Langkah Misya lebar-lebar menelusuri setiap lorong rumah sakit, yang cukup lengang. Mulutnya tak berhenti berdoa untuk keselamatan sang papi yang katanya jatuh pingsan di kantor.
Langkah Misya baru berhenti, ketika tiba di depan pintu ruang VIP rumah sakit swasta itu. Debaran jantungnya masih berkejaran, berdebar kencang dan terasa sangat menyesakkan. Sebelum masuk ke ruangan tersebut, Misya menenangkan diri sejenak, mengatur napas. Baru setelah napasnya stabil, dia membuka pintu itu. "Papi …" Begitu masuk, Misya mendapati sang papi yang justru sedang duduk di atas ranjang pesakitan, dan terlihat sedang mengobrol santai dengan seorang pria yang tadi memberinya kabar. Kedua pria paruh baya di ruangan itu menoleh serentak ke arah Misya, yang terlihat khawatir sedang berdiri di depan pintu. "Misya …." Tuan Gunawan—Ayahnya Misya berpura-pura memasang raut kaget. "Ke—" "Papi …." Misya segera berlari menuju sang papi, lalu menghambur memeluk satu-satunya pria yang paling dia sayang di muka bumi ini. Perempuan itu menangis, sambil berkata, "Misya pikir, papi koma." Tuan Gunawan langsung memberi cubitan di pinggang Misya, yang selalu bicara seenaknya. "Au! Sakit!" Misya mengaduh, lalu menjauh agar tak mendapat cubitan di pinggangnya yang lain. "Papi kebiasaan! Kalo nyubit tuh, jangan di sini. Tapi di sini." Bibir Misya mengerucut sebal, menunjuk pinggangnya yang terasa panas akibat cubitan papinya, kemudian menunjuk lengan. "Habisnya kamu kalo ngomong gak difilter. Masa doain papi koma? Kamu ini anak papi atau bukan, sih?" Terkadang tuan Gunawan bertanya-tanya dengan sifat Misya yang sangat jauh berbeda darinya dan mendiang istrinya. Putrinya itu cenderung ceplas-ceplos, dan agak susah diatur. "Kayaknya dia ketukar, Gun, waktu di rumah sakit," timpal Salim—dokter sekaligus teman baik Gunawan—ayahnya Misya. Dia sudah terbiasa melihat ayah dan anak itu berdebat. "Bisa jadi, Lim." Gunawan menghela. Bibir Misya lagi-lagi mengerucut. "Enak aja!" Dia menyilangkan tangan di dada, dan berkata, "Lah, kan Misya ngomongnya udah bener. Misya pikir Papi koma, karena tadi Om Salim bilang kalo Papi jatuh pingsan. Biasanya 'kan, kalo orang yang jatuh itu, tau-tau koma karena perdarahan otak." "Kamunya aja yang gak dengerin om sampe selesai. Main matiin telepon," kata Salim, membuat manik Misya memicing ke arahnya. "Memangnya, kalo Misya gak matiin telepon, Om Salim mau ngomong apa?" Salim terlihat menahan tawa, sambil melirik Gunawan yang sudah memasang raut mengancam. Seolah-olah pria itu menyuruh Salim untuk tidak terlalu banyak bicara. Namun, Salim tetap bicara, meski Gunawan saat ini mendelik ke arahnya. "Papi kamu jatuh pingsan di kantor karena gak sengaja nyium bunga kecubung." Manik Misya membola. "What? Bunga kecubung?" Salim mengangguk, sedangkan Gunawan garuk-garuk kepala. Misya melirik papinya. "Kalo gak salah, nyium bunga kecubung itu juga berbahaya loh, Om. Dulu karyawan Misya sempet diopname gara-gara gak sengaja nyium bunga kecubung." "Jadi, kamu doain papi diopname?" Gunawan mendelik ke arah putrinya. Misya menggeleng cepat. "Enggak. Misya 'kan cuma nyeritain karyawan Misya. Papi aja yang sukanya overthinking sama aku." Mulutnya cemberut sebal. Gunawan menghela, lalu berkata, "Papi gak overthinking