LOGINHari yang di jalani Angga lebih ringan setelah mengatakan hal yang sebenarnya pada Kinanti. Dia terus fokus pada usaha rilisan terbarunya rumah makan khas outdoor. Untuk saat ini memang dia belum bisa memakai keuntungan dari usaha tersebut sebab dia masih terus melebarkan sayap dengan terus membuka cabang baru tiap bulannya. Hingga saat ini sudah ada 10 cabang tanpa di ketahui oleh Anwar dan siapapun. Angga sudah mempersiapkan pesta pernikahan sebelum dia benar-benar di lengserkan, paling tidak dia akan memberikan kebahagiaan untuk wanitanya terlebih dahulu. Dua sejoli ini sedang duduk di teras balkon, menghirup segarnya udara malam hari, sejak tadi Angga menjelaskan detail asal usulnya hingga dia bisa duduk di kursi kepemimpinan. “Aku hanya di beri amanah oleh kakek Anwar, aku sudah menceritakan semua seluk beluk diriku, siapa diriku. Sekarang aku tanya kamu sekali lagi, apakah kamu masih mau berada di sampingku?” kepala lelaki ini menengok menatap
“Ki,” Nindia mendekati meja kerja Kinanti. “Lo udah denger gosip kantor belum?” “gosip apa lagi? Up date banget Maslah gosip.” Pak Angga katanya mau di oper ke Jogja, emang pak Angga blm ngomong?” Kinanti menggeleng, pasalnya tadi pagi dia kesiangan, berangkat ke kantor pun grasa grusu, begitu bangun cepat-cepat mandi menyiapkan pakaian Angga Sarpan dan berangkat. Padahal Angga tetap saja selalu dalam mode santai. Hanya Kinanti yang terlihat cepat-cepat, hingga dia lupa menanyakan kenapa semalam Angga terlihat banyak pikiran. “Pak Angga ada di dalam kantornya?” “Tadi ada sama Pak Gerry.” “Apa gue tanya ya, Nind. Kenapa mau di pindah, kita nggak pernah ada masalah di sini? Jogja Cabang yang paling sedikit pendapatannya. Kenapa di pindah ke sana?” Kinanti mencoba menerka. Nindia menggendikkan bahu, dia tak lagi mengucurkan informasi terkait kenapa Angga hendak di pindah.
Anwar duduk di ruang kantor, dia menatap foto keluarga yang berada di atas meja. Dia tak pernah berpikir akan seperti ini, di tinggal oleh dua anaknya terlebih dahulu, dan di beri amanah dua orang cucu. Tangan keriput ini menyentuh gambar Angga dan Celina, mereka penyemangat hidupnya saat kehilangan dua orang anaknya sekaligus waktu itu, walau ayah Angga bukan anak kandung tetapi dia menyayanginya sama seperti anak kandung. Sejak saat itu hidup Anwar di dedikasikan mengembangkan usaha dan merawat kedua cucunya di bantu Martha menantunya. Sedangkan Angga memang sedari lahir sudah yatim, ibunya meninggal ketika melahirkan Angga. Berkat didikan Anwar, perusahaan yang di kelola Angga meroket dengan cepat, tangan dingin Angga mampu mengembangkan usaha dalam hitungan tahun. Anwar merasa senang saat Angga mau menikah dengan Celina, tetapi nyatanya Angga hanya melindungi nama baik keluarga karna pergaulan Celina yang di luar batas. Angga tak pernah menyentuh Celina. Pun Celina enggan
Kedua alis mata Angga mengernyit. “Untuk apa,Kek?” Anwar menghela nafas berat. Dia meraih tangan Angga, menepuk-nepuk perlahan. “Angga, kakek tau kamu tak mencintai, Celin. Kakek minta berusahalah menjaganya, dan menjadikan dia istri sesungguhnya.” Angga menarik tangannya. “Kek, jangan paksa aku untuk hal satu itu. Aku nggak bisa.” Anwar menghela nafas berat. “Kalau kalian sampai bercerai, sebagian perusahaan ini milik Celina.” Angga menatap netra tua Anwar. “Silahkan kalau memang kakek ingin memecah perusahaan ini. Aku tak bisa terus-terusan melindungi Celin, Kek. Dia harus dididik, harus belajar, kalau aku terus melindungi dan mengikuti apapun kemauannya, dia tidak akan pernah pernah berfikir untuk benar-benar berubah.” “Sebab itu jadikan dia istri seutuhnya. Bimbing dia, rangkul dia." “Kali ini aku tidak bisa mengikuti kemauan, Kakek. Dia tak mau bersabar. Dia hanya berambisi, sejak dulu apa yang ingin dia miliki harus dia dapatkan, aku bukan barang yang dengan seenakny
“Ki. Nggak usah di kejar, sudah biarkan saja.” Kinanti mengibas tangan Angga. “Lisa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, Mas.” Dengan cepat Kinanti keluar dari toko mencari-cari keberadaan Lisa. Netranya berkeliling bahkan dia melongok ke lantai bawah tetapi Lisa sudah menghilang. Kinanti berjalan gontai. Menatap Angga yang sedang duduk di kursi tunggu dengan beberapa paperbag belanjaan. Angga tak bergeming, menatap Kinanti datar. “Kenapa masih di kejar? Kamu masih belum iklas menikah denganku?” tanya Angga dingin. Kinanti menggeleng, dia tak menyangka Angga akan tersinggung. “Aku hanya ingin dia bertanggung jawab.” Angga tak menjawab, dia bangun dari duduk mengangkat paperbag dan berjalan cepat ke arah parkiran. Kinanti baru menyadari, karna dia terus mengejar Lisa, membuat Angga merasa Kinanti masih terpaksa menikah denganya. Hingga sampai di mobil Angga tetap di
Celina duduk di sofa, menatap lelaki yang menyorot matanya degan intens. “Kamu yakin dengan apa yang akan kamu lakukan?” tanya Bram. Netra Celina berkilat penuh kemarahan, dendam juga kebencian. Kini dia benar-benar terluka, dia terhina oleh Angga. Sekarang dia akan melakukan segala macam cara untuk menghancurkan Angga. Celina mengambil gelas wine di atas meja, menyesap perlahan, bibir merahnya tersenyum penuh rayuan pada lelaki di hadapannya. “Ya, aku sangat yakin. Lagi pula aku sudah lama tak melakukan. Kalau kamu bisa memuaskan aku mungkin kita bisa partner ranjang untuk waktu yang lama.” Bibir Celina menyeringai. “Aku suka tawaranmu, Nona. Bisa kita mulai sekarang, aku sudah tak tahan ingin menikmati tubuh indah milik Celina Atma Wijaya. Bodoh sekali Angga, menyia-nyiakan istri secantik ini.” “Lakukan, Tuan.” Celina merentangkan tangan, di sambut oleh Bram, dengan tangkas lelaki ini mengangkat Celina membawanya ke pem







