Home / Romansa / Jingga di Kota Cinta / Return or Regret

Share

Return or Regret

Author: Tutur K. S
last update Last Updated: 2025-06-21 13:16:25

Siang itu, Paris terasa lebih ramah. Langit biru bersih tanpa awan, dan sinar matahari menyinari bangunan-bangunan tua dengan cahaya keemasan yang lembut. Suasana kota seperti memberi ruang bernapas untuk Kirana.

Bukan Menara Eiffel, bukan rue de Champs-Élysées, yang terkenal... Haris menggenggam tangan Kirana dan membawanya ke tempat yang tidak terkenal tapi tetap punya pesona. Menyusuri pasar jalanan yang penuh dengan toko keju, roti, dan buah segar. Haris berjalan setengah langkah di depan, tangan di saku jaket, sesekali menoleh memastikan Kirana tak terlepas dari genggamannya dan tertinggal. Ia tidak banyak bicara, tapi kehadirannya terasa hangat.

"Hmmm wangi banget!," ujar Kirana sambil menghirup udara di depan sebuah boulangerie.

"Emang ! Croissant di sana emang recommended banget! Lo lapar, sedih, atau jetlag—pasti sembuh dengan satu almond croissant anget. Percaya sama gue," jawab Haris.

Kirana manja. "Pingin cobaa…”

Haris melirik, senyumnya terbit sejenak. “Boleh…”

“Itu apa? Quiche? Wangi juga ! Pingin…”

Mereka berhenti di sebuah bangku kayu di taman kecil, membawa kantong kertas berisi banyak makanan. Di depannya, anak-anak bermain kejar-kejaran. Salah satu anak terjatuh dari skateboard dan menangis. Kirana memperhatikan dengan saksama, dan tiba-tiba saja, kenangan datang seperti debur gelombang.

***

"Kirana! Nanti jatoh!"

Gadis kecil berambut ikal diikat ekor kuda itu menoleh. Terlambat. Sepedanya oleng di tikungan dan ia terjerembab ke tanah.

Anak laki-laki kurus berambut berantakan—Haris kecil—berlari menghampiri.

"Kan udah dah dibilangin!" katanya setengah panik, tapi tetap menyodorkan tangan.

Kirana kecil meringis, menangis, lututnya lecet. Haris berusaha meniup luka Kirana dan menghapus darah dengan tangan gemetar dengan bagian lengan baju Ultraman kesayangannya. "Sakit ya? Udah udah jangan nangis. Ayo pulang..."

***

"Lo masih inget nggak? Lo pernah ngelap darah di lutut gue waktu kecil pakai baju Ultraman kesayangan lo?" tanya Kirana, senyumnya tipis. Pandangannya masih ke arah anak-anak.

Haris tampak berpikir, lalu tertawa pelan. "Gue kira lo udah lupa. Lagian ngapain diinget-inget dih…"

"Inget. Soalnya besoknya lo ilang gitu aja…Lo tiba-tiba pindah. Gue dateng ke rumah lo pake sepeda ngajak main seperti biasa, tapi rumah lo udah kosong. Udah ditulisin plang 'Dikontrakkan'."

Hening.

"Iya. Maaf gue juga nggak sempat pamit Ran. Bokap dah bilang bakal dipindah tugas tapi belum tau kapan. Tiba-tiba malem itu kita harus pindah, semua serba mendadak. Gue juga sempat bingung...Gue pikir gak secepet itu gue pindah. Tapi kayaknya, dari dulu kita emang jago dalam urusan ilang-ilangan, ya."

"Maksud lo?" Kirana mengernyitkan dahi sambil melihat Haris, nada suaranya berubah. "Jago dalam ilang-ilangan? Lo gampang banget ngomong gitu, Ris. Lo yang ninggalin gue waktu itu."

Haris terdiam sejenak, lalu menjawab dengan tenang. "Dan lo yang ninggalin Andra sekarang, kan?"

