“Nanti lo mau ke mana abis ini?”
Haris menatap Kirana dengan senyum santai. “Gue tahu kafe kecil yang cozy banget di Montorgueil. Cheesecake-nya lo banget. Dan baguette-nya gak keras kayak alat fitness.”
Kirana tertawa pelan. “Gas!”
***
Paris sibuk seperti biasa. Tapi di antara manusia-manusia sibuk itu, waktu seolah melambat di meja sudut luar sebuah kafe kecil—tepat di tempat Kirana dan Haris duduk, berbagi cerita, tawa, dan kenangan yang sudah dua dekade tertinggal.
Haris dan Kirana sebenarnya sudah saling mengikuti di I*******m sejak lama. Tapi ini, ini adalah kali pertama mereka benar-benar bertemu langsung setelah sekian lama. Bukan sekadar like atau emoji di story. Bukan komentar basa-basi. Ini nyata. Suara. Mata. Tawa. Napas.
“Udah berapa lama lo di sini?” tanya Haris.
“Baru mendarat tadi pagi. Jet lag, pegal, lapar, semua rasa bercampur. Tapi gue nekat aja—kuliah lagi. Kebetulan gue dapet beasiswa juga…”
Haris mengangkat alis. “Masih jadi Kirana yang dulu ya. Spontan dan bikin orang geleng-geleng kepala.”
Kirana mengangkat bahu. “Daripada nyesel.”
Hening sebentar. Angin musim gugur menyapu pelan. Langit berubah jingga.
“Lo sendiri udah lama di Paris?”
“Udah setahun. Rencananya bentar aja, mau lanjut ke Italia, atau Yunani. Tapi entah kenapa... masih betah. Eh ternyata semesta pingin gue stay di sini lebih lama ada maksudnya.”
“Maksudnya?”
“Iya, kalau gue udah berangkat ke Italia kan gue gak kan ketemu lo barusan…Ini Namanya takdir.” Haris gak menyangka kata-kata itu terucap dari mulutnya. Agak canggung rasanya.
“Kayaknya semua orang di Paris selalu bilang ‘betah’,” gumam Kirana.
“Atau mungkin orang-orang kabur dari sesuatu dan belum siap mulai lanjut jalan?” ujar Haris pelan.
Kirana menghela napas. “Makanya makasih ya, Ris… udah ngajak ngobrol. Akhirnya ada temen ngobrol yang gak ngomongin ‘kapan balikan’ atau ‘kapan nikah’.”
“Gue gak akan tanya itu,” kata Haris. “Gue juga kabur. Gue masih cari tujuan gue mau ngapain di hidup gue Ran.”
Kirana menatapnya, lalu tersenyum. “Tapi kenapa lo belum-”
Kirana terkejut jari telunjuk Haris menahan bibir Kirana agar tidak lanjut bicara. “Ssst! Jangan buat gue jadi mikir... salah nemu lo tadi.”
Mereka tertawa bersama. Lalu hening lagi. Tapi hening yang hangat.
“Eh, lo masih gambar?”
“Masih. Sekarang malah jadi kerjaan. Creative director, freelance designer, ilustrator... you name it. Kerja remote. Tapi kadang juga pengangguran.”
“Buset. Kerja keras banget lo!” Kirana tertawa kecil, tapi ada bayangan di matanya. “Gue kangen masa kecil kita dulu Ris. Gak ada beban. Gak banyak mikir...”
“Iya gue juga kangen banget. Apalagi sama -”
Haris hendak melanjutkan bicaranya tapi ia melihat Kirana merogoh ponselnya yang berdering.
Dari: NANDA
Lo mesti tau! Gw baru dapet undangan kalau Andra mau nikah dua minggu lagi, Kiran…
Ia menatap layar ponsel itu lama. Rasanya mendadak dingin, bukan dari angin Paris yang mulai menusuk, tapi dari sesuatu yang pecah di dalam dada. Haris memperhatikan perubahan ekspresinya. “Kir? Lo gak apa-apa?”
