Home / Romansa / Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku / Bab 4. Pernikahan Paksa

Share

Bab 4. Pernikahan Paksa

Author: KiraYume
last update Last Updated: 2025-06-29 22:00:26

Sebulan kemudian.

Di balik tirai ruang rias, Alana berdiri diam. Gaun pengantinnya jatuh dengan sempurna. Potongan leher sabrina memperlihatkan tulang selangkanya yang jenjang, sementara renda halus menjalar dari lengan hingga pergelangan tangan. Setiap detail pada gaun itu adalah rancangannya sendiri.

Dina, berdiri di sampingnya, membenarkan kerudung tipis di atas kepalanya sambil tersenyum lebar.

“Kak... kamu kelihatan cantik banget. Sempurna,” bisiknya. “Kalau aku Brian, aku pasti langsung jatuh cinta saat melihatmu.”

Alana hanya menoleh sebentar. Bibirnya menarik garis senyum yang datar, tanpa makna.

“Bagus…,” ucapnya lirih.

“Kalau dia jatuh cinta. Akan lebih mudah menghancurkannya”

Bunga-bunga putih menggantung dari langit-langit, membentuk lengkung sempurna di sepanjang lorong altar. Harumnya memenuhi ruangan, menyamarkan ketegangan yang merayap di antara tamu undangan. Di sisi kanan, keluarga Ravenshade duduk tegak dan dingin. Di sisi kiri, keluarga Valestra terlihat gelisah. 

Musik pelan mulai dimainkan. Irama klasik mengalun dari grand piano yang ditempatkan di ujung ruangan. Saat pintu terbuka, semua kepala menoleh.

Alana melangkah pelan di atas karpet putih, digandeng oleh Silvano. Gaunnya sempurna, hasil tangannya sendiri. Tapi wajahnya kosong. Matanya tak menoleh ke siapa pun, tak menengok pada kursi kosong, tak mencari satu pun tatapan. Hanya menatap lurus.

"Kamu terlihat cantik, Alana," bisik Silvano pelan sambil terus melangkah. "Ayah bangga padamu."

Di ujung altar, pria yang berdiri di sana menunggu dalam diam. Rambutnya tersisir rapi, jasnya tanpa lipatan. Tapi Alana tidak melihat pengantin. Ia melihat seorang pembunuh.

“Brian Ravenshade,” suara penghulu mengisi ruang, “Apakah Anda bersedia menerima Alana Putri Valestra sebagai istri, dengan tulus dan sepenuh hati?”

Pria itu menarik napas perlahan. 

“Saya bersedia.” Suaranya datar, terkontrol, dan dalam. Ia menatap lurus ke dalam mata Alana, dan untuk sesaat, Alana melihat sesuatu yang aneh di sana. Sebuah tatapan yang terasa tulus, bukan kekuasaan atau arogansi seperti yang diharapkannya. “Dasar pembunuh, penipu,” batin Alana mencemooh.

Saat giliran Alana tiba, ia menoleh untuk pertama kalinya. Matanya menatap lurus pada pria yang berdiri di hadapannya. Tatapan itu tajam. Dingin.

Suaranya keluar, tenang dan jelas.

“Aku bersumpah ... akan menjadi istri yang setia. Dalam sakit dan sehat. Dalam suka dan duka.”

Setiap kalimat diucapkan perlahan, dan dingin.

“Dan aku akan berdiri di sisimu, sampai akhir.”

Tapi di dalam jiwanya, Alana bersumpah, “Aku akan menghancurkanmu. Dari dalam.”

Penghulu melanjutkan, “Silakan cium pasangan Anda.”

Kalimat itu jatuh seperti vonis.

Alana melihat Brian mencondongkan tubuhnya perlahan. Ia bisa merasakan napas pria itu yang hangat, sebuah keintiman yang membuatnya mual. Tepat sebelum bibir mereka bersentuhan, Alana dengan cepat dan pasti memalingkan wajahnya. Hanya sedikit, sebuah gerakan tipis. Ciuman itu mendarat di pipinya, persis di sudut bibirnya. Sebuah penolakan publik yang dibungkus dalam keanggunan.

"Sudah cukup," pikir Alana. "Aku tak akan membiarkanmu menyentuhku lebih dari ini."

Kilasan reaksi mengisi ruangan yang mendadak terlalu sunyi. Isabella menghela napas tajam dan membetulkan brosnya, matanya menyipit. Leo menyeringai kecil di bangkunya, matanya tak melepaskan Alana. Sementara Silvano hanya menatap lantai, rahangnya mengeras.

