Dunia sedang tertidur. Pekat malam menyelimuti raga dalam lelap, menemani sukma dalam bunga mimpi.
“Siapa kau?”
Mata bulat hitamnya menyipit, mencoba menyingkap entitas di balik jubah dan topeng hitam sesosok di depan jeruji. Sisi lain memperhatikan gerak jemari sang sosok yang tampak menggerakkan sesuatu. Sebuah kunci.
Temaram lentera menghasilkan siluet sang sosok yang justru makin menyembunyikan dirinya. Hanya berupa bayang hitam yang mengecewakan.
“Mau apa kau?”
Matanya terus mengawasi sementara raga memasang kuda-kuda. Tubuh yang melemah kehilangan banyak tenaga oleh luka ia abaikan. Tungkai mundur merapat dinding bersamaan sang sosok yang berhasil membuka gembok yang mengunci pintu jeruji besi. Sekarang sang sosok melangkah masuk, mendekat pada gelapnya ruang.
Ketika kau tahu bahwa pekat malam menyimpan berjuta misteri, kau kira, apa yang akan kau temui saat memutuskan terjaga di titik tergelap malam? Dalam setarik napas, dalam sekejap, semua hal bisa terjadi.
“Tuan, lima tahanan di jeruji area perompak menghilang!” Seorang prajurit melapor pada atasannya.
“Apa?! Bagaimana bisa?! Kau beritahukan ini pada penjaga lain. Suruh mereka membawa tim lain dan cari menyebar ke seluruh sudut dungeon, lalu beritahukan pada Tuan Alton segera. Kalian berempat ikut aku mencari di hutan.”
Kokokan ayam jantan adalah pertanda fajar segera sampai pada mentarinya, malam pada paginya. Tidak jarang pula ayam jantan menjadi salah satu makhluk yang pertama kali bangun ketika hari berganti. Namun, di Zanwan, manusianya seringkali terbangun lebih dahulu. Bukan hanya melakukan aktivitas kecil sebagai peregangan tubuh, tetapi juga acapkali sampai berlari dan berkuda, menyisir hutan-hutan yang gelap dan dingin.
Di kediaman Hunt, bahkan sang pemimpin Zanwan pun tidak pada lelapnya.
“Bailey?”
Ascal berdiri di depan kamar Bailey. Pintu kamar yang terbiasa tidak dikunci memudahkan Ascal untuk membukanya.
“Myriam, kau melihat Bailey?”
Sosok yang dicari tidak ditemu membawa langkah Ascal ke perpustakaan, ruang depan, dan ruangan-ruangan lain hingga berakhir di dapur dan ruang makan.
“Saya belum melihatnya, Tuan.”
“Bexter, bagaimana denganmu? Kau menemukannya?”
Atensi Ascal beralih pada asistennya yang muncul dari lorong samping, berharap mendapat jawaban yang diinginkan.
“Tidak, Tuan. Saya ….”
“Ada apa ini?” Jillian muncul dari pintu taman bersama Selise dan Bariela, tanpa sengaja menyela Bexter.
“Kau melihat Bailey?”
“Bailey di bukit timur. Kau sendiri tahu dia selalu ke sana setiap hari menjelang fajar. Memangnya ada apa?” Raut tenang Jillian mulai terusik.
Bexter turut menimpali, “Benar, Tuan. Penjaga di pintu utama dan penjaga gerbang mengatakan Tuan Muda pergi dan belum kembali.”
“Bexter, bawa beberapa orang ke bukit timur. Jemput Bailey sekarang juga!
“Baik, Tuan.”
Jillian menatap kepergian Bexter, sesaat kemudian beralih pada Ascal yang langsung berlalu ke ruang kerjanya. Titah kembali ke kamar diberikan oleh Jillian pada Selise yang langsung mengerti. Sesudahnya, Jillian menyusul Ascal, mencari tahu jawaban atas nada bicara Ascal yang tidak terbantahkan dalam titahnya kepada Bexter. Usai menutup pintu, Jillian mendapati suaminya sedang berjalan mondar-mandir.
“Ada apa?”
“Lima tahanan dungeon dari area perompak menghilang. Tahanan lain melihat seseorang datang membebaskan mereka,” jawab Ascal tanpa menoleh dan masih mondar-mandir.
Sekarang Jillian mendapatkan jawabannya.
“Bagaimana bisa? Bukankah hanya penjaga yang memiliki kuncinya?” Panik tergambar jelas dari suara Jillian, tetapi sejenak kemudian kembali tenang setelah mengatur napas.
“Aku belum tahu. Penyelidikan masih dilakukan. Aku khawatir mereka mengincar Bailey.”
