MasukBab 4
“Ki, kamu mau kan jadi pacar aku.” Angga sahabat Kinan menyerahkan buket bunga di tengah-tengah kerumunan para mahasiswa yang baru saja keluar dari dalam kelas. Kinan tak menyangka Angga akan melakukan ini, kenapa tak memberi tahu sebelumnya jika dia memiliki perasaan padanya, gadis ini menatap sekitar, banyak orang menatap pada mereka, bisik-bisik pun terdengar. Perlahan Kinan mengambil buket yang di berikan Angga, bibir lelaki ini melengkung kebelakang, senyumnya terlihat penuh percaya diri. Tiba-tiba. Bugh. Sebuah bogem mentah mengenai rahang tegas Angga. Suara riuh pun terdengar. “Heh, cupu. Berani-beraninya lo mau nikung gue. Lo nggak kenal Bram.” Bram si maskot kampus menunjuk muka Angga yang terjatuh akibat tonjokan kepalan tangannya. “Bram, jangan main pukul,” ujar Kinan, dia mendekati Angga ingin menolong, tetapi tangannya di tarik Bram. “Kinan sekarang pacar gue, jangan lagi lo berani-berani deket-deket sama dia, ngerti!!” Bram berkata dengan suara keras, membuat kerumunan semakin banyak. Tapi saat itu Kinanti hanya diam tak menatap Angga, atau berusaha menolongnya. Setelah puas memaki Bram menendang kaki Angga. Lalu menarik tangan Kinan pergi meninggalkan Angga dalam keadaan patah hati, dan malu. Sejak saat itu Kinanti tak pernah lagi melihat Angga di kampus. Semua sosial medianya tak bisa di akses. Hilang semua kontak dengan Angga. Hingga siang itu kantor tempat Kinan bekerja kedatangan seorang lelaki yang lama Kinan cari dan rindu. Tetapi lelaki ini sudah 180 derajat berbeda, senyum Angga tak lagi hangat seperti dulu, tatapannya kini!! terlihat dingin, jahat dan menakutkan bagi Kinan. Dan sekarang dia harus terjebak bersama lelaki ini bukan hanya di kantor tetapi harus bersamanya selama 24 jam penuh. Menjadi istri simpanan!! Kinan menggeleng samar hatinya berdesir khawatir. Bisakah Kinan kembali merebut hati Angga? menjadikan dia seperti dulu lagi?? Selama proses perawatan tubuh, gadis ini hanya merenung. Menatap kosong pada cermin yang memantulkan tubuh langsatnya. Perasaan takut merajai jiwanya. “Ki lo nggak mau punya pacar?” “Nggak, Ngga. Ngapain pacaran gue maunya langsung nikah.” Angga mengacak rambut Kinan. Mereka saling tatap lalu tertawa renyah. Wajah tampan, senyum menawan, hanya satu kekurangan Angga terkadang rendah diri entah kenapa. Kinan selalu mensuportnya untuk percaya diri dan tampil di depan publik. Di kampus pun Angga hanya berteman dengan Kinanti. Bayangan masa lalu kembali berkelebat di kepala. Ada perasaan menyesal kenapa dulu dia tak langsung menolong Angga. “Non sudah selesai. Anda cantik sekali.” “Terimakasih, ini rumahnya Pak Angga, Mbak??” tanya Kinan pada wanita berkisar seumurannya. “Iya, Non.” “Istrinya Pak Angga juga di sini?” “Saya kurang tau, Non. Nanti Non tanyakan langsung ke Pak Angganya, permisi.” Wanita yang melayani Kinan undur diri. Kinan menatap pantulan dirinya di cermin. Memang cantik tapi buat apa kalo Cuma jadi istri simpanan, alias gundik. Parahnya kalau sampai istri sah Angga tau. “Duh ... Bisa viral ini,” gumam Kinan. Seharian Kinan hanya di dalam kamar, keadaan ini di jadikan gadis ini sebagai waktu istirahat, dia mencoba menetralkan perasaan yang benar-benar kalut. Matahari sudah condong ke barat, perlahan gelap menyapa, jantung Kinan berirama lebih cepat sejak tadi, bunyi detik jam seperti nyanyian simfoni pengantar pada kehancuran hidupnya. Netra Kinan terus awas ke arah pintu, terdengar suara tapak kaki sudah di depan kamar, jantung Kinanti semakin berdegup tak beraturan, khawatir. Setelah pintu di buka ternyata bukan Angga yang ada di sana. Nafas gadis ini kembali normal. “Non, makan dulu. Kata Bapak jangan tunggu Bapak, setelah makan tidur dulu saja. Kalau bisa untuk pulang, malam ini Bapak pulang, tapi kalau urusan belum kelar Bapak nggak pulang.” Ningsih - Si Pelayan pribadi Kinan menjelaskan. Hati Kinan merasa lega dia berdoa semoga masalah yang