Share

Bab 0003

Tangan Wano memegang gelas anggur dengan semakin erat.

Tepat saat itu juga, hatinya serasa ditusuk.

Pada hari itu, ketika Qirana melakukan percobaan bunuh diri, Yuna juga meneleponnya berkali-kali karena mengalami nyeri menstruasi. Awalnya, dia masih menjawab panggilan itu, tetapi kemudian, dia langsung menutup teleponnya karena marah.

Dia tidak ingin putus hanya karena hal ini.

Wano menundukkan kepalanya. Dia mendengarkan cacian Yudi dan Yanuar terhadap seorang suami yang berperilaku buruk itu dengan saksama. Dia bahkan tak menyadari bahwa ujung rokoknya kini menyulut punggung tangannya sendiri.

Dia terus gelisah sepanjang malam.

Biasanya, ketika dia tidak pulang seperti ini, Yuna akan segera meneleponnya untuk menanyakan keadaannya.

Namun, sekarang sudah larut malam, tetapi dia bahkan belum menerima satu pesan pun.

Tiba-tiba, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Dia segera memadamkan puntung rokoknya dan pergi sambil menggenggam ponselnya.

Baru saja keluar dari pintu bar, dia melihat seorang gadis kecil membawa keranjang bunga berjalan mendekat ke arahnya.

Sembari tersenyum, gadis itu bertanya kepadanya, "Pak, apa kamu mau beli beberapa bunga untuk pacarmu?"

Wano melihat bunga mawar yang indah di dalam keranjang warna biru itu. Kemudian dia tiba-tiba teringat kata-kata Yudi, "Cobalah membujuknya!"

Itu sebabnya, Wano pun berkata, "Berikan semuanya untukku!"

Gadis itu sangat senang. Dia segera merapikan bunga-bunga itu dan memberikannya kepada Wano dengan senyum semringah. Gadis itu juga mengatakan berbagai ucapan selamat.

Akhirnya, ekspresi muram pada wajah Wano pun berkurang.

Dia mengeluarkan uang beberapa ratus ribu dari dompetnya dan menyerahkannya kepada gadis itu.

Ketika dia kembali ke rumah sambil memeluk bunga, yang menyambutnya bukanlah sosok mungil itu, melainkan pelayannya.

"Tuanku, Anda sudah pulang. Saya telah membuatkan sup untuk menghangatkan tubuh anda. Apa Anda ingin makan sekarang?"

Wano mengernyitkan keningnya, mendongak ke arah tangga, "Apa dia sudah tidur?"

Pelayan itu terdiam sejenak, lalu segera berkata, "Nona Yuna telah pergi, dia menyuruh saya untuk memberikan ini kepada Anda."

Wano mengambil sebuah amplop dari pelayannya.

Saat membukanya, dia melihat itu adalah daftar pakaian yang Yuna buatkan untuknya.

Dia sangat marah sampai urat di dahinya tampak menonjol, kemudian dia meremas daftar itu menjadi bola dan membuangnya ke dalam tong sampah.

Dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Yuna.

Telepon itu berdering begitu lama sebelum akhirnya dijawab.

Suara Yuna yang sedikit serak terdengar dari telepon.

"Ada apa?

Tangan besar Wano yang berurat menegang dan menggenggam ponsel semakin erat, dia bertanya sambil menggertakkan giginya, "Kamu sungguh mau bermain-main, ya?"

"Aku sudah yakin!" jawab Yuna dengan tenang.

"Yuna, jangan sampai menyesalinya!"

Setelah mengatakannya, dia menutup telepon.

Kemudian, dia naik ke atas dengan kesal.

Suara pelayan itu terdengar dari belakangnya, "Tuan, bunga ini ...."

"Buang saja!"

Dia pergi tanpa menoleh ke belakang atau mengucapkan sepatah kata pun.

Saat baru sampai di pintu masuk kamar tidur, dia melihat seekor anjing samoyed putih dengan kalung keberuntungan kuning di lehernya.

Dia pernah melihatnya di akun media sosial teman Yuna. Temannya mengatakan bahwa Yuna memperoleh kalung itu setelah mendaki gunung dan akan memberikannya kepada sosok yang paling dicintainya.

Ternyata, sosok yang paling dicintainya adalah anjing ini.

Wano kembali menggertakkan giginya dengan marah.

Dia mencabut kalung keberuntungan kuning dari leher anjing putih tersebut dan memasukkannya ke dalam saku miliknya.

Bonbon pun menggonggong padanya.

Wano memarahi anjing itu dengan galak, "Kamu mau ngomong apa? Ibumu itu bahkan sudah nggak menginginkanmu lagi!"

Setelah mengatakannya, dia menutup pintu dengan keras.

Keesokan paginya, Wano merentangkan tangannya seperti biasa dan memeluk ke samping.

Saat merasakan lengannya kosong, matanya terbuka seketika.

Baru saat itulah dia menyadari bahwa Yuna tidak ada di sini.

Tiba-tiba dia merasa sesak di dada.

Setiap pagi pada hari-hari sebelumnya, dia biasanya akan menikmati sarapan yang istimewa bersama Yuna.

Melihat bagaimana gadis itu bersenang-senang di bawahnya, membuatnya mendapat perasaan yang sulit untuk diungkapkan.

Sensasi tersebut terasa seperti racun yang perlahan-lahan meresap ke dalam sumsum tulangnya.

Kini, dia merasa kesulitan untuk menahan diri dan ingin pergi menemui Yuna.

Hanya dengan memikirkan bahwa dia pergi tanpa sepatah kata pun membuat Wano merasa sangat marah.

