Aku telah sampai dua jam lalu di rumah. Kupandangi jendela yang bisa melihat pemandangan dari luar rumah.
Aku menunggu Viana. Melihatnya menangis sewaktu di Cafe Cozy, aku tidak punya keberanian untuk menghubunginya. Aku berencana pura-pura tidak tahu tentang pertemuannya dengan Lhasa.
Lebih baik begitu, kan. Kalau ia ingin hal ini terbuka, ia akan menceritakannya padaku. Sebaliknya, kalau Viana ingin merahasiakannya, maka akan kuikuti sebaik mungkin.
Viana, apa pun yang kamu lakukan, aku tidak peduli. Asalkan kamu tetap kembali padaku. Jadi istriku. Meski hatimu masih penuh dengan Nara, tak apa. Kuharap lambat laun namanya akan terkikis. Tinggal namaku yang di sana.
Viana belum juga kembali meski sore sudah mampir di langit. Berkali-kali kulirik handphone, memastikan Viana menghubungiku untuk jemput atau tidak. Nyatanya, handphoneku sepi meski telah kupelototi cukup lama.
Dua puluh menit kemudian, sebuah taksi berhenti di depan rumah. Dari jendela
Khiva memilih Pangandaran sebagai objek wisata kantor. Sebenarnya bisa saja kuajukan tempat lain, tapi Khiva punya satu pemikiran unik khusus untuk rekannya, Rio."Sengaja aku pilih Pangandaran karena gak terlalu jauh kalau pakai motor. Iya, Rio akan naik motor ke sana. Dia mabuk darat kalau pakai mobil atau bus, kalau pakai motor enggak, kok. Rio harus ikut pokoknya."Khiva orang tersolider yang kukenal. Bisa saja sih Rio menolak ikut, apalagi hanya untuk capek-capek mengendarai motor sampai Pangandaran.Tapi, Khiva berhasil membujuknya. Khiva berdalih akan ada acara pembagian doorprize dengan hadiah yang fantastis. Mata Rio mendadak hijau. Apalagi saat disebutkan salah satu hadiahnya sepeda. Dia berharap yang dapat itu.Dasar, mudah sekali membujuk Rio.Akhirnya, setelah berbagai protes dari Akita, Cyan dan Ammar, mereka pun setuju dengan wisata dadakan ini.Selama semua biaya ditanggung kantor, tentu saja mereka harus manut saja.
Aku memilih jujur pada Biru. Dia bisa kupercaya mengenai rahasia yang merupakan aib bagi rumah tanggaku ini. Aku sudah lelah menyimpannya seorang diri. Aku juga butuh ditenangkan.“Kamu tahu kan, sebelumnya aku pernah membongkar sandiwara kalian karena kecerobohan Viana. Dia wanita yang sederhana dan mudah sekali ditebak. Dan melihat apa yang sudah dia lakukan denganmu, aku tahu dia jujur tentang perasaannya. Dia benar-benar menyukaimu, Riga. Dan tentang Nara, itu hanya ketakutanmu saja.”Inilah yang ingin kudengar dari Biru. Dia pandai menyimpulkan. Dia menepuk pundakku sekali. Ada bau persahabatan yang kental darinya.“Percaya saja pada istrimu.” Saran yang bagus. Dan akan kulakukan meskipun itu sulit.Biru memasukkan tangan ke saku celananya. Sikapnya jadi lebih santai daripada tadi. Aku pun menirunya dengan mengembuskan napas lega.“Entah kamu sudah tahu tentang ini atau belum. Nara datang ke pernikahanku. Aku meli
Viana baru kembali ke kamar setelah pagi. Kudapati ia sedang memandangiku yang masih setengah mengantuk di kasur. Aku tersenyum melihat Viana yang sama cerahnya seperti mentari yang jadi latar belakangnya.“Kamu sedang apa, senyum-senyum begitu. Sedang merencanakan hal jahat, ya?” kataku sembari mengelus pipinya yang berada sejangkauanku.“Sedang memandangimu saja. Ternyata suamiku ganteng juga.”“Baru sadar sekarang?”Dia menggeleng. “Hari ini berkali-kali lipat gantengnya.”Viana bisa juga membuat bibirku tergerak senyum. Aku meraih tubuhnya, kubawa masuk ke rangkulanku agar ia ikut tidur di sisi.“Kamu sudah mandi?” tanyaku setelah menghidu wewangian dari rambut juga lehernya.“Sudah, dong. Jalan-jalan, yuk! Yang lain malah sudah main sepeda, loh.”“Boleh gak, istirahat sebentar lagi. Sambil... hmm...,”Viana mencubit pipiku dengan gem