Kirana menundukkan kepala, merenungi kata-kata Haris yang ada benarnya.

Setelah makan, mereka masuk ke toko buku bekas yang sunyi. Aroma kertas tua memenuhi ruangan. Kirana sibuk menjelajahi rak, sementara Haris berdiri tak jauh, memperhatikan tanpa Kirana banyak bicara. Sesekali mereka saling menunjukkan buku aneh atau cover yang lucu, lalu tertawa kecil. Hal sederhana, tapi terasa cukup.

Ada satu buku yang menarik bagi Kirana, ia pun mengambilnya, buku berjudul "Letters from Juliette Drouet to Victor Hugo".

Haris melihat buku itu. "Ah, itu buku surat-surat Victor Hugo ke istrinya ya…Gue juga suka Victor Hugo.”

“Suka banget gue sama buku ini Ris. Gimana ya rasanya dikirimin surat-surat cinta gitu. Udah gak musim banget kayanya ya sekarang…Tapi pingin deh gue dapet surat cinta gini…so sweet soalnya…"

“Mau gue kirimin Ran?”

“Boleh!” Kirana senyum. “Awas ya lo klo boong! hhahahaha”

Haris mengangguk. "Hmmm…oke! gue juga suka Victor Hugo. Btw, ini puisi kesukaan gue 'Demain dès l'aube (Besok, begitu fajar menyingsing)'"

Kirana membuka buku yang lain, lalu menunjukkannya. "Ih, gue juga suka banget!"

Haris tanpa sadar mendekatkan diri ke Kirana dan bukunya. Bahkan sangat dekat sampai ia bisa mencium wangi rambut Kirana. Mereka membaca puisi itu bersama:

Besok, saat fajar, di kala hari merekah, Aku akan pergi.

Kau tahu, kutahu kau menantiku.

Aku akan lewati hutan, aku akan seberangi gunung.

Aku tak bisa lagi menjauh darimu.

Aku akan berjalan dengan mata terpaku pada pikiranku…

Kirana menoleh sedikit, dan mendapati Haris menatapnya, terlalu dekat. Wangi tubuhnya samar, tapi cukup membekas. Mereka tidak bersentuhan, tapi detak jantung Kirana terasa seperti bunyi langkah di ruangan yang sunyi.

Haris tidak bicara. Tapi caranya menatapnya, seperti seseorang yang tidak ingin kehilangan satu detik pun dari wajah Kirana. Sebenarnya tangannya sudah tidak kuat ingin memeluknya erat. Tapi ia takut ditampar Kirana. Ia harus berhati-hati kali ini…Kirana sedang rapuh. Tapi ia tidak mau terburu-buru. Ia tidak ingin kehilangan Kirana lagi, tidak untuk selamanya. Ia harus memberikan wanita di depannya ini ruang dulu sampai ia siap membuka diri. 

Langit sudah berganti gelap ketika mereka kembali ke apartemen Kirana. Di depan pintu, suasana seperti tak ingin selesai. Haris menatap Kirana.

"Gimana? Lo sempat lupa, kan? Tentang Bandung... tentang Andra."

Kirana mengangguk pelan. "Yah, mayan..."

"Lo dah mutusin? Stay or go?"

Hening lagi. "Gak tau…Liat ntar lah…gue gak mau mikir itu dulu…capek! Anyway thanks for today ya Ris…"

"Well, selamat istirahat…"

Kirana masuk ke apartemennya terburu-buru, tapi tidak sengaja membiarkan pintu sedikit terbuka karena ponselnya yang tertinggal berdering keras di meja dan tidak lama kemudian mati.

Haris masih di ujung pintu karena Kirana lupa menutup rapat pintunya. Entah kenapa ia tidak ingin segera beranjak.

Di dalam, Kirana terhenyak melihat notifikasi di layar. Lagi-lagi tangan Kirana bergetar, jantungnya sesak, napasnya berat.

