Home / Romansa / Ternyata Kamu Tempat Pulang / Terima Kasih Masa Lalu

Share

Terima Kasih Masa Lalu

Author: Tutur K. S
last update Last Updated: 2025-06-21 11:49:25

Ombak bergulung pelan. Langit senja di pantai terlihat seperti lukisan. Tawa Andra terdengar dekat di telinga Kirana. Kirana terbangun dari tidurnya di pinggir pantai yang indah.

“Yank, happy anniversary,” kata Andra.

Tidak ada orang satu pun di sana kecuali meja, dua bu ada dua gelas anggur, dan sebuah TRIPOD DILENGKAPI KAMERA menghadap Andra dan Kirana.

Kirana mengerutkan dahi melihatnya. “Ini buat apa Ndra?”, Kirana mendapati tangannya terikat ke bingkai kasur dan ia sudah memakai baju renang two pieces dengan warna kesukaan Andra, merah.

Andra memeluk lembut Kirana dari belakang sambil menciumi leher Kirana. “Pulau ini udah aku sewa spesial buat kita berdua…buat anniversary lima tahun kita, yank. Tenang aja. Kita bisa bebas ngapa-ngapain sekarang yank. Gak kan ada yang denger…”

Tubuh Kirana mematung, tidak berdaya.

“Cantik banget kamu yank. Bagus lo kamu pake baju gitu…I like it! Oia, aku sengaja pasang kamera itu biar aku selalu inget momen mesra kita berdua yank.

“Aku gak mau yank…”

 “Tenang yank…ini semua supaya kita makin deket aja…semua pasangan jaman sekarang kaya gini ko…”

Kirana tidak berdaya. Andra berada di atas Kirana, lalu tersenyum. Ia mulai dengan mencium lembut kening dan pipinya yang sudah basah karena air mata. Tangan kirinya yang kekar menggenggam tangan Kirana, sedangkan tangan kanannya menyelundup ke dalam bikininya. Kirana menangis. Air matanya semakin mengalir seiring mendekatnya wajah Andra ke bawah. Laut jadi makin gelap. Suara ombak terdengar seperti gema yang menekan dada.

“Ran… kenapa sih lo selalu nolak gue? Gue baik lo…mau tanggung jawab…”

Kirana hanya menangis. Tubuhnya diam, tapi hatinya berontak. Ia ingin lari, tapi kakinya tertanam. “Tolong, Andra…” bisiknya, tapi suaranya nyaris hilang oleh angin laut.

***

Kirana terbangun dengan napas memburu. Itu semua hanya mimpi buruk. Tubuhnya berkeringat meski pagi Paris masih dingin. Selimut terasa terlalu berat.

Kepalanya berat. Bukan hanya karena jet lag, tapi juga karena amukan emosi dan kenyataan yang datang terlalu cepat. Ia menarik selimut ke atas wajah, seolah ingin menghilang sejenak dari dunia.

Ding dong.

Bel pintu berbunyi.

Sekali. Lalu dua kali.

Disusul ketukan pelan.

Kirana mengernyit. Siapa pagi-pagi begini? Ia belum memberi tahu siapa pun alamat apartemen barunya. Bahkan Haris pun belum sempat tukar nomor.

Dengan langkah ragu dan rambut masih kusut, Kirana membuka pintu.

Haris berdiri di sana, mengenakan kemeja biru muda yang lengannya digulung hingga siku. Ada yang berbeda, Di tangannya kantong kertas dari boulangerie dan dua cup kopi. Wajahnya tenang, tak banyak senyum, tapi tatapannya jernih.

“Bonjour,” sapanya singkat. “Lo kelihatan kayak orang yang butuh sarapan.”

Kirana mengerutkan dahi, belum sepenuhnya bangun. “Lo… gimana caranya lo tahu alamat gue?”

“Gampang itu mah,” jawab Haris sambil menyerahkan kopi. “Croissant dan baguette isi. Cappuccino dan cheesecake. Tebakan gue, salah satunya pasti lo suka.”

“Lo ngikutin gue?”

“Lo sendirian. Di kota asing. Gue Cuma jaga-jaga, lo kan masih udik di sini. Fresh from Indo…”

Kirana membuka pintu lebih lebar, memberi jalan. Haris melangkah masuk tanpa banyak bicara, langsung meletakkan kantong di meja kecil di meja balkon. Matanya menyapu ruangan yang masih penuh koper dan dus.

