Sebulan kemudian.
Di balik tirai ruang rias, Alana berdiri diam. Gaun pengantinnya jatuh dengan sempurna. Potongan leher sabrina memperlihatkan tulang selangkanya yang jenjang, sementara renda halus menjalar dari lengan hingga pergelangan tangan. Setiap detail pada gaun itu adalah rancangannya sendiri.
Dina, berdiri di sampingnya, membenarkan kerudung tipis di atas kepalanya sambil tersenyum lebar.
“Kak... kamu kelihatan cantik banget. Sempurna,” bisiknya. “Kalau aku Brian, aku pasti langsung jatuh cinta saat melihatmu.”
Alana hanya menoleh sebentar. Bibirnya menarik garis senyum yang datar, tanpa makna.
“Bagus…,” ucapnya lirih.
“Kalau dia jatuh cinta. Akan lebih mudah menghancurkannya”Bunga-bunga putih menggantung dari langit-langit, membentuk lengkung sempurna di sepanjang lorong altar. Harumnya memenuhi ruangan, menyamarkan ketegangan yang merayap di antara tamu undangan. Di sisi kanan, keluarga Ravenshade duduk tegak dan dingin. Di sisi kiri, keluarga Valestra terlihat gelisah.Musik pelan mulai dimainkan. Irama klasik mengalun dari grand piano yang ditempatkan di ujung ruangan. Saat pintu terbuka, semua kepala menoleh.
Alana melangkah pelan di atas karpet putih, digandeng oleh Silvano. Gaunnya sempurna, hasil tangannya sendiri. Tapi wajahnya kosong. Matanya tak menoleh ke siapa pun, tak menengok pada kursi kosong, tak mencari satu pun tatapan. Hanya menatap lurus.
"Kamu terlihat cantik, Alana," bisik Silvano pelan sambil terus melangkah. "Ayah bangga padamu."
Di ujung altar, pria yang berdiri di sana menunggu dalam diam. Rambutnya tersisir rapi, jasnya tanpa lipatan. Tapi Alana tidak melihat pengantin. Ia melihat seorang pembunuh.
“Brian Ravenshade,” suara penghulu mengisi ruang, “Apakah Anda bersedia menerima Alana Putri Valestra sebagai istri, dengan tulus dan sepenuh hati?”
Pria itu menarik napas perlahan.
“Saya bersedia.” Suaranya datar, terkontrol, dan dalam. Ia menatap lurus ke dalam mata Alana, dan untuk sesaat, Alana melihat sesuatu yang aneh di sana. Sebuah tatapan yang terasa tulus, bukan kekuasaan atau arogansi seperti yang diharapkannya. “Dasar pembunuh, penipu,” batin Alana mencemooh.
Saat giliran Alana tiba, ia menoleh untuk pertama kalinya. Matanya menatap lurus pada pria yang berdiri di hadapannya. Tatapan itu tajam. Dingin.
Suaranya keluar, tenang dan jelas.
“Aku bersumpah ... akan menjadi istri yang setia. Dalam sakit dan sehat. Dalam suka dan duka.”
Setiap kalimat diucapkan perlahan, dan dingin.
“Dan aku akan berdiri di sisimu, sampai akhir.”
Tapi di dalam jiwanya, Alana bersumpah, “Aku akan menghancurkanmu. Dari dalam.”
Penghulu melanjutkan, “Silakan cium pasangan Anda.”
Kalimat itu jatuh seperti vonis.
Alana melihat Brian mencondongkan tubuhnya perlahan. Ia bisa merasakan napas pria itu yang hangat, sebuah keintiman yang membuatnya mual. Tepat sebelum bibir mereka bersentuhan, Alana dengan cepat dan pasti memalingkan wajahnya. Hanya sedikit, sebuah gerakan tipis. Ciuman itu mendarat di pipinya, persis di sudut bibirnya. Sebuah penolakan publik yang dibungkus dalam keanggunan.
"Sudah cukup," pikir Alana. "Aku tak akan membiarkanmu menyentuhku lebih dari ini."
Kilasan reaksi mengisi ruangan yang mendadak terlalu sunyi. Isabella menghela napas tajam dan membetulkan brosnya, matanya menyipit. Leo menyeringai kecil di bangkunya, matanya tak melepaskan Alana. Sementara Silvano hanya menatap lantai, rahangnya mengeras.
Alana berdiri tenang. Senyumnya datar, tapi di dalam dadanya ada gemuruh getir.
