MasukBab 5
Pintu di buka pelan, Angga berjalan perlahan menuju ranjang. Di tatapnya Kinanti yang tertidur pulas di sana, terlihat gurat kelelahan dan kekhwatiran di wajah gadis ayu ini. Angga menjulurkan tangan, menyibak rambut yang menutupi wajah. Iris legamnya terus menatap wajah Kinanti. Jemari kokoh lelaki ini menelusuri pipi hingga rahang, tapi sepertinya Kinanti tak merasakannya, dia terlihat begitu damai di alam mimpinya. Setelah puas mengamati wajah gadis cantik ini, Angga keluar dari kamar. Pintu kamar terdengar menutup perlahan, Kinan membuka mata pelan. Dia menghembuskan nafas lega, setidaknya malam ini dia aman. Kembali Kinanti melanjutkan tidur, walaupun banyak pertanyaan di benaknya. Kumandang adzan subuh membangunkan tubuh yang terasa segar pagi ini. Gadis ini segera bangun mandi lalu melakukan solat subuh. Setelah itu dia keluar dari dalam kamar. Mulut Kinanti ternganga melihat luar kamarnya. “ini rumah apa istana?” batin Kinan. “Jadi Angga sekaya ini? gue baru tau.” Kaki Kinan melangkah, netranya memindai setiap detail di rumah ini, hingga penglihatannya mendapati Angga sedang berada di taman dengan seorang gadis kecil. “Itu kan anaknya, Pak Angga.” Hati Kinan teriris. “Ya Allah, kalo bener Pak Angga nikahin gue, pasti ada hati yang pastinya tersakiti.” Kinan balik badan masuk lagi ke dalam kamar tak jadi melanjutkan langkah. Ingatan-ingatan masa lalu terekam kembali. “Ya Allah karma apa yang sedang aku jalani,” gumam Kinan, menatap cermin yang memantulkan dirinya. Seumur hidup tak ada niatan bagi Kinan untuk menjadi istri kedua apalagi pelakor, tapi sekarang keadaan benar-benar menjadikannya wanita murahan, menjual diri demi uang. Pintu di ketuk dari luar, masuk seorang pelayan. “Permisi Non, di tunggu Pak Angga di ruang makan.” “Saya, Mbak?” tanya Kinan menunjuk dirinya. “Iya, mau saya bantu merias diri?” tanya pelayan itu. “Nggak usah, Mbak. Mau makan doang kan?” tanya Kinan. “Iya, Non. Saya pamit dulu.” Kinan mengangguk, lalu mengikuti pelayan tadi keluar kamar. Di meja makan Angga dan gadis kecil sudah menunggu. “Permisi Pak.” Kinan menganggukkan kepala. “Duduk.” Suruh Angga tanpa menatap. “Pah, siapa ini?” Si gadis kecil bertanya. “Ini Mama Kinan.” “Berarti Kayla punya dua mamah??” tanya gadis ini polos. “Iya.” Angga tersenyum kikuk. Kinan mengigit bibir, hatinya selalu teriris jika mengingat dia hanya istri simpanan, hatinya juga terguris mengingat ibu anak ini, memangnya tak marah mengetahui suaminya memiliki istri lagi?? Hati Kinan terus bertanya. “Mamah, kenalan boleh?” tanya gadis ini, netranya berbinar. Kinan mengangguk, “Boleh, nama kamu siapa cantik.” Kinan mencubit pipi Kayla. “Kayla, Mah.” “Aku Kinan.” Mereka bersalaman. Sepanjang makan Kayla tertawa bahagia, bahkan Kayla makan banyak di suapi Kinan. Angga menatap kedua wanita beda usia ini. Kenapa mereka bisa langsung akrab? Setelah makan, Angga bersiap ke kantor. “Kayla main sama Mbak Ning, ya, papa mau ganti baju dulu.” Gadis ini mengangangguk, mengandeng jemari wanita yang sejak tadi berdiri di dekat Kayla. “Siapkan pakaianku, aku mau ke kantor.” “I-iya, Pak.” Kinan mengikuti Angga masuk ke dalam kamarnya. Gadis ini langsung menuju lemari mencari kemeja dasi dan celana memadukan warna yang pas. Sedang fokus pada warna, tetiba ada tangan yang melingkar di pinggang rampingnya. Kinan menahan nafas, jantungnya tersentak kaget. “P-Pak. M-mau pake baju warna a-apa?” Kinan bicara terbata karna Angga mencium tengkuknya. “P-Pak, jangan, kita belum halal bersentuhan.” Kinan berusaha mengingatkan karna tangan Angga sudah mulai berkelana. Angga melepas pelukan berjalan menuju laci nakas. Mengambil kertas yang kemarin Kinan tanda tangani. “Sekarang kamu milikku." Angga menatap dingin pada Kinan, menunjukkan surat pernikahan mereka. “Aku sudah menikahimu kemarin, sekarang kamu milikku.” Angga duduk di kursi pojokan kamar, menatap datar pada wanita ini, sejenak menunggu reaksi Kinan. Tapi tak ada reaksi apapun