“Tahan, ini hanya sakit di awal,” Ucap Arya, berusaha menenangkan istrinya yang kesakitan. Melihat bagaimana Maudy meringis, hatinya berkecamuk.
Arya hanya melakukan penembakan sekali, berjuang mengekang hasrat yang mulai membakar dadanya. Tubuh Maudy yang memikat sungguh sulit untuk dilepaskan dari dekapannya, namun dia juga tidak tega memaksa wanita itu terus melayaninya. “Kamu tidur aja, istirahat dulu. Udah mau maghrib, aku harus pulang, takut Jasmine mencariku nantinya,” Arya bangkit dari ranjang dengan perasaan bahagia, wajahnya tersenyum sumringah meski sebenarnya ia masih merasa belum sepenuhnya puas. Namun, apa yang baru saja terjadi sukses membuat ombak kebahagiaan di hatinya tampak begitu jelas. Arya berjalan menuju kamar mandi, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar kencang. Maudy sendiri hanya meremas selimut yang menutupi tubuhnya yang polos, hatinya begitu hancur. Dulu dia membayangkan akan menyerahkan tubuhnya dengan ikhlas pada suaminya, pria yang dia cintai. Arya memang suaminya, namun tidak ada cinta yang dia rasakan untuk pria itu. Tak berselang lama setelah pintu kamar mandi terbuka, Arya muncul dengan pakaian yang rapi, dengan langkah mantap pria itu mendekati Maudy, “Ini kartu ATM untukmu!” Ucapnya tanpa ekspresi, “Ingatlah, hubungan kita hanya ada di apartemen ini. Jangan pernah sekalipun membocorkan rahasia kita kepada siapapun. Aku harus pulang sekarang, jaga dirimu dengan baik.” Maudy hanya terdiam, tak mampu menanggapi ucapan suaminya yang dingin dan tanpa belas kasihan. Arya pun dengan cueknya meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun, meninggalkan Maudy sendirian dengan hati yang hancur. Tanpa bertanya apakah miliknya masih terasa sakit atau tidak. Setelah kepergian Arya, Maudy merasakan kepedihan yang begitu dalam. Air mata mulai mengalir dengan suara tangisan tersedu-sedu, membasahi pipinya yang pucat. Hatinya terasa remuk oleh perlakuan suaminya yang begitu kejam. Bagaimana mungkin dia mendapatkan suami seperti itu? Dosa apa yang sudah dia lakukan hingga mendapatkan cobaan sebesar ini. “Lalu, apa bedanya aku dengan seorang pelacur, Mas?” Gumamnya lirih dalam keheningan, suaranya terdengar rapuh, penuh dengan kesedihan. Maudy meremas jari-jarinya, tak bisa menyembunyikan getaran di bibirnya. “Kamu mungkin gak mau menyakiti istrimu, tapi perlakuanmu telah melukai hatiku. Kamu benar-benar suami yang dzolim, Mas,”Ucapnya perlahan, dengan sorot mata hampa. Maudy merasakan kepedihan yang begitu dalam hingga ia tak kuasa menahannya. Dengan amarah yang memuncak, ia memukul dadanya sendiri berusaha untuk meredakan rasa sakit yang dirasakannya. Wanita itu tak pernah membayangkan jika hidupnya akan berakhir dalam penderitaan seperti ini. Hatinya hancur, dan dia merasa sendirian dalam kegelapan yang menyelimuti. °°°° Sedangkan saat ini di dalam mobil, Arya terus menyunggingkan senyum puas, bayangan dirinya bersama Maudy terus menari-nari di otaknya. Sebagai pria yang sudah menahan hasrat terlalu lama, pria itu merasa hari ini begitu mengesankan. Bahkan rasanya dia ingin menginap di apartemen saja, namun rasa cintanya pada Jasmine terlalu besar, hingga tak bisa menggoyahkan keinginannya untuk pulang. “Aku akui Maudy jauh lebih segala-galanya dari Jasmine. Maudy lebih cantik, lebih seksi dan menggairahkan. Namun dia tidak akan bisa mendapatkan cintaku, karena wanita yang aku cintai hanyalah Jasmine!” Gumam Arya. Setelah tiba di depan rumah, Arya mencoba menormalkan ekspresi wajahnya. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan yang akan membuat perasaan Jasmine terluka. Setelah merasa siap, pria itu masuk ke dalam. “Sayang...” Jasmine yang sedang tiduran tersenyum manis, sebenarnya dia ingin bangun dan memeluk suaminya. Namun dari tadi siang tubuhnya begitu lemas dan tidak sanggup untuk bangun. “Mas.” “Kenapa? Lemes lagi?” Arya menyibak selimut bagian telapak kaki Jasmine, lalu mengusapkan tangannya di sana, berusaha memberikan aliran hangat dari tubuhnya. “lya, Mas. Dari tadi siang badanku lemes.” Jawab Jasmine. Arya menatap lekat wajah istrinya itu, “Udah minum obat?” “Udah, Mas. Tadi di bantuin bibi,” Ucap Jasmine lemah, “Apa kamu telah menemukan wanita yang ingin kamu nikahi, Mas?” Sambung Jasmine. Bukan karena Jasmine tidak mencintai, namun wanita itu juga tidak tega melihat suaminya kesulitan sendirian. Dalam mengurus rumah tangga, mungkin masih bisa dibantu oleh bibi. Namun, untuk hal-hal lain, seperti urusan ranjang, Jasmine jujur takut suaminya melakukan perbuatan terlarang dan berdosa diluar sana. Jasmine menyadari bahwa dirinya tidak mampu memberikan hal itu, oleh karena itu, setelah dua tahun belakangan ini, Jasmine berusaha memperkuat dirinya sendiri untuk menerima kenyataan jika Arya memutuskan untuk menikah lagi. Jasmine sadar jika dirinya tak ingin bertindak egois dan berharap yang terbaik untuk Arya, meskipun itu artinya ia harus berbagi suami dengan wanita lain. “Kamu ngomong apa sih, sayang? Mas udah sering bilang jangan pernah bahas hal ini!” Ujar Arya, tak suka dengan ucapan istrinya barusan. “Aku ikhlas kok, Mas. Jangan buat aku semakin merasa bersalah, please menikah Iah. Tapi tolong jangan ceraikan aku,” Jawab Jasmine, memohon. Ia juga sadar kalau hidupnya tidak lama lagi, Jasmine hanya ingin menghabiskan waktu dengan Arya. Dan terus menjadi istrinya sampai maut memisahkan. “Kamu Gak usah pikirin aku, sayang. Selagi kamu ada di sampingku semua akan baik-baik aja!” Tegas Arya. Setelah merasakan telapak kaki istrinya hangat, Arya kembali menutupinya dengan selimut, lalu duduk di samping Jasmine dan membawa wanita itu dalam pelukannya. “Tetaplah sehat, dan jangan pernah menyerah. Mas akan selalu ada untuk kamu, Sayang...” Jasmine adalah cinta pertama Arya, dan sampai kapanpun hanya Jasmine satu-satunya wanita yang akan dicintai sampai akhir hayat Arya. Meskipun hanya merasakan manis pernikahan selama tiga bulan saja. Bahkan orang tua Arya sendiri juga tidak setuju dengan pernikahannya, apalagi setelah mengetahui Jasmine sakit dan tidak bisa memberikan Arya seorang anak. Orang tua Arya sempat mendesak pria itu untuk menceraikan istrinya, namun rasa cinta yang begitu kuat membuat Arya bertahan. Bahkan baru mau menikah lagi setelah tiga tahun menahan gejolak hasratnya. “Kamu mandi dulu sana, Mas. Belum sholat Maghrib, kan?” Tanya Jasmine. Arya mengangguk, pria itu akhirnya turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi, walaupun tadi sudah mandi di apartemen. Namun dia akan melakukan hal itu lagi, agar Jasmine tak curiga. Di dalam kamar mandi, Arya tiba-tiba mengingat sang istri simpanan, “Argh sial!! Kenapa aku malah mengingat Maudy,” Batin Arya, memikirkan istri keduanya saja mampu membuat gejolak hasratnya terbakar lagi, dengan terpaksa Arya mencoba memuaskan dirinya sendiri. °°°°°“Siapa kalian?!” Teriak Elizabeth, suaranya parau ketakutan, tubuhnya gemetar. la tidak tahu apa yang sedang terjadi, hanya bisa merasakan kepanikan yang membuncah di dadanya.Teriakan Elizabeth yang cukup kera membuat Aurora yang sebelumnya terlelap di kasur terbangun mendadak. Mata wanita itu yang masih sedikit sayu langsung membulat saat ia melihat ada beberapa pria berdiri di dalam kamar kost mereka.“Kenapa ada orang di sini?” Gumam Aurora terperanjat.Salah satu pria yang berdiri di depan mereka mendekat dengan langkah pelan, tangan kanan diletakkan di pinggang. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, dan aura intimidasi yang kuat terasa begitu jelas.“Man Rabbuka?” Ucap pria itu, menambahkan kesan menakutkan dengan tatapan tajamnya yang tidak beranjak dari wajah Elizabeth.Elizabeth membeku sejenak. Pertanyaan itu seperti sesuatu yang sudah pernah ia dengar sebelumnya. “Ka... Kalian malaikat?” Tanyanya dengan suara serak, tak percaya pada apa yang terjadi di hadapannya.Aurora yang ma
Dirgantara GroupSuasana mulai sedikit mereda setelah konferensi pers yang tegang. Namun, tim masih sibuk menyelesaikan berbagai urusan terkait dampak berita dan klarifikasi yang baru saja dilakukan.Arya duduk di kursi kebesarannya, mengawasi jalannya pekerjaan sambil sesekali meminum kopi. Maudy yang memilih tetap tinggal, duduk di meja kerja di sudut ruangan dengan laptop di depannya.Tiba-tiba, suara tawa pelan terdengar. Arya menoleh. Tawa itu datang dari Maudy, istrinya tersenyum kecil dengan mata terpaku pada layar laptop.Arya menyipitkan matanya, bingung. “Kenapa, sayang?” Tanyanya.Maudy buru-buru menutup layar laptopnya sedikit, menahan senyum yang masih tersisa di bibirnya. “Nggak apa-apa, Mas,” Jawabnya sambil melambaikan tangan, mencoba mengalihkan perhatian.Tentu saja, jawaban itu tidak memuaskan Arya. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan kanannya mengetuk meja dengan ritme perlahan. “Maudy!!” panggilnya dengan nada yang lebih serius.Maudy menggeleng sambil menah
“Aurora, cepatlah! Kita nggak punya waktu!” Desak Elizabeth, matanya terus melirik ke jendela, memastikan tak ada wartawan atau polisi di luar rumah.Aurora mendengus kesal, masih mencoba menarik resleting kopernya yang macet, “Aku udah cepat, Tante! Tapi koper ini sepertinya nggak mau kerja sama!” Jawabnya.“Lupakan koper itu kalau perlu! Kita harus pergi sebelum mereka datang!!” Elizabeth mendekati jendela, menarik tirai sedikit untuk melihat ke luar.Jalanan masih sepi, tapi itu tetap tidak membuatnya tenang. Setiap bayangan yang bergerak terasa seperti ancaman.Akhirnya, dengan susah payah, Aurora berhasil menutup kopernya. Mereka berdua menyeret koper masing-masing ke ruang tamu. Elizabeth berhenti sejenak, menatap sekeliling dengan panik, memastikan tidak ada yang tertinggal.“Kamu bawa paspor, kan? Uang tunai?” tanya Elizabeth cepat, napasnya terengah.“Udah, Tante! Tapi kenapa sih kita nggak langsung lari aja? Ini buang waktu!” Aurora menjawab dengan suara tinggi, frustasi.“S
