Di apartemen...
Maudy memutuskan untuk bangun dan menuju kamar mandi. Walaupun masih terasa nyeri, namun wanita itu harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Di bawah guyuran air shower yang menyegarkan, Maudy merasakan tubuhnya bergetar perlahan melepaskan ketegangan. Maudy memejamkan mata, mencoba menenangkan diri dari situasi yang sedang di hadapinya. Meski begitu, Maudy sadar bahwa dirinya harus terus berjalan dan menghadapi kenyataan, karena hidup tidak mungkin diam di tempat saja. Setelah selesai, Maudy mengambil sejadah dan menggelarnya dengan hati-hati di atas lantai. Maudy menunaikan sholat, berusaha khusyuk meski pikirannya terus saja melayang memikirkan hari esok yang masih menjadi misteri. “Ya Allah, mengapa takdirku harus begini? Aku tak sanggup menerima kenyataan ini,” Maudy berdoa dengan air mata yang kembali membasahi pipinya, “Walaupun rasa Cinta itu belum ada untuk Mas Arya, tapi hatiku terasa remuk menghadapi keadaan ini, Ya Allah... Bagaimana juga perasaan istrinya jika mengetahui semua ini? Aku harus bagaimana, sekarang?” Saking pilu hati yang Maudy rasakan, wanita itu hanya bisa tersungkur di atas sajadah, menangis sejadi-jadinya. °°°°° Setelah mengakhiri sholat, Jasmine merasa tubuhnya tiba-tiba lemas Iagi. Rasa lemas yang datang begitu mendadak membuat Jasmine hampir terjatuh. Arya, yang sadar akan kondisi istrinya, langsung merasa cemas. “Sayang kenapa? Pusing?” Arya segera membimbing istrinya kembali tiduran di ranjang, lalu menarik selimut untuk memberikan kehangatan. “Badanku lemes banget, Mas. Sampai gak kuat berdiri,” Suara Jasmine begitu lirih, membuat Arya semakin panik. “Tunggu, ya. Mas buatin teh hangat dulu.” Tanpa ragu, Arya segera turun ke bawah menuju dapur untuk membuat minuman hangat, agar bisa memberikan kehangatan pada tubuh Jasmine yang kedinginan. Arya dengan gesit mencari teko dan memasukkan air panas ke dalamnya. Pria itu kemudian mengambil beberapa helai daun teh dari kotak penyimpanan dan memasukkannya ke dalam teko. Arya dengan telaten menunggu teh itu mendidih, sambil sesekali memandang ke arah tangga, takut istrinya kenapa-napa. ‘Kenapa semakin hari kondisi Jasmine semakin lemah? Gak mungkin kondisinya semakin parah, kan?’ Batin Arya menebak-nebak. Saat teh sudah siap, Arya menuangkan ke dalam cangkir dengan hati-hati. Kemudian membawa cangkir teh hangat itu ke kamar. Baru saja masuk, Arya begitu merasa tidak tega melihat Jasmine yang setiap hari seperti ini. Jasmine layaknya burung yang terkurung dalam sangkar, dunianya hanya rumah dan rumah sakit saja. Tanpa bisa menikmati indahnya dunia. “Mas tiupin dulu, ya...” Ucapnya saat sudah duduk di tepi ranjang. Jasmine hanya mengangguk sebagai jawaban, ia tatap wajah suaminya yang terlihat panik. Ada rasa bersalah yang wanita itu rasakan sekarang. Sebagai seorang istri, ia hanya bisa mengabdikan diri selama tiga bulan saja, sedangkan setelah itu suaminyalah yang merawatnya. “Mas,” Panggil Jasmine sedikit berbisik. “lya sayang kenapa?” “Maafin aku ya, Mas... Belum bisa jadi istri yang baik buat kamu, maaf udah ngerepotin kamu selama ini...” Ungkap Jasmine. Mendengar kata-kata istrinya itu, jujur saja Arya tidak suka, ia paling benci jika istrinya mengatakan