*Happy Reading*
"William mau masuk kelas, ya? Semangat ya belajarnya!""William aku udah taruh bekal di kolong meja kamu. Nanti di makan, ya?""William ke Kantin bareng, yuk!""William semangat main basketnya!""William kepilih lagi jadi wakil di olimpiade, ya? Wah Hebat! Aku bangga!""William jangan terlalu capek belajarnya. Ini udah waktunya makan, lho!"William!William!William!William!"Will?! Lo denger kita gak, sih!"Degh!William pun langsung terlonjak kaget. Saat seruan nyaring Fadly tertangkap rungunya. Bukan tertangkap, lebih tepatnya memang sengaja disuarakan sangat lantang pas di depan telinga.Membuat bukan hanya lamunan William saja yang langsung buyar, tapi juga telinganya langsung berdenging. Sakit sekali."Sialan, lo!" maki William Akhirnya, menatap tajam ke arah Fadly.Sayangnya, bukan wajah ketakutan yang William dapatkan. Malah cengiran konyol khas pria itu."Jangan salahin Fadly. Lo sendiri yang resek, ngelamun saat kita ajak nongkrong." Reinan membela Fadly.Tidak membantah sedikit pun, William hanya berdeham sejenak, sebelum kembali melayangkan tatapan ke bangku di belakang Reinan dan Fadly. Di mana sepasang anak SMA tengah duduk bersama, dengan pemandangan sang perempuan terus mengoceh dengan riang. Sementara yang pria, hanya mendengarkan sambil pura-pura baca buku.Hal itulah yang memancing lamunan William. Sebab dulu, ia dan Navisha pernah ada di momen tersebut. Ah, Navisha. Gadis itu semakin memenuhi isi pikirannya akhir-akhir ini."Kan, dia ngelamun lagi? Ck, nyebelin tahu gak sih, lo!" Fadly menggerutu saat melihat William akan kembali melamun."Gue kan udah bilang, Rei. Jangan bawa dia ke sini. Repot nanti urusannya kalau dia makin gagal Move on!" Fadly menambahkan, membuat Reinan kini mendesah panjang.Saat ini, ketiga pria itu memang tengah berada di sebuah Cafe. Sekedar temu kangen mumpung Reinan dan Fadly ada di kota ini. Juga ngopi bareng melepas penat."Mau gimana lagi? Kita kan udah gak ketemu lama. Sejak lulus kuliah dan kerja, kita udah jarang banget ngumpul. Sekarang, mumpung ada waktu ya ketemuan aja.""Ya tapi nyatanya percuma kita ketemu juga. Si Will malah asik sendiri tuh sama lamunannya." Fadly kembali menyindir William. Namun, tak mendapat tanggapan berarti dari yang di sindir.Begitulah William, sejak dulu memang tak pernah perduli dengan sekitarnya. Mau di omongin macam apa pun. William akan tetap acuh dan memasang face foker andalannya. Membuat William seakan tak tersentuh.Padahal waktu sekolah, pria itu banyak fansnya. Karena selain memiliki wajah rupawan. Otak dan isi rekeningnya pun tak kalah rupawan. Kan, incaran para wanita banget.Tetapi, William tetaplah William. Meski memiliki banyak hal yang harusnya bisa dia sombongkan dan jadikan modal untuk nakal. Pria itu memilih acuh dan hanya fokus belajar, belajar, belajar dan terus belajar. Seakan medali olimpiade di rumahnya kurang banyak, padahal sudah satu gudang."Ck, heran gue. Ngeliatin apaan sih emang lo," ucap Fadly lagi, lalu melirik belakang tubuhnya. Tak lama, dia pun bergumam panjang. "Ooohhh .... pantes. Keinget Navisha lagi pasti, nih. Ya kan?" Akhirnya Fadly mengerti.Reinan yang mendengar hal itu pun sontak ikut melirik ke belakang juga. Lalu berdecak sejenak, dan menggeleng tak habis fikir."Wil, Wil, lo mau sampai kapan kayak gini? Udah enam tahun loh, Wil. Gak capek apa?"Reinan dan Fadly memang tidak tahu bahwasanya William sudah menemukan Navisha beberapa hari yang