Share

6. Indah

Kita bekukan dulu acara pernikahan, atau Riga yang tersenyum senang sebab jabatan impiannya ia dapatkan.

Sekarang aku akan bercerita tentang pertama kali bertemu Nara. Pertama kali aku merasakan jatuh cinta.

Waktu itu, aku sudah di ibukota sejak lulus SMA. Lima tahun.

Dari kecil, impianku menjadi pemain teater tuntas terbayar. Meskipun harus terpisah dengan Kakak di kampung, asalkan untuk mimpi aku rela tinggal di indekos tua dan bobrok. Atau makan hanya sekali sehari pun tak apa. Aku terlanjur cinta bermain peran di atas pentas.

Saat itu sanggar kami sedang jaya-jayanya. Bukan hanya saat usai pementasan saja kami dibayar, tapi setiap bulan sebagai gaji tetap kami.

Makan enak masih bisa kulakukan. Kali itu pun aku sedang melakukannya dengan Milan dan Havana. Kami memilih Café Tree sebagai tempat istirahat. Tidak jauh dari sanggar, makanannya pun tidak terlalu mahal.

Kami memilih menu dengan seorang pria siap mencatat pesanan kami. Pria itu membuatku terkesima hanya dengan berdiri semampai mengenakan apron kain berlogo Café Tree.

Aku memerhatikannya tanpa berkedip. Saat pria itu menulis di memo, saat menimpali pertanyaan Milan atas satu penganan, dan saat pria itu menolehku dan berhenti menulis.

Aku tersadarkan oleh cubitan Havana. “Viana, kamu mau pesan apa?”

Oh, jadi karena itukah pria itu menolehku. Karena menunggu pesananku.

Aku ingin jawab, ‘aku mau pesan kamu.’ Tapi tidak jadi karena Havana melotot.

“Hot Chocolate latte art?” Aku yang pesan tapi aku yang bingung sendiri. “Ini apa?” Akhirmya aku berhasil membuat dialog dengan pria pelayan yang memukau hatiku ini.

“Coklat panas dengan milk foam di atasnya. Milk foam ini bisa kugambari sesuatu,” jelasnya dengan suara bass.

“Kamu yang bikin?”

“Iya!”

Entah suaraku bagaimana kedengarannya, mungkin genit, mungkin manja. Tanpa sadar aku sudah menawan matanya agar menatap mataku.

“Boleh request dituliskan namaku di atasnya?”

“Boleh.”

“Viana. Vi-a-na.” Aku mengeja untuknya. Pria itu menuliskannya di memo. “Dengan huruf V, bukan F.” Aku memperingatkan.

Pria itu mengangguk. Sekaligus menyudahi melayani kami. Aku belum rela ia pergi. Bagaimana kalau yang mengantar pesanan kami bukan dia lagi. Pria itu berbalik dan masuk ke dapur.

Milan menyenggol lenganku. “Kamu suka pria itu?”

Aku menyeringai. “Ya … gitu deh!”

Benar dugaanku, bukan pria itu yang mengantarkan pesanan ke meja kami. Aku harus puas hanya dengan hot chocolate bergambar bunga dan ada tulisan namaku di tengahnya.

Kulihat pria itu berjaga di belakang bartender. Dia yang ambil alih semua menu minuman.

Pelan-pelan kuminum coklatku. Pandangan mataku tak lepas darinya. Dia yang tertawa pada rekan-rekannya, dia yang serius menuangkan minuman ke gelas, dia yang menggigiti ujung pulpen setelah menulis di memo. Setiap ekspresinya tidak ada yang membosankan.

Sayang, waktu istirahat kami cepat sekali berakhir. Milan dan Havana bergegas keluar setelah membayar. Mereka menyeretku karena menolak kembali ke sanggar. Masih mau menatap pria itu.

Di halaman café, kulepaskan pegangan tangan mereka. Mengacungkan telunjukku pada mereka.

“Sebentar saja, ada yang mau kutanyakan pada pria itu, oke?”

Havana menggeleng, Milan melipat kedua tangan. Tapi aku tahu mereka mengizinkanku pergi.

Secepat kilat aku kembali ke dalam café sebelum Milan dan Havana berubah pikiran. Tujuanku jelas. Meja bartender.

Pria itu sedang membelakangiku ketika napasku menghela panjang.

“Anu … aku mau bicara denganmu sebentar.”

Pria itu menoleh. Bukan dia saja, pria lain di belakang meja pun ikut mendengarkan. Kuabaikan mereka. Fokus pada pria di hadapanku ini yang membuat dag-dig-dug jantungku.

“Boleh aku tahu namamu?” Tanganku terulur di depan dadanya.

Pria itu terdiam. Mengedipkan mata tanpa mengubah ekspresi apa pun dari wajahnya. Selama itu pula aku menunggu.

Entah apa yang ada di benaknya, entah bagaimana nilaiku di matanya. Aku sudah menembakkan panah asmara padanya. Tidak peduli teman-temannya bersorak atas keberanian atau lebih pantas dibilang nekat.

“Nara … Albian Nara,” katanya tanpa membalas uluran tanganku. Tak apa. Dia menjawab saja sudah bagus.

Pria bernama Nara itu berbalik dan masuk ke dapur. Kembali bekerja. Aku juga mesti ke sanggar. Atau Milan dan Havana menyeretku karena aku terlalu lama di sini.

Besoknya, lagi dan lagi aku datang ke Café Tree.

