Bandara Charles de Gaulle seperti kabut tipis di kepala Kirana. Semua terasa bergerak cepat: derap langkah Haris di depannya, suara konfirmasi tiket di ponsel, papan jadwal keberangkatan yang berganti-ganti. Semalam mereka tertawa di balkon, sekarang ia berdiri di antrean check-in dengan perut mual, pikiran penuh gambar rumahnya, dan suara tetangga yang masih bergema di telinga: kecelakaan… rumah sakit… kritis.Haris memegang paspornya sambil bicara dengan petugas, nada suaranya tegas tapi tetap sopan. “Kita harus terbang malam ini,” katanya, lalu menoleh ke Kirana. “Lo mau duduk dekat jendela atau lorong?”Kirana hanya menggeleng. Pilihan kursi terasa tidak penting. Haris menekan jemari Kirana sebentar, sekilas, tapi cukup membuatnya ingat untuk bernapas.Di pesawat, dunia menyusut menjadi deru mesin dan dinginnya udara kabin. Kirana menatap kosong ke awan, mencoba mengikat pikirannya pada satu hal yang pasti: harus sampai. Haris menyelimutinya, membukakan botol air, bahkan memindahk
Pagi tiba pelan, seperti selimut tipis yang ditarikkan rapi ke atas kota kecil di tepi laut. Tirai goni memerangkap cahaya keemasan; debur ombak yang jauh terdengar seperti napas yang diatur baik-baik. Kirana membuka mata lebih dulu. Kamar penginapan mereka sederhana: dinding batu yang mengekspos tekstur, lantai kayu yang kadang berderit, jendela kecil yang menghadap jalan setapak menuju pantai.Ini semua hasil keputusan spontan Haris yang mengajak Kirana tiba-tiba pergi ke stasiun kereta dan mengambil kereta mana saja yang tercepat datang.Haris tertidur di sofa, miring, satu tangan menyilang di dada, satu lagi terkulai menyentuh lantai. Semalam mereka kebablasan ngobrol. Kirana menatapnya beberapa detik, mencoba menyimpan pemandangan itu ke ruang ingatan yang ingin ia jaga: Haris yang apa adanya.Ia bangkit pelan, meraih sweater, lalu ke dapur mungil di sudut. Ketel diletakkan di atas kompor gas; bau kopi bubuk memenuhi udara. Ia juga menyiapkan the untuknya.“Wangi banget,” suara H
Apartemen Kirana sore itu terasa seperti sedang bernafas pelan. Jendela kecil di Rue Carducci memantulkan sisa cahaya emas, menghangatkan ruang mungilnya. Rambut Kirana setengah kering, wangi sampo bercampur tipis dengan aroma daun jeruk yang baru saja ia remas di dapur. Jantungnya sibuk tanpa alasan logis—atau mungkin ia sudah tahu tamunya kali ini datang membawa lebih dari sekadar bahan masakan.Dua ketukan di pintu. “Masuk,” ucapnya, mencoba terdengar santai.Haris masuk, tote bag kanvas di tangan, jaketnya sedikit basah oleh gerimis. Ia menaruhnya di sandaran kursi, lalu mengeluarkan isi tas—serai, daun jeruk, santan, udang, tempe, bawang merah, seikat kecil kemangi.“Serius lo cari kemangi di Paris?” Kirana mengangkat alis.“Demi lo, sayang.” Tatapan lurus itu membuat Kirana menunduk sambil tersenyum geli, menutupi pipi yang mulai hangat. Ia masih belum terbiasa dipanggil begitu oleh Haris. Kejadian semalam masih kerasa kaya mimpi. Ia bahagia.“Masak apa kita hari ini?” “Laksa a
Paris mulai dingin. Udara pagi membawa aroma roti dan kopi dari kafe-kafe di Rue Mouffetard, tapi Kirana terlalu sibuk memikirkan daftar pekerjaan hari itu. Sejak kembali dari Strasbourg, ritme di studio Healing Through Memory makin padat. Prof. Thérèse ingin pameran mini internal dalam dua minggu, dan semua tim bergerak cepat. Kirana memasuki studio proyek terasa lebih hangat sore itu, padahal AC masih di angka yang sama. Kertas-kertas konsep menempel di dinding; potongan dialog, sketsa ruang ingatan, dan peta alur interaktif memenuhi papan. Kirana berdiri di depan whiteboard, spidol menari pelan. Ia menuliskan: Checkpoint 3 — “Pintu yang Pernah Tertutup.”“Kalau di titik ini, player harus milih untuk masuk ke kamar lama atau putar balik ke tangga,” gumamnya. “Masuk itu artinya dia siap menghadapi memori yang nggak enak, tapi… kita mesti kasih pegangan supaya nggak terasa menghakimi.”Haris duduk di tepi meja, memperhatikan. “Pegangan bisa bentuknya benda—kayak surat kecil, atau reka
Strasbourg, Prancis.Kereta cepat dari Gare de l’Est melambat di stasiun Strasbourg. Kirana menuruni gerbong dengan jaket menutup rapat tubuhnya. Udara dingin menggigit pipi, tapi langkahnya ringan. Ia membawa ransel dan map tugas lapangan dari Prof. Thérèse: wawancara dengan kurator museum yang arsipnya akan dipakai dalam proyek Healing Through Memory.Tapi ia tidak menyangka akan melihat sosok itu di ujung peron.Haris.Berdiri bersandar pada tiang dengan ransel birunya yang sudah terlalu akrab di mata Kirana. Haris menyapanya dengan senyum yang tenang, seperti tahu betul bahwa kedatangannya akan membuat Kirana terkejut.“Ngapain lo di sini?” Kirana setengah tertawa, setengah bingung.“Surprise,” kata Haris, mendekat. “Prof. Thérèse minta gue temenin kamu, bantu dokumentasi. Sekalian gue riset visual untuk instalasi gamenya.”Kirana mengangguk pelan. Ada rasa senang yang ia pendam rapat-rapat. Bodohnya, ia memang sempat berharap bisa melihat Haris lagi secepat itu.**Penginapan me
Proyek "Healing Through Memory" resmi berjalan. Ruang kerja tim kreatif mulai terbentuk, dengan layar-layar besar dan dinding penuh dengan konsep art, storyboard, dan flow interaktif. Haris dan Kirana makin sering bekerja berdua, membahas narasi, alur emosi pemain, dan bagaimana membangun pengalaman yang bukan hanya cantik, tapi juga menyentuh."Gimana keadaan lo Ran? Dah move on?”Kirana tertawa kecil. "Gue nggak bilang udah bisa 100%. Yah...masih belajar lah."“Ooh…pasti sih…”, Haris mengangguk sambil mengusap dagunya.“Kenapa emang Ris?”, Kirana menengok ke arah Haris.“Enggak apa-apa…”Mereka saling menatap lebih lama dari biasanya. Tangan mereka bersandar pada meja yang sama tapi kelingking mereka yang bertemu cukup membuat detak jantung Kirana dan Haris berdegup kencang. Tapi sebelum momen itu terlalu lama, suara pintu dibuka mengganggu.Louis masuk dengan langkah santai. "Sorry, telat. Gue ada perlu dulu tadi."Ia meletakkan bukunya di meja. Sebuah sketsa separuh terbuka menunju