Di dalam mobil menuju ke Penthouse yang telah disiapkan untuk mereka, tak ada kata-kata. Alana menatap keluar jendela, membiarkan lampu-lampu kota Kaliandra berpendar tanpa makna. Ia tak melihat wajah suaminya sedikitpun.
Pria itu beberapa kali menoleh padanya, terlihat seperti ingin bicara, tapi yang keluar hanya desahan napas.
“Bagus,” pikir Alana. “Jangan bicara padaku.”Penthouse itu menyala dengan sensor otomatis begitu pintu dibuka.
Alana melangkah tanpa bicara. Langkahnya ringan, cepat. Chandra mengikuti, menjaga jarak.
Tak lama, ia melihat Alana keluar dari kamar tidur utama dengan satu bantal dan selimut tebal berwarna perak dalam pelukannya.
Tanpa menatapnya, ia berjalan ke ruang tamu dan melemparkan keduanya ke sofa kulit yang menghadap jendela besar.
“Itu kamarmu,” katanya.
Brian berdiri mematung di depan sofa. “Alana…”
Alana berhenti. Ia tidak menoleh, hanya menjawab pelan,
“Jangan panggil namaku.”
“Bagiku, kau tidak pantas!” Alana masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup. Dan detik berikutnya Suara klik kuncian pintu terdengar. Menutup semua harapan Brian malam itu.
Langit Kaliandra baru saja kehilangan warna terakhirnya. Sisa cahaya jingga tenggelam di antara gedung-gedung tinggi. Di dalam butik Valestra Bridal yang kini mulai sepi, Alana sedang menyelesaikan catatan untuk tim penjahit ketika ponselnya bergetar.Pesan masuk. Dari Brian.“Aku sudah di depan Valestra Bridal.”Alana mengetik cepat tanpa banyak pikir. “Aku lagi tanggung. Tunggu dulu di lobi.”Ia menyimpan ponselnya lalu berdiri, mengambil jeda sejenak sebelum meninggalkan ruang kerjanya. Langkahnya menuju ruang tamu lantai bawah pelan tapi mantap, seolah tengah bersiap menuju panggung yang enggan ia pijak.Brian berdiri di depan jendela besar, siluet tubuh atletisnya terbingkai oleh cahaya lampu jalan dari luar. Tangannya diselipkan ke dalam saku celana, santai. Alana berhenti di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya sejenak di kusen kayu putih."Aku tidak mau pergi," katanya pelan, tapi tidak ragu. Suaranya bening dan dingin.Brian menoleh. Sorot matanya tak menunjukkan keterkejutan.
Alana membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang masuk dari celah tirai jatuh lurus ke sisi bantalnya, menyilaukan tapi tak menghangatkan. Ranjang di bawah tubuhnya empuk dan bersih, namun tak membuatnya tidur nyenyak.Dari luar pintu, ia mendengar suara pelan, langkah kaki. Brian sudah bangun. Ia bangkit dan berdiri sebentar, menyentuh permukaan meja rias dengan ujung jarinya.Ia tahu apa yang ingin ia lakukan pagi ini. Sesuatu kecil. Tapi cukup untuk mengingatkan siapa yang sebenarnya punya kuasa."Permainan akan segera dimulai, Tuan Ravenshade," bisik Alana sambil melangkah ke dapur.Ia membuka lemari dapur dengan gerakan perlahan. Tangannya bergerak cepat. Dua lembar roti dimasukkan ke pemanggang, lalu ia membuka selai kacang dari toples kaca mewah yang dibeli khusus untuk isi pantry mereka. Ia tahu pasti, Brian Ravenshade memiliki riwayat alergi ringan terhadap kacang. Tidak mematikan. Tapi cukup mengganggu.“Rasakan,” gumamnya sinis.Ia menyusun roti panggang di atas piring putih d
Sebulan kemudian. Di balik tirai ruang rias, Alana berdiri diam. Gaun pengantinnya jatuh dengan sempurna. Potongan leher sabrina memperlihatkan tulang selangkanya yang jenjang, sementara renda halus menjalar dari lengan hingga pergelangan tangan. Setiap detail pada gaun itu adalah rancangannya sendiri.Dina, berdiri di sampingnya, membenarkan kerudung tipis di atas kepalanya sambil tersenyum lebar.“Kak... kamu kelihatan cantik banget. Sempurna,” bisiknya. “Kalau aku Brian, aku pasti langsung jatuh cinta saat melihatmu.”Alana hanya menoleh sebentar. Bibirnya menarik garis senyum yang datar, tanpa makna.“Bagus…,” ucapnya lirih. “Kalau dia jatuh cinta. Akan lebih mudah menghancurkannya”Bunga-bunga putih menggantung dari langit-langit, membentuk lengkung sempurna di sepanjang lorong altar. Harumnya memenuhi ruangan, menyamarkan ketegangan yang merayap di antara tamu undangan. Di sisi kanan, keluarga Ravenshade duduk tegak dan dingin. Di sisi kiri, keluarga Valestra terlihat gelisah.
