Satu tahun kemudian
“Bienvenue à la ville d’amour!”
Kirana sempat terkejut. Supir taksi itu seperti aktor teater yang baru menyelesaikan aksi dramatisnya. Ia membentangkan tangan lebar-lebar di trotoar, wajahnya penuh semangat, seolah berkata: "Lihat! Inilah Paris!"
“Selamat datang di kota cinta, Mademoiselle!”
Kirana mengangguk pelan, malas. Senyumnya lelah. Tubuhnya remuk. Matanya mengantuk. Tapi hatinya... hati itu masih mencoba untuk tetap berdetak. Lagipula cinta-cinta, ia tidak ingin dengar kata-kata itu dulu saat ini. Kakinya pegal, tengkuknya kaku, dan perasaannya masih setengah kosong. Ada sesuatu yang menghangat di dalam dadanya—entah rasa lega karena berhasil sampai, atau rasa takut karena kini ia sendirian.
“Merci, Monsieur…” ucapnya pelan sambil mengangkat koper.
Résidence Étudiante, 4ème étage
8–10 Rue Carducci, 75019 Paris
Gedung itu tidak seperti yang ia bayangkan. Tidak ada balkon kecil dengan tanaman gantung atau tirai renda seperti di serial Emily in Paris. Justru lebih seperti flat mahasiswa—dingin, modern, dan... tidak ada lift.
"Empat lantai. Manual. Nice…" gumamnya sarkas.
Baru satu koper dinaikkan ke dalam lobi, seorang pria tua dengan janggut putih menghampirinya. Ia sedang menyapu halaman.
“Excusez-moi, Monsieur! Enchantée. Je suis Kirana.” (Permisi, Pak. Senang bertemu Anda. Saya Kirana.)
“Ah, enchantée, mademoiselle Kirana! Je suis Eric. Nanda sudah kasih tahu.”
Kirana melihat ke void tangga dan tersenyum palsu. “Harus banget lo kosannya di lantai 4 Nanda Martadipura?!”, teriak Kirana dalam hati. Maka dengan berat hati naiklah mereka ke lantai empat—anak tangga demi anak tangga yang seperti tidak berujung dengan susah payah.
***Kirana menarik nafas panjang begitu pintu terbuka. Kamar studio itu dingin, warna abu-abu mendominasi. Hampir tidak ada sentuhan feminin.
"Ya ampun, Nanda... ini kamar cowok banget," gumamnya.
Ia menjatuhkan tubuh ke sofa dan tertawa sendiri saat melihat jendela apartemen seberang. Seorang pria sedang berdiri tanpa baju, sibuk mengganti kaus sambil menyanyi kecil. Bahunya lebar, tulang belikatnya membentuk garis tegas di bawah cahaya sore. Tanpa sadar napas memburu, Kirana menelan ludahnya, ia teringat Andra yang berpostur tidak jauh berbeda—terngiang wangi tubuhnya. Kirana lupa gorden kamarnya terbuka lebar, tersadar, sontak Kirana langsung menarik gorden cepat-cepat dan tidak sanggup menahan tawanya, "Astaga... ini yang lo maksud 'view premium' Nan? Sial!".
Kirana menggeleng-gelengkan kepalanya, membuka koper, dan tidak lama ponselnya berdering.
Nanda.
Ia angkat dengan senyum lelah.
“Halo, sister! Welcome to Paris! Gimana, udah naik gunung empat lantai belum?”
Kirana tertawa, tipis. “Naik tangga sambil bawa koper tuh kayak ikut gym gratis tapi sambil nyumpahin hidup.”
“Hahaha. Maaf ya. Tapi view-nya bagus kan? Bisa lihat Parc des Buttes-Chaumont. Cowok sebelah kamar masih suka telanjang kan?”
“Barusan banget! Nandaaa…” Kirana tertawa geli.
Tapi tawa mereka meredup pelan ketika Nanda bicara lagi, lebih pelan kali ini.
