tersenyum mengejek. Tak berminat memberi penjelasan yang dia rasa tak berguna. Dia juga tidak peduli dengan tatapan sinis dari istri mantan pacarnya. Misya berbalik dan beranjak pergi dari kafe itu. 🌸🌸🌸 Misya memasuki mobil yang terparkir di depan kafe, dan langsung berteriak mengumpat Erik sambil memukuli roda kemudi. "Arrhhh! Erik sialan! Berengsek! Berani-beraninya dia nipu aku!" Andai dia tahu jika Erik sudah beristri, mana mungkin Misya mau menjalin hubungan dengan pria itu. Apalagi, selama berpacaran, Erik sering tidak pernah modal. Saat berkencan, Misyalah yang sering keluar uang. Bagi perempuan dua puluh delapan tahun itu uang tak jadi masalah. Toh, masih bisa dicari. "Pantes aja, dia sering alesan kalo aku ajak pergi hari Minggu. Ternyata, dia— Arhh …." Misya menjatuhkan kening di roda kemudi, melampiaskan kekesalan yang dirasa sungguh percuma. Buang-buang tenaga saja! pikirnya. Perhatian Misya teralihkan pada ponselnya yang tiba-tiba berdering. Dia bergegas mengambilnya dari dalam tas. Nama si pemanggil membuat kening Misya mengernyit. "Om Salim?" Perasaannya mendadak tidak enak, dan segera menjawab panggilan itu. "Halo, Om?" Segurat kekhawatiran terlihat di garis wajah cantik itu. 'Misya, datanglah ke rumah sakit sekarang. Papimu tadi jatuh pingsan.' Kabar tersebut membuat jantung Misya mencelos ke dasar perut. "Papi …. 🌸🌸🌸 Bersambung... Holaaa.... ketemu di buku baru aku^^ mohon dukungannya yaa... semoga suka sama kisahnya Glenn dan Misya😍 selamat membaca....Sehari sebelumnya~ "Suami bayaran?" Antara terkejut sekaligus heran, saat mami Kumala menyarankan sebuah solusi yang sungguh tidak dimengerti oleh Misya. Perempuan dua puluh delapan tahun itu pasti banyak ketinggalan berita, sampai-sampai dia baru mendengar istilah aneh tersebut. 'Suami bayaran? Di jaman sekarang memangnya ada hal semacam itu?' Dalam hati, Misya bertanya-tanya sambil membayangkan. "Misya?" Mami Kumala bersuara sebab orang yang sempat bersemangat meminta solusi kini hanya mematung tanpa berkedip. Misya terhenyak, dan baru berkomentar, "Suami bayaran? Maksud Mami, Misya sewa jasa suami bayaran, begitu?" Mami Kumala mengangguk dan tersenyum. "Memangnya ada yang mau?" "Jaman sekarang mana ada, sih yang nolak kerjaan gampang kayak gitu?" "Bener juga, sih..." Misya menggigit bibir bawahnya, lalu menyandarkan punggung. Dia berpikir keras agar solusi ini ke depannya tidak bermasalah. "Tapi, apa itu legal? Maksud Misya, hal semacam itu apa diperbolehk
"Papi?"Seketika Misya panik, reflek berdiri lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan berisik itu. Dia menjadi parno sendiri—merasa diawasi oleh sang papi."Gimana ini?" Misya memandang ponsel yang ada di genggaman, ragu menjawab sebab tak ingin papinya menaruh curiga. Sementara ponselnya terus berdering. "Aku keluar dulu, deh."Tak ingin sang papi mendengar suara berisik di tempat itu, akhirnya Misya memutuskan untuk pergi keluar. Perempuan itu berlari secepat mungkin, dan baru berhenti ketika tiba di pintu masuk kelab.Sejenak mengatur napas dan irama jantung yang saling berkejaran, Misya lantas segera menjawab panggilan tersebut. "Halo, Pi?" Dia melangkah keluar, menuju parkiran kelab.'Lama banget jawab teleponnya.' Suara Gunawan terdengar cukup kesal dari ujung sana."Maaf, Pi. Tadi Misya baru selesai mandi. Ada apa, Pi? Tumben telepon malem-malem." Misya berjalan mondar-mandir, sambil menggigit bibir bawahnya karena sudah berbohong.'Kamu jam segini baru mandi?'"Iya, Pi. M