“Apa menurutmu ini bagian dari konspirasi?” Jillian berjalan mendekati lemari kaca berisi buku-buku.
“Maksudmu?” Ascal mendekat.
Nada tenang dari suara Jillian justru menciptakan keheranan sekaligus penasaran.
“Apa kau menyadari perubahan yang terjadi sejak hari pelarian Daniel?”
“Ya, tetapi tidak kusangka akan sejauh ini.”
“Tentu saja.” Jillian menghadap ke samping, menatap Ascal. “Mungkin tidak akan sejauh ini jika Shaw ikut serta, pergi dari Zanwan bersama Daniel. Namun, anak itu memilih tinggal, bahkan membiarkan dirinya ditangkap dan tetap diam menerima hukuman, ditambah fakta bahwa dia dekat dengan Bailey. Menurutmu, apa yang akan dipikirkan tikus-tikus Zanwan itu?”
“Kau benar. Aku tidak memikirkan bagian itu.”
“Aku tidak heran. Pikiranmu sudah terlalu penuh. Oh, kurasa ada hal lain yang membuat mereka melakukan pergerakan yang cukup kentara.”
“Apa itu?”
“Entahlah, tetapi mungkin saja sesuatu yang serius. Mereka tidak akan sejauh ini jika Shaw hanya anak biasa, bukan?”
Jillian mengutarakan kebingungannya seperti pisau bermata ganda. Matanya yang mengunci Ascal malah membuat Ascal terhenyak dan membisu.
Di saat yang sama di dungeon, pencarian tidak menghasilkan apa pun. Nihil. Tahanan yang kabur tidak ditemukan di dungeon maupun hutan sekitarnya. Penjagaan dungeon diperketat, prajurit yang bertugas jaga sejak beberapa hari sebelumnya dikumpulkan untuk pemeriksaan, dan para prajurit lain dari pasukan elite disebar diam-diam ke dua distrik agar tidak membuat khawatir penduduk sampai merambah pula ke tiap perbatasan. Beberapa lainnya bergabung bersama Bexter dan pasukannya; serentak menuju bukit timur.
Di bukit timur, Bailey tidak terusik.
“Kurasa sudah cukup.”
Bailey mengelap keringat di kening dengan punggung tangan kiri, lalu menyarungkan pedangnya. Mentari mulai menampakkan diri. Bailey menyudahi latihan di bukit timur, memacu kudanya kembali ke mansion.
Srahhtttt!
Sebuah anak panah melesat dari arah pukul sebelas, hampir mengenai Bailey kalau saja ia tidak memiringkan badan dan menangkapnya.
Bailey berhenti, menatap anak panah yang melesat padanya, lalu mengedarkan pandang. Tidak ada siapa pun yang terlihat. Ketika Bailey hendak memacu kudanya lagi, lima orang berpakaian serba hitam dengan kain yang menyembunyikan setengah wajah mereka tiba-tiba datang berlari dari arah kanan dan kiri Bailey, mengepung dirinya. Salah seorang dari mereka memanah kaki kuda yang ditunggangi Bailey hingga kuda itu jatuh. Bailey refleks melompat.
“Siapa kalian? Apa mau kalian?” tanya Bailey. Waspada.
“Siapa kami tidaklah penting,” ujar seseorang dengan pedang bergagang hitam. “Dan apa mau kami?”
Ia mendekat beberapa langkah.
“Nyawamu,” jelasnya, menyeringai di balik kain.
Satu orang di arah pukul dua dari Bailey maju, mengayunkan pedang secara vertikal dari atas ke bawah. Bailey mencabut pedangnya, berpindah satu langkah lebar ke belakang, lalu satu langkah kecil ke kanan dan menahan serangan itu. Ia menggerakkan pedangnya searah jarum jam dengan cepat yang membuat tangan sang sosok terpelintir. Dalam satu tarikan mampu melepaskan pedang sang sosok dari tangannya hingga tubuhnya terhuyung ke depan. Telapak tangan kiri Bailey terbuka, memukul ulu hati sang sosok. Mencuri kesempatan, Bailey melepaskan anak panah tadi yang masih digenggam tangan kanannya, membiarkannya terjatuh.
Seorang di belakang Bailey langsung maju menyerang, mengayunkan pedang secara horizontal dari kanan ke kiri. Bailey yang menyadarinya segera membungkukkan badan, kemudian memukul ulu hati orang itu dengan kepala pedangnya.
Dua orang lain maju bersamaan, memaksa Bailey menggunakan kakinya untuk bergerak lincah, menghindar dan memegang pedang dengan kedua tangan.