lalu. Seperti kata Reinan di awal, sejak lulus kuliah dan bekerja mereka memang jarang ngumpul. Malah hampir lost kontak.William masih tak menanggapi. Hanya menyesap kopi hitamnya dengan khidmat sambil sesekali melirik piring kecil dihadapan berisi panganan manis, yang lagi-lagi mengingatkannya pada sang pujaan hati, Navisha."Kamu tahu gak? Kenapa aku suka banget membuat makanan manis?"William teringat satu momen di masa lalu. Saat Navisha main ke rumahnya."Kenapa?""Karena makanan manis itu selalu membuat orang tersenyum. Makanya, daripada belajar bikin masakan rumahan. Aku lebih suka belajar bikin kue. Setidaknya, kalau aku lagi sedih, aku bisa menghibur diriku sendiri dengan kue buatanku. Karena di Dunia ini, aku tidak punya satu orang pun yang mau menghibur, bahkan meminjamkan bahunya saat aku ingin menangis."Saat Navisha mengatakan hal itu, Navisha terlihat tersenyum manis. Namun, hal itu tidak bisa menutupi sendu yang membayang dari tatapan mata gadis itu yang berwarna madu.Bodohnya, saat itu William tidak mengatakan apapun. Selain terus diam membalas tatapan mata Navisha dengan datar.Meski sebenarnya William sangat ingin berkata, "Ada aku, Nav. Jangan takut lagi." Namun William terlalu pengecut untuk jujur pada hatinya sendiri di masa lalu.Ego-nya masih terlalu tinggi, juga masih belum punya kekuatan apapun untuk memberi kepastian pada Navisha. Toh, saat itu William masih sombong, mengira Navisha tidak akan pernah pergi dari pandangannya.Sombong dan Narsis! Mungkin itulah kata yang tepat menggambarkan William di masa lalu."Navisha, Bangsat! Di mana lo! Keluar! Dasar wanita sialan!"Kali ini, lamunan William buyar bukan karena keiseng Fadly. Melainkan seruan lantang seorang pria, yang tiba-tiba saja masuk dan langsung membuat gaduh.Itu Gerald!Salah satu teman SMA mereka, sekaligus pria yang diinfokan sebagai ayah biologisnya Angel. Anaknya Navisha. Tunggu! Tadi dia bilang apa? Navisha? Kenapa? Mungkinkah gadis itu juga ada di sini?"Maaf, Pak. Tapi ini cafe, mohon jangan buat kerib--"Bugh!"Persetan dengan omongan lo bangsat! Gue cuma mau Navisha. Di mana? Di mana gadis sialan itu?"Barista yang mencoba menegur Gerald pun berakhir terlempar ke lantai, karena di pukul pria itu tanpa tedeng aling-aling."Will, itu kan Gerald temen satu SMA kita, ya kan?" Reinan menepuk bahu William."Iya benar. Itu si bangsat Gerald. Tapi, apa katanya barusan? Navisha? Lah, ngapain dia manggilin Navisha di sini?" Fadly menyambar. Lalu kedua pria di samping William pun saling bertukar pandang saat menyadari sesuatu.Sementara di sana, di depan meja kasir tak jauh dari pintu masuk. Gerald masih berteriak-teriak seperti orang gila, memanggil Navisha yang tak kunjung menemuinya."Navisha! Navisha! Keluar lo!" Gerald benar-benar tak tahu malu."Bangsat! Keluar lo gadis lacur! Jangan menghindar terus dari gue!" Gerald makin menjadi.William baru saja akan maju, saat lengannya di cekal Reinan dengan cepat. "Jangan, Will!""Tapi--""Nanti aja.""Maksudnya?"Reinan hanya menjawab dengan sebuah gelengan sungguh-sungguh, seakan meminta William menunggu momen yang tepat untuk bergerak."Navisha! Navisha! Kel--""Mau apa lagi lo?" Akhirnya yang ditunggu pun muncul, dengan berbalut baju koki andalan cafe ini. Juga sedikit noda tepung di kedua pipinya.Tampilan Navisha saat ini mungkin tidak menarik di mata orang lain. Namun di mata William, justru menimbulkan rasa haru yang membuncah.Pria itu merindukan