Masuk
Seminggu lagi, Chloe Morris harus menaklukkan ujian Biokimia untuk mempertahankan nilai akademisnya, tapi sepertinya semesta punya rencana lain untuk menghancurkan hidupnya malam ini.
Pada saat itu juga, Jerry Morris—ayah kandung Chloe tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia melakukan manuver pertahanan andalannya saat dikejar oleh penagih utang: Menutup pintu lalu melompat ke balik sofa usang dan meringkuk seperti trenggiling ketakutan. "Chloe, jika ada orang yang datang mencariku, katakan pada mereka Papa tidak ada di rumah!" jerit Jerry panik. Chloe, yang sedang duduk tegak dengan buku diktat tebal di pangkuan, hanya menghela napas panjang. Ia menutup bukunya perlahan, menjaga agar halamannya tidak terlipat. "Papa, berhentilah bertingkah konyol. Mereka bisa melihat kaki Papa yang gemetar di balik sofa itu. Apa Papa tidak lelah selalu menjadi buronan di rumah sendiri?" tegur Chloe. Belum sempat Jerry menyahut, pintu apartemen yang engselnya sudah rapuh itu dihantam dari luar. BRAK! Kayu tua itu menyerah. Pintu terbuka lebar, memperlihatkan tiga pria berbadan besar yang membawa serta aroma kretek menyengat dan ancaman fisik yang nyata. "Jerry!" bentak Rocco. Pria dengan rahang kotak dan leher setebal beton itu melangkah masuk. Suaranya menggelegar memenuhi ruang tamu sempit itu. "Kamu pikir kamu bisa lari dariku, hah?! Keluar!" PRANG! Rocco menendang meja belajar Chloe hingga terbalik untuk melampiaskan amarahnya. Gelas kopi pecah. Cairan hitam pekat itu tumpah, menodai catatan-catatan penting yang Chloe kerjakan semalaman suntuk. Chloe terkejut dengan aksi brutal itu, ia sontak berdiri. "Hei!" protes Chloe tegas. Ia melangkah maju, menatap mata Rocco tanpa gentar. "Apa kamu tahu apa yang Kamu lakukan di rumah orang, Ha?! Buku itu mahal. Itu edisi revisi terbaru yang aku pinjam dengan jaminan kartu mahasiswa. Jika rusak, kamu mau ganti rugi pakai apa? Otakmu bahkan tidak laku digadaikan." Rocco tertegun sejenak. Ia menatap gadis mungil di hadapannya dengan seringai meremehkan, namun ada sedikit rasa terkejut melihat keberanian itu. "Oh, lihat ini. Si Mahasiswi Teladan sedang marah," ejek Rocco. Ia mendekatkan wajahnya yang berminyak. "Apa kamu sedang belajar cara menghitung bunga utang ayahmu di kampus itu, Nona Manis?" Chloe tidak mundur selangkah pun meski aroma tubuh Rocco menusuk hidung. Ia justru membusungkan dada, menantang. "Setidaknya aku menggunakan otakku untuk belajar, Tuan," balas Chloe tajam. "Bukan untuk memeras orang tua tidak berdaya." Rocco terdiam. Alih-alih marah, seringai di wajahnya justru melebar. Matanya yang liar mulai menyapu penampilan Chloe—dari wajah imut blesteran, kaus oblong kebesaran, hingga celana pendek yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Kemarahan Chloe justru memantik ketertarikan pria itu. "Cantik juga anakmu, Jerry," komentar Rocco. Fokusnya beralih total dari Jerry yang meringkuk di balik sofa ke arah Chloe. Tanpa peringatan, Rocco mencengkeram lengan Chloe kasar. "Dengar-dengar kamu kuliah ahli Gizi, ya? Oh... Pasti pintar merawat tubuh." "Lepaskan! Ini tindakan kriminal!" sentak Chloe penuh peringatan, berusaha melepaskan diri. "Aku bisa laporin kalian ke polisi atas tuduhan perusakan properti, penerobosan paksa, dan perbuatan tidak menyenangkan! Pasal-pasalnya berlapis, Tuan!" "Melapor?" Rocco tertawa, lalu mendorong tubuh mungil Chloe hingga punggung gadis itu menabrak dinding. Ia mengurung Chloe dengan kedua lengannya yang kekar. "Polisi di sini teman ngopiku, Nona Manis. Bagaimana kalau kita negosiasi saja? Aku bisa ajarkan pelajaran anatomi tubuh pria malam ini. Gratis, diskon utang lima persen." Chloe mengerutkan kening. Di bawah tekanan, otaknya justru mencerna tawaran itu secara harfiah. "Hanya lima persen? Apa kamu bercanda?!" tanya Chloe. "Untuk pria dengan sanitasi mulut seburuk