“Mas...” Panggil Maudy.
Arya tersenyum, sebuah senyum yang penuh makna. Pria itu kemudian ikut masuk ke dalam bathtub. Air hangat membasahi tubuh keduanya, menciptakan suasana yang menggoda. Maudy yang awalnya gugup, mulai merasakan sensasi yang berbeda. Arya dengan tangannya yang hangat, menelusuri lekuk tubuh wanita itu. Maudy yang awalnya menolak, mulai merasakan ketertarikan yang sama. “Mas, stop! Jangan ke bawah!” Maudy mencegah tangan Arya yang hampir menyentuh area miliknya. “Kenapa?” Suara Arya terdengar semakin berat, gairahnya sudah memuncak. “A-Aku lagi datang bulan,” Jawab Maudy sedikit tersengal. Arya dengan tubuh yang bergetar karena hasrat, menatap Maudy dalam-dalam. Uap air hangat mengepul, membasahi kulit istri mudanya itu, semakin menonjolkan lekuk tubuh Maudy yang indah. Arya merasakan tubuhnya panas, napasnya tersengal-sengal. la merasakan sebuah gelombang keinginan yang tak tertahankan, menyerbu dirinya. “Maudy, saya_” Arya terdiam, kata-kata yang ingin ia ucapkan terhenti di tenggorokannya. Merasa malu, takut untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya. Maudy menoleh, menatap Arya heran, “Kenapa, Mas?” Tanyanya, begitu lembut. la bisa melihat gelombang hasrat yang sedang melanda suaminya. Arya menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Saya... Saya menginginkan_” la terdiam lagi, takut ditolak, takut membuat Maudy marah. Apalagi wanita itu masih begitu polos. “Mas, kamu kenapa?” Tanya Maudy sedikit khawatir. Mulai merasakan ada yang aneh dengan sikap Arya. Dengan wajah yang memerah, Arya menatap istri mudanya, “Saya... Saya menginginkannya Maudy.” ucapnya, dengan suara serak. Ia khirnya memutuskan untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya, meskipun ia tahu, itu akan sulit. “Mas, tapi aku...” Maudy menggigit bibir bawahnya, takut. “Saya tau kamu sedang datang bulan. Tapi... Saya tak bisa lagi menahannya.” Arya mengusap wajahnya dengan kasar, kecewa karena hasratnya tak bisa terpenuhi. Pria itu merasakan sebuah kekecewaan yang mendalam, merasa seperti seorang pecandu yang tak bisa mendapatkan obatnya. Namun sedetik kemudian, Arya menatap Maudy lagi. “Maudy, bisa kamu bantu saya??” tanyanya, memohon. Mencoba mencari solusi. “Apa, Mas?” Tanya Maudy, penasaran. “Bantu saya melepaskan hasrat ini menggunakan tangan dan bibir kamu!” Matanya menatap Maudy dengan penuh harap. Mendengar itu Maudy terdiam, tak tahu harus berbuat apa. la merasa bingung, karena memang belum pernah melakukan hal itu. Arya kemudian bangkit, keluar dari bathtub. Ia mengulurkan tangannya ke arah Maudy, mengajak wanita itu keluar dari bathtub. “Ayo, Maudy.” Desaknya. Maudy merasa ragu, namun akhirnya menerima uluran tangan Arya. Menuruti ajakan suaminya itu. °°° Setengah jam kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Arya keluar, wajahnya tampak begitu puas. Setelah itu ia memutuskan mengenakan kaos oblong dan celana pendek, penampilannya terlihat santai tapi nyaman. Sedang Maudy, sudah lebih dulu duduk di ruang tengah, menatap Arya dengan tatapan yang sulit di artikan. Wanita itu mengenakan dress berwarna hijau, yang membuatnya terlihat semakin segar dan cantik. Rambutnya yang panjang digelung menjadi satu, dengan gaya messy bun yang membuatnya tampak semakin cantik. Arya tersenyum berjalan mendekati Maudy, “Maaf, saya lama,” katanya. Maudy hanya mengangguk, menatap Arya dengan tatapan yang masih sedikit canggung. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk duduk di balkon. Udara pagi menjelang siang yang sejuk menerpa wajah keduanya. Maudy mengambil segelas es teh yang sudah disediakan di meja, menyerahkannya pada Arya, “Iminum dulu, Mas.” Mendapatkan perhatian itu, jujur hati Arya merasa hangat, ia pun menerima gelas es teh itu. Menyesapnya perlahan, menikmati rasa manis dan dingin yang menyegarkan. Keduanya, menikmati suasana yang tenang. Arya sesekali mencuri pandang ke arah Maudy, menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Maudy yang menyadari tatapan suaminya itu, seketika menunduk, merasa sedikit malu. la tak tahu harus berbuat apa. Maudy merasa canggung, namun ia juga merasakan sebuah kehangatan di dalam hatinya. “Maudy... Selama satu minggu ini mungkin kita gak akan bertemu dulu!” Jelasnya. “Memangnya kenapa, Mas??” Tanya Maudy, penasaran. “Saya ada perjalanan bisnis di luar kota, jam dua belas nanti saya akan pergi ke bandara.” Entah kenapa mendengar itu ada rasa yang sulit untuk di jelaskan, Maudy seakan berat jauh dari pria itu. Padahal baru dua minggu mereka menikah, tapi ternyata rasa cintanya memang sudah tumbuh dalam hati Maudy. “Iya, Mas. Di sana hati-hati ya.” Jawabnya pasrah. “Selama saya pergi, jaga dirimu baik-baik. Jangan keluar apartement jika gak terlalu penting.” Jujur saja melihat bagaimana Maudy yang begitu cantik, membuat Arya merasa takut, takut jika ada pria yang ingin mendekati istri mudanya. Apalagi ia tidak bisa mengatakan dengan lantang jika wanita itu adalah salah satu istrinya. “Saya pergi dulu. Ingat, jangan keluar kalau tidak terlalu penting!!” Arya menegaskan. Maudy hanya mengangguk, matanya masih tertuju pada Arya. “Kalau ada apa-apa kabari saya.” tambah Arya. Maudy kembali mengangguk, lalu berdiri untuk mengantarkan suaminya menuju pintu apartemen. Seperti pasangan pada umumnya, Maudy mengulurkan tangan untuk salim. Arya menyambutnya dengan baik, menggenggam erat tangan Maudy, “Saya pergi dulu, Assalamu'alaikum...” “Wa'alaikumsalam, Mas.” Arya membuka pintu apartemen. Namun saat akan melangkah, kakinya seperti terpaku di tempat. Maudy mengerutkan kening, bingung dengan sikap suaminya. “Kenapa, Mas??” Tanyanya, khawatir. Arya kembali menutup pintu, lalu berbalik badan ke arah Maudy, “Kemarilah,” Titahnya. Tanpa protes, Maudy berjalan hingga berdiri tepat di hadapan suaminya itu. Dengan cepat, Arya menarik Maudy ke dalam pelukannya. Wanita itu terdiam dengan jantung berdebar-debar. Arya mencium kening Maudy dengan lembut. Istri muda Arya itu terpaku, tak menyangka akan mendapatkan pelukan dan kecupan dari sang suami. Setelah beberapa saat, akhirnya pelukan itu terlepas juga. “Saya pergi sekarang,” Ucap Arya, sedikit berat meninggalkan istri mudanya itu. Maudy hanya mengangguk, pria itu kembali membuka pintu dan melangkah keluar dari apartemen. Sedang Maudy masih terdiam di tempat, jantungnya berdetak begitu cepat. Setelah tubuh Arya menghilang di balik pintu, Maudy masih terpaku di tempat, pikirannya masih terbayang dengan kehangatan pelukan dan kecupan dari suaminya. ‘Mas, aku udah mulai mencintaimu. Tapi jujur aku takut itu semua malah akan melukai diriku sendiri.’ Batinnya. Maudy menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih berpacu kencang. la berbalik dan melangkah menuju dapur, ingin menyiapkan minuman hangat untuk meredakan rasa sepi yang mulai menyapa hatinya. Saat membuka lemari es, Maudy mengerutkan kening. Persediaan bahan makanan di dalam lemari es sudah menipis. “Ke supermarket aja deh,” Gumamnya. la memang sudah berencana untuk berbelanja. Maudy pun berjalan menuju kamar untuk mengganti pakaian, kemudian memesan taksi online agar bisa cepat sampai di supermarket. °°°°“Siapa kalian?!” Teriak Elizabeth, suaranya parau ketakutan, tubuhnya gemetar. la tidak tahu apa yang sedang terjadi, hanya bisa merasakan kepanikan yang membuncah di dadanya.Teriakan Elizabeth yang cukup kera membuat Aurora yang sebelumnya terlelap di kasur terbangun mendadak. Mata wanita itu yang masih sedikit sayu langsung membulat saat ia melihat ada beberapa pria berdiri di dalam kamar kost mereka.“Kenapa ada orang di sini?” Gumam Aurora terperanjat.Salah satu pria yang berdiri di depan mereka mendekat dengan langkah pelan, tangan kanan diletakkan di pinggang. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, dan aura intimidasi yang kuat terasa begitu jelas.“Man Rabbuka?” Ucap pria itu, menambahkan kesan menakutkan dengan tatapan tajamnya yang tidak beranjak dari wajah Elizabeth.Elizabeth membeku sejenak. Pertanyaan itu seperti sesuatu yang sudah pernah ia dengar sebelumnya. “Ka... Kalian malaikat?” Tanyanya dengan suara serak, tak percaya pada apa yang terjadi di hadapannya.Aurora yang ma
Dirgantara GroupSuasana mulai sedikit mereda setelah konferensi pers yang tegang. Namun, tim masih sibuk menyelesaikan berbagai urusan terkait dampak berita dan klarifikasi yang baru saja dilakukan.Arya duduk di kursi kebesarannya, mengawasi jalannya pekerjaan sambil sesekali meminum kopi. Maudy yang memilih tetap tinggal, duduk di meja kerja di sudut ruangan dengan laptop di depannya.Tiba-tiba, suara tawa pelan terdengar. Arya menoleh. Tawa itu datang dari Maudy, istrinya tersenyum kecil dengan mata terpaku pada layar laptop.Arya menyipitkan matanya, bingung. “Kenapa, sayang?” Tanyanya.Maudy buru-buru menutup layar laptopnya sedikit, menahan senyum yang masih tersisa di bibirnya. “Nggak apa-apa, Mas,” Jawabnya sambil melambaikan tangan, mencoba mengalihkan perhatian.Tentu saja, jawaban itu tidak memuaskan Arya. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan kanannya mengetuk meja dengan ritme perlahan. “Maudy!!” panggilnya dengan nada yang lebih serius.Maudy menggeleng sambil menah
“Aurora, cepatlah! Kita nggak punya waktu!” Desak Elizabeth, matanya terus melirik ke jendela, memastikan tak ada wartawan atau polisi di luar rumah.Aurora mendengus kesal, masih mencoba menarik resleting kopernya yang macet, “Aku udah cepat, Tante! Tapi koper ini sepertinya nggak mau kerja sama!” Jawabnya.“Lupakan koper itu kalau perlu! Kita harus pergi sebelum mereka datang!!” Elizabeth mendekati jendela, menarik tirai sedikit untuk melihat ke luar.Jalanan masih sepi, tapi itu tetap tidak membuatnya tenang. Setiap bayangan yang bergerak terasa seperti ancaman.Akhirnya, dengan susah payah, Aurora berhasil menutup kopernya. Mereka berdua menyeret koper masing-masing ke ruang tamu. Elizabeth berhenti sejenak, menatap sekeliling dengan panik, memastikan tidak ada yang tertinggal.“Kamu bawa paspor, kan? Uang tunai?” tanya Elizabeth cepat, napasnya terengah.“Udah, Tante! Tapi kenapa sih kita nggak langsung lari aja? Ini buang waktu!” Aurora menjawab dengan suara tinggi, frustasi.“S
