“Peringatkan apa?” suara Anwar membuat dua orang wanita ini terjengkit kaget. “Pah.” “Kek.” Martha dan Celina berbarengan menyebut nama Anwar. “Memperingatkan apa? Kalian sedang membicarakan apa?” tanya Anwar lagi, dia duduk di sofa lain berhadapan dengan Celina juga Martha. “Kami besok berangkat berlibur, sekalian Celina menimba ilmu Kek. Permintaan kami yang kemarin itu sudah di Acc Angga. Jadi aku memperingatkan Celina untuk belajar yang bener.” Martha menjelaskan perlahan, otaknya terus berfikir agar bisa menemukan alasan yang pas. “Berapa lama kamu pergi?” “Paling cepat 3 bulan, Kek.” “Hati-hati. Jangan buat Masalah, dunia ini sudah semakin tidak baik-baik saja, berhati-hatilah kalian di manapun berada.” Anwar menasehati. Martha dan Celina saling pandang, mereka mengangguk bersama. Dari arah belakang tempat Kayla bermain terdengar tawa riang. suara Kayla semakin mendekat, ternyata Kayla berada di gendongan Angga, lelaki ini mengayun juga menciumi gadis kecil ini sehingga
Di ruang makan, sesekali terdengar suara sendok yang beradu dengan piring. Kinanti makan sambil terus menunduk. Malu sekali dia mengingat kejadian pagi tadi, beruntung ponsel Angga berdering tak sabaran hingga akhirnya, Kinanti lagi-lagi bisa lolos dari terkaman Angga. Sepertinya Kinanti harus berterima kasih pada ponsel Angga karna beberapa kali telah menyelamatkannya.Wajah Angga terlihat datar, Kinanti tau Angga pasti merasa uring-uringan, sebab hormon kelelakiannya, sudah berkali-kali gagal menjamah Kinanti.“Ki, ambil sayurnya lagi."Gadis ini lekas mengambilkan apa yang Angga mau. “Lauknya mau juga nggak, Pak?”“Buat kamu aja, katanya kalau mau anak lelaki harus banyak makan protein. Aku mau anak lelaki, Ki.”Pipi Kinanti berubah merona, dia kembali duduk melanjutkan makan, “Lelaki dan perempuan sama saja, Pak.”“Aku sudah punya anak perempuan, nanti setelah punya anak lelaki kita bikin lagi anak perempuan. Aku mau punya an
Isi kepala Kinanti semakin bingung, di rumah ini tak ada yang berani berbicara masalah pribadi Angga. Ningsih pelayan pribadinya pun tak mau mengucurkan informasi. Kinanti mengacak rambutnya, bingung kemana mencari tau informasi valid tentang Celina. Malam semakin larut, Kinanti sudah berada di dalam bedcover, Ningsih meminta Kinanti menggunakan pakaian kurang bahan sesuai keinginan Angga. “Sialan banget kamu, Ngga. Kalo bukan karna hutang, gue nggak bakalan mau pake baju kaya saringan begini.” Kinanti membuka bedcover, netranya menatap tubuh yang begitu menggoda. Keringat dingin bermunculan di dahi, sebab dada yang berdebar tak beraturan menanti Angga yang tak kunjung muncul, walau ac sudah disetel paling dingin tetap terasa panas di dalam kamar ini. Bunyi detak jam bersahutan dengan detak jantung Kinanti. Yang membuat Kinanti merutuki kebodohannya, dia tak bisa mendapatkan obat tidur untuk menjalankan rencananya. “Ya udah lah, pasrah aja, Ki
Bibir Angga berkedut melihat Kinanti kelimpungan saat di dekati, rasanya puas sekali melihat ekspresi tak berdaya dari Kinanti. Angga tau jika saat ini Kinanti sangat tertekan, memikirkan dirinya sendiri, yang kini berperan sebagai perebut suami orang. Angga duduk sambil mengotak atik gawai menunggu Kinanti kembali dari bawah. Beberapa pesan masuk dari Celina juga dari Anwar. Lelaki ini hanya membaca pesan Celin, tak berniat untuk membalasnya. Lama menunggu gadis ini tak kunjung datang. Angga pun akhirnya membersihkan tubuh. “Masih banyak waktu mengerjai dia, Ngga.” Lelaki ini bergumam, bangun dari duduk menuju kamar mandi. Setelah mandi dia lekas mengambil pakaian yang sudah tersusun rapih di samping pakaian Kinanti. Bibirnya terus mengulas senyum menawan, sesungguhnya jantungnya juga berdetak tak teratur saat berdekatan dengan Kinanti, tetapi Angga berusaha mengontrol dengan baik, agar tak terlihat oleh gadis yang entah mengapa dia begitu mendambanya.
“Nyatanya iya, ‘kan? Kamu mau nikah sama saya karna uang.” Perasaan Kinan semakin tak karuan mendengar perkataan Angga. Lelaki ini tersenyum sinis sambil melangkah keluar dari lift. Mata Kinan lagi-lagi berembun, dadanya berdenyut nyeri mendengar jawaban Angga, jari-jari tangannya meremat tali tas yang dia pegang. "Jahat banget mulutnya Anggara Wijaya Kusuma," gumam Kinanti. Gadis ini terus mengikuti langkah lelaki angkuh yang kini sudah menjadi suaminya. Lalu masuk ke dalam mobil yang sama, yang sudah menunggu di depan lobi. Kinan sangat menyadari banyak pasang mata yang menatap penuh tanya. Kinan hanya bisa menunduk, duduk di sebelah Angga, berusaha tak peduli pada tatapan bertanya dari orang lain. sepanjang perjalanan pulang gadis ini enggan membuka obrolan, karna di setiap obrolan pasti akan ada kata-kata yang bisa membuatnya sakit. Pandangannya kosong menatap jalan raya yang selalu padat merayap. Angga pun tak ingin mengatakan apapun. Pikirannya dipenuhi kekesalan. Hari ini i
“Ki. Lo kenapa?” Nindia menarik kursi di sebrang meja Kinan, lalu duduk di sebelah gadis yang sedang tergugu menenggelamkan kepala di atas meja. “Udah makan belum?” tanya Nindia lagi karna Kinan tak menjawab pertanyaannya. Kinan masih tak menjawab, Nindia hanya bisa mendesah mengelus punggung Kinan. “Sabar aja Ki. Pasti Allah bakal nolong, elo.” “Dosa gue banyak banget kali ya, Nin. Gue ngerasa Allah nggak adil banget, gue ditinggal orang tua masih kecil, berjuang hidup sendiri sampe lulus sarjana. Sekarang gue harus nanggung hutang orang lain dengan mengadaikan harga diri, parahnya lagi gue jadi istri simpanan, Nin. Ancur banget harga diri gue. Ancur hidup gue, kalo Pak Angga udah puas dan buang gue, selesai hidup gue, Nin.” Kinanti berbicara sambil terbata-taba mengeluarkan Isak tangis. “Ki, inget masih ada Allah, sebaik-baik penolong adalah Allah, lo jangan putus asa, berdoa terus semoga Pak Angga di beri hati yang luas, bisa memperlakukan lo dengan baik.” Nindia memberikan ti