sama kamu. Papi cuma bercanda." "Tapi Papi beneran bikin Misya khawatir tadi," ucap Misya, menyingkirkan sementara kekesalannya pada papinya. Tadi dia sungguh merasa takut jika terjadi sesuatu pada papinya ini. "Aku takut Papi sakit." Mendengar putrinya yang sangat mencemaskannya, membuat Gunawan sedikit merasa bersalah. "Lagian, kenapa sih Papi bisa sampe nyium bunga kecubung? Memangnya di kantor ada tanamannya?" "Tadi anaknya temen papi yang juragan sawit dateng ke kantor. Dia bawain papi tanaman itu, katanya titipan bapaknya. Papi penasaran, soalnya baunya wangi. Eh … Lama-lama kok, kepala papi kliyengan kayak orang abis minum. Papi udah gak inget lagi apa yang terjadi. Tau-tau papi udah ada di sini." Gunawan menceritakan awal mula dia bisa mabuk bunga kecubung. Sampai sekarang sisa-sisa mual itu masih ada. "Ngapain anak temen Papi ke kantor? Lagian, gak nyambung. Anak juragan sawit kenapa bawanya kecubung bukannya bawa minyak." Misya menarik kursi, lalu mendudukinya. Efek jalan cepat tadi ternyata baru dia rasakan. Kedua kakinya terasa pegal. "Dia mau dijodohin sama kamu, Sya." Salim yang antusias menjawab pertanyaan Misya. "Apa? Jodohin? Aku mau dijodohin?" Misya terkejut setengah hidup dengan kabar yang tak disangka-sangka itu. "Beneran Misya mau dijodohin, Pi?" Dia meminta penjelasan pada sang papi yang saat ini hanya mengangkat bahu. "Untuk saat ini kamu gak boleh nolak kemauan papi." Gunawan menyambar ponselnya yang tergeletak di atas nakas samping ranjang, lalu membuka aplikasi video. "Papi udah liat videonya di internet." Dia menunjukkan video yang beredar beberapa menit yang lalu. "Video? Video apa?" tanya Misya, belum paham yang dibicarakan oleh papinya. Gunawan menyodorkan ponselnya pada Misya. "Liat sendiri." Misya mengambilnya, lalu menonton video yang ternyata menampilkan dirinya sendiri. "I-ini?" "Kalau berita itu gak benar, kita bisa menuntut orang-orang yang udah menyebarkan video itu." Salim angkat bicara. Sebenarnya, dia sendiri merasa kaget dengan video Misya yang dilabrak istri sah kekasihnya. "Papi sejak awal memang udah curiga sama pacar kamu itu. Cuma papi segen ngomongnya ke kamu. Kamunya kayak bucin banget sama dia." Gunawan menghela. "Sekarang kamu liat sendiri, gimana dia nipu kamu." Misya mengembalikan ponsel papinya, tanpa membantah perkataan Gunawan, yang terdengar menyalahkan dirinya. "Tapi Misya bukan pelakor, Pi. Misya juga baru tau tadi kalo …." "Ya kamu buktikan kalo kamu memang bukan pelakor. Kamu bisa nerima perjodohan ini. Kamu nikah sama anaknya temen papi." "Enggak! Misya gak mau!" Misya menggeleng. "Terus, kamu mau diem aja? Kamu gak mau—" Misya tiba-tiba berdiri, dan berkata, "Misya tentu gak akan diem aja, Pi. Misya bakal buktiin kalo Misya bukan pelakor. Misya juga gak mau dijodohin sama anak temen Papi. Misya mau cari calon suami sendiri." Gunawan menelisik putrinya yang baru saja menolak kemauannya. "Kamu yakin mau cari calon suami sendiri?" Sebenarnya Misya sendiri agak ragu soal itu. Bagaimana caranya dia bisa mendapatkan calon suami secepat itu? "Misya akan berusaha, Pi. Kasih Misya kesempatan." Oh, jadi putrinya ini sedang bernegosiasi, pikir Gunawan. Baiklah, akan Gunawan turuti kemauan putrinya ini. "Oke. Papi akan kasih kamu