Share

Bab 5 Rumah Kontrakan Paman Santoso

Menjelang siang hari, Bayu sampai di rumah ibunya di Klender.

Bayu bertemu adik perempuan tirinya yang berusia 4 tahun di teras rumah ibunya. Gadis kecil itu sedang bermain boneka dan tentu saja ditemani bocah perempuan yang persis sama dengan wajah adiknya.

Kembaran adiknya duduk di sampingnya hanya melihat tanpa bersuara.

Kedatangan Bayu mengalihkan perhatian keduanya. Mereka menatap Bayu tanpa berkedip. Adik tiri Bayu tiba-tiba berseru memanggil, “Maaa, ada tamu!”

“Kakak, kamu siapa? Mama, ada abang-abang bertamu nih!” gadis kecil itu bertanya lalu berteriak lagi memanggil Ibunya.

Sesosok wanita dewasa dengan fitur wajah yang mirip Bayu keluar dari dalam rumah.

“Bayu! Kamu sudah sampai!” wanita itu berseru sambil tersenyum.

“Ibu! Iya, Bayu sudah datang,” Bayu berkata dan berjalan menghampiri wanita itu lalu mencium tangannya.

“Kamu sehat, 'kan, Yu? Nadya, ayo salim sama kakakmu. Ini Mas Bayu, kakakmu dari desa!” Ibu Bayu yang bernama Anti memerintahkan gadis kecil itu untuk menyalami dan mencium tangan Bayu.

Namun, segera dicegah oleh Bayu.

“Ibu, saya mau cuci tangan dan kaki dulu!” Bayu mengingatkan ibunya bahwa dia baru saja dari luar dan mungkin terpapar kuman dan virus.

“Ya, sudah. Masuk dulu, cuci tangan dan kaki di kamar mandi belakang sana!” perintah Anti untuk menyuruh Bayu masuk ke rumah.

Melepas sandalnya di teras, Bayu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangannya.

Keluar dari kamar mandi, Bayu melihat adik tirinya masih menatapnya penasaran.

“Nadya, kamu lupa ya sama Masmu, Bayu?” Bayu bertanya menggoda adiknya dan mencoba mengelus kepala Nadya. Nadya menghindari tangan Bayu yang mencoba mengelus kepalanya, tetapi matanya tetap terpaku pada Bayu.

“Hahaha, kamu imut banget, ya Nadya?” Bayu berkata mencoba bercanda dengan adiknya.

Anti melihat kelakuan anak gadisnya dan menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil, “Bayu, adikmu belum kenal sama kamu! Terakhir kali kamu ke Jakarta pas Ibu menikah.”

“Nadya sayang, ini kakakmu dari desa! Ayo salim dulu!” Anti mendorong Nadya yang masih kebingungan untuk menyalami Bayu.

“Mama, Nadya punya Kakak ya? Kok, Nadya nggak tahu?” Nadya bertanya dengan heran.

“Iya, nak! Kamu punya kakak laki-laki dari desa! Kakakmu lahir duluan lebih lama dari kamu! Dia tinggal di rumah Kakekmu. Jadi, kamu belum pernah ketemu,” Anti menjelaskan kepada Nadya dengan sabar.

Bayu mengulurkan tangannya ke arah Nadya. Gadi kecil itu akhirnya dengan malu-malu menerima uluran tangan bayu lalu memegangnya dan mencium punggung tangan Bayu.

“Nah, gitu dong! Nggak usah malu sama kakakmu, Nadya yang pintar dan cantik!” Anti memuji keberanian Nadya untuk membesarkan hatinya.

“Bayu kamu belum makan, toh? Ayo kita makan siang dulu. Habis itu, Ibu antar kamu ke rumah kontrakan Pamanmu!”

“Lho, memangnya Paman ada? Dia nggak kerja, Bu?” Bayu menyela Ibunya.

“Kan, bibimu Paramita ada di rumah. Biar kamu sekalian istirahat di sana sambil menunggu Pamanmu pulang kerja! Di sini nggak ada kamar kosong. Nanti, kamu nggak bisa istirahat,” Ibu menjawab.

