Dulu dan sekarang, tidak ada yang berubah dengan perasaanku pada Nara. Yang berbeda paling status kami sekarang, suami istri.
Malam tadi, kami sama-sama lelah dengan pesta pernikahan. Tapi tidak mengubah performa kami di atas ranjang. Nara sama hebatnya seperti yang sudah-sudah. Hanya kali ini ia begitu lelah untuk sekedar mengenakan baju. Memilih berselimut sambil memeluk tubuhku.
Kuperhatikan wajah Nara yang masih tertidur, usil memainkan jariku ke dagu. Lalu turun ke adam apple-nya alias jakun. Nara menelan ludah. Reaksi atas jari-jariku usilku.
Aku cekikikan karena Nara yang setengah bangun setengah tidur menyembunyikan jakunnya ke bantal. Selimut sedikit tersingkap. Dan lasak. Nara mendengung tanda protes kuganggu.
“Selamat pagi, suamiku. Ayo sarapan,” bisikku manja di telinganya.
Nara menggulung tubuhnya lagi dengan selimut. Mulai sadar tak ada sehelai benang pun di badannya.
“Aku mau tidur sebentar lagi,” pinta Nara den
Kami telah sampai di Bandara Ngurah Rai, Bali. Kami perlu ke sini untuk mengelabui Bunda dan yang lain. Kalau kami nekat terbang dari Jakarta, bisa saja ada yang mengantar hingga ke pintu keberangkatan. Padahal tujuanku dengan Riga berbeda.Riga menelepon seseorang ketika tiba di bandara. Kulihat barang bawaannya hanya ransel besar dan tas pinggang membelit di tubuhnya. Bisa kutebak tujuan Riga adalah perjalanan domestik. Beda sekali denganku yang rikuh membawa banyak baju di koper. Terpisah dengan punyanya Nara di koper kecil.Hei, wanita selalu begitu kan. Setiap kemana pun selalu paling banyak bawaan dibanding para pria. Aku yakin kamu yang membaca ini juga begitu. Mengaku saja.Tiga minggu. Waktuku honeymoon dengan Nara di Cancun. Selama itu pula Riga pergi ke tempat entah kemana. Dia tidak bilang apa pun.Nampaknya Riga berhasil mengontek temannya, ia bersiap pergi begitu panggilan telepon dimatikan. Riga berbalik badan padaku dan Nara.&ldquo
Selagi masih di Cancun, kujajaki semua wisata dan mengeksplor kota indah nan romantis ini. Dimulai dari Taman Xcaret. Taman hiburan terbesar di Mexico di bawah payung Experiencias Xcaret. Selanjutnya kami mengunjungi Reruntuhan Coba Maya. Berjalan melalui reruntuhan, melihat jaringan jalan-jalan batu, monumen yang diukir lebih dari 1.200 tahun yang lalu. Piramida. Tempat tinggal sehari-hari, dan bahkan lapangan bola tradisional. Masih belum puas, kami menjelajahi Downtown. Pergi ke pusat kota Cancun dimana penduduk setempat tinggal dan berkumpul. Aku menemukan beberapa toko turis dan restoran, tetapi getarannya jauh lebih otentik. Lalu ke Coco Bongo, tempat yang menawarkan kehidupan malam terbaik di Cancun. Ini bukan klub malam dengan lantai dansa, melainkan sebuah tempat yang menyediakan hiburan dan musik berenergi tinggi. Kami menyaksikan akrobat, musisi, DJ, dan layar video besar saat berinteraksi dengan garis conga, balon, gelembung dan co
Berita baik itu datangnya dari Ketua. Sanggar kami hidup kembali. Seorang derma membeli kepemilikan gedung. Tanpa syarat apapun ia hibahkan gedung tempat kami berlatih. Selama ini yang membuat kami bangkrut karena sewa gedung yang mencekik. Kalau masalah itu sudah dituntaskan, pemasukan bisa fokus untuk produksi. Bisa kamu tebak siapa dermawan itu? Yap, Bunda. Aku pernah bilang tentang pencari informasi Bunda yang setara intel itu, bukan. Kabar bangkrutnya sanggar terendus oleh Bunda. Suatu hari ia pernah menemui khusus untuk masalah satu ini. Pertanyaannya menohok. “Kenapa kamu suka teater?” Seperti wawancara dengan penggalang dana. Kalau alasanku tidak memuaskannya, hilang sudah kesempatan didanai. “Di dunia nyata aku cuma wanita biasa dan sederhana. Aku bisa jadi siapa pun dengan teater. Setidaknya aku pernah merasakan banyak peran walau cuma di atas panggung. Mungkin itu juga caraku bersimpati dengan banyak orang.”