“Iya, Azzam ganteng banget. Papa yakin, semua orang yang lihat Azzam hari ini pasti iri karena Azzam tampak keren!” Puji Arya cepat.Saat keluarga kecil itu sedang memberi pujian satu sama lain, Jason datang ponsel yang ada di tangannya. “Arya, semua media sudah siap. Ada lebih dari dua puluh outlet berita nasional dan beberapa dari luar kota.” Ucapnya memberitahu.Arya menarik napas dalam, lalu menoleh pada Maudy, “Kamu tidak apa-apa kalau ikut kan, sayang?” Tanyanya memastikan.“Aku percaya sama, Mas. Lakukan apa yang harus dilakukan.” Jawab Maudy, tanpa ragu.°°Tepat pukul sepuluh pagi, mereka akhirnya memulai perjalanan menuju kantor. Suasana di dalam mobil terasa tegang, meski Arya berusaha mencairkannya dengan senyum dan tatapan lembut. la menggenggam erat tangan Maudy yang duduk di sebelahnya, memberikan isyarat bahwa dirinya akan selalu ada di samping istrinya.Maudy yang biasanya tampak kuat dan tenang, hari ini tampak berbeda. Matanya sesekali memandang keluar jendela, namu
Arya masuk ke kamar dengan pelan agar tidak mengejutkan istrinya. Ia menemukan Maudy sedang duduk di tepi tempat tidur, menatap lurus ke depan dengan wajah yang tampak sedikit lelah.“Sayang...” Panggil Arya, lalu duduk dan menggenggam tangan istrinya. “Kamu baik-baik aja, kan? Mas tau semua ini berat, tapi kita pasti bisa melewatinya.” Ujarnya, menenangkan Maudy.Maudy tersenyum tipis, matanya masih menyiratkan kegelisahan. “Aku gak apa-apa, Mas. Aku cuma khawatir sama Azzam. Azzam kan sensitif, aku takut dia dengar omongan orang dan jadi kepikiran.” Jawabnya.“Selama kalian tidak keluar rumah, maka akan tetap aman. Mas akan jelasin semuanya ke Azzam. Dia pintar, kok. Dia pasti ngerti kalau ini cuma fitnah. Lagipula, Mas tidak akan biarin siapa pun menyakiti kamu atau Azzam!!” Jelas Arya, meyakinkan istrinya.Maudy mengangguk, mencoba percaya pada kata-kata suaminya. Arya adalah pria yang selalu melindunginya, tapi tekanan dari luar terasa begitu besar, seolah-olah dunia menuduhnya a
Pagi itu, suasana di official store milik Maudy terasa sedikit berbeda. Biasanya, tempat itu selalu dipenuhi dengan obrolan ringan dan gelak tawa pekerja yang bersemangat, tetapi kali ini ada keheningan yang menyesakkan. Ketegangan tampak jelas di wajah setiap orang, meskipun mereka berusaha tetap sibuk dengan tugas masing-masing.Feby duduk di tengah ruangan rumahnya dengan laptop terbuka di depan. Wajahnya datar, tetapi jemarinya berhenti di atas keyboard saat matanya membaca notifikasi yang terus berdatangan. Pesan-pesan itu berisi cacian, tuduhan, bahkan ancaman.“Netizen zaman sekarang memang nggak ada kerjaannya,” Gerutunya kesal sambil memiringkan laptop ke arah Aditya yang duduk di sofa dekatnya. “Lihat nih, komentarnya pedas semua. Bahkan ada yang bilang usaha ini harus tutup karena pemiliknya, pelakor.”Aditya mengerutkan kening, dan mengambil laptop itu dari hadapan Feby, “Udah nggak usah dibaca, apalagi diladenin. Maudy kan udah bilang kemarin kalau hal kayak gini bakal te