Mereka bertiga makan siang bersama. Setelah itu, ketiganya berangkat menuju rumah kontrakan Santoso mengendarai sepeda motor matic milik Anti. Bayu dibonceng di belakang dengan adiknya duduk di bagian depan ibunya.

Rumah kontrakan Paman Santoso terletak di daerah Pondok Kelapa.

Dari rumah ibunya yang di Klender, jarak ke tempat Paman Santoso relatif dekat. Menyeberangi jalan Banjir Kanal Timur beberapa kilo meter, mereka sudah sampai di ujung jalan Pondok Kelapa.

Lima menit kemudian, mereka telah sampai di kontrakan Paman Bayu yang tidak jauh dari Pom Bensin Pondok Kelapa.

Bayu mengamati suasana rumah kontrakan Pamannya dari gerbang depan.

Kontrakan ini terdiri dari tiga lantai. Bayu mencoba melihat apakah ada ‘sesuatu’ di sekitar kontrakan karena begitu sampai karena firasat Bayu agak tidak enak.

Bayu melihat ke atap dak beton di atas lantai tiga, sesosok perempuan yang berdiri berwajah pucat dengan kepala berdarah-darah. Dia berurai air mata dan hendak melompat ke bawah.

Tenggorokan Bayu tercekat melihat hal ini.

Dia ingin berteriak mengingatkan, tetapi segera menyadari bahwa yang dia lihat bukanlah manusia yang hidup.

“Dia pasti Kembaran Jiwa seseorang yang telah bunuh diri dari atap!” Bayu menebak.

Perempuan itu melompat. Tetapi anehnya, tiba-tiba perempuan itu muncul lagi di atap. Dia mengulangi lompatannya lagi. Setelah itu, dia mengulangi lagi, lagi dan lagi tanpa henti. Persis seperti yang tertulis di buku Kakeknya.

“Astaga! Ya, Tuhanku!” Bayu menghela napas menyebut nama Tuhan melihat kejadian ini.

Ibu melihat wajah Bayu yang menjadi pucat. Anaknya itu menatap kosong ke arah atap rumah kontrakan, sehingga dengan cepat sang Ibu berkata, “Bayu, kamu kenapa? Apa kamu sakit?”

“Tidak, Bu! Bayu nggak kenapa-kenapa! Cuma agak capek!” bohong Bayu kepada Ibunya.

“Ya, sudah. Ayo, kita masuk ketemu bibimu dulu! Biar dia mempersiapkan kamar buat kamu,” Ibu mengajak Bayu untuk segera masuk ke rumah Pamannya yang terletak di samping rumah kontrakan.

Ibu membuka pagar besi dan memasuki teras rumah. Sambil menggandeng Nadya dan diikuti oleh Bayu, Ibu menekan bel yang ada di samping pintu.

Pintu akhirnya terbuka.

Seorang wanita berwajah tirus mengenakan kaos bergambar kartun dan celana jeans selutut keluar dan berkata, “Oh, Mbak Anti sama Nadya! Masuk, Mbak!" 

"Oh, ini Bayu, kan? Ayo, masuk, masuk!” tambah Bibi Paramita setelah selesai mengamati dia.

“Duduk, duduk! Sebentar, saya ambilkan minum dulu ya!” Bibi berkata mempersilahkan kami duduk dengan santai.

“Walah, Dik Mita! Nggak usah repot-repot! Saya cuman nganter si Bayu kesini. Dia juga capek baru sampai dari Jawa pagi ini!” cegah Ibu Bayu.

“Kalau begitu, langsung istirahat saja di kamar ya, Yu!” balas sang Bibi, lalu kembali berkata, "mari! Saya antar ke kamarmu di rumah kontrakan.”

Bibi Paramita mengajak Bayu ke kamarnya. Bayu akhirnya mengangkat ranselnya mengikuti Paramita, diikuti Ibunya dan Nadya.

Dari rumah Paramita, untuk masuk ke rumah kontrakan terdapat pagar pendek yang memisahkan keduanya. Mereka berjalan menuju ke rumah kontrakan paling ujung bawah di sebelah tangga yang mengarah ke lantai di atasnya.

Anti membuka kunci pintu rumah kontrakan yang akan dihuni Bayu selama dia tinggal di Jakarta. Mereka memasuki ruang depan.

Kontrakan ini dikenal dengan sebutan kontrakan petakan.