Meski sudah tiga bulan pernikahan pura-puraku dengan Riga. Belum pernah sekali pun aku menginjakkan kaki ke kantornya. Kalau bukan karena Bunda yang mengajak, mungkin aku tidak akan pernah datang. Bunda bermaksud pamer pada anak bungsunya. Bahwa menantunya ini telah ia ubah, di make over. Rambut lurusku dipotong sampai se-dada dan sudah berubah warnanya jadi coklat. Ada poni setinggi alis yang kadang menggelitik keningku. Aku didandani. Memakai gincu merah muda dan perona pipi. Setelanku turut diganti. Rok sepan selutut dengan kemeja santai berbahan chiffon. Bunda juga memberikan tas selempang yang langsung tercangklong di bahuku. Sebenarnya untuk apa aku berdandan begini. Bunda tidak juga mau memberitahuku. Kami sudah berada di lobi kantor dengan tujuh lantai itu. Sekretarisnya memberitahu kalau Pak Riga sedang rapat dengan para manager. Jadilah sambil menunggu, kami diantarkan ke ruangan Riga. Ruangan Riga ada di lantai kelima. Ruan
“Aku pulang dengan Bunda saja, deh. Mumpung Bunda belum jauh.” Aku membalikkan badan berniat pergi. Namun Riga dengan cepat menghampiriku. Menarik tanganku sampai badanku bertubrukan dengan dadanya. “Jangan—“ cegahnya dengan wajah berada beberapa senti saja dariku. Aku membeku, seperti habis tersiram air dingin. “Nanti Bunda makin cerewet. Kamu pulang bareng Nara saja, ya,” kata Riga sembari mundur selangkah karena sadar kami terlalu dekat. Mendengar nama Nara, bibirku auto tersenyum. Aku mengangguk tanda setuju. Riga melakukan sesuatu lagi dengan interkomnya. Kali ini memanggil Nara. “Nara, tolong ke ruanganku dulu, ya!” Aku berharap Nara menjawab. Aku penasaran suara Nara di interkom bagaimana bunyinya. Tapi tidak, setelah bunyi BIP! Tak ada sahutan lagi. Riga seperti tahu, Nara tidak akan menjawab. Ia kembali ke berkas-berkasnya. Tidak sampai semenit, Nara datang. Aku berjingkrak kegirangan saat Nara masuk da
“Pulangnya kapan?” Kedua tanganku melingkar di perut Nara. “Lusa. Riga sudah menyewa hotel untuk kami.” Tahu akan ditinggalkan dua hari olehnya, aku cemberut. Nara peka. Ia ciumi bibirku. Terus dan terus sampai cemberutku hilang. “Kamu mau ngapain saat aku pergi?” “Ke sanggar, mungkin. Ada wawancara untuk anggota baru. Aku ditunjuk Ketua jadi jurinya.” Mungkin cuma perasaanku. Tapi setiap aku membicarakan sanggar, Nara nampak tidak tertarik. Ia pun mengganti pertanyaannya. “Hmm, di rumah sendirian gak apa-apa?” “Enggak apa. Kan, ada Mbok Minah.” “Oke, kalau ke sanggar jangan pulang malam-malam, ya. Aku gak bisa menjemputmu kali ini.” “Oke, Nara.” Aku mengangguk-angguk. Kami berdua tahu, dua hari tidak bertemu berarti harus ada stok ciuman. Nara sedang menimbun jatah ciumanku per hari. Seluruh wajahku dikecupnya, kening, pipi, pelipis, yang terakhir bibir. Yang itu lebih intens. Bibir kami b
Aku diam. Terhanyut. Dan ...daguku diangkat seseorang. Lalu sesuatu yang panas mengecup bibirku. Tiba-tiba.Aku tersentak dan membuka mata. Rupanya Galanta pelakunya. Ia memanfaatkan keheningan. Saat seluruh mata tertutup berkonsentrasi, termasuk aku. Ia menyerang personal space-ku tanpa perlawanan. Sangat pengecut.Galanta menaruh telunjuknya di bibir, isyarat agar aku tidak berisik. Atau orang-orang akan tersadar dan melihat si brengsek ini menciumku.Aku tidak menurut. Kuhajar wajah mulusnya. Berdiri dan berteriak dengan dramatis.“KURANG AJAR!”Tentu saja, semua mata terbuka dan menolehku. Mata-mata itu menatapku keheranan.Tahu si brengsek Galanta ini melakukan apa? Dia berakting. Berwajah bingung seperti yang lain. Dan dengan entengnya mengatakan.“Kenapa, Viana?”Dia ....Oh, aku lupa dia aktor papan atas. Pasti mudah baginya memerankan adegan seorang yang kebingungan.
Aku diam. Merenung. Mencari pelarian dari kedalaman sorot matanya.Bunda telah siap mendengarkan. Aku pun tak pelak mempersiapkan diri mengatakan jawaban padanya.“Sebenarnya, aku ..., aku kangen Riga,” akhirnya aku memilih bohong.Gila saja kalau aku bilang menangis karena mantan brengsek yang sudah menghilangkan keperawananku, dulu.Segalau apa pun, otakku tetap jalan. Menceritakan Galanta pada Bunda tentu saja kabar terparah yang didengar. Lebih parah dari kabar pernikahan pura-pura kami.“Ya Tuhan, sampai nangis-nangis di jalan begitu karena kangen Riga?” Bunda geleng-geleng tapi wajahnya nampak puas. “Riga tugas keluar kota, ya? Cup-cup-cup! Besok Riga pulang, kok!”Bunda merentangkan kedua tangan. Kepalaku mendarat di dadanya. Merasakan debar jantung yang lembut juga kehangatan khas seorang ibu.Sudah berapa lama ya, aku tidak merasakan kehangatan sosok ibu. Aku tumbuh besar bersama K