kata maaf, karena entah kenapa rasanya sebuah perpisahan semakin dekat, “Enggak ada yang perlu dimaafin, karena kamu gak salah apa-apa, jangan ngomong gitu lagi. Sekarang minum dulu, tehnya udah hangat.” Ujar Arya, sembari menyodorkan cangkir tersebut ke mulut Jasmine. Jasmine menerima setiap suapan teh hangat, merasakan hangatnya menyusup ke seluruh tubuhnya dan memberikan kenyamanan. Dalam keheningan ruangan yang dipenuhi aroma teh, Jasmine menatap dalam-dalam sang suami, suami yang begitu ia cintai. “Nanti kita ke rumah sakit ya... Mas gak mau kamu kenapa-napa.” Pinta Arya, khawatir. “Mas... Aku mohon, aku mau Mas menikah lagi... Aku ingin melihat Mas bahagia...” Pinta Jasmine dengan nada penuh harap. Ia ingin memastikan bahwa wanita yang akan menggantikannya kelak, benar-benar tepat untuk Arya, Jasmine hanya menginginkan kebahagiaan bagi Arya. Karena pria itu memang layak mendapatkan kebahagiaan. Arya menatap Jasmine dengan ekspresi bersalah, “Jangan bahas masalah ini, Mas mohon...!!” Sanggah Arya dengan suara yang hampir tercekat. Merasa terjebak dalam situasi yang rumit, ia mau menikmati Maudy, tapi masih enggan mengakuinya. Pria itu juga takut jika semua ini terbongkar, hal itu akan berdampak buruk pada kesehatan Jasmine. °°° Sedangkan di apartemen pagi itu, tubuh Maudy terasa seperti diseret oleh ribuan tangan tak kasat mata, menekan setiap serat otot hingga membuatnya merasa limbung dan tak berdaya. Kekuatan seolah-olah menghilang dari tubuhnya, meninggalkan rasa kelemahan yang menyeluruh. Keringat dingin mulai membentuk butiran mutiara di dahi, sementara kulitnya terasa panas seperti dipanaskan bara saat tersentuh. Namun, seluruh tulangnya merasakan menggigil yang menusuk hingga ke tulang. “Ya Allah kenapa malah begini?” Maudy memijat keningnya yang terasa pusing, ia benar-benar tak habis pikir. Padahal semalam tubuhnya tidak kenapa-napa, tapi kenapa sekarang malah seperti ini. Tangannya semakin kuat mencengkram selimut, takut jika kain tebal itu pergi meninggalkannya. “Aku harus minta bantuan sama siapa? Di sini yang aku kenal hanya keluarga Paman, juga Mas Arya aja.” Gumam Maudy lirih, sendiri di kota orang memang membingungkan apalagi jika dalam keadaan seperti ini. “Lebih baik aku tidur dulu, kalau pas bangun masih sakit, baru pergi ke klinik terdekat.” Lirih Maudy. °°° Pukul 09.00 wib, Maudy terbangun dengan tubuh yang masih terasa Iemas. Dengan gerakan perlahan, ia bangkit dari ranjangnya yang nyaman dan melangkah menuju kamar mandi. Air hangat menyentuh wajahnya saat ia mencuci muka dan menyikat giginya dengan perlahan. Setelah merasa segar, Maudy bergegas mencari baju yang akan dipakainya ke rumah sakit. Maudy memilih dengan teliti, memastikan setiap lipatan kainnya rapi dan sesuai. Setelah berpakaian, Maudy kembali ke ranjangnya dan merebahkan diri, mengambil ponsel untuk memesan taksi online. Sementara menunggu taksi tiba, pikiran Maudy tiba-tiba melayang ke masa lalu, “Ayah... Ibu... Andai kalian masih ada, pasti semua ini gak akan pernah terjadi...” Gumamnya. Saat taksi yang dipesan oleh Maudy sudah dekat, wanita itu mulai bangun. Dengan langkah terburu-buru, Maudy meninggalkan apartemen dan menuju lift. Ting! Pintu lift terbuka, Maudy segera