“Iya, Azzam ganteng banget. Papa yakin, semua orang yang lihat Azzam hari ini pasti iri karena Azzam tampak keren!” Puji Arya cepat.Saat keluarga kecil itu sedang memberi pujian satu sama lain, Jason datang ponsel yang ada di tangannya. “Arya, semua media sudah siap. Ada lebih dari dua puluh outlet berita nasional dan beberapa dari luar kota.” Ucapnya memberitahu.Arya menarik napas dalam, lalu menoleh pada Maudy, “Kamu tidak apa-apa kalau ikut kan, sayang?” Tanyanya memastikan.“Aku percaya sama, Mas. Lakukan apa yang harus dilakukan.” Jawab Maudy, tanpa ragu.°°Tepat pukul sepuluh pagi, mereka akhirnya memulai perjalanan menuju kantor. Suasana di dalam mobil terasa tegang, meski Arya berusaha mencairkannya dengan senyum dan tatapan lembut. la menggenggam erat tangan Maudy yang duduk di sebelahnya, memberikan isyarat bahwa dirinya akan selalu ada di samping istrinya.Maudy yang biasanya tampak kuat dan tenang, hari ini tampak berbeda. Matanya sesekali memandang keluar jendela, namu
Arya masuk ke kamar dengan pelan agar tidak mengejutkan istrinya. Ia menemukan Maudy sedang duduk di tepi tempat tidur, menatap lurus ke depan dengan wajah yang tampak sedikit lelah.“Sayang...” Panggil Arya, lalu duduk dan menggenggam tangan istrinya. “Kamu baik-baik aja, kan? Mas tau semua ini berat, tapi kita pasti bisa melewatinya.” Ujarnya, menenangkan Maudy.Maudy tersenyum tipis, matanya masih menyiratkan kegelisahan. “Aku gak apa-apa, Mas. Aku cuma khawatir sama Azzam. Azzam kan sensitif, aku takut dia dengar omongan orang dan jadi kepikiran.” Jawabnya.“Selama kalian tidak keluar rumah, maka akan tetap aman. Mas akan jelasin semuanya ke Azzam. Dia pintar, kok. Dia pasti ngerti kalau ini cuma fitnah. Lagipula, Mas tidak akan biarin siapa pun menyakiti kamu atau Azzam!!” Jelas Arya, meyakinkan istrinya.Maudy mengangguk, mencoba percaya pada kata-kata suaminya. Arya adalah pria yang selalu melindunginya, tapi tekanan dari luar terasa begitu besar, seolah-olah dunia menuduhnya a
Pagi itu, suasana di official store milik Maudy terasa sedikit berbeda. Biasanya, tempat itu selalu dipenuhi dengan obrolan ringan dan gelak tawa pekerja yang bersemangat, tetapi kali ini ada keheningan yang menyesakkan. Ketegangan tampak jelas di wajah setiap orang, meskipun mereka berusaha tetap sibuk dengan tugas masing-masing.Feby duduk di tengah ruangan rumahnya dengan laptop terbuka di depan. Wajahnya datar, tetapi jemarinya berhenti di atas keyboard saat matanya membaca notifikasi yang terus berdatangan. Pesan-pesan itu berisi cacian, tuduhan, bahkan ancaman.“Netizen zaman sekarang memang nggak ada kerjaannya,” Gerutunya kesal sambil memiringkan laptop ke arah Aditya yang duduk di sofa dekatnya. “Lihat nih, komentarnya pedas semua. Bahkan ada yang bilang usaha ini harus tutup karena pemiliknya, pelakor.”Aditya mengerutkan kening, dan mengambil laptop itu dari hadapan Feby, “Udah nggak usah dibaca, apalagi diladenin. Maudy kan udah bilang kemarin kalau hal kayak gini bakal te