“Kau lihai juga,” ucap seorang yang hanya berdiri memperhatikan di arah pukul sembilan. “Sayang sekali hidupmu harus berakhir di sini, padahal kau bisa menjadi samurai yang hebat.”
Bailey tidak sempat membalas ucapan sang sosok karena empat orang tadi mulai menyerang lagi.
“Sebaiknya lakukan dengan cepat sebelum orang lain melihat kita.” Seorang dari mereka berujar sebelum menyerang Bailey dengan membabi buta.
Bailey mulai kewalahan, tetapi masih bisa menahan serangan dan mengakibatkan mereka mundur beberapa langkah.
Orang yang sejak awal hanya memperhatikan mulai bergerak maju setelah seorang yang lain menatapnya dengan tatapan aneh, tertangkap oleh penglihatan Bailey. Namun, ia maju bukan untuk menyerang Bailey, melainkan menyerang orang lain yang mencoba meraih sang tuan muda. Ia berdiri tegak membelakangi sang penerus takhta, lalu dengan cepat menyerang lagi begitu keempatnya maju bersamaan. Kemampuan keempatnya tidak sebanding, tidak bisa juga mengimbangi, berakhir mereka dihabisi dengan mudah.
Melalui ekor matanya, ia melihat siluet orang di kejauhan. Harap dalam hatinya siluet itu adalah orang-orang yang akan membantu Bailey, bukan bantuan yang dikirim untuk membantu mereka berlima.
“Dengar. Aku mungkin akan mati setelah ini,” kata orang itu pada Bailey tiba-tiba. Matanya melirik siluet jauh di belakang.
“Ambil panahnya dan bawa pulang. Kusisipkan pesan di sana. Seseorang berpakaian tertutup jubah dan topeng hitam datang ke jerujiku tadi malam, mengumpulkanku bersama empat orang itu, memberi perintah, dan mengancam.”
Ia mengangkat pedangnya, menggores sedikit leher Bailey di bagian samping hingga berdarah. Gerakannya yang terlalu cepat membuat Bailey tidak sempat menghind
“Ada orang yang mendekat di belakangmu. Bersikaplah seperti kita sedang bertarung, maka tidak akan ada lagi tahanan yang diperintahkan untuk melakukan hal seperti ini,” katanya lagi, berbisik.
Bailey menuruti meski bingung dan ragu.
“Empat orang ini adalah temanku. Aku sudah coba memberitahu dan menasehati mereka, tapi mereka tidak mau mendengar, justru bersikeras untuk membunuhmu. Mungkin ada sesuatu yang dikatakan atau diberikan oleh sosok berjubah itu pada teman-temanku karena mereka berempat tidak seperti orang yang kukenal. Terpaksa kuakhiri karena aku tahu ini tidak benar dan aku tahu harus ada yang dikorbankan.” Ia meneruskan, mundur mengambil jarak dan napas. Beberapa detik kemudian ia maju lagi. Gerakannya terlihat lebih serius seiring orang-orang di belakang Bailey makin dekat.
“Tidak ada seorang pun tahu aku pernah bertemu si Jubah Hitam sebelumnya, tapi kau harus percaya, aku pernah bertemu dengannya sebelum tadi malam dan sungguh mereka seperti dua orang yang berbeda. Kau tahu, buncis dan kedelai tidaklah sama meski keduanya adalah kacang.”
“Tuan Muda!” teriak seseorang dari belakang sambil memacu kudanya cepat menuju Bailey. Belasan kuda lain nyaring menghentak tanah di belakangnya.
“Siapa pun sosok di balik jubah hitam yang menemuiku malam tadi, sudah pasti dia bukanlah dari bangsaku, para viking pengembara lautan. Jiwa kami berdiri pada kebebasan. Kami lebih memilih mati daripada menjadi alat untuk kejahatan orang lain yang bertentangan dengan prinsip kami. Kau berhati-hatilah. Tidak semua hal di sekitarmu adalah seperti apa yang terlihat.”
“Tangkap dia!” seru seseorang yang tadi berteriak memanggil Bailey. Bexter.
Belasan prajurit lain menghentak kuda mereka lebih keras, lalu menyebar, mengepung Bailey dan satu-satunya sosok misterius yang masih hidup.
