Bapak meraba-raba bagian kursi roda dengan tangan keriputnya yang disertai kekehan senang. Aku pun ikut tertawa sambil mendorong kursi Bapak memasuki rumah kontrakan yang luasnya tidak seberapa. Yah, cukup untuk kutinggali bersama istri, kedua anakku, dan juga Bapak.
Ruang tengah yang tidak memiliki kursi ataupun sofa itu tampak sepi, lalu Eda–istriku tiba-tiba datang dari arah dalam. Tatapan Eda langsung tertuju pada kursi roda Bapak. Sesaat kemudian wanita itu mendelik tajam padaku sambil terus-terusan melirik Bapak.
Rasanya aku bisa mengerti apa yang sedang bercokol di hati Eda. Ia pasti keberatan soal kursi roda ini. Mau bagaimana lagi. Bapak tidak bisa terus-terusan merangkak. Aku pun tidak bisa selalu menggendongnya sebab aku bekerja sampai sore.
Kulihat mainan milik Radit, anak pertamaku yang berumur sembilan tahun tergeletak di samping kursi Bapak. Bola-bola squishy yang jika dipencet akan terasa sangat lembut. Bapak cukup sering memainkannya sambil tertawa senang layaknya anak kecil. Sementara kuberikan mainan itu pada Bapak, kubawa Eda ke kamar kami. Bapak baru saja pulang dari rumah sakit dan aku tidak ingin dia mendengar ocehan Eda.
“Itu pinjam, beli, apa cicil?”
“Beli, Da.”
Napas Eda langsung berembus kasar. “Langsung lunas?!”
“Iya.” Kualihkan pandangan ke arah lain, ke mana saja asal tidak bersinggungan dengan mata Eda yang sangat tajam menghakimiku.
“Berapa harganya?”
“Itu bekas, kok. Cuma setengah harga.”
“Ya berapa setengah harga?!”
Aku menarik napas panjang. Agaknya ini akan menjadi obrolan panas yang panjang. “Lima ratus lima puluh.”
Eda melotot. Hidungnya kembang kempis. “Lima ratus lima puluh kamu bilang?! Itu untuk beli beras selama sebulan, Bang?! Mau makan apa kita?” Eda gelisah bukan main. Matanya berputar panik dan jari-jarinya langsung bergerak menghitung sesuatu.
“Kamu mau kita semua nggak makan, Bang? Kamu nggak mikir?”
“Eda, aku bakal ganti. Aku nggak tega biarin Bapak terus merangkak ke mana-mana.”
“Ya biarin aja! Daripada kita nggak makan! Anak-anak kita aja udah kekurangan gizi, Bang. Mau mereka busung lapar sekalian?”
“Hush! Ucapan itu doa, Eda! Jangan sembarangan ngomong.”“Kamu yang jangan sembarangan! Kenapa nggak bilang-bilang dulu ke aku?”
“Tadi ada yang nawarin. Harganya murah dan masih bagus. Jadi, langsung aku beli. Serius, Eda, nanti aku gantiin.”
“Memangnya ganti dengan apa? Mau ngepet? Kamu narik sampai tengah malam pun paling cuma terkumpul 200 ribu!”
Eda tidak salah. Pekerjaanku sebagai tukang ojek online tidak berpenghasilan sebesar itu. Setiap bulan barangkali aku hanya mampu memberikan 950 ribu untuk Eda, sisa 50 atau 30 ribu kusimpan sebagai pegangan. Jika orderan cukup ramai, maka aku bisa mendapatkan paling banyak satu juta dua ratus ribu.
Itu pun selalu habis untuk membeli susu formula buat anak kami yang baru berusia tujuh bulan, popok, beras, makanan sehari-hari, dan juga kebutuhan Bapak yang tidak kalah banyak dengan kebutuhan Fauzi, anak bungsu kami. Bapak mesti rutin minum obat, susu, dan juga memakai popok.