dari gadis ini. “Pake walinya siapa Pak?” “Wali hakim, 'kan kamu sama seperti aku, kita sama-sama tak memiliki orang tua. Kemari.” Angga menjentikkan jemari menyuruh Kinan mendekat. Gadis ini melangkah ragu. Setelah dekat Angga menarik tangan Kinan. Gadis ini terduduk di pangkuan Angga. “Kamu kan nggak mau pacaran makanya aku langsung nikahin kamu.” Angga menyibak rambut Kinan yang menjuntai hingga dada. Mendengar ucapan Angga Kinan menjadi merasa bersalah. “Pak, maafin aku.” Kinan menundukkan kepala, membuang pandangan ke arah samping. “Maaf untuk apa?” Angga mendekatkan wajah mencium ceruk leher Kinanti. “Harum kamu masih seperti dulu, Ki.” Suara Angga rendah. Kinan menahan nafas, tak mau terbuai, “Pak, bapak bukannya mau ke kantor.” Kinan berusaha mendorong tubuh Atletis ini. Bibir Angga tersungging menyeringai. Menghentikan ciumannya di kulit leher wanita di pangkuannya. “Ambilkan pakaianku.” Kinan lekas bangun mengambil pakaian dan celana. Gadis ini memasangkan dasi, netra mereka saling tatap sepersekian detik. Kinan menundukkan pandangan. Debaran aneh kembali muncul di dadanya, “dia bukan Angga yang dulu Ki,” batin Kinan bersuara. Angga mencapit dagu Kinan agar menatapnya. Perlahan Angga mendekatkan wajah, dada gadis ini berirama lebih cepat dari biasanya. Apa lagi jarak mereka sudah semakin dekat. Kinan menutup mata rapat, Hingga. “Papah.” Suara gadis ini membuat Angga dan Kinan seketika menjauh dan terlihat kikuk. Angga mendekat pada gadis kecilnya, lalu menggendong, “Ada apa? Sudah mau pulang.” Kayla mengangguk. “Aku harus les musik pagi ini.” Suara Kayla menggemaskan. “Ya sudah, ayo papah juga sudah siap.” Mereka menuju mobil yang sudah terparkir di depan pintu. “P-pak.” Angga menengok. “B-boleh aku minta ponselku?” tanya Kinanti pelan. “Barang pribadimu ada di nakas kamarmu,” jawab Angga datar. Setelah Kayla naik ke dalam mobil Angga berdiri menghadap pada Kinanti. “Nanti malam bersiap, aku akan menghapus semua jejak Bram di tubuhmu.” Kinanti membeku.Mobil baru saja berhenti di pelataran rumah ketika ponsel Kinanti bergetar. Nama Angga muncul di layar. Dada Kinanti langsung mengencang—ia tahu cepat atau lambat Gerry pasti melapor. Kinanti menarik napas panjang sebelum mengangkat. “Halo, Mas …” Kinanti menyapa. “Kamu lagi apa, Ki?” Suara Angga terdengar biasa saja, bahkan terdengar santai. Pertanyaannya ringan, tapi justru membuat Kinanti makin gugup.“A-aku baru sampai rumah,” jawab Kinanti sambil menggenggam ujung bajunya. “Tadi… habis dari rumah kakek.” “Hm.” Di sebrang sana terdengar suara keyboard mengetik, mungkin Angga masih bekerja di Jogja. “Ketemu Kayla? Ngobrol apa sama kakek?""Ketemu Kayla, dia di tinggal kak Celina ke Eropa, Mas." Kinanti duduk di depan televisi menyandarkan bahu. Dan obrolan mengalir membicarakan Celina dan Kayla, Kinanti merasa kasihan melihat Kayla di tinggal Celina."Ya sudah, kamu istirahat. Jangan
Pintu rumah milik Kinanti di buka perlahan oleh Gerry. Ia mendorong kursi roda Lisa masuk ke ruang tamu. Rumah yang dulunya sempat berantakan akibat ditinggalkan lama kini tampak bersih—lantai mengilap, bau segar, dan tertata rapi. Lisa meremas ujung selimut yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih lemah, sedikit gerakan pun membuatnya meringis. “Rumahnya sudah siap ditinggali,” kata Gerry lebih sopan. “Obat dan kebutuhan Anda sudah disiapkan.” Lisa mengangguk kecil. “Terima kasih, Pak Gerry.” Gerry memeriksa tas, kemudian masuk sebentar ke dapur. Begitu ia menjauh, ponsel Lisa bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ternyata nomor Bram. [Kamu sudah sampai.] — Bram mengirim pesan. Lisa mengetik cepat: [Sudah.] - balas Lisa singkat. Masih khawatir karna Gerry masih berada di rumah ini. Gerry kembali membawa segelas air. Lalu duduk menatap Lisa. Mendapati tatapan Gerry Lisa kikuk. dia memutar kursi roda mengambil remote televisi lalu menyalakan benda segi empat itu. S