10 missed calls ANDRA

Tidak lama, berganti notifikasi:

ANDRA CALLING...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jingga di Kota Cinta   Healing Through Memory

    Proyek "Healing Through Memory" resmi berjalan. Ruang kerja tim kreatif mulai terbentuk, dengan layar-layar besar dan dinding penuh dengan konsep art, storyboard, dan flow interaktif. Haris dan Kirana makin sering bekerja berdua, membahas narasi, alur emosi pemain, dan bagaimana membangun pengalaman yang bukan hanya cantik, tapi juga menyentuh."Gimana keadaan lo Ran? Dah move on?”Kirana tertawa kecil. "Gue nggak bilang udah bisa 100%. Yah...masih belajar lah."“Ooh…pasti sih…”, Haris mengangguk sambil mengusap dagunya.“Kenapa emang Ris?”, Kirana menengok ke arah Haris.“Enggak apa-apa…”Mereka saling menatap lebih lama dari biasanya. Tangan mereka bersandar pada meja yang sama tapi kelingking mereka yang bertemu cukup membuat detak jantung Kirana dan Haris berdegup kencang. Tapi sebelum momen itu terlalu lama, suara pintu dibuka mengganggu.Louis masuk dengan langkah santai. "Sorry, telat. Gue ada perlu dulu tadi."Ia meletakkan bukunya di meja. Sebuah sketsa separuh terbuka menunju

  • Jingga di Kota Cinta   Mulai hidup baru...

    Langit Paris mulai memutih oleh awan ketika Kirana melangkah masuk ke ruang kelas yang dipenuhi layar interaktif dan meja-meja kelompok. Ia belum sepenuhnya pulih dari kegugupan awal-awal kembali jadi mahasiswa.Prof. Thérèse, seperti biasa dengan balutan coat sleek dan riasan minimalis, berdiri di depan.“Hari ini, saya akan umumkan proyek kolaborasi khusus…,” ujarnya dalam bahasa Prancis yang pelan dan jelas. “Kerja sama seniman dan kreator game dari luar kampus. Kita akan buat instalasi game interaktif bertema ‘Healing Through Memory’. Dan game ini akan dipamerkan di Musée Art Ludique Paris.”Kirana menegakkan punggung. Galeri seni digital itu adalah salah satu yang paling bergengsi di Paris.“Tiga mahasiswa dari kelas ini akan kami libatkan langsung dalam tim kreatif. Mereka adalah: Louis, Amir, dan Kirana.”Louis mengangkat dua tangan ke udara, berseru, “Yes! Bonjour, fame!”Amir hanya menunduk sopan. Kirana tersenyum lebar. Ia sangat bersemangat untuk terlibat di proyek ini.Pro

  • Jingga di Kota Cinta   I hope you happy but don't be happier

    "Halo Ndra..."Di dalam, Kirana menatap layar ponsel yang masih menyala. Nafasnya berat. Jemarinya gemetar ketika menyentuh layar tadi. Kirana terpaku beberapa detik sebelum akhirnya masuk ke apartemennya.Di balik pintu, Haris masih berdiri di ambang pintu yang belum tertutup rapat. Ia tidak segera pergi. Haris yang tak sengaja mendengar sebagian percakapan itu mengepalkan tangan. Ia sebenarnya penasaran dengan pembicaraan mereka selanjutnya, tapi ia memilih melangkah pergi sambil diam-diam menutup pintu apartemen Kirana.“Hai yank…” Suara di ujung sana terdengar pelan, penuh tekanan. "Sorry... gue harus nikah, Ran. Tapi bukan karena gue mau."Kirana membeku. Suaranya tercekat. "Maksud lo? Lo gak harus minta maaf Ndra. Kita udah putus…”"Gue mabuk, Ran. Gue ngelakuin hal bodoh. Dia hamil. Keluarganya maksa gue tanggung jawab. Tapi hati gue masih di lo... Gue cuma pengen kita balik. Gue... gue nyesel."Kirana tak langsung menjawab. Kata-kata Andra seperti menghantamnya. Tapi yang lebi

