Rinai menatap pantulan dirinya di depan cermin. Memar di wajahnya, tidak bisa mendustai rasa sakit yang hampir terasa di sekujur tubuhnya saat ini.
Tapi bagi Rinai, rasa sakit ini tidak sebanding dengan sakit di hatinya—menusuk hingga ke relung terdalam. Bagaimana tidak, sudah dua hari berlalu dari kejadian naas yang menimpanya, dianggap sebagai menantu gatal dan nakal yang kepergok menggoda ayah mertuanya, lantas dianiaya oleh ibu mertuanya hingga Rinai harus merelakan anak yang ada di dalam rahimnya.Yang lebih parahnya lagi… bahkan hingga empat puluh delapan jam berlalu, Rinai tidak menemukan batang hidung suaminya sama sekali.Ya, Kala masih tetap tidak bisa dihubungi sama sekali. Membuat Rinai berpikir, bahwa saat ini, Rinai tengah berjuang sendiri untuk pernikahannya. Rinai berjuang sendiri melawan patah hati terberat seorang ibu—yakni kehilangan buah hatinya. Tanpa ada Kala yang ikut menguatkannya."Kamu masih berharap, kalau Kala akan datang ke rumah sakit ini?"Rinai menoleh ke arah pintu dan mendapati sosok wanita yang membuatnya berakhir di ruangan ini. Enggan menanggapi, Rinai memilih untuk berbaring dan mengabaikan kehadiran Shakira di sana."Kala nggak peduli sama kamu, apalagi harus buang-buang waktu buat datang ke sini." Shakira mendekati ranjang Rinai dan meliriknya dengan malas. Lantas, ia melongos dan berkata, "Saya bahagia dan merasa Tuhan berpihak pada doa seorang ibu karena akhirnya Tuhan merenggut anak dalam kandunganmu, anak yang belum tentu keturunan Kala."Rinai memejamkan mata dan mencoba untuk tidak menggubrisnya. Yang Rinai harapkan saat ini hanyalah kabar dari Kala, kehadiran suaminya itu. Rinai yakin, Kala juga akan terluka jika mengetahui bahwa mereka telah kehilangan calon bayi mereka."Kamu pasti udah ratusan kali, bahkan mungkin ribuan kali mencoba untuk hubungi anak saya," tebak Shakira terkekeh pelan. "Tapi sayangnya Kala nggak sepeduli itu sama kamu dan anakmu. Kala syuting video klip di luar kota dan itu bareng—""Lisa," sela Rinai berusaha untuk tidak menunjukkan rasa cemburunya. Cukup hanya Rinai yang tahu, sekeras apa debaran jantungnya saat ini. "Nggak masalah kok, Ma. Aku nggak peduli, ada Kala atau nggak di tempat ini, nggak akan mengembalikan anakku yang udah mama bunuh," tegas Rinai.Dituding sebagai pembunuh, tentu saja membuat Shakira melotot dan ingin melayangkan satu tamparan di wajah menantunya. Shakira bergerak mengayunkan tangannya ke arah Rinai yang kini balas menatapnya dengan tajam."Tampar aja, aku udah kebal. Aku udah biasa ditampar sama mama," seru Rinai berusaha untuk terlihat kuat."Kurang—""Mama pikir, setelah aku kehilangan anakku… aku bakal melepaskan Kala seperti yang mama mau?!" tantang Rinai sembari menggeleng dan melanjutkan, "Nggak akan semudah itu. Kalau mama bisa renggut nyawa anakku, kenapa aku nggak bisa rebut Kala dari mama?!""Dasar wanita Ja—""Aku akan pastikan, mama akan kehilangan Kala. Aku akan bawa Kala jauh dari mama. Aku akan…"Shakira yang baru saja membuka layar ponselnya langsung tersengih dan senyum bahagia kembali merekah di wajahnya. Seperti baru saja memenangkan undian lotre, Shakira tertawa lantang.Membuat Rinai mengernyit dan penasaran karenanya.Lantas, perempuan paruh baya itu menunjukkan layar gawainya ke arah Rinai dan berkata, "Kamu yakin… saya yang akan kehilangan Kala? Saya nggak perlu putar video ini sampai selesai biar kamu nangis darah, kan?"Kedua bola mata Rinai membulat ke arah video yang tengah diputar oleh Shakira. Perlahan, bulir bening itu kembali menetes walaupun Rinai telah berusaha untuk menahannya. Hati yang tadi mulai ditata kembali olehnya, kembali hancur dan luluh lantah karenanya."Tampaknya, anak saya sangat menikmati ciumannya dengan Lisa ya, Nai?" bisik Shakira persis di telinga Rinai. "Kira-kira, Kala dan Lisa bakal melanjutkan adegan panas itu sampai sejauh mana ya, Nai?" tanyanya sedikit mengejek Rinai yang tentu saja gagal menyembunyikan rasa