Alana berdiri tenang. Senyumnya datar, tapi di dalam dadanya ada gemuruh getir.

Di dalam mobil menuju ke Penthouse yang telah disiapkan untuk mereka, tak ada kata-kata. Alana menatap keluar jendela, membiarkan lampu-lampu kota Kaliandra berpendar tanpa makna. Ia tak melihat wajah suaminya sedikitpun.

Pria itu beberapa kali menoleh padanya, terlihat seperti ingin bicara, tapi yang keluar hanya desahan napas.

“Bagus,” pikir Alana. “Jangan bicara padaku.”

Penthouse itu menyala dengan sensor otomatis begitu pintu dibuka.

Alana melangkah tanpa bicara. Langkahnya ringan, cepat. Brian mengikuti, menjaga jarak.

Tak lama, ia melihat Alana keluar dari kamar tidur utama dengan satu bantal dan selimut tebal berwarna perak dalam pelukannya.

Tanpa menatapnya, ia berjalan ke ruang tamu dan melemparkan keduanya ke sofa kulit yang menghadap jendela besar.

“Itu kamarmu,” katanya.

Brian  berdiri mematung di depan sofa. “Alana…”

Alana berhenti. Ia tidak menoleh, hanya menjawab pelan,

“Jangan panggil namaku.”

“Bagiku, kau tidak pantas!” Alana masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup. Dan detik berikutnya Suara klik kuncian pintu terdengar. Menutup semua harapan Brian malam itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Danisha Zafira
Nyesek banget pasti ada di posisi Alana. Ngucapin janji suci sama orang yang jadi alasan hidupnya hancur. Kuat-kuat ya, Alana!
goodnovel comment avatar
kemal prasetya
GILAAA, momen ciuman mendarat di pipi itu bikin satu ruangan auto diem! Savage banget si Alana. Rasain tuh Brian, malu depan keluarga!
goodnovel comment avatar
Puspa Usada
YES, QUEEN! Penolakan cium paling elegan sedunia! Langsung diusir ke sofa pula. Awal yang sangat bagus untuk sebuah balas dendam. Go Alana!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 179. Epilog : Cinta Yang Tak Pernah Mati

    Mobil hitam Alana meluncur pelan menuju Taman Kota, tempat yang sudah menjadi semacam ritual baginya selama setahun terakhir ini. Tempat di mana perjumpaan, cinta, penyesalan, dan perpisahan pernah bertemu dalam satu titik.Sesampainya di gerbang taman, ia menoleh pada Riana.“Riana, tolong biarkan aku sendiri kali ini,” ucapnya lembut.Riana sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan mata majikannya, ia hanya mengangguk.“Kau yakin Alana, apa nggak sebaiknya aku temani aja?”“Nggak usah, Riana. Tolong, Aku lagi nggak mau diganggu, sebentar aja, sampai aku hubungi kamu lagi.”

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 178. Dia Telah Tiada

    Alana terhuyung mendekat, napasnya terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah ledakan cahaya tadi. Di bawah pohon tua, ia melihatnya, tubuh Brian terbaring lunglai di atas rumput basah.“Tidak… tidak, tidak…” suaranya tertahan, hampir tidak bisa keluar.Dia menjatuhkan diri berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh wajah yang dulu begitu asing, namun kini terasa paling dicintainya. Jemarinya mencari-cari, menekan lembut di sisi leher, berusaha merasakan denyut nadi. Kosong.“Tidak… kumohon…” Alana memindahkan tangannya, kali ini mendekat ke hidung, mencari sedikit hembusan napas. Hampa.Panik, ia menempelkan telinganya di dada bidang itu, menahan napas, berharap, hanya berharap, mendengar detak jantung yang samar. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan.Tubuh ini… wadah yang selama 77 hari terakhir menampung jiwa kekasihnya, kini betul-betul kosong. Jiwa itu telah pergi. Brian Ravenshade … telah tiada.Alana tidak melepaskan pelukannya sepanjang malam. Di bawah

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 177. AKU MENCINTAIMU!