Navisha yang seperti ini!"Bangsat! Sini lo!"Beberapa Barista langsung menghadang Gerald, saat pria itu hendak bergerak ke arah Navisha."Lo kalau mau ngomong, ngomong aja! Gak usah bikin rusuh. Gue lagi kerja!" sahut Navisha berani. Kembali membuat William dan teman-temannya terkejut.Bukan hanya karena ternyata dugaan mereka benar. Tetapi juga, karena sahutan dan gestur tubuh Navisha yang asing di telinga dan ingatan ketiga pria di sana.Navisha yang mereka kenal itu penakut dan cengeng. Berbeda sekali dengan Navisha yang di sana. Benar-benar seperti dua orang yang berbeda"Gue gak perduli! Penting gue mau, lo kasihin Angel sama gue sekarang.""Gue gak punya alasan melakukan hal itu!""Apa maksud lo? Jelas lo punya. Karena Angel itu anak gue! Anak kandung gue!"Degh!Tanpa sadar, kedua tangan William langsung mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Karena ternyata info yang diberikan anak buahnya benar.Angel memang anak Gerald. Itu berarti, Navisha dan Gerlad pernah ...."Anak lo?" Siapa sangka Navisha malah berdecih menyebalkan menanggapi ucapan Gerald. "Anak yang mana? Bukannya, Anak lo udah lo buang bersama ibunya. Bahkan saat masih dalam kandungan?"Degh!Lagi-lagi, William tercekat di tempatnya saat mengetahui satu kenyataan lagi meluncur mulus dari bibir Navisha. Tanpa memperdulikan kehadiran orang lain di cafe ini. Sepertinya, Navisha sudah terbiasa dengan kegaduhan yang Gerald buat."Gue tahu! Gua juga ngaku salah untuk hal itu, Nav. Tapi tetap aja, lo gak bisa menutupi kenyataan, kalau Angel itu beneran anak gue! Dalam diri anak itu mengalir darah gue. Kita bisa mengadakan tes DNA untuk hal itu. Setelah itu--""Setelah itu apa?" potong Navisha cepat. "Setelah itu lo kira, lo bisa ambil Angel dari gue? Gitu? Mimpi lo! Sampai mati pun gue gak akan biarin Angel jatuh ke tangan lo!""Lo jangan egois, Nav. Bagaimana pun Angel membutuhkan gue. Ayah kandungnya. Karena--""Angel gak butuh siapapun selain gue!""Nav!""Selain itu!" Kembali Navisha memotong ucapan. "Jangan lupakan kenyataan, kalau lo juga sempat ingin membunuhnya saat pertama kali tahu kehadirannya, meski masih dalam bentuk garis dua."Gerald terdiam. Tidak bisa mengelak tuduhan Navisha."Itulah kenapa gue bilang. Sampai mati pun gue gak akan menyerahkan Angel sama lo. Karena selain hanya gue yang selalu ada dan menjaga Angel sejak dulu. Lo sendiri belum pantas di sebut ayah."*Happy Reading*Hening tercipta. Baik itu Gerald atau pun Navisha. Tidak ada yang berbicara lagi setelahnya. Bahkan para pengunjung di sana turut larut dalam cerita yang Navisha suguhkan. Seakan bisa merasakan kepedihan gadis itu. Padahal, Navisha tidak mengeluarkan Air mata sedikit pun. Namun tatapan tajamnya, seakan bercerita tentang rasa sakit yang sudah gadis itu pendam selama ini."Tapi gue butuh Angel, Nav. Urgent. Setidaknya, gue pinjem deh untuk satu bulan aja. Soalnya gue--""Butuh Angel untuk menerima warisan dari bokap lo yang sedang sekarat, iya kan?" tembak Navisha tepat sasaran. Membuat Gerald kembali terdiam."Lo ... tahu?" Gerald terbata di tempatnya berdiri dengan tatapan membulat. Sementara Navisha tersenyum miring penuh kemenangan. Tak lama, gadis itu menggeleng tak habis pikir dan menatap Gerald dengan muak."Lo emang udah gak tertolong, Rald." Navisha kecewa. "Lo bukan hanya tidak pantas jadi seorang ayah. Tapi juga manusia yang punya hati!"Navisha makin menatap