“Untuk beliin Radit sepatu baru aja kamu mikir-mikir, sedangkan untuk Bapak, kursi roda harga setengah juta langsung dibeli! Keterlaluan! Siap-siap aja makan nasi sama kecap asin!”
Eda mengentakkan kaki lalu meninggalkanku sendirian di kamar yang cukup sempit ini. Jangankan untuk beli beras, bayar kontrakan saja sepertinya harus menunggak lagi bulan ini dan kita harus menghemat penggunaan listrik serta air.
Meski begitu, aku cukup lega karena Bapak bisa bergerak dengan bantuan kursi roda sesuka hati. Sudah lima bulan Bapak kubawa ke rumah dan kurawat bersama Eda. Meski selalu kekurangan, tapi aku senang bisa tinggal bersama Bapak lagi.
Keluar dari kamar, aku mendapati Bapak sedang berusaha menggapai kotak mainan Radit di atas lemari plastik yang tingginya hanya sebatas pinggangku. Bapak terlihat susah payah sekaligus antusias. Aku baru saja henggak membantunya, tapi kotak mainan yang sudah berjamur itu tiba-tiba terjatuh dan isinya berhambur keluar.
“Aduh, Bapak! Saya baru beresin semuanya udah dihamburin lagi! Saya capek tau nggak?”
Aku mengernyit mendengar nada tinggi Eda tepat di depan Bapak sedangkan Bapak mendongak dengan kedua alis melengkung turun, kelihatan takut dan menyesal.
“Udahlah, Eda. Biar aku yang beresin nanti.” Kupungut salah satu mainan dan kuberikan pada Bapak. Bapak menerimanya dengan ragu sambil terus melirik Eda.
Hatiku terenyuh melihat ekspresi Bapak, sedangkan Eda masih berkacak pinggang sambil memelototi kami.
“Kenapa kamu masih di sini? Nggak narik? Cari penumpang sebanyak mungkin supaya kita bisa beli beras bulan ini!”
Eda selalu realistis. Dia barangkali sangat jarang memikirkan perasaanku dan Bapak, tapi yang dia khwatirkan benar, kami terancam tidak akan makan nasi selama sebulan.
“Mungkin ada teman yang mau meminjamkan. Tenang dulu.” Kupelankan suara ini agar Bapak tidak begitu mendengarnya.
“Memang ada teman yang mau meminjamkan terus-terusan? Mereka juga muak pinjamin mulu ke kamu.”
Aku hanya mampu menghela napas untuk kesekian kalinya. Aku juga merasa tidak enak meminjam ke mereka lagi. Penghasilan rekan-rekan kerjaku juga tidak seberapa. Benar kata Eda, mereka punya kebutuhan yang sama dengan kami. Hanya saja mungkin mereka tidak merawat orang tua mereka yang menderita demensia di rumah.
Kutatap wajah Bapak sekali lagi. Untuk menguatkanku dan memberiku tekad. Bahwa pasti ada jalan. “Aku mau menemui ibu kos dulu, minta keringanan. Jagain Bapak ya, Da.”
Eda hanya mendengkus sambil bersedekap kesal. Aku berlutut di hadapan Bapak dan menyentuh punggung tangannya yang semakin menipis. “Pak, doain Amar, ya. Hari ini semoga ada rejeki untuk kita.” Lalu kukecup jari-jemari Bapak yang bergetar.
Kurasakan tangan Bapak hinggap di kepalaku lalu diusapnya dengan pelan. Aku terenyuh, dadaku memerih dengan cepat. Lalu tangan Bapak mengacak-acak rambutku sambil tertawa dengan polos.
Bapak sakit cukup lama. Aku menemukannya di jalanan sambil diberikan nasi bungkus oleh pemotor lain. Orang-orang bilang Bapak gila karena mendapat karma lantaran meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ternyata Bapak hanya sakit. Ia menderita demensia entah sejak kapan. Ia terlunta di jalanan. Saat aku membawanya ke rumah, tak lama kemudian, Bapak lumpuh sampai akhirnya tidak mampu berjalan.