Harusnya niatku kelihatan jelas. Tatapan mataku tidak bisa berbohong. Di atas panggung aku bisa jadi apa pun, bahkan mimik terbengis sekali pun. Tapi di hadapan Nara, aku jadi diri sendiri. Kalah dengan pesonanya yang dominan.

Di suatu sore aku datang ke café Tree, tidak ada Nara di meja bartender atau di dapur. Salah seorang rekannya memberitahu, saat jam istirahat Nara biasanya ke belakang café. Padahal ada sesuatu yang ingin kuberikan padanya.

Syukurlah, aku diperbolehkan melintasi dapur, menemui Nara di belakang café. Aku mendapati Nara bersandar di tembok. Asap mengepul dari mulutnya. Ia sedang merokok.

“Nara!” panggilku seraya menyejajarkan bahu kami.

Nara menoleh. Puntung rokok ia pindahkan ke tangan kiri, menjauhi tubuhku. Ia mengernyit, kurang lebih artinya, ‘kenapa kamu ada di sini?’

“Nara merokok?” Nara mengangguk sekali sebagai konfirmasi.

“Memang kamu belum pernah melihatku merokok sebelumnya?”

“Enggak pernah.”

“Lebih bagus mana. Aku yang merokok, atau enggak?”

“Aku pribadi, sih. Lebih suka Nara gak merokok. Tapi terserah Nara.”

Dibilang begitu Nara mematikan abu rokok. Padahal belum setengahnya ia hisap. Aku jadi seperti pengganggu jam istirahatnya saja. Tapi sungguh, lebih sehat tidak merokok, bukan.

“Aku gak akan lama. Aku cuma mau kasih Nara ini,” ucapku sembari menyerahkan dua tiket pertunjukanku minggu ini.

“Kamu yang main?”

“Iya. Nara sudah pernah nonton teater sebelumnya?”

“Belum. Ini yang pertama.”

“Nonton ya. Aku beri Nara dua tiket, biar Nara bisa mengajak teman atau … eum … pacar.”

Jujur, meski kami lumayan dekat. Aku tidak tahu dia punya pacar atau belum. Kami belum sampai seterbuka itu.

“Mmm … Nara punya pacar?” akhirnya aku punya kesempatan bertanya. Aku memilin ujung baju. Aku bersiap kalau-kalau Nara memberi jawaban terburuk sekali pun.

“Belum,” katanya membuatku sumringah.

“Aku mau kembali ke sanggar. Minggu nanti nonton, ya. Jangan terlambat,” ucapku sambil berjalan mundur ke jalan yang kulalui tadi.

Sekilas, kulihat Nara tersenyum. Singkat sekali, tapi kuyakin ada dekik di pipinya. Dan kuyakin aku suka senyumnya.

Singkat cerita, pementasanku berlangsung apik. Penonton membludak, sambutan luar biasa. Para pemain berjajar di atas panggung, melakukan bungkukan hormat sebagai ungkapan terima kasih.

Saat itulah kulihat Nara di salah satu kursi. Sedang berdiri tepuk tangan. Tadi, saat pementasan, lampu penonton dimatikan. Aku tidak bisa melihat Nara di sana. Sekarang, ketika lampu terang benderang, bisa kulihat Nara datang bersama rekannya di Café Tree.

Ah, aku ingin menemuinya. Sayang, segala tektek bengek di belakang panggung harus kami lakukan sampai menghalangiku bertemu Nara di luar gedung teater.

Aku mengabaikan semua hal termasuk evaluasi yang biasa dilakukan seusai pementasan. Aku kabur. Berlari lintang pukang ke luar gedung. Ke parkiran. Sejauh mata memandang tidak ada Nara dimana pun. Aku pesimis Nara sudah pulang. Uh, harusnya aku segera keluar saja menemuinya.

“Viana?!” suara bass yang kukenal memanggilku dari belakang. Itu Nara. Pria yang kuharapkan ada. Ia sendirian, tidak ada rekannya yang tadi.

Ia menghampiriku dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Lalu mengulurkan tangan ketika berdiri tepat setengah meter di hadapanku.

“Selamat. Kamu bermain bagus sekali tadi,” puji Nara disertai senyum yang menghipnotisku.

“Ah, terima kasih.” Kusambut uluran tangannya. Ini pertama kalinya aku menyentuh tangan Nara. Dingin tapi juga hangat muncul bersamaan. Kontradiksi sekali.

“Besok, datanglah ke café jam tiga,” perintah Nara.

“Memangnya ada apa?”

“Akan kubuatkan latte art spesial buatmu.”

Refleks bibirku mengulum senyum. Sama dengan Nara. Malam itu, kami berjanji.

Tidak mau melewatkan kesempatan, besoknya aku datang tepat waktu. Nara memenuhi janjinya membuatkanku latte art. Kali ini polanya standar, sebuah kotak dengan tulisan YES / NO dengan toping.

Aku memiringkan kepala. Tidak paham.

Nara berdiri di hadapanku. Mengucapkan kalimatnya dengan khidmat.

“Kamu mau jadi pacarku?”

Itukah arti YES / NO di latte art. Agar aku memilih salah satu.

Ini pertanyaan paling mudah sedunia. Sudah pasti jawabanku adalah YES. Kuhapus bagian NO dengan sendok kecil. Lalu kusodorkan cangkir latte art ke hadapannya.

“Yes, Nara! Aku mau.” Sebagai balasannya aku dapat senyum malu-malu dari Nara.

Hari itu kami resmi pacaran.

__BERSAMBUNG__

Liani April

Cihuiii~ udah senyum2 sendiri belum? Menurutmu, cara nembak gimana sih yang bikin meleleh... Sharing yuk di kolom komen

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status