“Ya ampun, Ran… Ini apartemen atau gudang logistik?”

“Hey! Gue baru mendarat kemarin, lo lupa?!”

Mereka duduk di balkon. Haris menyodorkan secangkir cappuccino panas. Tangan mereka bersentuhan sebentar.

“Aduh.” Haris sedikit menarik tangannya. Kirana melihat jejak tumpahan di punggung tangan Haris.

“Maaf! Panas, ya?” Kirana buru-buru mengambil tisu, memegang tangan Haris, dan meniupnya pelan.

Beberapa detik berlalu tanpa suara. Kirana menyadari kedekatan itu, lalu segera menarik tangannya. “Sorry sorry…refleks,” katanya canggung.

Haris mengangkat bahu, tenang. “Santei…sarapan dulu gih…”

Mereka sarapan sambil diam, sampai Kirana bicara. “Thanks Ris…Gak enak gue jadi ngerepotin lo mulu dari kemaren.”

Haris mengangguk sambil menyantap croissantnya. “Gue tahu rasanya. Dan gue tahu lo mungkin sebenernya pingin sendiri. Tapi gue cuma pengen lo tahu aja klo lo tuh gak sendiri…”

Kirana tersenyum melihat Haris. Membayangkan Haris masa kecil yang gak mungkin bicara gitu. Haris yang dulu tetap kadang dingin kadang santai. Gak gampang ditebak. Ia ingat Haris yang dulu kumal karena terjatuh dari sepeda ke got dekat rumah, Haris sekarang tampak…tampan. Kiran menepuk-nepuk kepalanya, membuyarkan lamunannya akan Haris.

“Haris Saputra, sudah dewasa ya kamu sekarang…Kok gue masih ngeliat lo anak-anak aja dari kemarin.”

Haris tersenyum tipis, menyeruput kopinya sambil melihat pemandangan balkon Kirana.

“Ah perasaan lo aja…”

Kirana tertawa kecil.

Setelah sarapan, mereka mulai membereskan apartemen dengan tawa kecil yang sangat menyenangkan. Suasana menjadi hening sejenak. Haris sedang merapikan dus terakhir, sementara Kirana berdiri dekat rak buku. Saat Kirana hendak mengambil kotak di rak atas, tubuhnya agak terhuyung—dan Haris spontan menahan pinggangnya dari belakang.

Beberapa detik berlalu. Kirana tidak langsung menoleh. Haris juga tidak berkata apa-apa.

Napas mereka berirama dalam jarak yang terlalu dekat.

“Lo selalu refleks gitu ya?” tanya Kirana, masih tidak berbalik.

“Mungkin ya…,” jawab Haris pelan.

Haris terlalu dekat, hidung mereka hampir bersentuhan,  matanya sangat teduh dan menenangkan. Mereka diam lagi. Tak ada yang mundur, tapi tak ada juga yang maju. Kirana akhirnya menoleh perlahan, tapi Haris sudah menjauh setengah langkah. Ia mengalihkan pandangannya, pura-pura membuka dus lain.

“Dus ini berat juga ya,” katanya asal.

Kirana mengangguk, tersenyum kecil. Tapi jantungnya tidak tenang seperti senyumnya. Sebuah foto jatuh dari buku yang tadi coba dirapihkan Kirana. Kirana menatapnya sejenak.

“Itu Andra?” tanya Haris sambil mendekatkan diri ke Kirana.

Kirana mengangguk. “Jogja. Tiga tahun lalu.”

Ia hendak memasukkannya ke dalam laci, tapi Haris menghentikan gerakannya. Ia melihat foto itu sebentar, lalu berkata, pelan dan datar, “Lo mau buang itu?”

Kirana menunduk. “Gue nggak benci dia, Ris. Gue benci diri gue sendiri. Gue sempat mikir, harusnya gue ke bandara kemarin, balik. Supaya dia nggak nikah. Supaya gue bisa minta balikan. Tapi…Kenapa sih dia gak bisa dukung gue Ris? Kita tuh udah cocok banget kalau dia mau kasih gue kesempatan buat berkarier di dunia yang gue mau ini. Orang yang gue harap paling dukung gue, malah orang yang nggak suka sama satu-satunya hal yang gue cita-citakan.”

Haris menatap Kirana, matanya tenang. “Kadang lo harus milih. Tapi gak ada yang jamin semua itu pilihan yang aman. Lo bisa jadi lebih bahagia sama Andra atau dengan pilihan hidup lo sekarang. Tapi pilihan hidup lo yang sekarang juga bisa jadi lebih bahagia atau lebih buruk.”