dirimu, diskonnya itu seharusnya lima puluh persen. Risiko infeksi bakteri dari napas terlalu tinggi." Rocco menyeringai, menganggap ucapan pedas Chloe sebagai godaan jinak-jinak merpati. "Mulutmu tajam. Aku suka," bisik Rocco. Tangan kasarnya mulai berani meraba pinggang Chloe. "Kalau tidak punya uang tunai, kamu bisa bayar pakai cara yang lain dengan cara yang instan, Nona. Misalnya, tubuhmu." Mata Chloe membelalak. Kali ini ia paham—atau setidaknya begitu. "Maksudmu... perdagangan organ?" Chloe menatap Rocco dengan ngeri. Wajahnya memucat. "Jangan gila! Ginjalku ini penuh residu kafein dan kurang tidur karena begadang skripsi! Harganya pasti jatuh di pasar gelap! Kamu pasti rugi bandar!" "Hahahaha!" Rocco tertawa terbahak-bahak hingga perutnya berguncang, mengira Chloe sedang melucu. "Bukan ginjal, Sayang. Tapi aset luarmu." Tangan Rocco hendak menyentuh paha Chloe. "Tolong! Kumohon, jangan anakku! Kalau kalian mau, ambil saja kulkasnya! Atau TV tabung itu! Ambil semuanya!" Jerry merengek dari lantai, masih enggan keluar dari persembunyiannya demi melindungi putrinya. "Diam, Tua Bangka!" bentak anak buah Rocco. Chloe terpojok. Logikanya buntu. Ia panik, tatapannya liar mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk senjata. Chloe jelas menolak menyerah pada berandalan bau ini. 'Ayolah, berpikir, Chloe,' gumam Chloe panik. Tepat saat tangan kotor Rocco hendak menyentuh kulit gadis yang ketakutan itu, suara ketukan langkah kaki memecah ketegangan. Tap, tap, tap! Bunyi hak stiletto menghantam lantai ubin dengan irama angkuh dan berkuasa. Suara itu begitu asing di apartemen kumuh ini. "Apa aku datang di waktu yang salah? Atau di sini sedang ada ritual kawin primitif kaum prasejahtera?" Suara dingin itu membekukan seisi ruangan. Semua kepala menoleh. Di ambang pintu, berdiri sosok wanita yang memancarkan aura wanita old money yang absolut. Claudia Arsenio. Gaun hitam elegan membalut tubuh rampingnya, mantel bulu putih tersampir di bahu, dan kacamata hitam besar sebesar lapangan golf menutupi separuh wajahnya. Di belakang wanita itu, dua pengawal berjas hitam berdiri tegap. "Siapa kamu? Apa kamu teman dari si tua bangka ini, hah?!" geram Rocco, melepaskan cengkeramannya dari Chloe karena terganggu. Wanita itu membuka kacamata hitamnya perlahan. Tatapan matanya tajam, menilai seisi ruangan dengan rasa jijik yang kentara. Mata almond wanita itu... sama persis dengan milik Chloe. "Singkirkan sampah ini," perintah wanita itu datar pada para pengawal. Tanpa banyak bicara, dua pengawal Claudia bergerak. Efisien. Brutal. Mematikan. BUGH! KRAK! Dalam sekejap mata, Rocco terkapar di lantai memegangi rusuknya yang patah. Dua anak buahnya bahkan sudah dilumpuhkan sebelum sempat menarik senjata tajam dari saku mereka. Hening. Claudia melangkah masuk dengan hati-hati, seolah takut lantai tersebut menularkan kemiskinan padanya. Ia berhenti tepat di hadapan Chloe. Dunia Chloe serasa berhenti. Wajah itu. Itu adalah wajah terakhir yang Chloe lihat sepuluh tahun lalu—saat punggung wanita itu menjauh menyeret koper tanpa pernah menoleh ke belakang. Tenggorokan Chloe tercekat. Gadis kecil dalam dirinya menjerit ingin memeluk sosok itu, namun realitas menamparnya lebih keras. Wanita yang datang membawa hawa kekayaan di hadapannya ini bukan lagi ibunya. Ia hanyalah orang asing yang tega membiarkan anaknya membusuk dalam lilitan utang selama satu dekade. "Kamu berantakan," komentar Claudia dingin. Matanya menyapu penampilan Chloe dari ujung rambut sampai kaki dengan tatapan mengkritik. Tidak ada rindu di sana. Hanya penilaian. "Sepuluh tahun kutinggal, kamu masih hidup menyedihkan." Kalimat itu membakar habis sisa-sisa kerinduan Chloe. Ia menarik napas panjang. Tidak! Chloe tidak akan membiarkan wanita ini melihatnya hancur. Tidak lagi. "Selamat datang, Ibu," sapa Chloe, suaranya tenang. "Angin