waktu satu Minggu. Kalo dalam satu Minggu kamu gak dapet calon suami, kamu harus nerima calon suami pilihan papi. Gimana? Setuju?" "Pi, Misya ini nyari calon suami bukannya lagi COD suami." Misya protes dengan persyaratan yang diberikan papinya. Sungguh dia makin frustrasi kalau caranya seperti ini. "Gak segampang itu nyari laki-laki, Papiiii." Sepasang kakinya menghentak-hentak di lantai. Gunawan tak mau tau. "Ya … Itu terserah kamu. Papi cuma bisa ngasih batas waktu sampe seminggu." "Papiiii!" ☘️☘️☘️ Bersambung...Sehari sebelumnya~ "Suami bayaran?" Antara terkejut sekaligus heran, saat mami Kumala menyarankan sebuah solusi yang sungguh tidak dimengerti oleh Misya. Perempuan dua puluh delapan tahun itu pasti banyak ketinggalan berita, sampai-sampai dia baru mendengar istilah aneh tersebut. 'Suami bayaran? Di jaman sekarang memangnya ada hal semacam itu?' Dalam hati, Misya bertanya-tanya sambil membayangkan. "Misya?" Mami Kumala bersuara sebab orang yang sempat bersemangat meminta solusi kini hanya mematung tanpa berkedip. Misya terhenyak, dan baru berkomentar, "Suami bayaran? Maksud Mami, Misya sewa jasa suami bayaran, begitu?" Mami Kumala mengangguk dan tersenyum. "Memangnya ada yang mau?" "Jaman sekarang mana ada, sih yang nolak kerjaan gampang kayak gitu?" "Bener juga, sih..." Misya menggigit bibir bawahnya, lalu menyandarkan punggung. Dia berpikir keras agar solusi ini ke depannya tidak bermasalah. "Tapi, apa itu legal? Maksud Misya, hal semacam itu apa diperbolehk
"Papi?"Seketika Misya panik, reflek berdiri lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan berisik itu. Dia menjadi parno sendiri—merasa diawasi oleh sang papi."Gimana ini?" Misya memandang ponsel yang ada di genggaman, ragu menjawab sebab tak ingin papinya menaruh curiga. Sementara ponselnya terus berdering. "Aku keluar dulu, deh."Tak ingin sang papi mendengar suara berisik di tempat itu, akhirnya Misya memutuskan untuk pergi keluar. Perempuan itu berlari secepat mungkin, dan baru berhenti ketika tiba di pintu masuk kelab.Sejenak mengatur napas dan irama jantung yang saling berkejaran, Misya lantas segera menjawab panggilan tersebut. "Halo, Pi?" Dia melangkah keluar, menuju parkiran kelab.'Lama banget jawab teleponnya.' Suara Gunawan terdengar cukup kesal dari ujung sana."Maaf, Pi. Tadi Misya baru selesai mandi. Ada apa, Pi? Tumben telepon malem-malem." Misya berjalan mondar-mandir, sambil menggigit bibir bawahnya karena sudah berbohong.'Kamu jam segini baru mandi?'"Iya, Pi. M
Misya akui jika pemuda yang entah datangnya dari mana ini cukup mempunyai tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi. Tanpa sungkan meminta izin di hadapannya, lalu memperkenalkan diri. "Glenn." Senyum Glenn begitu lebar saat menyodorkan tangan ke hadapan wanita cantik, yang tengah menatapnya penuh tanya. Pemuda itu sangat yakin jika dia tidak akan mendapat penolakan. Sementara Misya semakin bingung sekaligus curiga. Dalam hati dia bertanya-tanya—sebenarnya apa motif pemuda itu. 'Ini anak emang ganteng, sih. Cukup berani juga.' Misya membatin sambil menelisik wajah Glenn yang terbilang ganteng. Setelah cukup menimbang-nimbang, akhirnya Misya membalas uluran tangan Glenn. "Misya." Senyum Glenn semakin lebar ketika target di hadapannya mau membalas uluran tangannya. "Namanya cantik," pujinya. "Makasih." Misya menarik tangannya perlahan dari genggaman Glenn. Dia lantas sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar pemuda yang baru saja memujinya 'cantik' itu tidak menyadari kala