Satu rumah kontrakan, terdiri dari tiga ruangan yang dipisahkan pintu di antara ketiganya.

Di dalam rumah, sudah tersedia kamar mandi dan dapur.

Untuk penyewa, biasanya disewakan tanpa isi/perabotan.

Khusus kamar Bayu, Pamannya sudah melengkapinya dengan kursi tamu sederhana di ruang depan. Selain itu, ada tempat tidur di ruang tengah dan kompor gas satu tungku. Beberapa alat masak dan alat makan minum juga sudah disediakan di sana.

“Kamu istirahat dulu, nanti malam kamu bisa ketemu Pamanmu Santoso!” Anti, Ibunya Bayu berkata.

“Dik Mita, saya titip Bayu, ya! Saya mau langsung pulang saja! Saya belum masukin jemuran, takut hujan!” Ibu Bayu pamit pulang bersama Nadya.

“Lho, kok, buru-buru mbak, tidak minum dulu? Apa makan siang dulu?” tanya Paramita bertanya basa-basi.

“Iya, terima kasih! Tidak usah, Kami baru saja makan siang tadi di rumah jadi kami masih kenyang!” kata ibu menolak.

“Ya, sudah, mari mbak saya antar ke depan, Bayu kamu istirahat saja disini, biar ibumu saya yang antar ke depan!” Bibi Paramita berkata.

***

Setelah semua pergi, Bayu duduk di kursi tamu.

Dia merasakan bulu kuduknya tiba-tiba merinding.

Bayu memutuskan untuk memejamkan mata dan berkonsentrasi.

Ketika dia membuka matanya, suasana ruang tamu di kamar Bayu berubah. Dia merasa duduk di kursi sofa berwarna krem. Ada kipas angin tua berdiri di sudut ruangan. Televisi tabung ukuran 20 inchi di atas rak tv butut tiba-tiba menyala di depan Bayu.

Bayu mendengar napas berat di sampingnya.

Dia melirik dari sudut matanya, sesosok pria duduk menonton televisi dengan leher berlumuran darah.

Kaos oblong putih yang dia kenakan bercampur warna merah darah segar.

Bayu menoleh untuk melihat wajahnya, namun Bayu tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

“Tolong, tolong aku!” Suara serak dan lirih terdengar. Ada keputusasaan dan kesakitan di dalam suaranya.

Bayu akhirnya melihat wajah pucat yang bengkok dan terdistorsi. Mulutnya bengkok.

Bayu menegang.

Pria itu tidak berhenti menatap Bayu. Kemudian, tiba-tiba dia berteriak dalam hening. Tidak ada suara keras yang terdengar, namun aksinya itu seakan ada malaikat maut sedang mencabut nyawanya. Secara paksa.

Mulutnya terbuka lebar, matanya melotot kesakitan.

Tiba-tiba semua ilusi menghilang. Sofa, kipas angin, televsi, semua itu menghilang!

Bayu terdiam dan linglung.

“Apa itu tadi? Sangat mengerikan!” kata Bayu terengah-engah dengan keringat sebesar biji jagung di dahinya.

Bayu lari ke kamar mandi tanpa melepas pakaiannya. Berharap pikirannya jernih, dia menyiram kepalanya dengan air dingin. 

“Fiuuhh! Benar-benar menakutkan!” gumam Bayu.

“Aku harus mencari tahu siapa orang itu dan mengapa dia begitu?” tekad Bayu lalu berkata lagi, “tapi, tidak mungkin aku bertanya kepada Bibi? Dia pasti ketakutan atau mengira aku berbohong bila aku bertanya kepadanya.”

Bayu berganti pakaian sambil memikirkan kejadian tadi. Tak lupa mengunci pintunya, dia menuju pagar depan kontrakan.

Setelah mengamati lingkungan sekitar rumah kontrakan, dia melihat ada warung kopi (warkop) di seberang rumah kontrakan, warung kelontong di sampingnya, serta beberapa rumah kecil berderet di samping toko kelontong.

Bayu membuka slot pintu pagar, lalu keluar menuju ke warung kopi. Mungkin, dia bisa mendapatkan sebuah petunjuk?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
putrihostingindonesia
bagus bsnget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status