Alana tercekat. matanya membelalak. Nafasnya kembali terhenti. Nama itu. Dua kata yang membawa beban lebih berat dari apa pun dalam hidupnya.Brian. Nama itu kini Kini nama itu punya wajah.Dua tubuh. Satu tragedi. Tapi di dalam kepala Alana, segalanya sudah jelas.Satu korban. Satu pelaku.Di rumah sakit, Alana duduk diam, punggungnya menyentuh sandaran Kursi yang keras di koridor rumah sakit. Udara terlalu dingin, menusuk hingga ke tulang.Di sisi kanan, keluarga Valestra berkumpul dalam barisan senyap. Ayahnya duduk tegak, wajahnya datar, mulutnya terkunci rapat. Di sisi kiri, berkumpul keluarga Ravenshade. Lebih berjarak, lebih asing. Tak lama kemudian pintu ruang rawat terbuka.Seorang perempuan keluar. Langkahnya tenang, tak tergesa. Wajahnya bersih tanpa riasan, jas putihnya jatuh rapi sampai lutut, papan nama kecil di dada kanan menampilkan tulisan sederhana, dr. Nadia.Alana langsung berdiri. “Dokter... Nadia?” suaranya pelan. “Bagaimana keadaannya? Kondisi... Chandra?”Nad
Dorongan itu datang begitu cepat, keras, dan tanpa peringatan. Bahu Alana terasa dihantam. Udara tercekat dari dadanya. Tubuhnya terhempas ke samping, melayang rendah dan keras, lalu jatuh menghantam tanah.Sebelum Ia menyadari apa yang terjadi, terdengar suara decitan ban memekakkan telinga. Lalu... hening.Alana terbatuk. Tenggorokannya gatal, penuh debu dan ketakutan. Ia mencoba bangun, satu tangan menopang tubuh, tubuhnya masih gemetar. Sakit di bahu dan lengan hanya setitik dibanding kekacauan di kepalanya.Pandangan matanya kabur, tapi perlahan menjadi lebih jelas.Seseorang. Terbaring tak bergerak. “Chandra…enggak.”Otaknya menolak memproses. “Tidak…Tolong Tuhan…Jangan.”Alana menggeleng pelan. Bibirnya mulai bergetar. Ia mundur satu langkah, tubuhnya kehilangan kekuatan."Enggak... enggak mungkin..."Alana mencoba berdiri. Tapi tubuhnya tidak merespons. Kakinya gemetar hebat, seolah semua ototnya menolak perintah. tapi ia tak bisa berhenti, ia memaksakan diri untuk merangka
“Sayang, kamu menangis?”Alana yang berdiri di pojok ruangan langsung berlari ke dekapannya. Chandra dengan cekatan memeluknya, terheran karena bahu Alana berguncang hebat.“Apa yang terjadi?”Alana menatapnya sejenak. Wajahnya pucat. Matanya merah. Butuh beberapa detik sebelum Alana bicara."Ayah… Memberiku ultimatum semalam," suaranya nyaris seperti bisikan. “Valestra Group diambang kebangkrutan. Aku ga tahu sejak kapan, Tapi tadi Ia berkata ... satu-satunya cara menyelamatkan semuanya adalah dengan menjualnya ke Ravenshade.”Chandra mendengarkan. Napasnya mulai berubah.Alana melanjutkan. “Tapi mereka bukan cuma mau perusahaan. Mereka mau ... aku.” “Aku harus menjadi pendamping putra mereka, menikah dengan Brian Ravenshade sebagai bagian dari kesepakatan. Kalau nggak … Ratusan karyawan kehilangan pekerjaan.”Alana menunduk. “Ayah bilang ini pengorbanan yang harus aku lakukan demi keluarga. Demi perusahaan. Demi semua orang.” Air matanya menetes. Chandra mengulurkan tangan, mengge