Siang itu, Paris terasa lebih ramah. Langit biru bersih tanpa awan, dan sinar matahari menyinari bangunan-bangunan tua dengan cahaya keemasan yang lembut. Suasana kota seperti memberi ruang bernapas untuk Kirana.
Bukan Menara Eiffel, bukan rue de Champs-Élysées, yang terkenal... Haris menggenggam tangan Kirana dan membawanya ke tempat yang tidak terkenal tapi tetap punya pesona. Menyusuri pasar jalanan yang penuh dengan toko keju, roti, dan buah segar. Haris berjalan setengah langkah di depan, tangan di saku jaket, sesekali menoleh memastikan Kirana tak terlepas dari genggamannya dan tertinggal. Ia tidak banyak bicara, tapi kehadirannya terasa hangat.
"Hmmm wangi banget!," ujar Kirana sambil menghirup udara di depan sebuah boulangerie.
"Emang ! Croissant di sana emang recommended banget! Lo lapar, sedih, atau jetlag—pasti sembuh dengan satu almond croissant anget. Percaya sama gue," jawab Haris.
Kirana manja. "Pingin cobaa…”
Haris melirik, senyumnya terbit sejenak. “Boleh…”
“Itu apa? Quiche? Wangi juga ! Pingin…”
Mereka berhenti di sebuah bangku kayu di taman kecil, membawa kantong kertas berisi banyak makanan. Di depannya, anak-anak bermain kejar-kejaran. Salah satu anak terjatuh dari skateboard dan menangis. Kirana memperhatikan dengan saksama, dan tiba-tiba saja, kenangan datang seperti debur gelombang.
***
"Kirana! Nanti jatoh!"
Gadis kecil berambut ikal diikat ekor kuda itu menoleh. Terlambat. Sepedanya oleng di tikungan dan ia terjerembab ke tanah.
Anak laki-laki kurus berambut berantakan—Haris kecil—berlari menghampiri.
"Kan udah dah dibilangin!" katanya setengah panik, tapi tetap menyodorkan tangan.
Kirana kecil meringis, menangis, lututnya lecet. Haris berusaha meniup luka Kirana dan menghapus darah dengan tangan gemetar dengan bagian lengan baju Ultraman kesayangannya. "Sakit ya? Udah udah jangan nangis. Ayo pulang..."
***
"Lo masih inget nggak? Lo pernah ngelap darah di lutut gue waktu kecil pakai baju Ultraman kesayangan lo?" tanya Kirana, senyumnya tipis. Pandangannya masih ke arah anak-anak.
Haris tampak berpikir, lalu tertawa pelan. "Gue kira lo udah lupa. Lagian ngapain diinget-inget dih…"
"Inget. Soalnya besoknya lo ilang gitu aja…Lo tiba-tiba pindah. Gue dateng ke rumah lo pake sepeda ngajak main seperti biasa, tapi rumah lo udah kosong. Udah ditulisin plang 'Dikontrakkan'."
Hening.
"Iya. Maaf gue juga nggak sempat pamit Ran. Bokap dah bilang bakal dipindah tugas tapi belum tau kapan. Tiba-tiba malem itu kita harus pindah, semua serba mendadak. Gue juga sempat bingung...Gue pikir gak secepet itu gue pindah. Tapi kayaknya, dari dulu kita emang jago dalam urusan ilang-ilangan, ya."
"Maksud lo?" Kirana mengernyitkan dahi sambil melihat Haris, nada suaranya berubah. "Jago dalam ilang-ilangan? Lo gampang banget ngomong gitu, Ris. Lo yang ninggalin gue waktu itu."
Haris terdiam sejenak, lalu menjawab dengan tenang. "Dan lo yang ninggalin Andra sekarang, kan?"
Kirana menundukkan kepala, merenungi kata-kata Haris yang ada benarnya.
Setelah makan, mereka masuk ke toko buku bekas yang sunyi. Aroma kertas tua memenuhi ruangan. Kirana sibuk menjelajahi rak, sementara Haris berdiri tak jauh, memperhatikan tanpa Kirana banyak bicara. Sesekali mereka saling menunjukkan buku aneh atau cover yang lucu, lalu tertawa kecil. Hal sederhana, tapi terasa cukup.
Ada satu buku yang menarik bagi Kirana, ia pun mengambilnya, buku berjudul "Letters from Juliette Drouet to Victor Hugo".
Haris melihat buku itu. "Ah, itu buku surat-surat Victor Hugo ke istrinya ya…Gue juga suka Victor Hugo.”
“Suka banget gue sama buku ini Ris. Gimana ya rasanya dikirimin surat-surat cinta gitu. Udah gak musim banget kayanya ya sekarang…Tapi pingin deh gue dapet surat cinta gini…so sweet soalnya…"
“Mau gue kirimin Ran?”