  • Jingga di Kota Cinta   Return or Regret

    Siang itu, Paris terasa lebih ramah. Langit biru bersih tanpa awan, dan sinar matahari menyinari bangunan-bangunan tua dengan cahaya keemasan yang lembut. Suasana kota seperti memberi ruang bernapas untuk Kirana.Bukan Menara Eiffel, bukan rue de Champs-Élysées, yang terkenal... Haris menggenggam tangan Kirana dan membawanya ke tempat yang tidak terkenal tapi tetap punya pesona. Menyusuri pasar jalanan yang penuh dengan toko keju, roti, dan buah segar. Haris berjalan setengah langkah di depan, tangan di saku jaket, sesekali menoleh memastikan Kirana tak terlepas dari genggamannya dan tertinggal. Ia tidak banyak bicara, tapi kehadirannya terasa hangat."Hmmm wangi banget!," ujar Kirana sambil menghirup udara di depan sebuah boulangerie."Emang ! Croissant di sana emang recommended banget! Lo lapar, sedih, atau jetlag—pasti sembuh dengan satu almond croissant anget. Percaya sama gue," jawab Haris.Kirana manja. "Pingin cobaa…”Haris melirik, senyumnya terbit sejenak. “Boleh…”“Itu apa?

  • Jingga di Kota Cinta   Terima Kasih Masa Lalu

    Ombak bergulung pelan. Langit senja di pantai terlihat seperti lukisan. Tawa Andra terdengar dekat di telinga Kirana. Kirana terbangun dari tidurnya di pinggir pantai yang indah.“Yank, happy anniversary,” kata Andra.Tidak ada orang satu pun di sana kecuali meja, dua bu ada dua gelas anggur, dan sebuah TRIPOD DILENGKAPI KAMERA menghadap Andra dan Kirana.Kirana mengerutkan dahi melihatnya. “Ini buat apa Ndra?”, Kirana mendapati tangannya terikat ke bingkai kasur dan ia sudah memakai baju renang two pieces dengan warna kesukaan Andra, merah.Andra memeluk lembut Kirana dari belakang sambil menciumi leher Kirana. “Pulau ini udah aku sewa spesial buat kita berdua…buat anniversary lima tahun kita, yank. Tenang aja. Kita bisa bebas ngapa-ngapain sekarang yank. Gak kan ada yang denger…”Tubuh Kirana mematung, tidak berdaya.“Cantik banget kamu yank. Bagus lo kamu pake baju gitu…I like it! Oia, aku sengaja pasang kamera itu biar aku selalu inget momen mesra kita berdua yank.“Aku gak mau ya

  • Jingga di Kota Cinta   Are You Okay?

    “Nanti lo mau ke mana abis ini?”Haris menatap Kirana dengan senyum santai. “Gue tahu kafe kecil yang cozy banget di Montorgueil. Cheesecake-nya lo banget. Dan baguette-nya gak keras kayak alat fitness.”Kirana tertawa pelan. “Gas!”***Paris sibuk seperti biasa. Tapi di antara manusia-manusia sibuk itu, waktu seolah melambat di meja sudut luar sebuah kafe kecil—tepat di tempat Kirana dan Haris duduk, berbagi cerita, tawa, dan kenangan yang sudah dua dekade tertinggal.Haris dan Kirana sebenarnya sudah saling mengikuti di Instagram sejak lama. Tapi ini, ini adalah kali pertama mereka benar-benar bertemu langsung setelah sekian lama. Bukan sekadar like atau emoji di story. Bukan komentar basa-basi. Ini nyata. Suara. Mata. Tawa. Napas.“Udah berapa lama lo di sini?” tanya Haris.“Baru mendarat tadi pagi. Jet lag, pegal, lapar, semua rasa bercampur. Tapi gue nekat aja—kuliah lagi. Kebetulan gue dapet beasiswa juga…”Haris mengangkat alis. “Masih jadi Kirana yang dulu ya. Spontan dan biki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status