Misya akui jika pemuda yang entah datangnya dari mana ini cukup mempunyai tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi. Tanpa sungkan meminta izin di hadapannya, lalu memperkenalkan diri. "Glenn." Senyum Glenn begitu lebar saat menyodorkan tangan ke hadapan wanita cantik, yang tengah menatapnya penuh tanya. Pemuda itu sangat yakin jika dia tidak akan mendapat penolakan. Sementara Misya semakin bingung sekaligus curiga. Dalam hati dia bertanya-tanya—sebenarnya apa motif pemuda itu. 'Ini anak emang ganteng, sih. Cukup berani juga.' Misya membatin sambil menelisik wajah Glenn yang terbilang ganteng. Setelah cukup menimbang-nimbang, akhirnya Misya membalas uluran tangan Glenn. "Misya." Senyum Glenn semakin lebar ketika target di hadapannya mau membalas uluran tangannya. "Namanya cantik," pujinya. "Makasih." Misya menarik tangannya perlahan dari genggaman Glenn. Dia lantas sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar pemuda yang baru saja memujinya 'cantik' itu tidak menyadari kala
"Yang mana?" tanya Dika, masih belum menemukan sosok perempuan yang dibicarakan Glenn. Namun, Azka langsung angkat bicara. "Oh, yang di sana, ya? Yang pakek baju warna merah?" Glenn menoleh ke Azka. "Iya. Tante itu," ucapnya. "Kayaknya udah tiga kali dia ke sini." Glenn menyesap minumannya sampai habis. "Hmm. Emang sering ke sini, sih. Tapi, gue perhatiin dia pasti murung. Ke sini, ya, paling-paling cuma pesen minum, ngerenung, terus pulang. Gak yang seneng-seneng kayak orang-orang itu, tuh!" Azka menunjuk beberapa orang yang sedang asyik berjoget di lantai dansa dengan pasangannya. Entah pasangan halal atau bukan. "Cuma gitu doang? Lah, buat apa dia jauh-jauh dateng ke tempat ini? Kalo ujung-ujungnya masih kesepian kayak gitu? Gak happy." Dika mulai tertarik dengan pembahasan mengenai sosok perempuan dewasa yang sebelumnya tidak dia sadari keberadaannya. Glenn tak banyak berkomentar. Pemuda itu diam saja, tetapi isi kepalanya mulai dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaa
Setelah seharian berada di rumah Dika, Glenn tidak langsung kembali ke rumahnya lebih dulu. Melainkan langsung pergi ke kelab bersama temannya itu. Keduanya menunggangi motornya masing-masing, melaju dengan kecepatan sedang di jalanan yang cukup ramai. Berkat pekerjaan tersembunyinya itu pula, Glenn bisa membeli motor impiannya meski dengan cara dicicil perbulan. Hanya lulusan SMA, mana mungkin dia bisa mendapatkan gaji setara dengan gaji UMR, jika tidak melayani para pelanggannya yang mencari kesenangan. Setibanya di kelab yang beroperasi hampir setiap hari itu, Glenn dan Dika langsung masuk ke dalam. Mereka lebih dulu duduk di tempat biasa sambil menunggu Mami Kumala datang. Keadaan di kelab masih agak sepi karena masih di bawah jam-jam malam. "Bikinin gue minuman dong," pinta Glenn, pada bartender yang biasa meracik minuman di kelab tersebut. Azka namanya. Glenn menduduki kursi berkaki tinggi lalu mengeluarkan ponselnya. "Gue juga, dong." Dika ikut meminta dibuatkan min
🍁🍁🍁"Glenn, udah siang. Kamu gak kuliah?"Suara ketukan pintu diiringi dengan suara panggilan perempuan paruh baya dari luar kamar, membuat seorang pemuda yang sedang asyik terlelap sontak membuka mata, dan seketika menyahut, "Iya, Bu. Bentar lagi Glenn bangun." Sambil menyibak selimut, lalu menguap lebar."Ya udah," sahut ibunya Glenn, kemudian terdengar suara langkah kaki yang menjauh.Glenn menghela panjang napasnya seraya mengusap wajah— mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Glenn mengambil ponsel yang selalu tergeletak di atas nakas, melihat jam digital yang menunjukkan pukul delapan pagi.Pemuda itu lantas mengembalikan ponselnya ke atas nakas, dan turun dari tempat tidur. Dia membuka laci lalu mengambil amplop warna cokelat yang ada di dalam sana. "Untung gue bisa ngasih duit buat ibu tiap Minggu."Amplop tersebut Glenn bawa keluar kamar karena seperti biasa, dia akan memberikan uang Mingguan untuk ibunya. Menjadi tulang punggung sejak duduk di bangku SMA m