LOGINAlana membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang masuk dari celah tirai jatuh lurus ke sisi bantalnya, menyilaukan tapi tak menghangatkan. Ranjang di bawah tubuhnya empuk dan bersih, namun tak membuatnya tidur nyenyak.
Dari luar pintu, ia mendengar suara pelan, langkah kaki. Brian sudah bangun. Ia bangkit dan berdiri sebentar, menyentuh permukaan meja rias dengan ujung jarinya.
Ia tahu apa yang ingin ia lakukan pagi ini. Sesuatu kecil. Tapi cukup untuk mengingatkan siapa yang sebenarnya punya kuasa.
"Permainan akan segera dimulai, Tuan Ravenshade," bisik Alana sambil melangkah ke dapur.
Ia membuka lemari dapur dengan gerakan perlahan. Tangannya bergerak cepat. Dua lembar roti dimasukkan ke pemanggang, lalu ia membuka selai kacang dari toples kaca mewah yang dibeli khusus untuk isi pantry mereka. Ia tahu pasti, Brian Ravenshade memiliki riwayat alergi ringan terhadap kacang. Tidak mematikan. Tapi cukup mengganggu.
“Rasakan,” gumamnya sinis.Ia menyusun roti panggang di atas piring putih dengan hiasan minimalis. Tak lupa secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Ia duduk di kursimakan, membuka tablet, pura-pura menggulir media sosialnya.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Brian keluar mengenakan kemeja putih dan celana hitam yang pas di tubuhnya. Rambutnya masih sedikit lembap, dan ada sisa embun di lehernya.
Alana tidak menoleh, hanya melirik pergerakannya dari sudut mata.
"Selamat pagi," kata Brian singkat, suaranya datar, dingin. Seperti yang seharusnya.
Ia melihat roti itu di atas meja.
“Ini untukku?”, tanyanya.“Ya.”Brian ragu sejenak. Kemudian mengambil satu dan mulai mengunyah perlahan.
Alana meneguk kopinya, pelan. Dalam diam, ia menghitung. Tiga puluh detik. Satu menit. Satu setengah.
Ia menunggu reaksi. Kulit yang mulai merah, tenggorokan yang gatal, atau wajah yang berubah panik. Tapi tidak ada. Brian memakan roti itu sampai habis, lalu mengangkat kepalanya menatap Alana dari seberang meja.
Tatapan itu tidak seperti yang ia harapkan. Tidak ada arogansi, tidak ada rasa superior. Ada sesuatu yang terasa salah di sana.
Matanya terlihat sendu ... sedih? Atau kecewa?
Alana mengalihkan pandangan. Untuk sesaat, ia merasa tidak siap melihat isi dari mata itu.
"Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya pelan, tanpa menoleh.
Brian menggeleng kecil. "Enggak. Cuma... mau bilang makasih untuk sarapannya. Juga… Makasih udah mau ngomong sama aku."
Ia berdiri, merapikan lengan bajunya, lalu berjalan menuju pintu apartemen.
Alana tetap diam di kursinya. Rasa kemenangan itu tidak muncul. Yang tertinggal justru... kekosongan yang aneh.
Ia menatap piring kosong di depannya.
Di depan pintu, Brian berhenti sejenak dan menoleh sedikit ke arah Alana. "Tapi lain kali, ga usah repot-repot. Aku ga punya alergi apa pun. Aku jalan dulu ya."
Alana tidak menjawab. Kalimat itu terasa seperti tamparan keras di pipinya. Ia menatap roti panggang yang sudah tak bersisa di atas piring.
“Apa-apaan ini…Risetku salah? Atau pria itu berbohong?” Rasa tidak puas menyelinap pelan, membakar rasa di hatinya perlahan.Ia melipat lengan di dada dan bersandar di meja, menatap pintu yang baru saja tertutup.
"Permainan macam apa yang sedang kau mainkan, Brian Ravenshade?"
Butik adalah pelariannya. Bangunan dua lantai dengan fasad kaca dan logo ‘Valestra Bridal’ berwarna emas itu selalu menjadi tempat di mana Alana merasa utuh. Di dalamnya, semua terasa dalam kendali. Gaun, cahaya, musik, dan langkah kaki ringan para karyawannya. Dunia yang ia bentuk sendiri.
