LOGIN
“Eits! Ada yang mau anniversary, nih! Ciyee… ciyee!”
Mendengar godaan itu, Nara, yang baru saja tiba di kampus, langsung menepuk lengan sahabatnya, Wina.
“Husst! Apa sih! Nanti kedengaran orang, tahu!” bisiknya panik.
“Aaa, dia malu… tapi bahagia, kan?” sahut Lusi, sahabat Nara yang lain, sambil tersenyum jahil.
Hal itu membuat Nara refleks menunduk malu. Pipinya memerah, seolah mengiyakan tanpa kata tebakan kedua sahabatnya.
Hari ini adalah hari istimewa bagi Nara. Tepat empat tahun sejak ia dan Byan, kekasihnya, resmi menjalin hubungan. Sejak pagi, hatinya terasa ringan, langkahnya pun penuh semangat. Ia bahkan bangun lebih awal hanya untuk memastikan segala sesuatunya sempurna di hari spesial tersebut.
Riasan wajah, pakaian, hingga tatanan rambut telah ia persiapkan dengan cermat. Ia ingin tampil sebaik mungkin agar perayaan hari jadinya berjalan indah dan tidak mengecewakan sang kekasih.
Ketiganya berjalan menyusuri koridor kampus yang mulai ramai. Sambil menenteng tas, Lusi menoleh dengan senyum menggoda.
“Terus, rencana kalian malam ini apa? Mau candle light dinner gitu?”
Nara menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. “Byan sibuk, jadi sepertinya dia nggak ingat,” jelasnya, membuat kedua temannya mengerjapkan mata kaget, sedikit prihatin untuk sesaat, sebelum kemudian Nara menambahkan, “Tapi, itu lebih baik! Karena dengan begitu aku bisa kasih kejutan ke Byan di apartemennya pas dia pulang!”
Sambil berkata demikian, ia mengangkat sebuah kotak dari dalam tasnya. Di dalamnya terdapat kue cokelat moka berhias krim lembut yang tampak menggoda, kue favorit Byan. Melihatnya, mata Wina dan Lusi langsung membesar.
“Wih! Ini beli atau buat sendiri?” tanya Wina dengan nada kagum.
Lusi terkekeh. “Buat, nggak sih? Tahu sendiri, demi Byan, Nara mah rela kasih apa aja.”
“Selama nggak kasih keperawanan aja,” sahut Wina cepat. “Nggak boleh, ya, Dek. Ingat ucapan Mama Papa.”
“Ih, Wina! Kamu bisa nggak sih kalau bercanda jangan kayak gitu,” protes Nara sambil mengerucutkan bibir.
Wina terkekeh kecil. “Maaf, Ra. Tapi serius, keluargamu kan konservatif. Jadi, walaupun udah empat tahun pacaran, masalah keperawanan itu bukan candaan, Sayang. Kalau kamu udah niat tunggu sampai nikah, ya nikah dulu, baru lakuin.”
Lusi mengangguk-angguk sambil menimpali, “Benar, tuh. Jangan kayak Wina, main gonta-ganti cowok mulu. Penyakitan atau nggak, kita juga nggak ada yang tahu.”
“Eh, enak aja!” Wina spontan berusaha menjewer Lusi, tapi Lusi sigap menghindar sambil tertawa terbahak.
“Gue mainnya nggak sembarangan, ya!” seru Wina kesal. “Pakai pengaman dan cuma sama orang tertentu doang!”
“Ya emang gue nanya? Too much information, tahu nggak sih!” balas Lusi.
Melihat kedua temannya saling berdebat dan bercanda, Nara hanya bisa tertawa kecil.
Memang benar, meski mereka semua berkuliah di lingkungan yang cukup bebas, Nara dikenal sebagai perempuan yang konservatif. Bukan karena ajaran keluarganya yang ketat, itu hanya alasan Nara, melainkan karena—
Nara merasa takut terhadap hubungan intim.