“Boleh!” Kirana senyum. “Awas ya lo klo boong! hhahahaha”
Haris mengangguk. "Hmmm…oke! gue juga suka Victor Hugo. Btw, ini puisi kesukaan gue 'Demain dès l'aube (Besok, begitu fajar menyingsing)'"
Kirana membuka buku yang lain, lalu menunjukkannya. "Ih, gue juga suka banget!"
Haris tanpa sadar mendekatkan diri ke Kirana dan bukunya. Bahkan sangat dekat sampai ia bisa mencium wangi rambut Kirana. Mereka membaca puisi itu bersama:
Besok, saat fajar, di kala hari merekah, Aku akan pergi.
Kau tahu, kutahu kau menantiku.
Aku akan lewati hutan, aku akan seberangi gunung.
Aku tak bisa lagi menjauh darimu.
Aku akan berjalan dengan mata terpaku pada pikiranku…
Kirana menoleh sedikit, dan mendapati Haris menatapnya, terlalu dekat. Wangi tubuhnya samar, tapi cukup membekas. Mereka tidak bersentuhan, tapi detak jantung Kirana terasa seperti bunyi langkah di ruangan yang sunyi.
Haris tidak bicara. Tapi caranya menatapnya, seperti seseorang yang tidak ingin kehilangan satu detik pun dari wajah Kirana. Sebenarnya tangannya sudah tidak kuat ingin memeluknya erat. Tapi ia takut ditampar Kirana. Ia harus berhati-hati kali ini…Kirana sedang rapuh. Tapi ia tidak mau terburu-buru. Ia tidak ingin kehilangan Kirana lagi, tidak untuk selamanya. Ia harus memberikan wanita di depannya ini ruang dulu sampai ia siap membuka diri.
Langit sudah berganti gelap ketika mereka kembali ke apartemen Kirana. Di depan pintu, suasana seperti tak ingin selesai. Haris menatap Kirana.
"Gimana? Lo sempat lupa, kan? Tentang Bandung... tentang Andra."
Kirana mengangguk pelan. "Yah, mayan..."
"Lo dah mutusin? Stay or go?"
Hening lagi. "Gak tau…Liat ntar lah…gue gak mau mikir itu dulu…capek! Anyway thanks for today ya Ris…"
"Well, selamat istirahat…"
Kirana masuk ke apartemennya terburu-buru, tapi tidak sengaja membiarkan pintu sedikit terbuka karena ponselnya yang tertinggal berdering keras di meja dan tidak lama kemudian mati.
Haris masih di ujung pintu karena Kirana lupa menutup rapat pintunya. Entah kenapa ia tidak ingin segera beranjak.
Di dalam, Kirana terhenyak melihat notifikasi di layar. Lagi-lagi tangan Kirana bergetar, jantungnya sesak, napasnya berat.
10 missed calls ANDRA
Tidak lama, berganti notifikasi:
ANDRA CALLING...
Udara malam Paris menggigit lembut kulit. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya kuning keemasan, sementara dari kejauhan, suara musik jalanan bercampur dengan riuh obrolan kafe. Kirana berjalan pelan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku coat.Rasanya Kirana malas sendirian di apartemen. Jalan-jalan ke taman adalah satu-satunya pilihan yang ada dipikirannya. Kirana ingin menenangkan diri hari ini. Sendiri.“Lo yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Haris, tiba-tiba berjalan setengah langkah di sebelahnya.Kirana mengangguk pelan. “Eh? Gue bosen di apartemen Ris...Lo lagi ngapain di taman malem-malem gini?"Haris tersenyum, "Gue abis beli makan malem aja tadi...Lo ngapain?""Kalau gue diem di apartemen, kepala gue pecah, Ris. Gue gak mau sendirian sama pikiran gue.”Haris mengangguk, memahami. “Fair enough. Lagian Paris tuh justru cantik banget kalo malem. Bukan cuma menara Eiffel doang.”Mereka melewati jembatan kecil di atas Seine. Air sungai memantulkan cahaya lampu kot
Pagi Paris terasa baru, seakan kota ikut merapikan napasnya. Kirana berdiri di depan cermin kecil di dapur Rue Carducci, mengikat rambut setengah tinggi. Di meja, Haris sudah menyiapkan dua cangkir: teh untuknya, kopi untuk Kirana—kebiasaan terbalik yang mereka tertawakan tiap pagi.“Lo yakin gak mau tukeran minuman?” goda Haris.“Gak. Gue butuh kopi. Lo butuh tenang,” jawab Kirana, mencubit lengannya singkat.Di punggung kursi, jas biru gelap Haris tergantung rapi. Sejak semalam ia sibuk menuntaskan slide presentasi untuk konferensi desain di Swiss—seminggu penuh, panel dan workshop. Kirana masih belum terbiasa dengan kata “seminggu”.“Lo berangkat lusa, kan?” tanya Kirana, memeriksa kalender ponselnya.Haris mengangguk. “Geneva dulu dua hari, habis itu Zurich. Balik minggu depan, sore. Gue kirim itinerary ke lo ya…siapa tau mau dating kelewat kangen…”Kir