*Happy Reading*"Raid Anderson?" Beo William, yang langsung diangguki Reinan dengan pasti."Menurut info dari orang gue. Pria itu adalah pelindung Navisha selama ini. Tepatnya empat tahun ke belakang setelah Navisha memiliki Angel, anaknya." Reinan melanjutkan infonya. Entah kenapa, tiba-tiba rasa cemburu hadir begitu saja di hati William. Merasa iri pada pria yang bernama Raid Anderson itu."Jadi beneran si Nav-Nav sama Gerald pernah menikah dan punya anak?" Fadli menyambar dengan nada tak percaya."Kalau untuk hal itu gue gak tahu. Soalnya gue belum nyuruh orang gue menyelidikinya," sahut Reinan lagi. "Gue udah." William menyambar datar. Seraya mengeluarkan amplop coklat pemberian anak buahnya, yang langsung di raih Reinan dan Fadly dengan antusias. "Loh, kok?" Wajah bingung pun langsung tercetak jelas di wajah dua sahabat William itu paska membaca isi amplop tersebut."Kenapa di sini Navisha tertulis lajang dan belum menikah? Sementara kemarin kita lihat sendiri dia dan Gerald b
[Datanglah ke aula hotel xxx jam 20.00. Aku menunggumu]Navisha mengerjap pelan membaca pesan teks yang baru saja dikirim William. Ada rasa bingung tapi juga bahagia menerima pesan itu. Faktanya, sudah beberapa hari ini William mendiamkannya. Entah karena apa, tapi pria itu memang kerap melakukannya. Membuat Navisha sering galau sendiri. Padahal, Navisha selalu berkata jika dia punya salah, William harus memberitahukannya. Agar Navisha bisa segera memperbaikinya. Namun, William tetaplah William. Disuruh janji seperti apa pun, tetap saja akan memilih diam jika ada salah. Membuat Navisha sebal sekali. Untung cinta. Coba kalau tidak, sudah Navisha tinggalkan dari kapan tahu. "Astaga! Jangan-jangan ...." gumam Navisha agak terkejut setelah menyadari sesuatu.[Okeh! Aku akan dandan cantik untukmu!]Setelahnya, gadis itu segera mengirimkan balasan riang pada sang kekasih. Kembali mengabaikan rasa kesal akan sikap pria itu yang mirip cuaca di Indonesia. Suka berubah tanpa aba-aba. Bikin Na
"Papa?" Suara Angel mengembalikan Navisha pada bumi yang ia pijak saat ini. Wanita itu melirik gadis kecilnya yang ternyata sudah menghadap William dengan tatapan penuh harap.Navisha menelan saliva resah melihatnya. Takut jika pria itu akan menolak Angel, anaknya. Apa yang akan Navisha katakan pada putrinya nanti. Haruskah ia jujur saat ini.Gadis itu lalu refleks melirik pria yang Angle panggil Papa, yang ternyata juga tengah meliriknya. Katakan Navisha salah. Entah kenapa, ia seakan bisa melihat kerinduan pada tatap pria itu. Navisha pun segera membuang muka ke sembarang arah.Tidak mungkin! Mana mungkin ada rindu di sana, kan? Sementara Navisha yakin sekali jika saat ini sang mantan pasti sudah berkeluarga. Bukankah, dulu saat Navisha pergi, pria itu sudah bertunangan? Dan ini sudah enam tahun. Tidak mungkin jika pertunangan itu belum berlanjut ke arah lebih resmi. Ah, mengingatnya saja hati Navisha sudah kembali sakit. "A
Navisha kira, pertemuannya dengan William di rumah sakit akan menjadi terkahir kalinya untuk mereka. Siapa sangka, ternyata keesokan harinya pria itu kembali muncul. Kali ini di cafe tempatnya bekerja. Entah dari mana pria itu tahu tempat ini. Navisha memang tidak tahu jika sebenarnya William ada saat Gerald muncul waktu itu. Ia terlalu fokus mencari cara mengusir ayah kandung Angel tersebut. "Mbak, Nav. Pria yang di pojokan itu ngeliatin Mbak terus, loh. Kayaknya pengen kenalan," bisik Yopi saat Navisha mengisi ulang kue-kue yang telah kosong di etalasi. Navisha hanya mendesah berat mendengarnya. Tahu pasti siapa orang yang Yopi maksud. Pasti William. Tadi Navisha melihat pria itu memang duduk di pojokan. Tidak mengganggunya memang, hanya diam dan terus memperhatikan. Membuat Navisha tidak nyaman. "Aku gak tertarik," jawab Navisha acuh."Ganteng loh, Mbak. Kayaknya orang kaya juga. Kalau diperhatikan, vibesnya kek ceo-ceo muda di novel online. Yakin gak mau kenalan?" Yopi menaik