kecewanya.Di atas ranjangnya, Rinai terlihat meremas ujung selimutnya dengan kuat, membayangkan bagaimana ekspresi Kala saat mencium bibir Lisa dalam video tersebut. Rinai cemburu dan dia sakit hati karena adegan itu, terlepas apakah itu bagian dari pekerjaan suaminya atau mungkin memang kemauan Kala sendiri.Shakira tergelak pelan melihat mata Rinai yang berkedut, dia tahu kalau perempuan di hadapannya ini tengah terbakar api cemburu yang makin membara. Akhirnya dia pun mengatakan, "Kala bahkan nggak peduli keadaan kamu dan anakmu yang udah mati itu. Lihat sendiri kan, siapa yang akan menang di antara kita?"Rinai ingin mempercayai semua yang dia lihat hanyalah bagian dari adegan syuting yang barangkali sedang mereka lakukan, tapi Rinai juga tahu kalau konsep dari lagu terbaru suaminya justru tentang patah hati seorang lelaki yang ditinggal mati oleh kekasihnya.Dapat dipastikan tidak ada adegan mesra apalagi sampai adegan ranjang dengan bertelanjang dada seperti yang Rinai lihat di sana.Sumpah demi apapun, Rinai bingung harus mengutuk adegan yang Kala lakukan bersama Lisa di video itu—atau justru harus mengutuk dirinya sendiri karena telah setuju untuk dinikahi lelaki itu setengah tahun yang lalu."Harusnya, kamu nggak perlu masuk ke kehidupan Kala. Kamu nggak layak ada di hidupnya, apalagi sampai bermimpi untuk memiliki keturunan dari anak saya yang sebentar lagi akan jadi orang nomor satu di Stay Entertainment."Rinai mengangkat pandangannya ke arah Shakira yang melengos ketika tatapan mereka bertemu."Pergi dari sini… tinggalkan Kala selamanya… saya jamin hidupmu akan jauh lebih tenang dan bahagia," janji Shakira dengan sungguh-sungguh. "Dan jauhi juga suami saya. Saya akan bebaskan kamu, saya akan jamin biaya hidupmu, se-mewah apa pun yang kamu inginkan… Asal kamu pergi sejauh yang kamu bisa, tanpa ada jejak apa pun.""Kita kan nggak bisa memilih, pada siapa hati ini akan jatuh."Rakha menatap mata Rinai dengan lekat. "Ya, kita nggak pernah bisa memilih tentang jatuh cinta. Tapi kita bisa memutuskan, siapa yang akan menetap dan bertahan di hati kita. Dan aku tahu, aku nggak cukup berarti untukmu kan, Nai?""Hm?""Karena pada akhirnya kamu memilih untuk pergi dan meninggalkanku tanpa penjelasan," jawab Rakha dengan tenang."Untuk kebahagiaan kamu, Kha.""Untuk kebahagiaanmu, bukan aku."Rinai mengulas senyum tipis seraya mengangguk pelan. Seakan tengah mengiyakan pernyataan Rakha barusan. "Kamu harus melepaskan sesuatu agar kamu bisa memulai hal yang baru.""Seperti kamu yang memulai semua dengan Sambara?" tembak Rakha."Mungkin," dusta Rinai yang sebenarnya belum memulai hubungan dengan siapa pun.Mendengar jawaban Rinai, tentu saja itu membuat pikiran Rakha langsung menggila. Ia condongkan wajahnya pada perempuan itu, lebih dekat dan lebih rapat lagi. Rakha tancapkan tatapan matanya, tepat di mani
"Nai…" Langkah Sambara terhenti di ambang pintu masuk hotel mewah, tempatnya akan bertemu klien penting hari ini. Tangannya bergerak cepat menahan pergelangan Rinai, lalu tersenyum bimbang ke arah perempuan yang justru mengerutkan keningnya dengan heran. "A—aku boleh minta tolong, nggak?""Hm? Kenapa? Tolong apa?" balas Rinai dengan balik bertanya. "Kamu sakit? Pusingnya kumat? Atau gimana? Diare lagi? Panic attack-nya kumat-kah?" todong Rinai dengan cemas, mengusap-usap lengan dan bahu Sambara dengan khawatir.Di tempatnya, Sambara mengangguk samar. Meminta Rinai menggenggam jemarinya—seperti biasa setiap kali dia panik—hanya saja, kali ini Sambara tidak benar-benar sedang mengalami gejala panic attack seperti biasa.Dengan cemas, Rinai menautkan jemari mereka tanpa ragu sedikitpun. "Tenang, Sam… Ada aku di sini, kamu nggak sendiri kok. Tenang ya, tarik napas dalam dan lepaskan perlahan," ucap Rinai berusaha menenangkan Sambara yang mengikuti ucapan wanita itu tanpa pikir panjang.Beb