Jantung Kirana mencelup ke perutnya. Dunia sekitar terasa blur. Dentingan gelas dan suara musik kafe tiba-tiba menjauh.
Dari: NANDA
Gue dikirimin undangannya. Andra bilang, lo gak diundang. Tapi minta gue dateng. Are you okay?
Kirana menatap layar ponselnya. Jemarinya gemetar saat membuka undangan digital itu. Wajah Andra tersenyum di samping wanita lain. Wanita yang akan menjadi istrinya. Rasanya seperti seseorang mencabut napasnya pelan-pelan. Kirana tidak menyangka secepat ini Andra menemukan orang yang menggantikan posisinya dan langsung jadi istrinya. Di sisi lain, Haris memperhatikan wajah Kirana memucat, tangannya gemetar. Kirana memegang dadanya yang terasa sesak. “Ran? Lo kenapa?”
Kirana menatap layar. Tangannya gemetar membuka undangan digital itu. Foto Andra di samping perempuan lain. Senyuman yang pernah jadi miliknya.
“Astaga…” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Ran?” suara Haris kini serius. Ia mencondongkan tubuh. “Lo gak apa-apa?”
“Gue pikir... gue udah sembuh. Udah kuat,” lirih Kirana. Air matanya jatuh tanpa aba-aba. “Tapi ternyata... enggak Ris. Duh…sorry…kita baru ketemu tapi gue udah gini cengeng aja…”
Haris tak berkata. Ia hanya menyentuh punggung tangan Kirana, perlahan.
“Lo gak harus pura-pura kuat. Gak sama gue Ran...”
Kirana memalingkan wajah, tapi dalam hatinya, kenangan itu menyeruak.
***
Hari sudah malam, Kirana dan Andra kembali ke villa setelah menghabiskan waktu di Malioboro dan menghabiskan waktu di melihat candi-candi. Suasana gunung cukup dingin. Mereka duduk di sofa yang lebar sambil di menonton TV. Kirana menyandarkan kepalanya ke bahu Andra.
“Happy 5 years anniversary yank…aku udah nungguin momen ini bertahun-tahun tau yank…momen kita berdua aja. Liburan bareng…”
Wajah Andra melirik ke Kirana. Sangat dekat. Jantung Kirana berdebar kencang. Ia tidak pernah sedekat dan benar-benar punya privasi berdua saja seperti ini. Orang tua Kirana pasti tidak akan memperbolehkan mereka. Kali ini ia berhasil berbohong ada acara kantor.
Kirana dapat merasakan tangan Andra merangkul tubuhnya Kirana dengan lembut. Hangat. Seolah tidak membiarkan ia jauh sedikit pun. Wajah Andra mendekat dan Kirana entah kenapa tidak berniat untuk mundur, dan untuk pertama kali dalam hidupnya Kirana merasakan ada bibir lembut yang menyentuh dan melumat bibirnya. Mereka berciuman lembut dan mesra, namun lama kelamaan gairah memompa hormon mereka seolah tidak ingin menyia-nyiakan momen private mereka berdua ini. Andra membisikkan kata-kata lembut di antara napasnya. Jemarinya Andra perlahan mengusap tubuh Kirana dari kepala…leher…dan dada, lalu menyusup di balik kain Kirana, hangat, tapi perlahan-lahan melewati batas ke bawah. Kali ini Kirana menikmatinya. Tapi…hati sesungguhnya gelisah.
“Boleh ya yank…toh kita pasti nikah juga kan yank nanti. Gak usah takut. Gue bakal tanggung jawab kok...” Andra berbisik penuh nafsu di telinga Kirana.
Kirana ingat bagaimana jantungnya berdegup kencang. Batin Kirana berkecamuk, antara cinta yang hangat dan prinsip. Tubuhnya lemas. Kirana cinta tapi ia takut. Ia menggeleng pelan sambil menahan tangan Andra, “Ja-jangan ya yank…nanti aja kalau udah resmi ya please…”
***
Kirana menatap layar ponsel di tangannya sekarang. Mungkin di mata Andra, cinta harus dibuktikan dengan tubuh. Tapi Kirana tidak bisa. Ia tidak mau. Dan sejak saat itu, ia sering bertanya: Kenapa aku yang ngerasa kotor?