neraka apa yang membawa Nyonya Besar kemari? Apa surga sedang renovasi sampai Ibu harus turun kasta ke gubuk kami?" Claudia tidak tersenyum, tidak juga tersinggung. Wajahnya datar. Tatapannya beralih pada Jerry yang kini merangkak keluar dari balik sofa dengan wajah penuh harap. "Claudia! Oh, Istriku! Kau kembali!" seru Jerry, merangkak hendak memeluk kaki jenjang Claudia. "Aku tahu kamu tidak akan melupakan kami! Kamu datang menyelamatkan aku!" Wajah Claudia mengeras jijik. DUK! Tanpa ragu sedikit pun, Claudia menendang bahu Jerry dengan ujung sepatu runcingnya. Cukup keras hingga membuat pria itu trjengkang. "Jauhkan tangan kotormu, Jerry. perawatan kulitku dan sepatuku jauh lebih mahal dari harga dirimu," desis Claudia tajam. "Oh ... Dan berhenti memanggilku istri. Mendengarnya saja membuatku ingin muntah." Claudia kembali menatap Chloe, seolah Jerry hanyalah serangga pengganggu yang baru saja ia singkirkan. Wanita kaya itu membuka tas bermereknya, mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna hitam dengan tinta emas, lalu menyodorkannya ke depan wajah Chloe. "Aku tidak punya waktu untuk reuni keluarga yang mengharukan. Aku datang untuk bisnis." Chloe menatap kartu nama itu, lalu menatap wajah ibunya dengan senyum miris. Tentu saja. Wanita ini tidak mengenal bahasa cinta, hanya bahasa uang. "Bisnis?" Chloe melipat tangan di dada tanpa enggan menyentuh kartu tersebut. "Aku tidak punya aset untuk diakuisisi, Nyonya. Kecuali Nyonya berminat membeli tumpukan utang Ayahku atau trauma masa kecilku." "Aku tidak suka mengulang perkataan, Chloe. Ikut aku ke mobil atau….” Claudia melirik ke arah Jerry. "Ayahmu yang tidak berguna di sana akan menjadi mayat detik ini juga jika kamu menolak!”Sinar mentari pagi menembus jendela besar ruang makan Mansion Arsenio, meja panjang yang penuh dengan hidangan mewah. Namun, Chloe yang berdiri di samping kursi kosong Tuan Rumah justru menatap hamparan makanan itu dengan horor.Tubuh Chloe yang ringkih masih terasa linu di sana-sini. Semalam adalah hal paling sial yang pernah ia lalui. Pertempuran melawan ratusan nyamuk ganas di ruangan sauna tanpa ventilasi telah meninggalkan jejak nyata: bentol-bentol merah yang menghiasi leher, lengan, dan bahkan betisnya yang kini tertutup stoking tebal. Wajah Chloe juga tidak kalah mengenaskan; lingkaran hitam di bawah mata begitu pekat, tanda dia hampir tidak tidur sedetik pun karena sibuk menampar diri sendiri.Tapi insting ahli gizinya tetap bergejolak begitu melihat menu di meja."Sosis bakar, bacon goreng, telur orak-arik dengan heavy cream, dan roti putih?" batin Chloe ngeri. "Siapa yang menyusun menu ini untuk pasien cedera tulang belakang?! Ini bom kolesterol!"Aroma lemak jenuh menguar
Chloe baru saja tiba dalam kamar, tubuh wanita itu merosot perlahan, punggungnya bersandar pada daun pintu. Topeng "Eva si Perawat" yang ia pakai seharian luruh seketika. Chloe mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban. Denyut nyerinya makin menjadi-jadi."Papa..." bisik Chloe lirih, matanya menerawang ke langit-langit kamar mewah yang asing ini."Lihatlah anak perempuanmu ini, Pa. Sakit, tapi masih bisa berlagak semua baik-baik saja di depan orang agar Papa nggak merasa gagal jadi ayah. Kayaknya cuma di kamar ini, aku bisa jadi diriku sendiri. Jadi Chloe yang cengeng."Ingatannya melayang pada wajah ayahnya yang terus menerus dikejar penagih hutang. Sejak rentenir dan ibunya mengobrak-abrik apartemen, ponsel ayahnya tidak bisa dihubungi. Chloe meremas ujung seragamnya."Besok aku ke kampus, terus mampir ke kedai kopi. Papa harus ada di sana, ya? Kita makan enak. Papa mau Pizza? Atau jalan-jalan? Kita habisin waktu berdua sepuasnya sebelum aku benar-benar nggak bisa kembali."C