“Ngomong-ngomong… gue tadi liat story-nya temennya Andra. Dia sekarang… ya gitu deh. Gonta-ganti cewek, dugem tiap weekend. Muka dia kayak... gak kenal hidup.”
Kirana terdiam. Dadanya terasa kosong. Tawa hilang.
Kirana teringat memori dia bersama Andra. Saat ia kerap memeluknya dari belakang dan menciumi lehernya. Napasnya terasa hangat di tengkuk yang hampir membuatnya lemah. Apalagi saat tangannya yang lembut menggerayangi perut dan dadanya itu, ia merasa dicintai, meski di bawahnya ada sesuatu yang terus membuatnya ingin kabur karena takut tidak bisa menahan diri.
Tapi semakin ia ingat semakin dadanya sakit saat ia memingat suara bentakan Andra malam itu. Ke tatapan dingin yang menuduh.
Ke kata-kata yang menusuk: "Berapa sih harga mimpi lo? Biar gue bayar sekarang!"
Tangan Kirana gemetar. Matanya berkaca.
“Nda…” ucapnya lirih, “…boleh gak jangan bahas itu dulu? Gue belum sehari di Paris. Gue cuma pengen nafas sebentaaar aja…boleh ?”
“Maaf Ran… gue khawatir.”
“Gue juga khawatir Nan. Sama diri gue sendiri.”
(Suaranya pecah.)
“Kadang gue masih ngerasa...gue salah. Karena gue tinggalin dia. Tapi kalau gue tetap di Bandung, gue gak akan pernah pulih. Semua tempat di sana kayak nyimpen bayangan dia.”
Nanda menghela napas. “Dia kelihatan masih sayang sama lo, Ran.”
“Tapi cinta gak cukup, Nda. Kalau cinta bikin lo ngerasa kecil tiap hari, itu bukan cinta. Itu penjara. Itu obsesi.”
(hening)
“Aku juga sayang sama dia. Tapi aku juga sayang sama hidup aku, Nda. Aku pengen punya hidup yang bisa aku kendaliin sendiri. Bukan yang tiap ketawa sama temen cowok harus minta maaf kayak penjahat. Orang tua gue, Andra, semua ngatur gue harus ngapain harus kemana. Gak boleh gue punya ha katas waktu gue? keinginan gue? Punya mimpi juga gak boleh ?!”
Nanda tak menjawab lama, sebelum akhirnya berbisik, “Sabar ya, Ran. Kalian berdua sobat gue. Andra juga ngontak gue pas liat story lo pergi ke Paris. Dia nanyain lo kemana. Tapi gue gak bilang lo tinggal di tempat gue.”
Kirana tersenyum tipis, meski air mata sempat jatuh satu.
“Nan, Gue mau istirahat dulu ya… gue capek.”
***
Beberapa saat kemudian, Kirana duduk sendiri di bangku taman. Tangannya memegang roti baguette keras yang dibelinya di minimarket dekat apartemen.
Kirana menatap danau di tengah Parc des Buttes-Chaumont.
Tadi telepon Nanda membangunkan perasaan yang berusaha ia kubur dalam-dalam. Perasaan gagal. Perasaan bersalah. Perasaan dicintai, tapi tercekik.
“Kalau cinta itu indah,” gumamnya pelan, “kenapa aku harus kabur sampai sejauh ini?”
Angin sore menyentuh pipinya. Rambutnya berantakan. Tapi ada sesuatu yang terasa benar. Ia sendirian, tapi ia bebas. Tak ada yang mengatur. Tak ada yang memelototi ponsel hanya karena ia tertawa dengan teman kerja. Ia menggigit roti—keras, asin, dan hambar.
Sambil membuka peta kampus dan menandai jalur bus, ia mencoba menenangkan napasnya. Mungkin ia bisa belajar jalan kaki ke kampus nanti, atau bawa sepeda. Tapi malam ini...
...ia hanya ingin bernapas.
Kirana duduk di atas rumput sambil menarik napas. Menengadah ke langit. Langit senja mulai jingga, seolah memeluknya dan berkata:
"You did great today, Kiran."