    Alana menahan napas dan membanting setir ke kiri. BRAK! Mobilnya menghantam keras pembatas jalan, tubuhnya tersentak ke depan, hampir menghantam kemudi. Ban berdecit panjang, lalu berhenti mendadak.Truk itu melintas, klaksonnya masih meraung, pengemudinya berteriak marah dari balik kaca. Tapi suara itu hilang, tertelan oleh degup jantung Alana yang membahana di telinganya.Tangannya bergetar. Napasnya terengah-engah. Dunia seperti berputar.Tapi lalu matanya menangkapnya, deretan pepohonan hijau yang menandakan Taman Kota sudah sangat dekat.Dia tidak lagi peduli pada mobilnya yang penyok. Dengan gerakan putus asa, ia meraih tuas, membuka pintu, dan melompat keluar.Kakinya menghantam aspal, dingin dan keras, tapi ia tidak merasakannya. Ia langsung berlari, tubuhnya diterpa angin malam, langkahnya terhuyung-huyung oleh adrenalin yang membuncah.Melewati gerbang besi tua taman itu, ia berlari semakin kencang. Nafasnya tersengal-sengal, paru-parunya seperti terbakar, tapi ia tidak ber

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 176. Cahaya Putih

    “Cepat katakan padaku di mana dia!” desak Alana, suaranya bergetar antara ketakutan dan kemarahan.Nadia menatapnya lama, seolah sedang menimbang aturan tak tertulis yang mengikat dirinya. Sunyi sesaat terasa memanjang, lalu wanita itu menghela napas panjang.“Aku tidak bisa memberitahumu lokasi tepatnya,” katanya akhirnya. “Tapi… aku bisa memberimu petunjuk.”Alana menahan napas, tubuhnya tegang.“Dia akan pergi … di tempat di mana semuanya dimulai dan seharusnya berakhir. Tempat yang paling penting bagi kalian berdua.” Mata Nadia menatap lurus ke dalam jiwa Alana, seolah kalimat itu bukan sekadar petunjuk, melainkan sebuah kunci.Alana terpaku. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menyingkap kenangan satu per satu.“Tapi…” suara Nadia menggema rendah, seperti gema dari ruang tak kasat mata, “…waktunya hampir habis. Bahkan jika kau tahu di mana dia… kau mungkin tidak akan sampai tepat waktu.”“Aku tidak peduli,” jawab Alana tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Aku tetap akan mencarinya.”

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 175. Giliranku Melindunginya

    Penyesalan itu menusuk dalam, seperti belati yang dipelintir berkali-kali di jantungnya. Alana baru menyadari ia telah menyia-nyiakan tujuh puluh tujuh hari bersama Chandra. Hari-hari yang ia habiskan dengan dingin, dengan kecurigaan, dengan jarak yang disengaja. Dan sekarang… waktu itu hampir habis.Panik merayap lebih cepat daripada air mata. Kesedihan yang tadi mencekik dadanya kini berubah menjadi kepanikan murni. Waktunya, berapa lama yang tersisa? Beberapa jam? Beberapa menit? Atau mungkin, ia bahkan sudah terlambat?Sambil masih terisak, ia bangkit berdiri dengan gerakan mendadak, kursi hampir terguling ke belakang. Nafasnya terengah, matanya merah, tapi tekadnya keras. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penolakan.Dia harus menemukannya. Dia harus memberitahunya.“Chandra…” bibirnya bergetar ketika menyebut nama itu, kali ini penuh dengan cinta yang selama ini ia tahan.Tanpa berpikir panjang, Alana berlari keluar dari ruang kerja, langkahnya terhuyung-huyung tapi tak ber

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 174. Semuanya Adalah Chandra

    Alana masih terduduk di lantai ruang kerja, tubuhnya gemetar. Jurnal itu terbuka di pangkuannya, lembar-lembar usang berisi coretan tangan Chandra yang begitu familiar. Ia baru saja menyelesaikan membaca entri tentang perjanjian mustahil dengan sosok bernama Nadia, dan kini pikirannya terasa seperti pecah berkeping-keping.Dia menggeleng keras, air mata memburamkan pandangannya.“Enggak… ini nggak mungkin,” bisiknya, suaranya parau, seolah ia memohon pada ruangan kosong agar menyangkal kenyataan itu. “Ini pasti… bohong kan?”Tapi tulisannya terasa begitu nyata. Terlalu pribadi. Terlalu Chandra.Dengan tangan gemetar, Alana membalik halaman. Satu lagi. Dan satu lagi. Setiap baris seperti menancapkan jarum di dadanya.Ia membaca entri tentang hari pernikahan mereka. Kata-kata Chandra begitu sederhana namun menghancurkan: bagaimana jantungnya berdebar ketika melihat Alana melangkah di altar, bagaimana harapannya runtuh saat Alana memalingkan wajah, menolak ciuman yang seharusnya menjadi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status