Riana menyambutnya di pintu, senyumnya ragu. Ia mengikuti Alana hingga ke ruang kerja.
"Kau baik-baik saja?" tanya Riana pelan sambil menyerahkan secangkir teh.
Alana hanya duduk dan memijat pelipisnya. "Aku mencoba memberi pelajaran pagi ini. Kudengar dia punya alergi ringan. Jadi aku memberinya roti dengan selai kacang. Tapi dia memakannya tanpa reaksi apa pun. Lalu menatapku… tapi ada sesuatu yang lebih... lembut? Bikin aku makin kesel aja."
Riana menyimak sambil membuka tablet di pangkuannya. Ia menunjukkan layar ke arah Alana.
"Aku rasa kamu harus lihat ini."
Di layar, terbuka sebuah artikel dari laman bisnis ternama: Brian Ravenshade Kembali Pimpin Rapat Dewan Direksi Pasca-Kecelakaan, Patahkan Spekulasi. Artikel itu menyebutkan bahwa Brian tampil prima, bahkan disebut ‘lebih tajam dan lebih tegas dari sebelumnya’ menurut salah satu sumber internal.
Alana membaca pelan. Kata demi kata seperti tidak cocok dengan kenyataan yang ia tahu.
"Ini ga masuk akal," gumamnya. "Kepalanya terbentur keras. Dokter bilang mungkin amnesia. Atau perubahan perilaku. Tapi semua yang kulihat... bukan penurunan. Justru... makin terkendali."
Riana mengangkat alis. "Mungkin dia cuma lebih licik dari yang kita bayangkan."
Ponselnya bergetar. Alana meliriknya dan merasa dadanya mengencang. Nomor asing. Tapi ia tahu dari siapa itu.
Isi pesannya singkat. Makan malam keluarga di kediaman Ravenshade malam ini. Jam 7. Jangan terlambat.
Bukan ajakan. Ini perintah.
Alana mengembuskan napas dan meletakkan ponselnya pelan di meja.
"Akhirnya," katanya, "wajah aslinya muncul."
Mobil hitam Alana meluncur pelan menuju Taman Kota, tempat yang sudah menjadi semacam ritual baginya selama setahun terakhir ini. Tempat di mana perjumpaan, cinta, penyesalan, dan perpisahan pernah bertemu dalam satu titik.Sesampainya di gerbang taman, ia menoleh pada Riana.“Riana, tolong biarkan aku sendiri kali ini,” ucapnya lembut.Riana sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan mata majikannya, ia hanya mengangguk.“Kau yakin Alana, apa nggak sebaiknya aku temani aja?”“Nggak usah, Riana. Tolong, Aku lagi nggak mau diganggu, sebentar aja, sampai aku hubungi kamu lagi.”
Alana terhuyung mendekat, napasnya terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah ledakan cahaya tadi. Di bawah pohon tua, ia melihatnya, tubuh Brian terbaring lunglai di atas rumput basah.“Tidak… tidak, tidak…” suaranya tertahan, hampir tidak bisa keluar.Dia menjatuhkan diri berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh wajah yang dulu begitu asing, namun kini terasa paling dicintainya. Jemarinya mencari-cari, menekan lembut di sisi leher, berusaha merasakan denyut nadi. Kosong.“Tidak… kumohon…” Alana memindahkan tangannya, kali ini mendekat ke hidung, mencari sedikit hembusan napas. Hampa.Panik, ia menempelkan telinganya di dada bidang itu, menahan napas, berharap, hanya berharap, mendengar detak jantung yang samar. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan.Tubuh ini… wadah yang selama 77 hari terakhir menampung jiwa kekasihnya, kini betul-betul kosong. Jiwa itu telah pergi. Brian Ravenshade … telah tiada.Alana tidak melepaskan pelukannya sepanjang malam. Di bawah