Lantunan gitar klasik mengalun pelan dari arah danau tidak jauh dari tempatnya berbaring. Melodi “Yesterday” dari The Beatles mengalir lembut seperti mimpi yang menolak bangun.
Tiba-tiba, suara musik itu berhenti berganti sebuah suara menyapa dari arah samping. Suara itu hangat, tenang, dan anehnya… familiar.
“Kirana?”
Kirana menoleh cepat. Matanya menyipit.
Seorang pria berdiri dengan gitar di tangan kanannya. Rambutnya sedikit berantakan, dagunya ada sedikit brewok tipis tapi tetap rapih. Ia mengenakan kaus putih dan jaket denim usang sempurna dengan tubuh tingginya..
Kirana menelan ludah. Dunia seperti berhenti sejenak.
“Haris?”
Ia tidak tahu harus senang atau panik. Ada sesuatu yang menegang di tengkuknya. Dulu Haris bukan tipe yang bisa membuat jantungnya deg-degan. Tapi sekarang…Yang pasti, dada Kirana kembali penuh—bukan oleh luka, tapi oleh sesuatu yang ia belum tahu harus dinamakan apa.
Udara malam Paris menggigit lembut kulit. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya kuning keemasan, sementara dari kejauhan, suara musik jalanan bercampur dengan riuh obrolan kafe. Kirana berjalan pelan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku coat.Rasanya Kirana malas sendirian di apartemen. Jalan-jalan ke taman adalah satu-satunya pilihan yang ada dipikirannya. Kirana ingin menenangkan diri hari ini. Sendiri.“Lo yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Haris, tiba-tiba berjalan setengah langkah di sebelahnya.Kirana mengangguk pelan. “Eh? Gue bosen di apartemen Ris...Lo lagi ngapain di taman malem-malem gini?"Haris tersenyum, "Gue abis beli makan malem aja tadi...Lo ngapain?""Kalau gue diem di apartemen, kepala gue pecah, Ris. Gue gak mau sendirian sama pikiran gue.”Haris mengangguk, memahami. “Fair enough. Lagian Paris tuh justru cantik banget kalo malem. Bukan cuma menara Eiffel doang.”Mereka melewati jembatan kecil di atas Seine. Air sungai memantulkan cahaya lampu kot
Pagi Paris terasa baru, seakan kota ikut merapikan napasnya. Kirana berdiri di depan cermin kecil di dapur Rue Carducci, mengikat rambut setengah tinggi. Di meja, Haris sudah menyiapkan dua cangkir: teh untuknya, kopi untuk Kirana—kebiasaan terbalik yang mereka tertawakan tiap pagi.“Lo yakin gak mau tukeran minuman?” goda Haris.“Gak. Gue butuh kopi. Lo butuh tenang,” jawab Kirana, mencubit lengannya singkat.Di punggung kursi, jas biru gelap Haris tergantung rapi. Sejak semalam ia sibuk menuntaskan slide presentasi untuk konferensi desain di Swiss—seminggu penuh, panel dan workshop. Kirana masih belum terbiasa dengan kata “seminggu”.“Lo berangkat lusa, kan?” tanya Kirana, memeriksa kalender ponselnya.Haris mengangguk. “Geneva dulu dua hari, habis itu Zurich. Balik minggu depan, sore. Gue kirim itinerary ke lo ya…siapa tau mau dating kelewat kangen…”Kir