masuk ke dalamnya. Dalam perjalanan singkat menuju lobi, Maudy merasa detak jantungnya semakin cepat. Saat pintu lift kembali terbuka, Maudy bergegas keluar dan melangkah menuju taksi yang telah menunggunya. “Maaf ya Pak, nunggunya lama.” Ujar Maudy, tak enak hati. “Enggak apa-apa kok, Dek. Cuman tiga menit mah gak lama.” Jawab supir. Taksi melaju sedang menuju rumah sakit, Maudy duduk dengan perasaan tegang. Tatapan kosongnya menatap jauh ke luar jendela. ‘Padahal aku udah punya suami, tapi kemana-mana tetap sendiri.’ Batin Maudy, sedih.Maudy tersenyum. Ia memeluk putranya erat, menutupi segala perasaan yang bergemuruh di dalam dadanya. “Wah, anak Mama udah pulang? Gimana di rumah Oma, seru?” Tanyanya antusias.“Seru, Mama...” Jawab Azzam antusias, wajahnya berseri-seri. “Azzam kangen Mama,” tambahnya sambil menyandarkan kepalanya di dada Maudy.“Mama juga kangen sama Azzam,” Ungkap Maudy sambil membelai rambut putranya dengan lembut. Semua perasaan yang tadi berkecamuk bisa sirna dalam pelukan hangat anaknya.Sedang Arya akhirnya kembali ke kamar, langkahnya melambat begitu melihat pemandangan di atas ranjang. Di sana, Azzam dengan wajah polosnya memeluk erat Maudy.Namun, alih-alih merasa senang, perasaan lain mulai merayap di dada Arya. Amarah kecil yang tak ia duga muncul begitu saja. ‘Harusnya aku yang meluk Maudy, bukan Azzam!’ Batinnya kesal. Hatinya mendadak terasa jengkel. Rasa cemburu pada anaknya sendiri. ‘Bisa-bisanya dia rebut istriku,’ gumamnya dalam hati, sambil menghela napas panjang.Arya tahu betapa
Maudy dan Arya sama-sama terjebak dalam rasa malu. Di satu sisi, Maudy sudah berusaha tampil menggoda untuk suaminya. Di sisi lain, Arya ingin maju tapi takut jika istrinya marah.Setelah selesai mencuci piring, Maudy berjalan melewati Arya yang sejak tadi tak henti-hentinya menatapnya. Tatapan itu seharusnya membuatnya merasa diperhatikan, tapi malam ini rasanya berbeda.Maudy kesal dan malu, sehingga ia langsung menuju kamar, menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya, berusaha menghindari rasa kecewa yang semakin merambat dalam pikirannya.‘Apa Mas Arya udah gak tertarik lagi sama aku? Dulu, pakai daster yang panjangnya di bawah lutut aja dia udah nempel terus, sekarang aku pakai dress super pendek, malah takut aku masuk angin!’ Batin Maudy menebak.Tak lama, pintu kamar perlahan terbuka. Arya masuk dan langsung merebahkan diri di samping Maudy. Maudy yang awalnya ingin cuek, tiba-tiba mengurungkan niatnya ketika melihat wajah Arya yang puc
Setengah jam kemudian,Pintu utama apartemen terdengar terbuka. Maudy yang pikirannya sedang berkelana, segera tersadar. Suara langkah yang familiar membuatnya yakin bahwa itu Arya. Dengan cepat, ia memutuskan untuk berpura-pura tidur.Langkah kaki Arya terdengar semakin dekat, menandakan pria itu sedang menuju kamar mereka. Maudy memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.Sesaat kemudian, ia merasakan kecupan di keningnya.“Maaf ya, Maudy... Aku lama keluarnya,” Bisik Arya pelan, tak ingin mengganggu tidur Maudy.Setelah itu, tanpa suara lagi, Arya berjalan menuju kamar mandi.Begitu pintu kamar mandi tertutup rapat, Maudy membuka matanya perlahan. Pandangannya menatap kosong ke arah langit-langit kamar, pikirannya berputar dengan perasaan yang sulit diungkapkan. ‘Apa yang harus aku lakukan?’ Dalam diam, ia merenung, berusaha mencari jawaban.Setelah beberapa saat merenung, akhirnya Maudy menghela napas panjang dan memu
