Share

Bab 0016

Zakri segera menjawab, "Bu Yuna ada di kantor Anda sekarang. Dia sudah berada di sini selama setengah jam."

Wano merasakan seolah-olah ada sesuatu yang berat menimpa dadanya dengan keras.

Dengan suara yang agak berat, dia berkata, "Tunda saja jadwal selanjutnya."

Setelah mengatakannya, dia berjalan dengan langkah panjang, bergegas menuju ruang kantornya.

Ketika pintu kantornya terbuka, yang muncul di hadapannya bayangan yang tengah berdiri di dekat jendela.

Gadis itu mengenakan pakaian yang relatif sederhana, kaos hitam dan rok kasual berwarna hijau tua.

Rambutnya dia sanggul dengan longgar.

Terpampang jelas leher jenjangnya yang seputih salju.

Kedua paha ramping itu pun tampak putih berkilau.

Wano hanya melihatnya sekilas, tetapi tubuhnya seolah-olah tengah terbakar.

Dia berusaha menekan gejolak di dalam hatinya.

Dia berjalan ke arah Yuna dengan santai.

Suaranya terdengar dalam dan memikat.

"Apa kamu sudah paham?"

Yuna berbalik perlahan dan menatap Wano dengan tenang.

Wajah cantik itu terlihat memiliki bekas air mata yang belum kering.

Matanya yang memesona masih tampak sembab.

Namun, tubuhnya memancarkan aura yang tegas dan siap menghadapi segala macam rintangan.

Yuna berkata dengan serak, "Wano."

Rintihnya pelan.

Dia menggigit bibirnya yang bergetar dengan erat.

"Bebaskan ayahku."

Yuna hanya mengucapkan beberapa kata, namun itu mewakili banyak hal.

Tentu saja dia tahu, apa konsekuensi dengan mengambil langkah ini.

Dia akan menjadi tipikal orang yang paling dibenci olehnya sendiri. Hanya karena untuk tujuan tertentu, dia rela menjual dirinya sendiri.

Dia juga tahu bahwa dirinya dan Wano takkan bisa kembali ke masa lalu.

Kesenjangan di antara mereka mungkin tidak akan pernah terisi selamanya.

Wano tersenyum dengan sinis. Tangan besarnya yang berurat menyentuh bibir pucat Yuna.

Suaranya dipenuhi nafsu yang tak terbendung.

"Kalau begitu, patuhlah mulai sekarang. Dengan begitu, aku akan menjamin kesejahteraan Keluarga Qalif."

Dia mencium bibir Yuna sambil mengatakannya.

Keduanya sudah lama tidak bersama. Sedikit sentuhan saja bisa membangkitkan hasrat kuat dalam tubuhnya.

Tangannya yang agak kasar dengan lembut mengusap pinggang ramping Yuna.

Tubuh Yuna sedikit bergetar.

Dia tak bisa menahan diri untuk mundur selangkah dan menatap Wano dengan raut kosong.

"Ayahku sedang nggak sehat. Dia nggak boleh berada di penjara terlalu lama. Tolong, keluarkan dia secepat mungkin."

Wano maju mendekat, lalu memeluknya erat. Tangannya meraup wajah Yuna. Dia kemudian menjawab dengan lirih, "Baiklah, kupastikan dia akan pulang dalam beberapa hari."

"Ayahku telah mengorbankan banyak hal untuk proyek itu. Kamu nggak boleh mengeluarkannya dari kontrak!" ucap Yuna tegas.

"Oke."

"Aku nggak akan menjadi orang ketiga. Aku akan mundur saat kamu hendak bertunangan dengan seseorang."

"Apa pun yang akan terjadi, kita akan membahasnya bersama dan menghindari penyesalan."

"Aku akan kembali bekerja di perusahaan, dengan posisi yang tetap," ujarnya mantap.

Wano terkekeh pelan dan menyapukan bibir basahnya ke telinga Yuna dengan lembut.

Tenggorokannya seolah-olah dipenuhi pasir panas, kasar dan serak.

"Aku akan menyetujui apa pun yang kamu katakan. Sekarang giliranku, ya?"

Yuna terdiam, matanya terpejam menunggu badai yang akan segera datang.

Sebuah tangan besar yang panas merayap naik sepanjang pinggangnya, tetapi tiba-tiba berhenti saat mencapai titik terpenting.

Suara dingin Wano terdengar di telinganya.

"Yuna, kamu telah melenyapkan anakku. Apa kamu pikir aku akan dengan mudah membiarkanmu kembali ke sisiku?"

Yuna tiba-tiba membuka matanya dan menatap Wano dengan keterkejutan.

Yang menarik perhatiannya adalah sepasang mata dingin tanpa nafsu sedikit pun.

Ternyata semua emosinya barusan hanyalah kepalsuan.

Tujuan Wano adalah untuk membuatnya menyerah.

Sudut bibir Yuna melengkung dingin.

Dia tidak ingin menjelaskan terlalu banyak tentang masalah anak kepada Wano.