Sinar matahari menembus tirai tipis ruang tamu, membelai tubuh Kirana yang masih terlelap di pelukan Haris. Selimut tipis yang menutupi mereka jatuh sedikit, memperlihatkan leher Kirana yang bertanda merah lembut hasil semalam mereka bercumbu. Haris membuka mata lebih dulu, merasakan aroma samar tubuh Kirana yang menempel di kulitnya.Ia tersenyum kecil, antara lega dan masih tidak percaya. Perempuan yang selama ini ia jaga jaraknya, kini tertidur nyaman di lengannya. Wangi tubuhnya sangat ia sukai dan pasti ia rindukan. Bulu matanya lentik. Bibirnya yang kecil dan lembut menjadi hal yang paling bikin Haris candu sepertinya. Kirana teman kecilnya, yang sudah terpisah bertahun-tahun lamanya, kini ada dalam pelukannya. Ternyata rencana Tuhan benar-benar luar biasa.Namun, di balik rasa bahagia itu, ada juga perasaan lain yang menyelinap: tanggung jawab. Haris sadar, apa yang terjadi malam tadi bukan sekadar pelepasan nafsu, tapi sebuah pintu besar yang sudah terbuka. Ia harus bisa memast
Haris bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat ketika jemarinya menyentuh lekuk lembut di balik daster tipis Kirana. Ia tahu ini bukan hanya tentang tubuh—ada sejarah panjang air mata, luka, dan rasa takut di balik tatapan mata Kirana yang kini penuh keberanian.“Apa lo yakin, Ran?” bisiknya, hampir tidak terdengar.Kirana menatapnya dalam-dalam, senyum tipisnya lebih seperti jawaban daripada kata-kata. “Ris… gue nggak mau jadi tahanan masa lalu gue sendiri lagi. Gue juga ga ngerti tapi, lo buat gue ngerasa aman dan nyaman. Perasaan tulus lo...gue kerasa banget...”Haris berkaca-kaca mendengar perkataan Kirana."Ris, orang tua gue pingin gue happy sama lo. Orang tua gue pasti se
Pagi itu, udara Paris masih dingin walau matahari sudah naik. Kirana duduk di meja makan, mengaduk bubur ayam ala Haris. Ia tidak menyangka momen malam itu bisa terjadi juga dalam hidupnya. Terlebih, akhirnya ia melepaskan keperawanannya ke Haris. Pria yang baru saja kembali ke hidupnya setelah sekian tahun. Tapi ia belum bisa benar-benar lepas. Di satu sisi, Kirana merasa senang dan lega. Di sisi lain, ada perasaannya yang belum tuntas.“Ran, gue pengen ajak lo keluar,” kata Haris yang tiba-tiba datang setelah menerima telepon dari Prof. Thérèse tadi.Kirana mengangkat alis. “Kemana?”“Kelas meditasi. Di Rue Saint-Honoré. Temennya Prof. Thérèse yang rekomendasiin. Katanya bagus buat orang yang lagi… banyak pikiran.”Kirana menghela napas, menatap buburnya. “Ris… gue belum tentu bisa fokus.”“Seenggaknya bisa kita coba dulu Ran. Kadang duduk di ruangan yang tenang aja udah beda rasanya. Yuk! Gue temenin ko...”***Ruang meditasi itu sederhana: lantai kayu, dinding putih, dan jendela be
Ada perasaan yang tak ia duga: bukan ledakan, melainkan hangat yang merayap, seperti air yang menemukan cekungan dan tinggal. Haris mengecup pelipisnya berulang, turun ke bawah sedikit demi sedikit seolah setiap sentuh adalah cara baru berkata “gue di sini”. Kirana menyambut, memejam, membiarkan air matanya jatuh satu-dua—bukan duka yang lama, melainkan lega yang lambat. Untuk pertama kalinya setelah banyak kehilangan, ia merasa tubuhnya bukan medan perang, melainkan rumah.Haris mengecup leher Kirana, seolah mengaktifkan semua sensor yang ada. Lalu perlahan Kirana dapat merasakan membuka Haris mencoba kancing Kemeja. "Sayang...Gue ijin buka ya...Boleh?""Boleh Ris...", desah Kirana sambil tersenyum. Haris melihat dua buah gunung kembar yang mulus dan indah. Ia kecupi perlahan dan isap dengan lembut, membuat Kirana mendesah juga. Kirana merangkul tubuh Haris, mengusap punggungnya lembut. Mengikuti gerakannya.Seperti dua sejoli yang sudah lama saling mendamba dan menahan diri, semuan