“Udah lah, Mas. Mandi gantian aja, ya?” Ujar Maudy.Di luar, Arya mendesah kecewa. “Tapi, Maudy...” ucapnya dengan nada memelas, sebelum akhirnya menyerah. “Ya udah deh...”Ketukan pintu berhenti. Maudy menghela napas lega, merasa bebannya sedikit terangkat. la memandang bayangannya di cermin, merasa aneh dengan sikapnya sendiri.Sejujurnya, ia tahu rasa malu ini tak seharusnya ada lagi, tapi entah kenapa ia belum bisa sepenuhnya nyaman.“Aku tau ini dosa... Tapi aku belum siap,” bisiknya pelan pada dirinya sendiri.Setelah menenangkan diri, Maudy berdiri di bawah kucuran air shower, membiarkan air hangat mengalir deras di atas kepala, membasahi seluruh tubuhnya.Setelah beberapa saat, Maudy akhirnya selesai mandi. la meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya sebelum mengenakan pakaian bersih yang telah ia siapkan.Namun, saat kembali ke kamar, ia mendapati ruangan itu kosong. Arya tidak ada di sana. Dengan alis berkerut, ia memeriksa ruangan lain, ruang keluarga, dapur, bahkan balkon.
Jason mengangguk, “Iya...” Jawabnya singkat.Arya segera berjalan mendekati Jason yang duduk di sofa, “Isinya apa sih?” Tanyanya penasaran.“Aku juga gak tau. Cuma, pas aku buka kotak itu, ada tulisannya, untuk Maudy. Sepertinya sebelum Jasmine meninggal, dia memang sengaja nyiapin ini untuk Maudy!” Jelas Jason.“Jadi, kamu pikir aku harus kasih ini ke Maudy?” Tanya Arya, menatap kotak itu yang tampak begitu berharga.“Walaupun aku juga gak tau ini isinya apa, tapi siapa tau bisa buat hubunganmu dengan Maudy menjadi lebih baik.” Sementara itu,Maudy yang berada di dalam kamar memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Feby.Setelah beberapa saat, panggilan terjawab, dan suara ceria Azzam langsung memenuhi telinganya.[Assalamu'alaikum, Mama...]“Wa'alaikumsalam, sayang. Azzam mau ke mana sama Tante dan Oma?” Tanya Maudy tersenyum, melihat gambar putranya di layar ponsel yang sedang di dalam mobil.[Mau ke Timezone, Ma! Papa di mana, Papa gak pergi, kan?]“Papa lagi kerja
“Rumah kamu dan Kak Jasmine aja bagus, Mas. Jadi aku gak ragu sama hasil rumah yang kamu bangun sekarang,” Jawab Maudy tenang.Saat mendengar nama Jasmine, Arya merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Tangannya yang memegang setir tiba-tiba mencengkeram lebih erat.Ia menelan ludah, merasa perlu menjelaskan sesuatu. “Maudy, aku...” Arya membuka mulut, ingin memastikan tidak ada salah paham di antara mereka.“Aku apa? Rumah kalian emang bagus kok. Aku suka taman di belakangnya. Boleh kan buat taman juga di rumah kita nanti?” Ungkap Maudy sambil kembali menatap ke luar jendela.Arya terkejut. Ia sempat berpikir jika Maudy mungkin marah atau cemburu, tetapi terdengar dari şuarya istrinya benar-benar biasa saja, seolah tak ada perasaan terselip di balik kata-katanya tadi. Istrinya bahkan terlihat begitu tenang, tak ada tanda-tanda cemburu di wajahnya.“Kamu lagi gak cemburu kan?” Tanya Arya hati-hati, mencari kepastian di balik sikap sang istri.Maudy mengernyit, bingung dengan