Semakin banyak dia menjelaskan, semakin besar pula kekecewaan yang dia terima.

Yuna menatapnya dengan tenang, suaranya datar tanpa gelombang.

"Kalau begitu, apa maumu?"

Wano mengangkat dagunya dengan lembut , lalu menunduk sehingga hidung mereka saling menyentuh, menciptakan keintiman yang menggoda.

"Anak itu hilang karenamu, jadi kamu harus menggantinya," ucapnya dengan tegas.

Yuna langsung mendorongnya menjauh, menolak dengan tegas, "Nggak bisa!"

"Kalau begitu, aku nggak akan menyetujui satu pun syarat yang kamu ajukan tadi," tegas Wano.

"Wano, jangan berbuat terlalu jauh!"

Mata Yuna terasa sedikit panas.

Dia menatap Wano dengan penuh amarah.

Wano tersenyum tipis dengan sikap gagahnya, kemudian dia menggigit lembut daging di leher Yuna dan berkata dengan malas.

"Tiga bulan lagi, proyek itu akan mulai berjalan lancar. Baru saat itu ayahmu bisa dikatakan aman. Selama tiga bulan ini, nggak bisa menjamin keamanannya," ucapnya dengan tegas.

Kecuali kamu berjanji untuk memberiku seorang anak.

"Kita bisa membuat kontrak, dengan batas waktu tiga bulan. Selama tiga bulan ini, kalau kamu hamil dan melahirkan seorang anak, berikanlah padaku setelah lahir. Setelah itu, aku akan menjamin keamanan keluargamu," ucapnya dengan serius.

"Yuna, ini tawaran yang bagus untukmu, bukan?"

Akhirnya, Yuna menyadari mengapa orang-orang di luar menyebut Wano sebagai iblis.

Ternyata dia benar-benar kejam.

Yuna tak bisa menahan tawa getirnya, "Apa yang akan terjadi kalau aku nggak hamil dalam waktu tiga bulan?"

"Kalau begitu, aku akan membebaskanmu dan kita akan berpisah pada jalan masing-masing. Namun, kemungkinan semacam itu hampir mustahil terjadi," jelas Wano.

Mereka bahkan berhasil memiliki anak setelah satu kali melakukan hubungan tanpa perlindungan.

Dia tidak percaya bahwa dalam waktu tiga bulan, mereka tak bisa mendapatkan satu anak pun.

Dia tidak percaya kalau mereka memiliki anak, Yuna masih akan berpikir untuk pergi.

Yuna tersenyum getir dan langsung menyetujui, "Baiklah, mari kita sepakati saja."

Mengingat kondisi tubuhnya, walaupun diberikan tiga tahun pun, kemungkinannya untuk hamil adalah suatu keajaiban.

Beberapa menit kemudian, sebuah kontrak letakkan di hadapan Yuna, masih terasa hangat karena baru saja dicetak.

Meskipun sudah melakukan berbagai persiapan sebelumnya, tetapi saat Yuna mengambil pena untuk menandatangani, dia masih merasa seperti menandatangani kontrak jual beli diri.

Ujung jarinya bergetar beberapa kali.

Dia menandatangani bagian namanya di atas kertas.

Permainan antar orang dewasa telah resmi dimulai.

Sebelum Yuna sempat meletakkan penanya, Wano memeluknya dari belakang.

Bibirnya yang basah dan panas meluncur ke bagian belakang lehernya.

Entah sejak kapan pakaiannya sudah jatuh di lantai.

Wano memperlakukan Yuna seolah-olah dia memegang permata yang langka. Dia menempatkan Yuna di atas meja kantor yang luas.

Cahaya lampu langit-langit menyilaukan mata Yuna.

Dia menggunakan punggung tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya yang terlalu terang dan mengurangi sensasi yang tidak nyaman tersebut.

Namun, Wano menggeser tangan Yuna, menunduk di telinganya dan dengan suara pelan dia berkata, "Bu Yuna, aku ingin kamu melihat kalau meja kantor ini nggak hanya untuk bekerja, tapi juga untuk kita."

Akhirnya, kantor yang dihias dengan begitu rapi dan penuh aroma buku yang kental tersebut menjadi tempat pesta liar mereka sepanjang malam.

Yuna benar-benar merasakan pengalaman yang berbeda saat bersama Wano.

Wano seakan-akan menggila, dia selalu menikmati melakukan hal-hal yang paling menegangkan dan memalukan.

Yuna tidak tahu berapa lama dia akan disiksa, tapi akhirnya dia tidak tahan lagi dan tertidur.

Ketika terbangun, hari telah berganti.

Saat dia menghidupkan teleponnya, dia mendapati Zanny telah meneleponnya berkali-kali.

Yuna merasa sedikit malu.

Akhirnya, dia memutuskan untuk menelepon Zanny.

Begitu panggilan tersambung, suara pria terdengar dari seberang sana.

"Halo, aku dari kantor kepolisian Kota Destari ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status