"Yang mana?" tanya Dika, masih belum menemukan sosok perempuan yang dibicarakan Glenn. Namun, Azka langsung angkat bicara. "Oh, yang di sana, ya? Yang pakek baju warna merah?" Glenn menoleh ke Azka. "Iya. Tante itu," ucapnya. "Kayaknya udah tiga kali dia ke sini." Glenn menyesap minumannya sampai habis. "Hmm. Emang sering ke sini, sih. Tapi, gue perhatiin dia pasti murung. Ke sini, ya, paling-paling cuma pesen minum, ngerenung, terus pulang. Gak yang seneng-seneng kayak orang-orang itu, tuh!" Azka menunjuk beberapa orang yang sedang asyik berjoget di lantai dansa dengan pasangannya. Entah pasangan halal atau bukan. "Cuma gitu doang? Lah, buat apa dia jauh-jauh dateng ke tempat ini? Kalo ujung-ujungnya masih kesepian kayak gitu? Gak happy." Dika mulai tertarik dengan pembahasan mengenai sosok perempuan dewasa yang sebelumnya tidak dia sadari keberadaannya. Glenn tak banyak berkomentar. Pemuda itu diam saja, tetapi isi kepalanya mulai dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaa
Setelah seharian berada di rumah Dika, Glenn tidak langsung kembali ke rumahnya lebih dulu. Melainkan langsung pergi ke kelab bersama temannya itu. Keduanya menunggangi motornya masing-masing, melaju dengan kecepatan sedang di jalanan yang cukup ramai. Berkat pekerjaan tersembunyinya itu pula, Glenn bisa membeli motor impiannya meski dengan cara dicicil perbulan. Hanya lulusan SMA, mana mungkin dia bisa mendapatkan gaji setara dengan gaji UMR, jika tidak melayani para pelanggannya yang mencari kesenangan. Setibanya di kelab yang beroperasi hampir setiap hari itu, Glenn dan Dika langsung masuk ke dalam. Mereka lebih dulu duduk di tempat biasa sambil menunggu Mami Kumala datang. Keadaan di kelab masih agak sepi karena masih di bawah jam-jam malam. "Bikinin gue minuman dong," pinta Glenn, pada bartender yang biasa meracik minuman di kelab tersebut. Azka namanya. Glenn menduduki kursi berkaki tinggi lalu mengeluarkan ponselnya. "Gue juga, dong." Dika ikut meminta dibuatkan min
🍁🍁🍁"Glenn, udah siang. Kamu gak kuliah?"Suara ketukan pintu diiringi dengan suara panggilan perempuan paruh baya dari luar kamar, membuat seorang pemuda yang sedang asyik terlelap sontak membuka mata, dan seketika menyahut, "Iya, Bu. Bentar lagi Glenn bangun." Sambil menyibak selimut, lalu menguap lebar."Ya udah," sahut ibunya Glenn, kemudian terdengar suara langkah kaki yang menjauh.Glenn menghela panjang napasnya seraya mengusap wajah— mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Glenn mengambil ponsel yang selalu tergeletak di atas nakas, melihat jam digital yang menunjukkan pukul delapan pagi.Pemuda itu lantas mengembalikan ponselnya ke atas nakas, dan turun dari tempat tidur. Dia membuka laci lalu mengambil amplop warna cokelat yang ada di dalam sana. "Untung gue bisa ngasih duit buat ibu tiap Minggu."Amplop tersebut Glenn bawa keluar kamar karena seperti biasa, dia akan memberikan uang Mingguan untuk ibunya. Menjadi tulang punggung sejak duduk di bangku SMA m