Tiga tahun telah berlalu…"Jangan takut membuka hati hanya karena masa lalumu. Trauma bisa dipulihkan, jadi jangan abaikan orang-orang yang ingin mendekatimu hanya karena ketakutanmu mengulang kisah pahit di masa lalu."Rinai tetap fokus pada layar laptopnya, mengabaikan pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya—bahkan, berada di sisinya puluhan bulan terakhir."Rinai… semua orang ada masanya, setiap masa, pasti ada orangnya. Kamu pernah dengar itu, kan?" bisiknya lagi meksipun dia tahu, Rinai akan tetap mengabaikannya. "Nai, biarkan aku menjadi orang yang akan menghapus jejak-jejak luka di hatimu. Siapa tahu, akulah orang yang dijadikan Tuhan sebagai jawaban dari doa-doa yang selalu kamu minta."Suara tawa Rinai memecahkan keheningan yang sedari tadi berusaha diciptakan olehnya. Beberapa kali pukulan pelan melayang ke lengan lelaki yang ikut terkekeh melihat bagaimana kedua mata Rinai terpicing karena tawanya. Meskipun berulang kali menyatakan cinta, dan berulang kali juga diabaika
"Nai.""Hm?" Rinai bergumam pelan, tanpa menoleh ke arah Rafko yang berdiri tepat di belakangnya.Tampak ragu, tapi akhirnya Rafko menceritakan apa yang baru saja ia temukan di layar gawainya. Sembari mengarahkan portal berita yang sejak tadi ia baca. "Angkasa ditemukan tewas di kamarnya," jelas Rafko.Awalnya Rinai terlihat enggan untuk mengamati layar ponsel yang Rafko sodorkan ke arah matanya, tetapi kalimat sepupunya itu berhasil menyita perhatian Rinai hingga dia bergerak refleks untuk meraih benda pipih itu dan menggulir layarnya.Keningnya mengerut, lantas menggigit ujung bibirnya berulang kali. Jemarinya terus mencari-cari berita yang berkaitan dengan insiden tersebut."Pihak kepolisian sudah menyatakan kalau Angkasa bunuh diri, tapi beberapa rumor aneh juga lagi beredar di Indonesia."Rinai mengangkat wajahnya, menatap Rafko dengan wajah bingung dan penuh tanda tanya.Seolah tahu maksud dari tatapan itu, Rafko pun segera mengatakan, "Ada rumor yang mengatakan kalau Angkasa se
"Jawab pertanyaanku, Pa!" desak Kala setelah mendorong ayahnya ke arah balkon kamar pria tersebut. "Apa benar papa telah memerkosa Rinai dan membuatnya hamil?!"Sorot amarah dan kebencian tidak bisa dipungkiri dari tatapan mata Kala saat ini. Ia melotot, seolah akan memakan Angkasa hidup-hidup saat ini juga."Jawab!" hardiknya lagi."Omong kosong macam apa itu, Kal?" Angkasa berusaha untuk membantahnya. "Mana mungkin papa melecehkan istrimu sendiri. Kamu tahu sendiri kan kalau Rinai itu mantan pelacur, jadi—"Kala mencekik leher sang ayah, membuat pria paruh baya tersebut tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Papa melecehkan dia jauuuuh sebelum Rinai menjadi wanita panggilan," tuding Kala kembali berapi-api. "Dan papalah yang membuat Rinai terjerumus dalam dunia gelap itu. Papa yang menghancurkan hidup Rinai, sampai dia putus asa dan akhirnya memilih jalan untuk melacur. Karena papa, semua karena papa!"Mendengar bagaimana lantangnya suara putranya ketika menguak tentang dosa-dosanya, A
+628137232—Nai, kamu ke mana? Kamu kok nggak ngomong kalau kamu akan pergi?+628137232—Nggak begini caranya Nai… Aku nggak akan cegah kamu untuk meninggalkanku, tapi aku terlalu khawatir tentang keadaanmu. Kabari aku begitu kamu baca pesan ini. Kamu tahu kan, kamu adalah duniaku. Kamu adalah impianku, dan aku menunggumu tak peduli harus menghabiskan jutaan menit untuk bisa memilikimu.Rakha menghela napas panjang setelah mengirimi pesan yang tidak pernah mendapat respons, bahkan setelah sebulan berlalu dan Rakha masih terus melayangkan pesan itu pada Rinai.Lelaki itu mendekatkan gawai ke telinganya, dan tetap sama… Nomor Rinai di luar jangkauan dan bahkan whatsapp-nya pun tidak pernah aktif lagi. Membuat Rakha frustasi berulang kali, setiap hari."Kamu ke mana sih, Nai?" lirih Rakha melirik ke arah jendela ruang kerjanya. Menatap gedung menjulang tinggi yang sejajar dengan tempat duduknya saat ini, namun pikirannya tidak berada di tempat tersebut.Makin frustasi, Rakha mencengkram ke