Kirana menarik napas panjang, terisak pelan. “Ris, menurut lo... egois gak sih ninggalin seseorang demi diri sendiri?”
“Gue malah mikir lo berani banget, Kir.”
Kirana mengangguk perlahan. “Gue sayang sama dia, Ris. Tapi gue juga... sayang sama hidup gue.”
Hening lagi. Tapi kali ini, penuh pemahaman.
“Kalau kita ketemu 10 tahun lalu, waktu gue belum kenal Andra…” Kirana berhenti sejenak.
“Lo bakal suka sama gue gak?”, Kirana bertanya sambil mencoba tertawa mencairkan suasana. Ia mengelap pipinya yang basah dengan tangan.
Haris menatapnya, lama. Lalu tersenyum tipis. “Kayaknya... gue udah suka dari sebelum lo jadi model komik gue Ran.”
Kirana tertawa, tapi dengan mata basah. “hahahaha lucu banget lo! Makasih loh udah ngehibur gue…”
Haris menggeleng sambil tersenyum. “Enggak kok. Serius…”
Udara malam Paris menggigit lembut kulit. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya kuning keemasan, sementara dari kejauhan, suara musik jalanan bercampur dengan riuh obrolan kafe. Kirana berjalan pelan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku coat.Rasanya Kirana malas sendirian di apartemen. Jalan-jalan ke taman adalah satu-satunya pilihan yang ada dipikirannya. Kirana ingin menenangkan diri hari ini. Sendiri.“Lo yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Haris, tiba-tiba berjalan setengah langkah di sebelahnya.Kirana mengangguk pelan. “Eh? Gue bosen di apartemen Ris...Lo lagi ngapain di taman malem-malem gini?"Haris tersenyum, "Gue abis beli makan malem aja tadi...Lo ngapain?""Kalau gue diem di apartemen, kepala gue pecah, Ris. Gue gak mau sendirian sama pikiran gue.”Haris mengangguk, memahami. “Fair enough. Lagian Paris tuh justru cantik banget kalo malem. Bukan cuma menara Eiffel doang.”Mereka melewati jembatan kecil di atas Seine. Air sungai memantulkan cahaya lampu kot
Pagi Paris terasa baru, seakan kota ikut merapikan napasnya. Kirana berdiri di depan cermin kecil di dapur Rue Carducci, mengikat rambut setengah tinggi. Di meja, Haris sudah menyiapkan dua cangkir: teh untuknya, kopi untuk Kirana—kebiasaan terbalik yang mereka tertawakan tiap pagi.“Lo yakin gak mau tukeran minuman?” goda Haris.“Gak. Gue butuh kopi. Lo butuh tenang,” jawab Kirana, mencubit lengannya singkat.Di punggung kursi, jas biru gelap Haris tergantung rapi. Sejak semalam ia sibuk menuntaskan slide presentasi untuk konferensi desain di Swiss—seminggu penuh, panel dan workshop. Kirana masih belum terbiasa dengan kata “seminggu”.“Lo berangkat lusa, kan?” tanya Kirana, memeriksa kalender ponselnya.Haris mengangguk. “Geneva dulu dua hari, habis itu Zurich. Balik minggu depan, sore. Gue kirim itinerary ke lo ya…siapa tau mau dating kelewat kangen…”Kir
Sinar matahari menembus tirai tipis ruang tamu, membelai tubuh Kirana yang masih terlelap di pelukan Haris. Selimut tipis yang menutupi mereka jatuh sedikit, memperlihatkan leher Kirana yang bertanda merah lembut hasil semalam mereka bercumbu. Haris membuka mata lebih dulu, merasakan aroma samar tubuh Kirana yang menempel di kulitnya.Ia tersenyum kecil, antara lega dan masih tidak percaya. Perempuan yang selama ini ia jaga jaraknya, kini tertidur nyaman di lengannya. Wangi tubuhnya sangat ia