"Mungkin ini akan terdengar gila dan aneh… tapi kamu yang membuat semua menjadi serumit ini, Kal…""Tapi bukan berarti kamu harus pergi dari rumah ini dan tinggal di apartemen milik Rakha juga, Nai…," protes Kala kembali menaikkan oktaf suaranya. "Nggak harus tidur bareng dia juga!"Mendengar tudingan Kala tersebut, tentu saja Rinai tergelak karenanya. Jika Rinai mengatakan akan tinggal di apartemen Rakha—bukan berarti Rinai dan Rakha akan tinggal dan tidur bareng juga, kan?Namun, Rinai memilih untuk tidak menanggapinya. Rinai merasa begitu penat untuk menjelaskan lebih panjang lagi pada Kala, semua akan percuma dan hanya buang-buang waktu saja. Sikap keras kepala dan egois Kala seakan telah mendarah daging, hingga sekeras apapun usaha Rinai untuk menjelaskan—dipastikan Kala akan tetap dengan pemikirannya sendiri.Mereka terdiam untuk beberapa menit, hingga akhirnya terdengar helaan nafas panjang yang meluncur dari bibir Kala, sebelum tangannya terulur untuk menyugar rambutnya sendir
"Mas, cold brew malt-nya satu ya.""Lie, aku mau kita menikah."Lisa yang baru saja memesan minuman favoritnya itu cukup terkejut mendengar Kala membisikkan kalimat itu di telinganya—pernikahan juga sempat menjadi wacana sepintas lalu yang pernah disarankan manajer dan juga staf dari agensinya.Meskipun hubungan mereka hanya sebatas media play, tapi sadar atau tidak, mereka jadi lebih intens dalam berinteraksi di luar urusan pekerjaan. Dan sejujurnya, Lisa pun menyukai putra tunggal dari pemilik agensi di mana dia terikat kontrak selama tujuh tahun ini.Perempuan mana yang tidak akan tertarik dengan Kalantara Kafeel, pelantun lagu yang selalu berhasil membuat penggemar merasa hanyut dalam luka dan kesedihan dalam setiap lagu yang dinyanyikan, juga penyanyi dinanti-nanti oleh penggemarnya sepanjang waktu."Bisa lebih privasi lagi nggak sih, bahas hal sebesar ini?" balas Lisa setelah membiarkan Kala menyelesaikan pembayaran, lalu berdiri di pinggir counter di mana biasanya barista akan
Tersungging senyum di wajah Lisa saat melihat bagaimana menggebunya hasrat Kala bersamanya. Apalagi saat satu tangan pria itu meremas kuat dadanya sedari tadi, saat pintu unitnya terbuka.Ternyata menaklukkan seorang Kalantara tidak sesulit yang Lisa bayangkan sebelumnya, dia pikir Kala memang begitu setia pada istrinya. Bahkan pria itu rela menentang perintah Shakira hanya demi menikahi Rinai yang tak lain adalah seorang wanita panggilan saat itu."Berhentilah sebelum aku melarangmu untuk berhenti.""Kenapa?" Kala mengangkat wajahnya dari belahan dada Lisa yang tengah ia jelajahi sejak beberapa menit yang lalu dan jujur saja, dia belum puas menikmatinya.Lisa membuka kancing kemeja Kala satu per satu, gerakan lambat tapi Kala mengamatinya dengan tatapan tajam. "Karena aku nggak mau kamu berhenti, saat aku justru makin menginginkannya. Kamu bisa berhenti sekarang atau nggak sama sekali—argh, damn it!"Kala terkekeh pelan saat Lisa—perempuan yang baru saja mendesah sambil memaki, saat
Hari terus bergulir dan berganti, akan tetapi Rinai masih saja digantung tanpa tali oleh suaminya—tidak diceraikan, juga tidak disentuh sama sekali. Tinggal serumah, tapi tidak lagi sekamar.Makin hari, Kala makin menjaga jarak dengan istrinya. Dan itu sudah berlalu hampir sebulan lamanya, sejak Kala dan Lisa kepergok oleh Rakha. Pikirannya selalu ingin menyakiti Rinai dengan diamnya, bersikap dingin seakan tak lagi mendambakan Rinai sebagai pendamping hidupnya."Hari ini aku harus temani Rakha ke Bandung, ada meeting di hotel milik keluarganya," beritahu Rinai meskipun dia yakin, bahwa Kala tidak sepeduli itu dengannya.Sesuai dugaan Rinai, suaminya sama sekali tidak menanggapinya. Pria itu tampak sibuk dengan layar gawainya, dan sesekali akan tersenyum manis entah karena alasan apa—bukan untuk Rinai tentunya.Melihat perubahan sikap Kala yang seperti ini, terkadang membuat Rinai makin lelah untuk terus mendampingi lelaki itu. Tapi setiap kali Rinai membahas perceraian, Kala selalu m