“Tuan Bexter!”Seruan mengudara dari paviliun. Mival yang semula duduk di teras jadi berdiri, menyambut Bexter dengan wajah berseri-seri.“Mival.” Lirih Bexter bergumam, mengarahkan langkah menuju Mival. Ia berhenti tiga langkah di depan Mival, kemudian bertanya, “Sudah malam. Kenapa di sini?”Semestinya itu tidak jadi pertanyaan. Bexter sudah punya jawabannya meski tidak tahu benar atau tidak.“Aku menunggu Tuan Bexter.”“Menungguku? Ada sesuatu?”“Hum!” Mival mengangguk cepat. “Aku ingin tanya soal Bailey dan Shaw.”Jawaban dalam pikiran Bexter memang benar. Hal itulah yang bakal jadi pertanyaan Mival.Bexter mengulas senyum. “Pertanyaan yang bagaimana itu?”“Kudengar Shaw diserang di hutan ketiga. Aku juga dengar Bailey pergi, belum kembali sampai sekarang. Katanya, Bailey pergi menyusul Shaw. Aku juga tidak melihat Bailey hari ini. Apa itu benar?”Muka cerah Mival sirna. Siapa pun yang memperhatikan pasti dapat melihat kecemasan dan rasa ingin tahu yang besar pada Mival saat ini.
“Tuan seorang penerka andal!” Shaw cengar-cengir.“Oh, tentu! Aku hafal bocah-bocah sepertikau.” Amory menunjuk Shaw dengan sendok seraya terkekeh.Cengiran Shaw makin lebar. Suasana hatinya memang membaik, kian jernih pula pikirannya hingga ia teringat akan tujuan kedatangannya. Bertepatan dengan itu, hanya sesaat sebelum Shaw mengeluarkan kata, Amory melempar tanya.“Jadi, apa yang membawamu kemari? Takkan kau datang untuk panasea atau sekadar berkunjung.”Baru saja Shaw hendak membawa topik itu ke udara. Amory ini seperti pemanah berpengalaman, penembak jitu yang mampu segera meraih inti pembicaraan. Kalau ia ada di meja bundar petinggi Zanwan, pastilah banyak permasalahan segera teratasi.Secara alami, karakteristik Amory mulai terukir pada pusat pemahaman Shaw. Ia makin mengenal Amory, makin tahu orang seperti apa paman Bailey ini.“Tugas. Aku ke sini karena tugas.”Shaw mengatur makanannya, mengambil sedikit-sedikit dari tiap makanan yang ada kecuali lauk berkuah cokelat pekat,
Amory kembali dengan sebuah keranjang bambu kecil. Ia letakkan keranjang itu di nakas, kemudian menyalakan penerangan―lentera. Kala ia berbalik, dilihatnya Shaw yang murung menatap Bailey.“Bailey hanya sedang menyesuaikan diri. Tubuhnya sedang beradaptasi. Dia akan segera pulih,” kata Amory sambil mendekati tempat tidur.Shaw beranjak, memberi tempat duduk kepada Amory.“Beradaptasi dengan apa?”“Kemampuan warisan Hunt.”Sesaat, Shaw tidak bertanya lagi. Ia menatap wajah Bailey, melihat mata Bailey terus meneteskan air. Ia baru mengajukan pertanyaan saat Amory mengolesi obat herbal di kening Bailey.“Berapa lama dia akan seperti itu? Berapa lama waktu adaptasinya?”“Setidaknya dua hari. Bisa lebih lama, tapi tidak sampai sepekan.”“Dua hari itu lama. Apa Bailey sungguh akan baik-baik saja? Apa dia akan makan minum atau kita membantunya makan minum?”Amory tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Ia menarik tangan dari kening Bailey, sejenak menatap Shaw.“Kau ini sangat khawatir, ya
“Aku cukup ingat jalannya kalau dari barat,” kata Shaw dengan suara rendah. Ia berpaling tatap ke sungai, lalu meneruskan, “Petunjuk yang aku punya cuma sungai dan tebing dengan air terjun.”“Ya sudah, kita teruskan. Ikuti sungai itu saja.” Tangan basah Bailey menepuk pelan pundak Shaw. “Tak ada waktu berpikir. Pemburu kita sangat banyak.”Shaw tidak enak hati. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Bailey, tetapi ia pun tidak punya ide lain kecuali sesuatu yang barusan hadir di kepalanya.“Sebentar, Bailey.”Shaw mencekal lengan Bailey, menahannya yang hendak berlari. Shaw menarik tangannya setelah Bailey menghadap dirinya dengan sorot tanya. Sesudah itu, kedua tangan Shaw bertemu, tetapi tidak benar-benar menempel telapak tangannya.Semilir angin berembus. Sekejap berselang, Shaw mengarahkan telapak tangannya ke dada Bailey.Bailey keberatan, tetapi matanya spontan memperhatikan penampilan Shaw, lalu ia bergeming―tidak menahan maupun menolak apa yang Shaw lakukan.“Kudengar kau
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P