Share

Jika Aku Membuang Bapak
Jika Aku Membuang Bapak
Penulis: Mustacis

1. Bapak dan Eda

Bapak meraba-raba bagian kursi roda dengan tangan keriputnya yang disertai kekehan senang. Aku pun ikut tertawa sambil mendorong kursi Bapak memasuki rumah kontrakan yang luasnya tidak seberapa. Yah, cukup untuk kutinggali bersama istri, kedua anakku, dan juga Bapak. 

Ruang tengah yang tidak memiliki kursi ataupun sofa itu tampak sepi, lalu Eda–istriku tiba-tiba datang dari arah dalam. Tatapan Eda langsung tertuju pada kursi roda Bapak. Sesaat kemudian wanita itu mendelik tajam padaku sambil terus-terusan melirik Bapak. 

Rasanya aku bisa mengerti apa yang sedang bercokol di hati Eda. Ia pasti keberatan soal kursi roda ini. Mau bagaimana lagi. Bapak tidak bisa terus-terusan merangkak. Aku pun tidak bisa selalu menggendongnya sebab aku bekerja sampai sore.

Kulihat mainan milik Radit, anak pertamaku yang berumur sembilan tahun tergeletak di samping kursi Bapak. Bola-bola squishy yang jika dipencet akan terasa sangat lembut. Bapak cukup sering memainkannya sambil tertawa senang layaknya anak kecil. Sementara kuberikan mainan itu pada Bapak, kubawa Eda ke kamar kami. Bapak baru saja pulang dari rumah sakit dan aku tidak ingin dia mendengar ocehan Eda. 

“Itu pinjam, beli, apa cicil?” 

“Beli, Da.”

Napas Eda langsung berembus kasar. “Langsung lunas?!”

“Iya.” Kualihkan pandangan ke arah lain, ke mana saja asal tidak bersinggungan dengan mata Eda yang sangat tajam menghakimiku.

“Berapa harganya?”

“Itu bekas, kok. Cuma setengah harga.”

“Ya berapa setengah harga?!” 

Aku menarik napas panjang. Agaknya ini akan menjadi obrolan panas yang panjang. “Lima ratus lima puluh.”

Eda melotot. Hidungnya kembang kempis. “Lima ratus lima puluh kamu bilang?! Itu untuk beli beras selama sebulan, Bang?! Mau makan apa kita?” Eda gelisah bukan main. Matanya berputar panik dan jari-jarinya langsung bergerak menghitung sesuatu. 

“Kamu mau kita semua nggak makan, Bang? Kamu nggak mikir?”

“Eda, aku bakal ganti. Aku nggak tega biarin Bapak terus merangkak ke mana-mana.”

“Ya biarin aja! Daripada kita nggak makan! Anak-anak kita aja udah kekurangan gizi, Bang. Mau mereka busung lapar sekalian?”

 

“Hush! Ucapan itu doa, Eda! Jangan sembarangan ngomong.”

“Kamu yang jangan sembarangan! Kenapa nggak bilang-bilang dulu ke aku?”

“Tadi ada yang nawarin. Harganya murah dan masih bagus. Jadi, langsung aku beli. Serius, Eda, nanti aku gantiin.”

“Memangnya ganti dengan apa? Mau ngepet? Kamu narik sampai tengah malam pun paling cuma terkumpul 200 ribu!”

Eda tidak salah. Pekerjaanku sebagai tukang ojek online tidak berpenghasilan sebesar itu. Setiap bulan barangkali aku hanya mampu memberikan 950 ribu untuk Eda, sisa 50 atau 30 ribu kusimpan sebagai pegangan. Jika orderan cukup ramai, maka aku bisa mendapatkan paling banyak satu juta dua ratus ribu. 

Itu pun selalu habis untuk membeli susu formula buat anak kami yang baru berusia tujuh bulan, popok, beras, makanan sehari-hari, dan juga kebutuhan Bapak yang tidak kalah banyak dengan kebutuhan Fauzi, anak bungsu kami. Bapak mesti rutin minum obat, susu, dan juga memakai popok. 

“Untuk beliin Radit sepatu baru aja kamu mikir-mikir, sedangkan untuk Bapak, kursi roda harga setengah juta langsung dibeli! Keterlaluan! Siap-siap aja makan nasi sama kecap asin!” 

Eda mengentakkan kaki lalu meninggalkanku sendirian di kamar yang cukup sempit ini. Jangankan untuk beli beras, bayar kontrakan saja sepertinya harus menunggak lagi bulan ini dan kita harus menghemat penggunaan listrik serta air. 