Beberapa saat hening.

“Ran, lo punya tujuh tahun bareng Andra dan lo mau balikan ke hubungan yang kata lo penjara? Atau pilih puluhan tahun ke depan yang lo ga tau bakal sendiri atau sama siapa dengan kebebasan? Dengan semua mimpi yang lo ingin bangun?”

Lalu Haris mengangkat dus terakhir. “Lo mau resmi jadi warga Paris atau mau gue beresin ini semua biar lo balik lagi Bandung?”

Kirana tersenyum. Kali ini bukan karena basa-basi.

Haris berdiri, mengambil jaketnya.

“Lo belum ke mana-mana, kan?”

“Baru liat plafon apartemen sama taman kemaren.”

“Bagus. Paris belum nunjukkin pesonanya ke lo.”

Haris mengambil jaket Kirana dari gantungan dan melemparkannya ke Kirana. “Ayo.”

Kirana melongo. “Hah?”

“Lo bisa putusin buat balik ke Bandung nanti. Tapi sekarang, kita lihat dulu kenapa banyak orang gak pernah pulang dari kota ini.”

Ia membuka pintu, menunggu Kirana melangkah lebih dulu. “S’il vous-plaît mademoiselle (silahkan nona)…”

Ponsel Kirana tertinggal di meja. Layarnya menyala.

Dari: ANDRA

Hey, apa kabar?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Kamu Tempat Pulang   Go or No Go...

    Udara malam Paris menggigit lembut kulit. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya kuning keemasan, sementara dari kejauhan, suara musik jalanan bercampur dengan riuh obrolan kafe. Kirana berjalan pelan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku coat.Rasanya Kirana malas sendirian di apartemen. Jalan-jalan ke taman adalah satu-satunya pilihan yang ada dipikirannya. Kirana ingin menenangkan diri hari ini. Sendiri.“Lo yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Haris, tiba-tiba berjalan setengah langkah di sebelahnya.Kirana mengangguk pelan. “Eh? Gue bosen di apartemen Ris...Lo lagi ngapain di taman malem-malem gini?"Haris tersenyum, "Gue abis beli makan malem aja tadi...Lo ngapain?""Kalau gue diem di apartemen, kepala gue pecah, Ris. Gue gak mau sendirian sama pikiran gue.”Haris mengangguk, memahami. “Fair enough. Lagian Paris tuh justru cantik banget kalo malem. Bukan cuma menara Eiffel doang.”Mereka melewati jembatan kecil di atas Seine. Air sungai memantulkan cahaya lampu kot

  • Ternyata Kamu Tempat Pulang   Jatah Seminggu

    Pagi Paris terasa baru, seakan kota ikut merapikan napasnya. Kirana berdiri di depan cermin kecil di dapur Rue Carducci, mengikat rambut setengah tinggi. Di meja, Haris sudah menyiapkan dua cangkir: teh untuknya, kopi untuk Kirana—kebiasaan terbalik yang mereka tertawakan tiap pagi.“Lo yakin gak mau tukeran minuman?” goda Haris.“Gak. Gue butuh kopi. Lo butuh tenang,” jawab Kirana, mencubit lengannya singkat.Di punggung kursi, jas biru gelap Haris tergantung rapi. Sejak semalam ia sibuk menuntaskan slide presentasi untuk konferensi desain di Swiss—seminggu penuh, panel dan workshop. Kirana masih belum terbiasa dengan kata “seminggu”.“Lo berangkat lusa, kan?” tanya Kirana, memeriksa kalender ponselnya.Haris mengangguk. “Geneva dulu dua hari, habis itu Zurich. Balik minggu depan, sore. Gue kirim itinerary ke lo ya…siapa tau mau dating kelewat kangen…”Kir