Alana menahan napas dan membanting setir ke kiri. BRAK! Mobilnya menghantam keras pembatas jalan, tubuhnya tersentak ke depan, hampir menghantam kemudi. Ban berdecit panjang, lalu berhenti mendadak.Truk itu melintas, klaksonnya masih meraung, pengemudinya berteriak marah dari balik kaca. Tapi suara itu hilang, tertelan oleh degup jantung Alana yang membahana di telinganya.Tangannya bergetar. Napasnya terengah-engah. Dunia seperti berputar.Tapi lalu matanya menangkapnya, deretan pepohonan hijau yang menandakan Taman Kota sudah sangat dekat.Dia tidak lagi peduli pada mobilnya yang penyok. Dengan gerakan putus asa, ia meraih tuas, membuka pintu, dan melompat keluar.Kakinya menghantam aspal, dingin dan keras, tapi ia tidak merasakannya. Ia langsung berlari, tubuhnya diterpa angin malam, langkahnya terhuyung-huyung oleh adrenalin yang membuncah.Melewati gerbang besi tua taman itu, ia berlari semakin kencang. Nafasnya tersengal-sengal, paru-parunya seperti terbakar, tapi ia tidak ber
“Cepat katakan padaku di mana dia!” desak Alana, suaranya bergetar antara ketakutan dan kemarahan.Nadia menatapnya lama, seolah sedang menimbang aturan tak tertulis yang mengikat dirinya. Sunyi sesaat terasa memanjang, lalu wanita itu menghela napas panjang.“Aku tidak bisa memberitahumu lokasi tepatnya,” katanya akhirnya. “Tapi… aku bisa memberimu petunjuk.”Alana menahan napas, tubuhnya tegang.“Dia akan pergi … di tempat di mana semuanya dimulai dan seharusnya berakhir. Tempat yang paling penting bagi kalian berdua.” Mata Nadia menatap lurus ke dalam jiwa Alana, seolah kalimat itu bukan sekadar petunjuk, melainkan sebuah kunci.Alana terpaku. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menyingkap kenangan satu per satu.“Tapi…” suara Nadia menggema rendah, seperti gema dari ruang tak kasat mata, “…waktunya hampir habis. Bahkan jika kau tahu di mana dia… kau mungkin tidak akan sampai tepat waktu.”“Aku tidak peduli,” jawab Alana tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Aku tetap akan mencarinya.”
Penyesalan itu menusuk dalam, seperti belati yang dipelintir berkali-kali di jantungnya. Alana baru menyadari ia telah menyia-nyiakan tujuh puluh tujuh hari bersama Chandra. Hari-hari yang ia habiskan dengan dingin, dengan kecurigaan, dengan jarak yang disengaja. Dan sekarang… waktu itu hampir habis.Panik merayap lebih cepat daripada air mata. Kesedihan yang tadi mencekik dadanya kini berubah menjadi kepanikan murni. Waktunya, berapa lama yang tersisa? Beberapa jam? Beberapa menit? Atau mungkin, ia bahkan sudah terlambat?Sambil masih terisak, ia bangkit berdiri dengan gerakan mendadak, kursi hampir terguling ke belakang. Nafasnya terengah, matanya merah, tapi tekadnya keras. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penolakan.Dia harus menemukannya. Dia harus memberitahunya.“Chandra…” bibirnya bergetar ketika menyebut nama itu, kali ini penuh dengan cinta yang selama ini ia tahan.Tanpa berpikir panjang, Alana berlari keluar dari ruang kerja, langkahnya terhuyung-huyung tapi tak ber
Alana masih terduduk di lantai ruang kerja, tubuhnya gemetar. Jurnal itu terbuka di pangkuannya, lembar-lembar usang berisi coretan tangan Chandra yang begitu familiar. Ia baru saja menyelesaikan membaca entri tentang perjanjian mustahil dengan sosok bernama Nadia, dan kini pikirannya terasa seperti pecah berkeping-keping.Dia menggeleng keras, air mata memburamkan pandangannya.“Enggak… ini nggak mungkin,” bisiknya, suaranya parau, seolah ia memohon pada ruangan kosong agar menyangkal kenyataan itu. “Ini pasti… bohong kan?”Tapi tulisannya terasa begitu nyata. Terlalu pribadi. Terlalu Chandra.Dengan tangan gemetar, Alana membalik halaman. Satu lagi. Dan satu lagi. Setiap baris seperti menancapkan jarum di dadanya.Ia membaca entri tentang hari pernikahan mereka. Kata-kata Chandra begitu sederhana namun menghancurkan: bagaimana jantungnya berdebar ketika melihat Alana melangkah di altar, bagaimana harapannya runtuh saat Alana memalingkan wajah, menolak ciuman yang seharusnya menjadi