di hadapi Angga tidak akan selesai. Hati Kinan bersorak riang dengan doanya. Bibirnya tersungging senang. “Ahh ... Senangnya, huh ... dari pagi kek ngabarinnya, gue udah deg degan nggak taunya nggak pulang.” Kinan berguling-guling di kasur yang dia rasa sangat nyaman. Kinan menatap langit-langit kamar. “Angga kamu berubah banget, tapi kenapa kamu masih ngejar-ngejar aku?? Tapi aku seneng ternyata kamu cinta banget sama aku. Sesekali Kinan tersenyum, sesekali dia menatap kosong. Angga mengamati Kinan lewat ponsel, memandang wanita ini tak bergeming, tanpa ekspresi. Debaran di dadanya masih menggila saat mengingat Kinan, tapi juga ada rasa kecewa dan entah perasaan apa ini, Angga tak yakin. “Bagaimana?” Angga menutup ponsel memasukkan ke dalam saku Jaz. “Aku sudah menemukan perempuan ku, aku sudah menikahinya.” “Bagus, dia bukan di bayar untuk menjadi istri pura-puramu ‘kan?” tanya Anwar, menelisik wajah cucunya. “Nggak, Kek. Dia teman kampusku dulu.” “Kenapa tidak langsung di publikasi? Hanya menikah siri? Dan walinya wali hakim juga menikah tanpa kehadiran mempelai perempuan.” Anwar berbicara penuh selidik. “Apakah perempuan itu kamu paksa?” Angga mengalihkan pandangan dari Anwar. Lelaki tua ini selalu tau apapun yang di lakukannya. “Kami pernah saling cinta, Kek. Kebetulan kami satu kantor sekarang, nanti pasti aku publikasi dan urus surat sah negaranya,” jelas Angga. “Oh ...” Anwar mengetuk-ngetuk tangan, isi kepalanya berfikir, netranya terus mencari tau kebenaran dari gelagat cucunya. “Papah ...” “Opah ...” Suara seorang gadis kecil membuyarkan konsentrasi Anwar. “Kayla, belum tidur?” Angga merentangkan tangan mengangkat gadis kecil ini ke pangkuannya. “Mama mana?” tanya Angga. “Mama kerja.” Suara cadel Kayla menjawab gemas. “Kemana dia Kek?” Anwar tak menjawab, hanya lewat sorot matanya saja Angga sudah tau kemana ibu dari Kayla ini pergi.Mobil baru saja berhenti di pelataran rumah ketika ponsel Kinanti bergetar. Nama Angga muncul di layar. Dada Kinanti langsung mengencang—ia tahu cepat atau lambat Gerry pasti melapor. Kinanti menarik napas panjang sebelum mengangkat. “Halo, Mas …” Kinanti menyapa. “Kamu lagi apa, Ki?” Suara Angga terdengar biasa saja, bahkan terdengar santai. Pertanyaannya ringan, tapi justru membuat Kinanti makin gugup.“A-aku baru sampai rumah,” jawab Kinanti sambil menggenggam ujung bajunya. “Tadi… habis dari rumah kakek.” “Hm.” Di sebrang sana terdengar suara keyboard mengetik, mungkin Angga masih bekerja di Jogja. “Ketemu Kayla? Ngobrol apa sama kakek?""Ketemu Kayla, dia di tinggal kak Celina ke Eropa, Mas." Kinanti duduk di depan televisi menyandarkan bahu. Dan obrolan mengalir membicarakan Celina dan Kayla, Kinanti merasa kasihan melihat Kayla di tinggal Celina."Ya sudah, kamu istirahat. Jangan
Pintu rumah milik Kinanti di buka perlahan oleh Gerry. Ia mendorong kursi roda Lisa masuk ke ruang tamu. Rumah yang dulunya sempat berantakan akibat ditinggalkan lama kini tampak bersih—lantai mengilap, bau segar, dan tertata rapi. Lisa meremas ujung selimut yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih lemah, sedikit gerakan pun membuatnya meringis. “Rumahnya sudah siap ditinggali,” kata Gerry lebih sopan. “Obat dan kebutuhan Anda sudah disiapkan.” Lisa mengangguk kecil. “Terima kasih, Pak Gerry.” Gerry memeriksa tas, kemudian masuk sebentar ke dapur. Begitu ia menjauh, ponsel Lisa bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ternyata nomor Bram. [Kamu sudah sampai.] — Bram mengirim pesan. Lisa mengetik cepat: [Sudah.] - balas Lisa singkat. Masih khawatir karna Gerry masih berada di rumah ini. Gerry kembali membawa segelas air. Lalu duduk menatap Lisa. Mendapati tatapan Gerry Lisa kikuk. dia memutar kursi roda mengambil remote televisi lalu menyalakan benda segi empat itu. S