Meski begitu, aku cukup lega karena Bapak bisa bergerak dengan bantuan kursi roda sesuka hati. Sudah lima bulan Bapak kubawa ke rumah dan kurawat bersama Eda. Meski selalu kekurangan, tapi aku senang bisa tinggal bersama Bapak lagi. 

Keluar dari kamar, aku mendapati Bapak sedang berusaha menggapai kotak mainan Radit di atas lemari plastik yang tingginya hanya sebatas pinggangku. Bapak terlihat susah payah sekaligus antusias. Aku baru saja henggak membantunya, tapi kotak mainan yang sudah berjamur itu tiba-tiba terjatuh dan isinya berhambur keluar.             

“Aduh, Bapak! Saya baru beresin semuanya udah dihamburin lagi! Saya capek tau nggak?” 

Aku mengernyit mendengar nada tinggi Eda tepat di depan Bapak sedangkan Bapak mendongak dengan kedua alis melengkung turun, kelihatan takut dan menyesal. 

“Udahlah, Eda. Biar aku yang beresin nanti.” Kupungut salah satu mainan dan kuberikan pada Bapak. Bapak menerimanya dengan ragu sambil terus melirik Eda. 

Hatiku terenyuh melihat ekspresi Bapak, sedangkan Eda masih berkacak pinggang sambil memelototi kami. 

“Kenapa kamu masih di sini? Nggak narik? Cari penumpang sebanyak mungkin supaya kita bisa beli beras bulan ini!”

Eda selalu realistis. Dia barangkali sangat jarang memikirkan perasaanku dan Bapak, tapi yang dia khwatirkan benar, kami terancam tidak akan makan nasi selama sebulan. 

“Mungkin ada teman yang mau meminjamkan. Tenang dulu.” Kupelankan suara ini agar Bapak tidak begitu mendengarnya. 

“Memang ada teman yang mau meminjamkan terus-terusan? Mereka juga muak pinjamin mulu ke kamu.”

Aku hanya mampu menghela napas untuk kesekian kalinya. Aku juga merasa tidak enak meminjam ke mereka lagi. Penghasilan rekan-rekan kerjaku juga tidak seberapa. Benar kata Eda, mereka punya kebutuhan yang sama dengan kami. Hanya saja mungkin mereka tidak merawat orang tua mereka yang menderita demensia di rumah. 

Kutatap wajah Bapak sekali lagi. Untuk menguatkanku dan memberiku tekad. Bahwa pasti ada jalan. “Aku mau menemui ibu kos dulu, minta keringanan. Jagain Bapak ya, Da.”

Eda hanya mendengkus sambil bersedekap kesal. Aku berlutut di hadapan Bapak dan menyentuh punggung tangannya yang semakin menipis. “Pak, doain Amar, ya. Hari ini semoga ada rejeki untuk kita.” Lalu kukecup jari-jemari Bapak yang bergetar. 

Kurasakan tangan Bapak hinggap di kepalaku lalu diusapnya dengan pelan. Aku terenyuh, dadaku memerih dengan cepat. Lalu tangan Bapak mengacak-acak rambutku sambil tertawa dengan polos.

Bapak sakit cukup lama. Aku menemukannya di jalanan sambil diberikan nasi bungkus oleh pemotor lain. Orang-orang bilang Bapak gila karena mendapat karma lantaran meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ternyata Bapak hanya sakit. Ia menderita demensia entah sejak kapan. Ia terlunta di jalanan. Saat aku membawanya ke rumah, tak lama kemudian, Bapak lumpuh sampai akhirnya tidak mampu berjalan. 

Bapak kembali ke sosok anak kecil. Ia barangkali tidak memahami setiap omelan kasar dari Eda, tapi aku yakin, jauh di lubuk hatinya, Bapak menyadari ketidaksukaan Eda terhadapnya. 

 

Pria tua yang sekarang hanya punya tiga gigi depan itu melambai padaku. Membuka memori lama yang kusimpan rapat-rapat. Dulu aku yang berada di posisi itu, mengantar kepergian Bapak yang hendak berangkat bekerja sambil memberikan senyum harapan bahwa Bapak akan kembali nanti sore. 

“Amar pergi dulu, Pak. Assalamu’alaikum.”

Bapak tidak menjawab salamku. Senyumnya mengembang konyol mengantar kepergianku, sedang Eda memasang ekspresi masam. Tak menyembunyikan kebenciannya pada Bapak.

“Memangnya jasa besar apa yang bapakmu berikan ke hidupmu sampai dia pantas kamu urus seperti itu?” 

Adalah pertanyaan yang hampir setiap hari ditanyakan oleh Eda. Entahlah. Meski telah meninggalkanku selama 20 tahun, aku tak bisa membenci Bapak hingga detik ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
banyak Bersyukur maka ALLAH akan buka pintu BERKAH
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status