Berharap aku akan mencarimu? Nggak mungkin!' ujar Wano dalam hati.

Ketika turun dari lantai atas, dia melihat Zakri Cahyadi berdiri di ruang tamu. Pria itu sedang memegang ponsel dan tidak jelas tengah berbicara dengan siapa.

Wano berjalan mendekat dan meliriknya, "Sibuk sekali, ya?"

Zakri segera menghentikan apa yang sedang dilakukannya dan bertanya dengan penuh perhatian, "Pak Wano, apa Sekretaris Yuna sakit parah? Haruskah kita pergi ke rumah sakit untuk melihatnya?"

Wano kebingungan, "Apa dia memberitahumu?"

"Benar, dia baru saja meminta cuti seminggu kepadaku. Saya pikir bisa langsung memberi tahu bapak saja tanpa harus melalui prosedur yang seharusnya."

Mata Wano semakin menggelap, "Apa kamu sudah menyetujuinya?"

"Baru saja kusetujui. Mohon biarkan Sekretaris Yuna istirahat di rumah. Saya akan menangani pekerjaannya."

Zakri berpikir bahwa presdirnya pasti akan memuji atas inisiatifnya.

Tanpa diduga, malah terdengar suara yang dingin, "Bonusmu akan dipotong selama tiga bulan."

....

Yuna kehilangan banyak darah selama operasi sehingga harus mengambil cuti seminggu sebelum kembali bekerja.

Ketika baru saja tiba di kantor, dia mendengar dari rekan kerjanya bahwa mereka telah mengalami sebuah minggu yang sangat buruk.

Mereka harus bekerja lembur setiap hari hingga larut malam.

Bonus Zakri, sang asisten, dipotong oleh Wano selama tiga bulan senilai beberapa puluh juta karena mengizinkan Yuna cuti dalam seminggu.

Yuna tahu bahwa uang itu adalah tabungan untuk istri Zakri, tetapi Zakri malah kehilangan bonusnya karena dirinya.

Setelah mengobrol singkat dengan rekan kerjanya mengenai pekerjaan, dia kemudian mengetuk pintu presdir.

Begitu memasuki pintu, dia melihat Wano yang mengenakan setelan formal hitam duduk di mejanya.

Pria itu terlihat kelelahan dan tak peduli dengan sekitarnya. Pada wajahnya yang tampan dengan sorot mata yang dalam, samar-samar terpancar rasa keputusasaan.

Sosoknya tampak dingin dan angkuh.

Dengan raut wajah yang datar, matanya tak berhenti barang sejenak untuk menatap Yuna sebelum akhirnya kembali menunduk fokus pada pekerjaannya.

Saat bertemu lagi, Yuna mengaku bahwa dia merasa sakit hati.

Tujuh tahun yang lalu, dia adalah seorang pria dingin namun tampan yang menarik perhatiannya. Dia mampu membuatnya memutuskan untuk datang padanya tanpa mempedulikan apa pun.

Namun, Yuna tidak pernah membayangkan bahwa rasa cintanya yang mendalam selama bertahun-tahun hanya dianggap Wano sebagai sebuah permainan yang tak berarti.

Yuna berusaha keras untuk menyembunyikan emosi di matanya saat dia mendekati Wano dengan sikap yang profesional.

"Pak Wano, menurut peraturan departemen personalia di perusahaan, cuti selama sepuluh hari atau kurang bisa disetujui langsung oleh atasan secara langsung. Zakri adalah atasanku, apa ada masalah jika dia menyetujui cutiku? Kenapa bapak harus memotong bonusnya?"

Wano mengangkat sebelah alisnya, mata indahnya terus menatap Yuna tanpa berkedip.

Seolah dia bisa membaca pikirannya.

"Kamu bilang kenapa?"

Pria itu berkata dengan sedikit nada tinggi dan sarkas.

Yuna merasa jantungnya berdebar-debar, "Apa kamu kesal karena aku yang mengajukan putus? Jika kamu memiliki masalah denganku, kamu bisa menghadapiku langsung, jangan membawa orang lain ke dalamnya."

Wano terkekeh tidak setuju, "Kalau kamu nggak mau aku melibatkan orang lain, kamu bisa pindah kembali dan tinggal bersamaku. Aku akan melupakan yang sudah terjadi."

Yuna menunjukkan kepahitan yang sulit diungkapkan di wajahnya, lalu dia memberikan surat pengunduran diri yang sudah dia persiapkan sebelumnya kepada Wano.

"Pak Wano, aku bukan hanya takkan pindah kembali dan tinggal bersamamu, tapi juga akan segera mengajukan pengunduran diri. Ini adalah laporan pengunduran diriku. Kuharap kamu segera mencari seseorang untuk menggantikan posisiku."

Wano melihat surat pengunduran diri yang diserahkan oleh Yuna. Ujung jarinya yang memegang pena menjadi dingin.

Mata hitam pekat itu menatap Yuna tanpa beralih sedikit pun.

"Bagaimana kalau aku nggak menyetujuinya?"

Yuna tersenyum tipis, "Pak Wano, waktu itu kamu yang bilang, kita bisa berpisah kalau sudah bosan. Dengan menahanku seperti ini, kamu membuatku berpikir kalau kamu nggak mampu hidup tanpaku."

Setelah mendengar ucapan Yuna, Wano segera bangkit dari kursinya dan menghampiri Yuna.

Wano meraih dagunya, ujung jarinya terus menggosok lembut pipi putihnya yang halus.

Dia berkata dengan suara yang penuh penekanan.

"Yuna, bukan karena aku nggak mampu, tapi karena aku belum puas!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status