Ya, serius. Nara memang sangat takut dan anti terhadap hubungan fisik itu. Dan hal tersebut bukan terjadi tanpa alasan, melainkan sebuah trauma yang terjadi saat dirinya masih begitu belia.
Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, seorang sepupu jauhnya pernah berkunjung dan menginap di rumah mereka bersama dengan sang suami. Malam itu, ketika Nara hendak mengambil air minum karena haus, ia mendengar suara rintihan keras dari kamar tamu yang mereka tempati. Suara itu terdengar aneh dan menakutkan di telinganya.
Keesokan paginya, setelah dengan polos ia menanyakan apa yang terjadi kepada kakak perempuannya yang sudah SMA, barulah Nara memahami bahwa suara rintihan kesakitan tersebut berasal dari aktivitas hubungan intim antara suami dan istri. Walau sudah diberi paham dengan baik, tapi hal tersebut membuat Nara trauma dan jijik setiap kali mengingatnya.
Bahkan setelah sekarang beranjak dewasa dan tahu tentang apa yang terjadi antara pria dan wanita saat melakukan hal semacam itu, Nara bukannya penasaran, melainkan takut setengah mati!
Bagi Nara, dia baru rela menantang rasa takutnya tersebut ketika sudah menikah, dengan orang yang dia cintai. Karena kalau sudah menikah, hubungan intim jatuhnya adalah bentuk tanggung jawab Nara sebagai istri. Begitu pula sebaliknya.
Pernah dulu Byan dengan lembut memintanya untuk membuktikan cinta mereka lewat cara itu, tapi Nara tetap menolak. Untungnya, Byan tidak memaksa dan malah memahami keputusan Nara. Pria itu berkata bahwa ia rela menunggu hingga pernikahan mereka nanti, sesuatu yang rencananya akan dilaksanakan setelah Nara lulus tahun depan.
Setelah kelas kampus selesai, Nara segera membereskan buku-bukunya. “Win, Lus, aku pergi duluan ya,” ucapnya saat selesai. “Sebelum Kak Byan pulang kantor, aku harus udah siap di apartemennya.”
“Aman, Ra! Hati-hati ya. Semangat surprisenya!” pesan Lusi sambil melambai.
“Dan semoga Byan suka sama kejutanmu!” tambah Wina dengan senyum lebar.
Nara membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum bersemu.
Ia melangkah keluar dari gerbang kampus, menaiki taksi menuju gedung apartemen Byan.
Perlu setidaknya dua puluh menit sebelum Nara sampai di tujuan. Dan begitu sampai, dia langsung menaiki lift. Di dalam lift, ia sempat menatap pantulan dirinya di dinding logam yang mengilap. Dengan dress putih sederhana dan rambut yang diikat setengah, penampilannya sangat manis dan cantik.
“Perfect!” pujinya pelan, menyemangati diri sendiri sebelum melangkah keluar dari lift menuju pintu apartemen Byan.
Namun, saat jaraknya dengan tujuan semakin dekat, samar Nara mendengar suara dari dalam, membuat langkah Nara melambat dan keningnya berkerut.
Awalnya ia mengira televisi menyala. Tapi beberapa detik kemudian, ia mendengar suara lain.
Rintihan yang terlalu nyata, terlalu familiar, dan menohok sisi terdalam ketakutannya.
“Ahh… ya, Pak Byan… seperti itu…”
Dunia Nara seakan berhenti untuk sesaat. Segala skenario terburuk muncul di otaknya.
Namun, tubuh Nara bergerak sendiri, dan tangannya menekan tombol password di keypad pintu yang sudah sangat dia hafal itu.
Begitu kunci terbuka dan pintu bergeser, tubuh Nara langsung terpaku.
Di depan matanya, Nara menangkap sosok pria di ruang tamu yang tengah menekan tubuh seorang wanita di bawahnya. Gerakan kedua orang itu liar, dan sangat jelas … keduanya tengah mengejar kenikmatan seperti binatang.
Lemas, kotak kue yang dibawa Nara terjatuh ke lantai. Suara hentakannya cukup keras untuk membuat pria itu menoleh.
