Di sebuah ruang tamu temaram di Bandung, Feby duduk dengan gelisah. Jari-jarinya terus bergerak, saling bermain di pangkuannya, sementara keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Matanya tertuju ke lantai, tak berani menatap wajah Ayahnya.Haris dengan wajah tegas, duduk di depan Feby. Ekspresi marah dan kecewa terpancar jelas di wajah Haris, garis-garis usia di dahinya semakin terlihat ketika emosinya memuncak. Ia menatap putrinya dengan tatapan marah, seolah tak bisa menerima apa yang baru saja terjadi.“Kenapa kamu lakukan ini, Feby?? Kenapa kamu bikin malu keluarga kita?!” Bentak Haris. Suaranya menggema di ruangan, membuat Feby semakin merunduk takut.Feby menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Ini cuma salah paham, Pa,” Jawabnya lirih.“Salah paham?!” Bentak Haris, suaranya semakin tinggi. “Salah paham sampai kamu digrebek warga?!” Tambahnya menggeram.Haris tak bisa lagi menyembunyikan rasa kecewanya. Bagaimana mungkin putrinya, yang selama in
“Siapkan CT scan!! Kita perlu melihat kondisi otak dan organ dalam pasien secepat mungkin!!” Titah dokter Rian pada perawat.Perawat-perawat yang terlatih dengan cekatan memindahkan Widya ke mesin CT scan yang besar. Sementara itu, Dokter Amri terus memantau kondisi Widya melalui monitor.Sedang Arya berdiri di luar ruangan dengan penuh khawatir, menatap kaca besar yang memperlihatkan Ibunya di dalam mesin itu.Mesin CT scan mulai beroperasi, memindai tubuh Widya dengan sinar X untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi internalnya. Dokter Amri berdiri di depan monitor Iain, melihat hasil yang perlahan-lahan muncul di layar.Setelah beberapa menit, dokter Amri menoleh ke salah satu dokter radiologi yang ada di sebelahnya. “Ada indikasi apa, Dok?” Tanyanya.Dokter itu mengerutkan kening saat memeriksa gambar. “Ada pembengkakan di bagian otak dan beberapa Iuka dalam di hati dan paru-paru pasien. Ini harus segera ditangani!!” Jelasnya.Dokter Amri mengangguk pelan, wajahnya se
Arya segera bangkit. Dengan napas yang tertahan, ia berjalan cepat mendekati dokter. Tubuhnya terasa semakin berat dengan setiap langkah yang ia ambil.“Dok, bagaimana keadaan Mama saya?” Tanya Arya dengan suara yang bergetar.Dokter menghela napas, raut wajahnya tak bisa menyembunyikan keprihatinan.“Kondisi ibu Anda sangat memprihatinkan. Dia mengalami dehidrasi dan malnutrisi yang cukup parah. Kami sudah memberinya cairan infus dan suplemen nutrisi, tapi kondisinya masih sangat lemah. Dia perlu mendapatkan perawatan intensif dan rawat jalan. Apalagi ada beberapa organ yang perlu mendapatkan perawatan ekstra.” Ungkapnya serius.Arya merasa dadanya semakin sesak mendengar penjelasan dokter. “Tapi, dokter... Malam ini kami harus kembali ke Jakarta. Saya bawa Ibu saya ke sini hanya untuk memastikan dia bisa mendapatkan nutrisi yang cukup agar tubuhnya lebih kuat. Kami berencana merawatnya di Jakarta, di rumah sakit yang lebih lengkap!” Jelasnya.“Jika Anda berencana membawa beliau ke J
Di pasar tempat Widya berdagang. Tiga pria bergegas menuju motor-motor mereka yang terparkir di pinggir jalan.“Brengs*k! Wanita tua itu pergi ke mana?! Dia gak mungkin bisa pergi jauh!” Teriak pria pertama, tatapan matanya tajam, penuh amarah.“Udah tua, tinggal tunggu mati, malah bikin masalah. Cepat! Kita harus cari dia sebelum ada yang menolongnya!” balas pria kedua sambil menendang motor untuk menyalakan mesinnya, giginya gemeretak menahan emosi.Mereka semua tahu, kehilangan Widya bukan sekadar masalah kecil. Widya telah memegang rahasia penting, dan membiarkan wanita itu kabur adalah kesalahan yang bisa berakibat fatal bagi mereka.Pria ketiga, yang terlihat paling muda, dengan sigap memeriksa ponselnya. “Kita cari di tempat biasa dulu, mungkin dia bersembunyi di sana.” Ucapnya.Mesin motor mengaum kencang saat mereka bertiga mempercepat laju kendaraan, berkejaran dengan matahari yang semakin naik. Jalanan desa yang tadinya sepi kini menjadi saksi bagaimana mereka berusaha mene
Arya hanya bisa mengangguk sambil terisak, memeluk Ibunya lebih erat. “lya, Ma... Ini aku, Arya... Anak Mama di sini sekarang...” Ujarnya dengan suara terputus-putus karena isakan.Widya merasa tubuhnya menggigil hebat. Seluruh tubuhnya bergetar seolah tidak percaya bahwa anak yang selama ini ia pikirkan, sekarang ada di pelukannya.“Ya Allah... Arya... Anak Mama...” Ucap Widya. Tangisnya seketika meledak, mengguncang tubuhnya. Ia mengusap wajah Arya dengan jari-jarinya yang gemetar, seolah takut bahwa semua ini hanya mimpi yang akan hilang dalam sekejap. “Kamu udah besar sekarang... Maafin Mama sayang... Mama selama ini mikirin kamu... Mama...” Arya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, tidak sanggup menahan rasa bersalah yang meluap dalam dirinya. “Enggak, Ma... Harusnya Arya yang minta maaf... Arya terlambat, Arya terlalu lama... Maafkan Arya Ma...” isaknya pecah di antara pelukan mereka. Ia tidak bisa berkata-kata lagi, karena rasa sakit dan penyesalan begitu memenuhi hati
Arya duduk di dalam mobil dengan gelisah. Matanya tak lepas menatap Jason yang berjalan mendekati kios tempat Widya berjualan.Kedua tangan Arya saling menggenggam erat di pangkuannya, menandakan kegundahan hatinya yang semakin memuncak. Pikirannya bercampur aduk ada kerinduan mendalam yang tak tertahankan pada Ibunya. Ingin rasanya ia segera memeluk tubuh wanita itu, merasakan kehangatan yang lama hilang.Sedang Jason yang kini sudah semakin dekat dengan kios Widya, merasakan detak jantungnya berpacu cepat. Bagaimana jika wanita tua itu masih ingat dirinya? Dari kecil, ia dan Arya sudah saling kenal, dan tak jarang Widya melihat mereka bermain bersama. Setiap langkah Jason terasa berat, diliputi rasa was-was, namun ia tetap melangkah hingga berada tepat di depan kios yang sederhana itu.“Ibu, jual sayur apa aja?” Tanya Jason berusaha santai sambil menatap ke deretan sayuran yang tersusun di meja.Namun tatapannya segera beralih ke wajah Widy, wanita yang begitu familiar di ingatanny