Bapak kembali ke sosok anak kecil. Ia barangkali tidak memahami setiap omelan kasar dari Eda, tapi aku yakin, jauh di lubuk hatinya, Bapak menyadari ketidaksukaan Eda terhadapnya.
Pria tua yang sekarang hanya punya tiga gigi depan itu melambai padaku. Membuka memori lama yang kusimpan rapat-rapat. Dulu aku yang berada di posisi itu, mengantar kepergian Bapak yang hendak berangkat bekerja sambil memberikan senyum harapan bahwa Bapak akan kembali nanti sore.“Amar pergi dulu, Pak. Assalamu’alaikum.”
Bapak tidak menjawab salamku. Senyumnya mengembang konyol mengantar kepergianku, sedang Eda memasang ekspresi masam. Tak menyembunyikan kebenciannya pada Bapak.
“Memangnya jasa besar apa yang bapakmu berikan ke hidupmu sampai dia pantas kamu urus seperti itu?”
Adalah pertanyaan yang hampir setiap hari ditanyakan oleh Eda. Entahlah. Meski telah meninggalkanku selama 20 tahun, aku tak bisa membenci Bapak hingga detik ini.
“Par, kamu ada duit cadangan, nggak?” Parwo mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Tatapannya padaku agak ragu dan tidak enak. “Ada sih, Mar, tapi buat nambahin duit hape anakku. Sekarang ngerjain tugas serba pakai teknologi. Ndak cukup pake buku aja. Belum lagi kalau mesti belajar online di rumah. Mau kukasih hapeku, tapi entar aku pake apa buat terima orderan?” Parwo adalah teman seprofesiku. Sama-sama tukang ojek online yang mengharuskan kami selalu siaga di depan layar ponsel menunggu dan menerima orderan. “Kali ini kenapa, Mar? Buat bayar kontrakan?”Aku menghela napas letih. “Kemarin abis beliin Bapak kursi roda, cuma bekas. Eda marah dan nuntut uangnya diganti. Itu memang jatah beli beras buat sebulan, sih.”“Bikin pusing juga masalahmu, Mar. Antara orang tua atau istri. Kalo saya mungkin bakalan marah ke istri, tapi kalo dipikir-pikir memang ada benarnya. Mau makan apa selama sebulan kalo uangnya dipake beli kursi roda?”“Aku lebih marah ke diri sendiri, Par. Karena b
“Bapakmu kencing mulu, Bang! Aku capek!”Aku menghela napas sambil berusaha tetap mempertahankan posisi ponsel di dekat telinga. Di siang yang terik tanpa orderan ini, telepon keluhan dari Eda membuat keletihan semakin menumpuk. “Kan Bapak pakai popok, Da.”“Pakai sih pakai, tapi mesti digantiin mulu! Udah tiga kali kugantiin popoknya. Apa nggak habis duit kita belinya?!”“Jangan ngomong gitu. Itu bapakku, Eda. Kalau habis bakal kucari lagi duitnya.” “Ya udah, cari aja sampai mampus! Kerja keras sampai kamu bisa beli sepuluh popok tiap hari buat bapakmu!”Telepon terputus begitu saja. Dulu Eda menyebut Bapak tanpa embel-embel ‘bapakmu’. Sekarang Eda bahkan menganggap Bapak hanyalah orang tuaku saja. “Kenapa, Mar?”Kali ini Aziz yang tinggal menemaniku. Hari ini orderannya juga sulit masuk. Di antara aku, Parwo, dan Aziz, hanya aku yang selalu sepi penumpang setiap hari. “Rezeki selalu sempit, Ziz. Mau ngerokok aja susah.” Aku sangat jarang berpikir soal rokok lagi. Untuk makan se