Navisha mendesah berat saat membuka kamar putrinya, menemuka jika gadis cilik itu tertidur sambil memeluk photo William yang diam-diam masih ia simpan. Hatinya nelangsa sekali melihat betapa Angel sangat menginginkan pria itu, yang ia kenali sebagai Papanya. Lagi-lagi, rasa bersalah akan salah satu kebohongannya hadir dalam hati.Tuhan, kalau sudah begini Navisha harus apa? Ia tidak mungkin meminta William untuk berkongsi demi Angel, kan? Tidak, tidak, jelas itu tidak boleh. Karena Navisha benar-benar tak mau punya hubungan apa pun lagi dengan pria itu. Ah, kenapa juga ia harus mengatakan kalau William adalah papa Angel? Kenapa tidak orang lain saja? Tetapi ... siapa? Satu-satunya pria yang pernah dekat dengannya adalah William seorang. Pria yang membuatnya jatuh cinta, juga patah hati sepatah-patahnya. Membuat Navisha trauma dan memilih menutup hatinya untuk siapa pun.Lagi, Navisha membuang nafas berat. Berharap beban yang kini terasa menghimpit hatinya sedikit hilang. Rasanya ota
"Nav?""Ya?"Navisha langsung menyahut cepat saat Nissa memanggilnya. Menoleh ke arah sumber suara meski sebenarnya sedang berdiskusi dengan Naira tentang menu baru saat ini."Ada email dari perusahaan LW group."Navisha pun langsung terdiam di tempatnya mendengar info dari Nissa barusan. Bukan karena tak mengenal, melainkan karena tiba-tiba resah tak jelas.Mendengar nama perusahaan tersebut, membuat otaknya seketika flashback pada kejadian beberapa hari yang lalu, tanpa bisa dicegah."Terima kasih untuk waktunya ya, Nav. Kue-kue dari cafe kalian memang yang terbaik. Saya yakin pasti semua orang menyukainya," ucap Felix. Salah satu staf perusahaan LW Group, yang akhirnya merasa puas dengan pilihan kue yang Navisha tawarkan untuk disuguhkan di acara ulang tahun perusahaan ini minggu depan."Tidak masalah, kami pun sangat berterima kasih karena anda bersedia memakai jasa cafe kami, dalam acara besar tersebut." Navisha menjawab dengan sopan, seraya menyambut uluran tangan Felix."Tentu
"Dia lagi?" gumam William bingung, ketika menemukan kembali nama Raid Anderson pada laporan yang baru saja diberikan anak buahnya. Kali ini bukan tentang Navisha. Melainkan sepupunya yang belum di temukan. Anak dari pamannya, pemilik sah dari perusahaan yang ia pegang saat ini. Ya, William memang telah lama melepaskan diri dari perusahaan keluarganya. Memilih mengembangkan usahanya sendiri, yang memang sudah ia rintis sejak sekolah. Seraya membantu sang paman mengurus perusahaan yang hendak diberikan pada anaknya yang hilang.Intinya, perusahaan yang William pegang saat ini bukanlah perusahaan miliknya sebenarnya. Hanya sekedar titipan semata. Selagi sang pewaris utama belum di temukan. Dan sejujurnya, alasan itulah yang membuatnya datang ke kota ini. Karena menurut info yang di dapat, sepupunya yang hilang itu berada di sini. William tidak pernah tahu jika ternyata Navisha pun berada di kota ini. Kembali ke masalah utama. William kini benar-benar penasaran dengan pria yang bernama