sukai dan pasti ia rindukan. Bulu matanya lentik. Bibirnya yang kecil dan lembut menjadi hal yang paling bikin Haris candu sepertinya. Kirana teman kecilnya, yang sudah terpisah bertahun-tahun lamanya, kini ada dalam pelukannya. Ternyata rencana Tuhan benar-benar luar biasa.Namun, di balik rasa bahagia itu, ada juga perasaan lain yang menyelinap: tanggung jawab. Haris sadar, apa yang terjadi malam tadi bukan sekadar pelepasan nafsu, tapi sebuah pintu besar yang sudah terbuka. Ia harus bisa memast
Haris bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat ketika jemarinya menyentuh lekuk lembut di balik daster tipis Kirana. Ia tahu ini bukan hanya tentang tubuh—ada sejarah panjang air mata, luka, dan rasa takut di balik tatapan mata Kirana yang kini penuh keberanian.“Apa lo yakin, Ran?” bisiknya, hampir tidak terdengar.Kirana menatapnya dalam-dalam, senyum tipisnya lebih seperti jawaban daripada kata-kata. “Ris… gue nggak mau jadi tahanan masa lalu gue sendiri lagi. Gue juga ga ngerti tapi, lo buat gue ngerasa aman dan nyaman. Perasaan tulus lo...gue kerasa banget...”Haris berkaca-kaca mendengar perkataan Kirana."Ris, orang tua gue pingin gue happy sama lo. Orang tua gue pasti se
Pagi itu, udara Paris masih dingin walau matahari sudah naik. Kirana duduk di meja makan, mengaduk bubur ayam ala Haris. Ia tidak menyangka momen malam itu bisa terjadi juga dalam hidupnya. Terlebih, akhirnya ia melepaskan keperawanannya ke Haris. Pria yang baru saja kembali ke hidupnya setelah sekian tahun. Tapi ia belum bisa benar-benar lepas. Di satu sisi, Kirana merasa senang dan lega. Di sisi lain, ada perasaannya yang belum tuntas.“Ran, gue pengen ajak lo keluar,” kata Haris yang tiba-tiba datang setelah menerima telepon dari Prof. Thérèse tadi.Kirana mengangkat alis. “Kemana?”“Kelas meditasi. Di Rue Saint-Honoré. Temennya Prof. Thérèse yang rekomendasiin. Katanya bagus buat orang yang lagi… banyak pikiran.”Kirana menghela napas, menatap buburnya. “Ris… gue belum tentu bisa fokus.”“Seenggaknya bisa kita coba dulu Ran. Kadang duduk di ruangan yang tenang aja udah beda rasanya. Yuk! Gue temenin ko...”***Ruang meditasi itu sederhana: lantai kayu, dinding putih, dan jendela be
Ada perasaan yang tak ia duga: bukan ledakan, melainkan hangat yang merayap, seperti air yang menemukan cekungan dan tinggal. Haris mengecup pelipisnya berulang, turun ke bawah sedikit demi sedikit seolah setiap sentuh adalah cara baru berkata “gue di sini”. Kirana menyambut, memejam, membiarkan air matanya jatuh satu-dua—bukan duka yang lama, melainkan lega yang lambat. Untuk pertama kalinya setelah banyak kehilangan, ia merasa tubuhnya bukan medan perang, melainkan rumah.Haris mengecup leher Kirana, seolah mengaktifkan semua sensor yang ada. Lalu perlahan Kirana dapat merasakan membuka Haris mencoba kancing Kemeja. "Sayang...Gue ijin buka ya...Boleh?""Boleh Ris...", desah Kirana sambil tersenyum. Haris melihat dua buah gunung kembar yang mulus dan indah. Ia kecupi perlahan dan isap dengan lembut, membuat Kirana mendesah juga. Kirana merangkul tubuh Haris, mengusap punggungnya lembut. Mengikuti gerakannya.Seperti dua sejoli yang sudah lama saling mendamba dan menahan diri, semuan