Kinanti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali dia menggigit jari kukunya. Hari ini Lisa di jadwalkan pulang dari rumah sakit, rasa hati Kinanti ingin menjemput Lisa tapi peringatan Angga membuat nyali Kinanti ciut, ia tak ingin melanggar apa yang tak di perbolehkan Angga, tapi hati lain merasa kasihan pada Lisa.“Mbak Ning, Lisa wa lagi nggak?” tanya Kinanti pada asisten kepercayaannya, semenjak Angga membatasi pertemuannya dengan Lisa, Kinanti meminjam ponsel Ningsih untuk berhubungan dengan Lisa.“Nggak, Non. Wa yang terakhir itu tadi, Non maaf kalau saya lancang, sebaiknya Non patuhi Pak Angga, saya lihat Non Lisa itu—““Lisa itu sodara saya, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain saya.”“T-tapi –““Udah, saya yang nanggung kalo Angga marah. Ayo aku mau jemput Lisa.” Kinanti tak mau mendengarkan saran Ningsih.Ningsih membuang nafas, dia merasa Kinanti sudah terlalu jauh melanggar apa yang tidak di perbolehkan Angga. Tapi Ningsih tak bisa berbuat banyak, dia pun tak
Pagi ini Angga terlihat lebih tampan dari biasanya. Kinanti memasangkan dasi di leher jenjang Angga. Dengan terampil tangan Kinanti memasang tali simpul. Setelah selesai telapak tangannya menepuk dada Angga, bibirnya mengulas senyum bahagia.“Sudah sayang, makin tampan aja.” Tanpa aba-aba Kinanti mengecup bibir lelakinya.Belum juga membalikkan badan Angga sudah menarik pinggang yang sudah semakin berisi ini. “Tambah lagi, kok kilat.” “Ish, udah segitu aja. Malam nanti aku tambahin.”“Aku nanti langsung ke Jogja kamu lupa?” Angga semakin mengikis jarak. “Tapi kamu udah rapih, nanti minta lebih.” Suara Kinanti rendah. Sungguh gairahnya tak bisa ia kuasai. Setelah mengandung dia tak bisa dekat-dekat dengan Angga.Angga menghentak tubuh kinanti mengangkat bokong istrinya. Kaki kinanti melingkar di pinggang Angga. mata mereka saling menatap, lalu senyum terbit di bibir mereka. “Pegangan yang kuat aku gendong kamu ke bawah.” Lelaki ini keluar kamar lalu turun perlahan dengan dengan
“Ada apa? Kenapa kamu selalu curiga!!" Suara Angga terdengar tak suka selalu di tuduh. “Ini ada noda lipstik, Mas?” Hati Kinanti terbakar cemburu. Dulu dia memang tipe wanita pencemburu. Tetapi belakangan rasa cemburunya semakin berlebihan. Angga melepas kemejanya, melihat kerah yang di tunjuk kinanti, ingatannya kembali pada saat Celina memeluknya. “Oh ini?" Suara Angga melunak "Tak usah salah paham, Ki. Aku tak melakukan apapun. Aku hanya ngobrol biasa dengan Celina, aku tak mau dia salah jalan lagi pergi dengan lelaki tak tepat " Kinanti bergeming masih menatap dengan penuh tanda tanya. Angga mengulas senyum teduh, tau persis Kinanti masih menaruh curiga. “Kamu cemburu?” Wajah Kinanti memberengut. Kepalanya mengangguk. Melihat reaksi Kinanti Angga meletakkan telapak tangan di perut Kinanti. Mengelus-elus halus perut yang masih rata. Lalu mengecup pipi wanita ini. Kinanti mendorong tubuh Angga. Tetapi Angga mendekap tubuh Kinanti, walau berontak wanita ini tak dapat melonggar
Ruangan terasa hening. Angga menatap Celina intens, dia mengamati setiap gerakan yang dilakukan wanita cantik ini. “Aku tau ada yang kamu sembunyikan. Katakan apakah Niko sudah beristri?”Celina mencebik. “Aku bisa mengurus diriku sendiri? Tak usah selalu ikut campur.” “Apa ikut campur? Kamu pikir apa yang aku lakukan ikut campur? Aku melindungi kamu, Lin. Aku tak mau kamu terluka.”“Omong kosong, kamu tak sadar sudah melukaiku?” Celina memalingkan wajah.Kedua telapak tangan Angga mengepal, rahangnya mengetat. Perlahan Angga menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan, berusaha mengontrol emosinya. Dia sadar kemarin sempat melukai Celina. Angga bangun dari duduk berjongkok di hadapan Celina lalu menyentuh telapak tangan wanita cantik ini. Bola mata mereka saling menatap. “Kalau terjadi apa-apa langsung hubungi aku.”Ada rasa nyeri di hati Celina saat iris mereka bertemu, ada sedikit penyesalan kenapa dia tak memperjuangkan Angga, dia selalu mengikuti egonya, genggaman tangan le