Kinanti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali dia menggigit jari kukunya. Hari ini Lisa di jadwalkan pulang dari rumah sakit, rasa hati Kinanti ingin menjemput Lisa tapi peringatan Angga membuat nyali Kinanti ciut, ia tak ingin melanggar apa yang tak di perbolehkan Angga, tapi hati lain merasa kasihan pada Lisa.“Mbak Ning, Lisa wa lagi nggak?” tanya Kinanti pada asisten kepercayaannya, semenjak Angga membatasi pertemuannya dengan Lisa, Kinanti meminjam ponsel Ningsih untuk berhubungan dengan Lisa.“Nggak, Non. Wa yang terakhir itu tadi, Non maaf kalau saya lancang, sebaiknya Non patuhi Pak Angga, saya lihat Non Lisa itu—““Lisa itu sodara saya, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain saya.”“T-tapi –““Udah, saya yang nanggung kalo Angga marah. Ayo aku mau jemput Lisa.” Kinanti tak mau mendengarkan saran Ningsih.Ningsih membuang nafas, dia merasa Kinanti sudah terlalu jauh melanggar apa yang tidak di perbolehkan Angga. Tapi Ningsih tak bisa berbuat banyak, dia pun tak
Pagi ini Angga terlihat lebih tampan dari biasanya. Kinanti memasangkan dasi di leher jenjang Angga. Dengan terampil tangan Kinanti memasang tali simpul. Setelah selesai telapak tangannya menepuk dada Angga, bibirnya mengulas senyum bahagia.“Sudah sayang, makin tampan aja.” Tanpa aba-aba Kinanti mengecup bibir lelakinya.Belum juga membalikkan badan Angga sudah menarik pinggang yang sudah semakin berisi ini. “Tambah lagi, kok kilat.” “Ish, udah segitu aja. Malam nanti aku tambahin.”“Aku nanti langsung ke Jogja kamu lupa?” Angga semakin mengikis jarak. “Tapi kamu udah rapih, nanti minta lebih.” Suara Kinanti rendah. Sungguh gairahnya tak bisa ia kuasai. Setelah mengandung dia tak bisa dekat-dekat dengan Angga.Angga menghentak tubuh kinanti mengangkat bokong istrinya. Kaki kinanti melingkar di pinggang Angga. mata mereka saling menatap, lalu senyum terbit di bibir mereka. “Pegangan yang kuat aku gendong kamu ke bawah.” Lelaki ini keluar kamar lalu turun perlahan dengan dengan
“Ada apa? Kenapa kamu selalu curiga!!" Suara Angga terdengar tak suka selalu di tuduh. “Ini ada noda lipstik, Mas?” Hati Kinanti terbakar cemburu. Dulu dia memang tipe wanita pencemburu. Tetapi belakangan rasa cemburunya semakin berlebihan. Angga melepas kemejanya, melihat kerah yang di tunjuk kinanti, ingatannya kembali pada saat Celina memeluknya. “Oh ini?" Suara Angga melunak "Tak usah salah paham, Ki. Aku tak melakukan apapun. Aku hanya ngobrol biasa dengan Celina, aku tak mau dia salah jalan lagi pergi dengan lelaki tak tepat " Kinanti bergeming masih menatap dengan penuh tanda tanya. Angga mengulas senyum teduh, tau persis Kinanti masih menaruh curiga. “Kamu cemburu?” Wajah Kinanti memberengut. Kepalanya mengangguk. Melihat reaksi Kinanti Angga meletakkan telapak tangan di perut Kinanti. Mengelus-elus halus perut yang masih rata. Lalu mengecup pipi wanita ini. Kinanti mendorong tubuh Angga. Tetapi Angga mendekap tubuh Kinanti, walau berontak wanita ini tak dapat melonggar
Ruangan terasa hening. Angga menatap Celina intens, dia mengamati setiap gerakan yang dilakukan wanita cantik ini. “Aku tau ada yang kamu sembunyikan. Katakan apakah Niko sudah beristri?”Celina mencebik. “Aku bisa mengurus diriku sendiri? Tak usah selalu ikut campur.” “Apa ikut campur? Kamu pikir apa yang aku lakukan ikut campur? Aku melindungi kamu, Lin. Aku tak mau kamu terluka.”“Omong kosong, kamu tak sadar sudah melukaiku?” Celina memalingkan wajah.Kedua telapak tangan Angga mengepal, rahangnya mengetat. Perlahan Angga menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan, berusaha mengontrol emosinya. Dia sadar kemarin sempat melukai Celina. Angga bangun dari duduk berjongkok di hadapan Celina lalu menyentuh telapak tangan wanita cantik ini. Bola mata mereka saling menatap. “Kalau terjadi apa-apa langsung hubungi aku.”Ada rasa nyeri di hati Celina saat iris mereka bertemu, ada sedikit penyesalan kenapa dia tak memperjuangkan Angga, dia selalu mengikuti egonya, genggaman tangan le