“Kita nikah pun dia nggak datang dan nggak nyumbang duit sepeser pun. Kita gelar resepsi dari hasil tabungan kamu dan sebagian lagi minjam di bank. Setelah nikah, kamu malah nyusahin diri sendiri dan nyusahin aku juga.”Jantungku tersentak mendengar celotehan Eda. Suaranya cukup keras. Aku khawatir Bapak yang ada di luar bisa mendengarnya. “Jangan ngomong begitu, Eda. Dia tetap bapakku bagaimanapun juga.”“Dia nggak punya peran dalam hidupmu dan membantu dalam masa-masa sulit. Kamu juga cerita kalau bapakmu sudah nikah lagi setelah meninggalkan keluargamu. Terus mana istri barunya? Katanya dia punya anak tiri, ‘kan? Kok nggak keliatan batang hidungnya?”Suasana yang tadi sempat tenang kini berubah tegang. Dulu sebelum aku membawa Bapak, Eda cukup tenang dan jarang protes meski penghasilanku sedikit. Semenjak ada Bapak, Eda berubah drastis. Setiap hari mengeluh dan protes terus. “Aku sudah kasih lebih banyak dari biasanya, Eda. Kamu harusnya bersyukur. Allah bisa persempit rezeki kita
“Amar, hari ini jajan ciloknya seribu aja, ya? Yang tiga ribunya kita bawa pulang buat ibu dan adekmu.”Aku mengangguk. Diriku yang masih kecil dan lugu menuruti omongan Bapak. Usia sepuluh tahun adalah kenangan yang paling banyak kuingat bersama Bapak. Bapak punya kebiasaan. Dia selalu tertawa dengan suara renyah dan lembut lalu mengacak rambutku. “Adek umur berapa sih, Pak?” tanyaku. “Tiga tahun.”“Emang udah bisa makan cilok.”Bapak tertawa lagi. “Bisa. Yang penting jangan pedis-pedis, nanti perutnya meletus kayak gunung merapi.”Aku tertawa, Bapak pun begitu. Lalu aku bertanya apa itu gunung merapi, seperti apa bentuknya dan kenapa bisa meledak. Bapak menjelaskannya sambil membentuk gunung dengan lengannya. Di tepi jalan yang dipenuhi asap kendaraan, kami duduk dengan sepeda Bapak yang berdiri sambil menunggu penumpang. Cuaca tidak begitu panas. Di tanganku ada setusuk cilok yang kecapnya menetes ke kerikil. Di sore hari menjelang Maghrib, Bapak mengayuh sepeda untuk membawak
Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain.Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu.Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan.Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak.
“Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.”Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku.Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.”Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?”“Kalau segini goceng bisa, Bu.”“Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.”Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada t
Motor yang sudah butut ini mengelilingi jalan poros, masuk ke gang-gang, dan mencari alamat sana-sini. Aku hanya mengandalkan ingatan puluhan tahun yang lalu soal letak rumah kerabat-kerabat Bapak yang dulu sering meminjam uang dan tidak dikembalikan.Sarung yang kuikat di punggung agar Bapak tidak terjatuh kulepas lalu membantunya turun dari motor. Kugendong Bapak di punggung lalu menyusuri lorong perumahan yang bersih. Setiap rumahnya bercat hijau dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Sepertinya kerabat Bapak hidup sangat layak setelah memanfaatkan semua tabungan Bapak.Sambil menenteng tas berisi pakaian Bapak, aku mengingat-ingat nomor rumah Bik Ntun, salah satu sepupu jauh Bapak yang dulu meminjam uang cukup banyak. Aku bisa menitipkan Bapak dengan jaminan utang itu. Mudah-mudahan Bik Ntun masih tinggal di sekitar sini.“Permisi, Bu!” Aku melihat gerombolan i
“Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna. “Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka. “Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.” Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”“Mem