  • Ternyata Kamu Tempat Pulang   Kebiasaan Pagi Yang Baru

    Sinar matahari menembus tirai tipis ruang tamu, membelai tubuh Kirana yang masih terlelap di pelukan Haris. Selimut tipis yang menutupi mereka jatuh sedikit, memperlihatkan leher Kirana yang bertanda merah lembut hasil semalam mereka bercumbu. Haris membuka mata lebih dulu, merasakan aroma samar tubuh Kirana yang menempel di kulitnya.Ia tersenyum kecil, antara lega dan masih tidak percaya. Perempuan yang selama ini ia jaga jaraknya, kini tertidur nyaman di lengannya. Wangi tubuhnya sangat ia sukai dan pasti ia rindukan. Bulu matanya lentik. Bibirnya yang kecil dan lembut menjadi hal yang paling bikin Haris candu sepertinya. Kirana teman kecilnya, yang sudah terpisah bertahun-tahun lamanya, kini ada dalam pelukannya. Ternyata rencana Tuhan benar-benar luar biasa.Namun, di balik rasa bahagia itu, ada juga perasaan lain yang menyelinap: tanggung jawab. Haris sadar, apa yang terjadi malam tadi bukan sekadar pelepasan nafsu, tapi sebuah pintu besar yang sudah terbuka. Ia harus bisa memast

  • Ternyata Kamu Tempat Pulang   Beradu Dengan Trauma

    Haris bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat ketika jemarinya menyentuh lekuk lembut di balik daster tipis Kirana. Ia tahu ini bukan hanya tentang tubuh—ada sejarah panjang air mata, luka, dan rasa takut di balik tatapan mata Kirana yang kini penuh keberanian.“Apa lo yakin, Ran?” bisiknya, hampir tidak terdengar.Kirana menatapnya dalam-dalam, senyum tipisnya lebih seperti jawaban daripada kata-kata. “Ris… gue nggak mau jadi tahanan masa lalu gue sendiri lagi. Gue juga ga ngerti tapi, lo buat gue ngerasa aman dan nyaman. Perasaan tulus lo...gue kerasa banget...”Haris berkaca-kaca mendengar perkataan Kirana."Ris, orang tua gue pingin gue happy sama lo. Orang tua gue pasti se

  • Ternyata Kamu Tempat Pulang   Lo Pikir Gue Gak Mau Lagi?

    Pagi itu, udara Paris masih dingin walau matahari sudah naik. Kirana duduk di meja makan, mengaduk bubur ayam ala Haris. Ia tidak menyangka momen malam itu bisa terjadi juga dalam hidupnya. Terlebih, akhirnya ia melepaskan keperawanannya ke Haris. Pria yang baru saja kembali ke hidupnya setelah sekian tahun. Tapi ia belum bisa benar-benar lepas. Di satu sisi, Kirana merasa senang dan lega. Di sisi lain, ada perasaannya yang belum tuntas.“Ran, gue pengen ajak lo keluar,” kata Haris yang tiba-tiba datang setelah menerima telepon dari Prof. Thérèse tadi.Kirana mengangkat alis. “Kemana?”“Kelas meditasi. Di Rue Saint-Honoré. Temennya Prof. Thérèse yang rekomendasiin. Katanya bagus buat orang yang lagi… banyak pikiran.”Kirana menghela napas, menatap buburnya. “Ris… gue belum tentu bisa fokus.”“Seenggaknya bisa kita coba dulu Ran. Kadang duduk di ruangan yang tenang aja udah beda rasanya. Yuk! Gue temenin ko...”***Ruang meditasi itu sederhana: lantai kayu, dinding putih, dan jendela be

  • Ternyata Kamu Tempat Pulang   Menyatu Dalam Duka

    Ada perasaan yang tak ia duga: bukan ledakan, melainkan hangat yang merayap, seperti air yang menemukan cekungan dan tinggal. Haris mengecup pelipisnya berulang, turun ke bawah sedikit demi sedikit seolah setiap sentuh adalah cara baru berkata “gue di sini”. Kirana menyambut, memejam, membiarkan air matanya jatuh satu-dua—bukan duka yang lama, melainkan lega yang lambat. Untuk pertama kalinya setelah banyak kehilangan, ia merasa tubuhnya bukan medan perang, melainkan rumah.Haris mengecup leher Kirana, seolah mengaktifkan semua sensor yang ada. Lalu perlahan Kirana dapat merasakan membuka Haris mencoba kancing Kemeja. "Sayang...Gue ijin buka ya...Boleh?""Boleh Ris...", desah Kirana sambil tersenyum. Haris melihat dua buah gunung kembar yang mulus dan indah. Ia kecupi perlahan dan isap dengan lembut, membuat Kirana mendesah juga. Kirana merangkul tubuh Haris, mengusap punggungnya lembut. Mengikuti gerakannya.Seperti dua sejoli yang sudah lama saling mendamba dan menahan diri, semuan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status