TOK! TOK! TOK!Suara ketukan itu tidak terlalu keras, namun di telinga Chloe yang sedang tegang, bunyinya seperti ledakan bom."Aaaa!" Chloe memekik tertahan, melompat mundur dari ranjang seolah kasur Jordan baru saja berubah menjadi bara api. Matanya melotot horor ke arah pintu. "I-ibu... maksudku Nyonya?! Mati aku! Aku harus sembunyi di mana? Kolong kasur? Lemari?"Jordan yang masih berbaring menatap kepanikan gadis itu dengan kening berkerut. Tangan kanannya perlahan turun dari balik bantal, menjauh dari pistolnya. Ketukan itu... dia kenal ritmenya."Tenanglah, Gadis Bodoh," desis Jordan. "Siapa di sana?" teriak Jordan ke arah pintu."Kiko, Tuan. Saya membawa berkas yang Tuan minta!" terdengar suara sahutan dari balik pintu. Bahu Jordan rileks seketika, sementara Chloe menghembuskan napas lega. "Aku pikir setan bersanggul." Chloe mengelus dada. Jordan menatap Chloe tajam. "Kamu dengar itu? Itu asistenku. Sekarang, rapikan bajumu yang kusut itu dan keluar dari sini. Aku muak meli
"Sekarang?" cicit Chloe, matanya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, lalu kembali menatap wajah Jordan yang tak terbantahkan. "Ya, sekarang! Kamu mau menunggu sampai tahun baru monyet, hah?!" sentak Jordan tidak sabar. "Lima menitmu berjalan, Perawat Eva." Chloe meringis, mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban tebal. "Tuan, ini melanggar HAM. Tangan kanan saya ini baru saja Tuan jadikan adonan geprek tadi malam tepat jam 7. Tulangnya masih nyeri, bengkak pula. Mana bisa saya melakukan... manuver stimulan?" "Itu bukan urusanku," jawab Jordan dingin. Matanya melirik ke arah nakas tempat pistol tadi ia letakkan. "Apa aku harus menggunakan pistol, supaya kamu mau menurut?" Chloe menelan ludah kasar. "Oke! Oke!Saya kerjakan!" Dengan jantung berdegup kencang dan pipi memanas, Chloe menarik napas panjang. Otaknya mulai memutar kembali semua memori anatomi tentang stimulasi vital. 'Tuan, maafkan kelancanganku,' batin Chloe merutuk. 'Ini demi
"Aku tanya sekali lagi," tekan Jordan. "Sebenarnya, apa niatmu? Kamu dikirim untuk membunuhku, huh?" Mendapatkan ancaman moncong pistol di dahi dan kesalahpahaman ini, membuat otak Chloe berputar lebih cepat daripada gasing. Menangis? Tidak berguna. Memohon? Klise. Jordan Arsenio akan memakan rasa takut sebagai camilan. Chloe harus menggunakan satu-satunya senjata yang dia punya: Logika. "Huff! Chloe membuang napas. "Tuan ... Tolong turunkan benda yang Tuan pegang—" "Katakan!" "Oke. Oke. Jadi ... Secara teknis..." cicit Chloe, suaranya bergetar tapi dagunya terangkat sedikit demi memberi jarak pada pistol itu. "Kalau aku datang untuk niat membunuh, aku akan membekapmu dengan bantal Bukan mencolek... itu-mu dengan jari telunjuk." Hening. Mata Jordan menyipit. Cengkeramannya di pergelangan tangan Chloe tidak mengendur, justru semakin kuat hingga perban di tangan Chloe terasa sesak. "Mencolek?" ulang Jordan, nada suaranya penuh ketidakpercayaan. Cengkeramannya mengeras. "Kamu mer
"Kamu ceroboh," desis Claudia dingin begitu pintu ruang kerjanya yang mewah tertutup rapat. "Baru satu jam kerja, kamu sudah membuat suamiku hampir mematahkan tanganmu. Apa kamu berniat mati?" Chloe meringis, meniup-niup punggung tangannya yang kini merah padam, bengkak, dan berdenyut nyeri. Rasanya seperti baru saja digeprek palu. "Mana aku tahu Ibu mempunyai suami gila?" keluh Chloe sambil mendudukkan dirinya di kursi tamu tanpa dipersilakan. "Ingat, panggil aku Nyonya!" ralat Claudia. "Iya, Nyonya! Heran, Binatang kok dijadikan suami. Ini tangan! Bukan daging potong!" kekuh Chloe. "Aku sudah memperingatimu," balas Claudia tanpa simpati. Ia berjalan ke meja kerjanya, mengambil kotak P3K dari laci, dan melemparnya ke pangkuan Chloe. "Obati sendiri. Jangan manja." Chloe menatap ibunya dengan tatapan tak percaya. Namun, ia segera membuka kotak itu dengan satu tangan yang gemetar. Ia mengambil salep, lalu melilitkan perban elastis ke tangannya yang memar sambil menahan