Dan saat mata mereka bertemu—
“N-Nara?!”
Wajah Nara langsung memucat.
Karena pria yang tengah bersetubuh dengan wanita asing itu tidak lain dan tidak bukan … adalah Abyan, kekasih Nara.
Deg! Nara melupakan bagian itu. Bagian dimana Aland memagut bibirnya untuk membuat Abyan yakin jika mereka berdua memiliki hubungan khusus. Tak terpikir olehnya jawaban dari ciuman itu. Aland sendiri menyebutnya trik. Ia melakukannya tanpa berpikir bagaimana perasaan Nara. Siapa yang tahu empat tahun pacaran Nara bahkan tak pernah bersentuhan bibir. Dan ciuman bersama Aland adalah kali pertama. Hal ini tidak boleh diketahui sahabatnya. Jika sampai mereka tahu first kiss itu milik teman kecilnya sendiri bisa hancur harga dirinya. “Eee... sebenarnya- itu, itu benar.” jawabnya lirih. “Apa?!” Wina histeris menanggapi.”Gila! Hebat kali ya si Aland itu, benar-benar badboy kelas kakap tahu nggak!” Nara pikir sahabatnya akan menanggapi dengan terkejut, marah, tapi malah kagum? “Kamu pasti malu banget ya Na, kamu nggak pa-pa kan?” tanya Lusi khawatir. Nara mengatur nafasnya sebaik mungkin, berusaha tenang dan lega. “Nggak pa-pa kok, Aland juga udah minta maaf atas perbuatannya. Tapi di
“Se-secepat itu Lus berita menyebar?” suara lemas Nara terdengar pasrah. Ia menengok ke arah Aland yang terlihat santai. Wajah Nara mulai memucat. Ia bisa bayangkan bagaimana orang lain menerka hubungannya dengan Aland.“Na? Katakan, itu nggak benar kan?” tanya Lusi terdengar menekan Nara untuk memberi jawaban sesuai pikirannya. Nara bingung menjawab, ia tergagap saat itu.”Na-nanti aku jelaskan Lus, aku tutup dulu telponnya. Dah!”Setelah menutup panggilan dari Lusi, ia terlihat meremas sebagian rambutnya. Pandangannya tajam menuju pada manusia disampingnya. Aland mencoba menenangkannya dengan mengelus pundaknya, namun Nara tampak makin geram dan menampilkan sentuhan Aland. “Semua ini gara-gara idemu tahu nggak?!”seru Nara.Aland melirik kanan kiri lalu menjawab,”Sudah terlanjur Na-.”“Iya terus gimana solusinya?”Pertanyaan Nara terdengar putus asa dengan kabar yang begitu cepat beredar. Yang ia khawatirkan bagaimana jika hal ini sudah terdengar oleh dosen-dosennya?Nara begitu ak
Bab 9 ‘‘Pa-pacar?’ Mendadak tubuh Nara kaku. Matanya membesar, sulit percaya dengan apa yang baru saja Aland katakan. Di sisi lain, wajah Abyan langsung memucat. Pernyataan Aland tadi menghantam harga dirinya tanpa ampun. Niat mempermalukan Nara malah berakhir berbalik mempermalukan dirinya sendiri! Seakan tidak cukup, dia juga menjadi sakit hati! Bagaimana bisa Nara tega meninggalkannya demi pria lain dengan begitu cepat seperti ini?! “Nara, kamu—” Dia ingin menuntut penjelasan, tapi setelah semua yang dia katakan, juga statusnya saat ini yang bukan lagi pacar Nara, Abyan merasa tenggorokannya tercekat. Di sisi lain, melihat Abyan terdiam, Nara gegas langsung mengambil kesempatan dengan berkata, “Jangan temui aku lagi.” Lalu, dia meraih tangan Aland dan menariknya pergi dari sana. ** BRAK! Suara tubuh yang menabrak mobil terdengar. Di saat bersamaan, tampak sosok Nara yang memojokkan sosok Aland ke mobil pria tersebut di area parkiran. “Apa itu tadi?!” Aland menaikkan al