"Riga, aku hamil."Hening. Bola mataku berlari ke wajah Viana yang mengucapkan kalimat itu dengan satu tarikan napas. Aku diam, masih mencerna baik-baik apa yang baru saja kudengar ini.“Hah? Ha-hamil?” responku kurang gesit.Viana tak nampak kecewa, ia justru dengan sabar mengulang perkataannya lagi. Kali ini ditambah kalimat penunjang yang membuatku yakin kalau Viana tidak sedang bercanda seperti yang biasa kami lakukan.“Tadi pagi aku test pack di kamar Khiva. Hasilnya, dua garis merah muda yang sangat jelas,” imbuhnya lagi.“Du-dua garis? Positif? Kamu benar hamil? Anakku?” setiap pertanyaan yang kulayangkan hanya dapat anggukan kepala dari Viana. Ia mengangguk dengan pasti dan senyum yang tak lepas membayangi.“Iya, Sayang, iya. Kamu akan jadi ayah.”Aku tidak peduli sekarang berada di mana. Siapa saja yang memerhatikan. Atau seseorang menganggapku gila. Kuangkat tubuh Vian
Pagi hari di akhir pekan jadi kegiatan yang menyenangkan. Viana berencana memasak hari ini. Karena libur, aku membantunya. Menciptakan suasana romantis dengan mencincang bawang, merajam daging, juga menumis.Viana koki yang ulung, ia bergerak menguasai dapur, membuatku terpesona saat tangan kurusnya lincah memotong-motong apa pun di talenan.Rambut Viana terburai. Ia mengibaskan dengan bantuan punggung tangan sebab telapaknya kotor habis memegang lengkuas.Ini jadi tugasku sekarang. Kuraih tiap helaian rambutnya, mengikat dengan genggaman tanganku. Kulepaskan ikatan Viana, memperbaiki dengan ikatan versiku.Viana tersenyum. Manis sekali. Ia melanjutkan kegiatan mencincangnya. Dari belakang sini lekuk lehernya kelihatan seksi. Kugerayangi dengan bibirku. Membuat geli Viana yang mengendikkan bahu."Kamu mengganggu," keluh Viana lucu."Habisnya, kamu seksi," godaku sambil menaruh tangan di pinggangnya."Lebih baik kamu bantu aku memotong
Meski tak paham. Tidak tahu apa-apa. Aku menghambur kepada dua orang karyawan yang telah kuanggap sahabatku itu.Beberapa orang bereaksi dengan kedatanganku. Termasuk Rio bisa sedikit tenang dengan tak menerjang tangan-tangan yang menghentikannya.Rio menepiskan tangan dengan sebal. Ia buang muka dariku yang berada di tengah dirinya dan Cyan.“Sebenarnya ada apa ini. Apa yang kalian lakukan pagi-pagi begini?” bentakku bergantian pada Rio dan Cyan.Keduanya buang muka. Menolak untuk menjelaskan. Sama-sama keras kepala dengan sorot mata benci di mata masing-masing.“Anu, Pak Riga. Rio dan Cyan bertengkar karena Khiva menangis di ruangan Bapak,” jelas seseorang menjawab kebingungan di raut wajahku.Ow, alasan yang membuatku hampir berdecak sebal.Karena Khiva mereka begini?“Ini kantor. Bukan arena adu jotos. Kalau mau berkelahi melampiaskan kekesalan, sana lakukan di luar. Jangan campuri uru
Aku dan Cyan berada satu mobil. Aku yang menyetir untuknya. Sedangkan Cyan sedari tadi masih saja bergumul dengan amarah yang tak ia luapkan seperti Rio.“Hei, jangan berwajah menyebalkan begitu kalau sudah bertemu klien kita. Atau aku akan mencabutmu dari tim pemasaran dan memindahkan ke IT,” kataku sedikit mengancam.Cyan tidak suka itu. Keningnya berkerut, tatapan matanya terhunus tajam. Aku tahu Cyan setidak suka itu dengan yang namanya komputer. Ia tipe pekerja lapangan dan pengatur pertemuan. Komputer apalagi masalah perangkat lunaknya sangat tidak ia sukai. Kebalikan Nara dari dulu.“Saat seperti sekarang jangan berlagak seolah kamu bosnya,” sinis Cyan.“Memang aku bosnya. Dan aku bebas mengatur apa yang menurutku benar untuk perusahaanku sendiri.”Cyan mencebik. Ia buang muka ke sisi jendela yang sengaja ia buka separuhnya karena pengap oleh bau amarah.“Cyan, aku tahu kamu seperti ini untuk
Dari kemarin kulkas rusak. Bagian dalamnya tak terasa dingin. Sedangkan Viana lebih suka susu hamil yang dingin.Pagi ini saat libur, aku membetulkannya. Aku bukan ahli, hanya memutar baut, melepaskan bagian mesin demi mesin. Aku tidak tahu letak yang salah. Hanya kutiupi, melihat-lihat, lalu mengembalikan ke tempat semula.Dengan begitu kulkas tidak langsung menyala, tentu saja. Kerjaku hanya membongkar, bukan membetulkan. Mana ada perubahan.Aku menyerah. Dua jam berkutat dengan mesin juga kabel-kabel tidak membuat kulkas nyala kembali."Fiuh, beli yang baru saja lah, Viana." Aku menyerah.Viana menggeleng. Sedari tadi dia menunggu di kursi sambil mengelus-elus perutnya yang kian membuncit."Padahal masih baru kulkasnya, sayang banget kalau harus ganti yang baru," komentar Viana dengan segala perasaan."Iya, tapi aku gak ngerti cara membenarkannya. Panggil tukang saja, ya?" keluhku sambil duduk di hadapan Viana.