"Tumben banget kesiangan, Nai."Rinai yang sedang merapikan pakaiannya di depan pintu itu pun, langsung berjengit kaget mendengar Rakha menegurnya. Perempuan itu langsung menoleh ke arah Rakha yang pagi berpakaian begitu rapi, rambut yang disisir rapi ke arah samping—ditemani senyum kecil yang begitu jarang ia pamerkan, kecuali di hadapan Rinai.Bahkan, setiap kali pegawai lain menceritakan tentang boss mereka yang dingin, arogan, dan galak—Rinai selalu ingin menyangkalnya, sebab Rinai tidak pernah melihat sosok seperti itu pada diri Rakha. Di mata Rinai, Rakha adalah pria hangat dan juga ramah."Kamu lagi sakit, ya?" tanya Rakha menatap khawatir saat menempelkan punggung tangannya di kening Rinai, terlihat jelas ada kekhawatiran pada manik matanya. "Kalau sakit, kamu bisa cuti aja padahal…"Enggan dijadikan bahan gosip di kantor, Rinai pun bergegas untuk menepis tangan Rakha dan langsung menggeleng. "Aku nggak sakit kok, cuma…" Rinai sengaja menggantung kalimatnya, tengah menimbang-n
Sesekali, Rinai mencuri pandangan ke arah Rakha yang duduk di sampingnya. Lelaki itu terlihat begitu gelisah dan juga sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya. Namun, tampaknya panggilan itu tidak mendapat respons hingga Rakha terdengar menghela napas berulang kali.Rinai semakin dibuat penasaran, sebab setahu Rinai… Rakha belum pernah menikah, oh, atau jangan-jangan Rakha memang sudah menikah begitu hubungan mereka berakhir?Entahlah, makin Rinai pikirkan, Rinai justru makin merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Nggak mungkin kalau yang ada di hatinya ini adalah rasa cemburu, bukan? Ah, nggak mungkin kok. Rinai terus menepis dan menyangkal hal aneh itu dari dalam kepalanya."Kha," panggil Rinai setelah menimbang-nimbang, bahkan hampir dua puluh menit perjalanan mereka menuju kediaman mewah milik keluarga Rakhayasa, keduanya tak saling bersuara.Rakha menoleh ke arah Rinai, tatapan mata mereka bertemu dan Rinai menemukan kesedihan di manik lelaki itu."Waradana itu…""Anakku,"
"Kalau mamamu tahu siapa aku yang sebenarnya… aku yakin, senyum itu bakal pudar dan aku akan kembali dibenci, juga dijauhi."Rakha yang sedang berjalan di samping Rinai itu pun dengan refleks menoleh ke samping, melirik Rinai yang juga menoleh kepadanya. Lantas, senyum kecil terbersit di sudut bibir Rakha seiring tangannya yang terulur untuk mengacak puncak kepala perempuan itu. "Mamaku nggak kayak gitu kok," ujar Rakha menenangkan Rinai.Namun, kalimat itu tentu saja tidak serta merta membuat hati Rinai tenang. Sebab Rinai tahu, mantan wanita panggilan sepertinya akan tetap dipandang hina dan kotor—terlepas dari alasan apapun yang membuatnya masuk ke lubang itu."Kalau mamaku terbukti nggak ilfeel sama kamu…" Rakha melirik Rinai dan kembali tersenyum saat menambahkan, "kamu mau tinggalkan Kala dan menikah sama aku, memangnya?" goda Rakha yang langsung menuai satu cubitan di lengannya."Dasar," celetuk Rinai.Rakha hanya terkekeh. Langkah mereka berdua terhenti tepat di depan sebuah k
"Katanya mau berangkat subuh," celetuk Rinai saat Rakha baru keluar dari kamarnya pukul setengah delapan pagi.Sementara Rinai sudah bangun sejak pukul empat, buru-buru mandi dan mengganti pakaian (yang telah disiapkan oleh Rakha melalui ART rumahnya), entah kapan pria itu membeli semuanya untuk Rinai."Jangan gampang percaya kalau Rakha bilang dia bakal bangun subuh, Nai."Rinai langsung menoleh ke arah sumber suara, di mana perempuan paruh baya yang kemarin selalu memuji kecantikan Rinai itu berdiri. Tanpa pikir panjang, Rinai bergegas bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Hanim untuk menyalaminya dengan hormat."Bangun jam tujuh kayak sekarang aja udah prestasi yang luar biasa untuk seorang Rakhayasa Langit," sambung Hanim mengulum senyumnya karena berhasil membuat putra bungsunya mengerucutkan bibir dengan manja. "Ayo, Nai. Duduk lagi, kita sarapan dulu. Menghadapi anak mama yang super nyebelin ini butuh tenaga soalnya."Rinai mengangguk sungkan sebelum akhirnya duduk di ha