“Siapa lo, hah?!” Abyan berdiri sambil mendongak, air hujan mengucur di wajah dan lehernya. Suaranya pecah, tapi cukup keras untuk memantul di antara gedung kampus yang mulai sepi. “Siapa lo sampai berani ikut campur? Ini urusan gue sama Nara!” lanjutnya, napas memburu. “Kami itu sepasang kekasih. Lo orang luar, nggak punya hak ikut campur apa pun!” Di sampingnya, tangan Nara masih digenggam Abyan erat, dingin dan licin oleh air hujan. Cengkeraman itu mulai terasa menyakitkan. Aland mendengus pelan. Payung di tangannya miring sedikit, cukup untuk tetap melindungi Nara, tapi membiarkan sebagian tubuhnya sendiri basah terkena hujan. “Yang lebih pantas dipanggil orang luar itu siapa, menurutmu?” tanyanya datar. “Kamu yang nggak tahu hubunganku dengan Nara sedekat apa… atau aku, yang tahu jelas kamu sama sekali tidak pantas untuk Nara?” “Kamu–!” “Cukup!” Suara Nara memotong kalimat Abyan dengan tegas. Lebih tegas dari biasanya, bahkan untuk dirinya sendiri. Abyan terhenyak, menol
“Tidur bareng?” Nara berbalik tanya membuat kedua sahabatnya melongo. “E...Iya sih, tidur bareng-” “APA?” Wina dan Lusi serentak dengan nada tinggi. “Kamu beneran tidur bareng sama Aland?! Gila kamu Na!” sentak Wina. “Win! Mulutmu!” hardik Nara dengan isyarat tangan. Seketika Wina membungkam mulutnya sendiri. Alih-alih takut orang lain akan mendengarnya dan salah paham. “Kalian tahu maksudnya tidur bareng nggak sih?” tanya Nara pelan. “Kita tuh sering kali, waktu kecil tidur bareng, dan semalam kita tidurnya ya tidur aja biasa aja, nggak ngapa-ngapain kok!” ungkapnya santai. Lusi menghela napas lega. Berbeda dengan Wina seolah tak terima, istilah tidur bareng baginya adalah merujuk pada hal intim. “Tidur biasa? Tanpa adegan dewasa maksudnya?” cecar Wina,”Mana mungkin?” logikanya nggak mungkin lelaki nganggurin gadis secantik Nara apalagi dalam kondisi mabuk. Namun penjelasan Nara agaknya buat Wina merasa sesuatu,“Tunggu-tunggu! kau bilang waktu kecil?” Wina mencoba berpikir d
Melihat Aland hanya terdiam, kepala Nara langsung dipenuhi sejuta pertanyaan. Bagaimana bisa dia begitu ceroboh dan tidur dengan Aland?! Pria itu adalah sahabat kecilnya! Bagaimana kalau Aland bilang ke orang lain? Bagaimana kalau Wina dan Lusi tahu? Dan yang paling membuatnya takut setengah mati adalah… bagaimana kalau seisi kampus tahu ini terjadi dan… reputasinya sebagai murid berprestasi terancam?!Beasiswanya akan dicabut! Di saat Nara pusing memikirkan semua hal itu, tiba-tiba— “Pfft….” Nara tersentak, lalu dengan cepat dia menoleh. Terduduk di sisinya, sosok Aland tampak tersenyum menahan tawa. “Kenapa kamu tertawa?!” Aland melirik Nara, masih tersenyum. Dia tidak menjawab segera dan hanya menyibakkan selimutnya sendiri dengan gerakan malas, lalu berdiri santai. “Nggak terjadi apa-apa,” ucap Aland akhirnya. Nara membeku. “Hah?” Aland meraih handuk dari gantungan dan berkata datar, “Kita cuma tidur bersama, tanpa melakukan hal lain.” Dia melanjutkan, “Kamu