Sinar matahari menembus tirai tipis ruang tamu, membelai tubuh Kirana yang masih terlelap di pelukan Haris. Selimut tipis yang menutupi mereka jatuh sedikit, memperlihatkan leher Kirana yang bertanda merah lembut hasil semalam mereka bercumbu. Haris membuka mata lebih dulu, merasakan aroma samar tubuh Kirana yang menempel di kulitnya.Ia tersenyum kecil, antara lega dan masih tidak percaya. Perempuan yang selama ini ia jaga jaraknya, kini tertidur nyaman di lengannya. Wangi tubuhnya sangat ia sukai dan pasti ia rindukan. Bulu matanya lentik. Bibirnya yang kecil dan lembut menjadi hal yang paling bikin Haris candu sepertinya. Kirana teman kecilnya, yang sudah terpisah bertahun-tahun lamanya, kini ada dalam pelukannya. Ternyata rencana Tuhan benar-benar luar biasa.Namun, di balik rasa bahagia itu, ada juga perasaan lain yang menyelinap: tanggung jawab. Haris sadar, apa yang terjadi malam tadi bukan sekadar pelepasan nafsu, tapi sebuah pintu besar yang sudah terbuka. Ia harus bisa memast
Haris bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat ketika jemarinya menyentuh lekuk lembut di balik daster tipis Kirana. Ia tahu ini bukan hanya tentang tubuh—ada sejarah panjang air mata, luka, dan rasa takut di balik tatapan mata Kirana yang kini penuh keberanian.“Apa lo yakin, Ran?” bisiknya, hampir tidak terdengar.Kirana menatapnya dalam-dalam, senyum tipisnya lebih seperti jawaban daripada kata-kata. “Ris… gue nggak mau jadi tahanan masa lalu gue sendiri lagi. Gue juga ga ngerti tapi, lo buat gue ngerasa aman dan nyaman. Perasaan tulus lo...gue kerasa banget...”Haris berkaca-kaca mendengar perkataan Kirana."Ris, orang tua gue pingin gue happy sama lo. Orang tua gue pasti se
Pagi itu, udara Paris masih dingin walau matahari sudah naik. Kirana duduk di meja makan, mengaduk bubur ayam ala Haris. Ia tidak menyangka momen malam itu bisa terjadi juga dalam hidupnya. Terlebih, akhirnya ia melepaskan keperawanannya ke Haris. Pria yang baru saja kembali ke hidupnya setelah sekian tahun. Tapi ia belum bisa benar-benar lepas. Di satu sisi, Kirana merasa senang dan lega. Di sisi lain, ada perasaannya yang belum tuntas.“Ran, gue pengen ajak lo keluar,” kata Haris yang tiba-tiba datang setelah menerima telepon dari Prof. Thérèse tadi.Kirana mengangkat alis. “Kemana?”“Kelas meditasi. Di Rue Saint-Honoré. Temennya Prof. Thérèse yang rekomendasiin. Katanya bagus buat orang yang lagi… banyak pikiran.”Kirana menghela napas, menatap buburnya. “Ris… gue belum tentu bisa fokus.”“Seenggaknya bisa kita coba dulu Ran. Kadang duduk di ruangan yang tenang aja udah beda rasanya. Yuk! Gue temenin ko...”***Ruang meditasi itu sederhana: lantai kayu, dinding putih, dan jendela be
Ada perasaan yang tak ia duga: bukan ledakan, melainkan hangat yang merayap, seperti air yang menemukan cekungan dan tinggal. Haris mengecup pelipisnya berulang, turun ke bawah sedikit demi sedikit seolah setiap sentuh adalah cara baru berkata “gue di sini”. Kirana menyambut, memejam, membiarkan air matanya jatuh satu-dua—bukan duka yang lama, melainkan lega yang lambat. Untuk pertama kalinya setelah banyak kehilangan, ia merasa tubuhnya bukan medan perang, melainkan rumah.Haris mengecup leher Kirana, seolah mengaktifkan semua sensor yang ada. Lalu perlahan Kirana dapat merasakan membuka Haris mencoba kancing Kemeja. "Sayang...Gue ijin buka ya...Boleh?""Boleh Ris...", desah Kirana sambil tersenyum. Haris melihat dua buah gunung kembar yang mulus dan indah. Ia kecupi perlahan dan isap dengan lembut, membuat Kirana mendesah juga. Kirana merangkul tubuh Haris, mengusap punggungnya lembut. Mengikuti gerakannya.Seperti dua sejoli yang sudah lama saling mendamba dan menahan diri, semuan