Share

Bab 5. Siapa Dia?

Author: KiraYume
last update Huling Na-update: 2025-06-29 23:00:49

Alana membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang masuk dari celah tirai jatuh lurus ke sisi bantalnya, menyilaukan tapi tak menghangatkan. Ranjang di bawah tubuhnya empuk dan bersih, namun tak membuatnya tidur nyenyak.

Dari luar pintu, ia mendengar suara pelan, langkah kaki. Brian sudah bangun. Ia bangkit dan berdiri sebentar, menyentuh permukaan meja rias dengan ujung jarinya.

Ia tahu apa yang ingin ia lakukan pagi ini. Sesuatu kecil. Tapi cukup untuk mengingatkan siapa yang sebenarnya punya kuasa.

"Permainan akan segera dimulai, Tuan Ravenshade," bisik Alana sambil melangkah ke dapur.

Ia membuka lemari dapur dengan gerakan perlahan. Tangannya bergerak cepat. Dua lembar roti dimasukkan ke pemanggang, lalu ia membuka selai kacang dari toples kaca mewah yang dibeli khusus untuk isi pantry mereka. Ia tahu pasti, Brian Ravenshade memiliki riwayat alergi ringan terhadap kacang. Tidak mematikan. Tapi cukup mengganggu.

“Rasakan,” gumamnya sinis.

Ia menyusun roti panggang di atas piring putih dengan hiasan minimalis. Tak lupa secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Ia duduk di kursimakan, membuka tablet, pura-pura menggulir media sosialnya.

Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Brian keluar mengenakan kemeja putih dan celana hitam yang pas di tubuhnya. Rambutnya masih sedikit lembap, dan ada sisa embun di lehernya.

Alana tidak menoleh, hanya melirik pergerakannya dari sudut mata.

"Selamat pagi," kata Brian singkat, suaranya datar, dingin. Seperti yang seharusnya.

Ia melihat roti itu di atas meja.

“Ini untukku?”, tanyanya.

“Ya.”

Brian ragu sejenak. Kemudian mengambil satu dan mulai mengunyah perlahan.

Alana meneguk kopinya, pelan. Dalam diam, ia menghitung. Tiga puluh detik. Satu menit. Satu setengah.

Ia menunggu reaksi. Kulit yang mulai merah, tenggorokan yang gatal, atau wajah yang berubah panik. Tapi tidak ada. Brian memakan roti itu sampai habis, lalu mengangkat kepalanya menatap Alana dari seberang meja.

Tatapan itu tidak seperti yang ia harapkan. Tidak ada arogansi, tidak ada rasa superior. Ada sesuatu yang terasa salah di sana.

Matanya terlihat sendu ... sedih? Atau kecewa?

Alana mengalihkan pandangan. Untuk sesaat, ia merasa tidak siap melihat isi dari mata itu.

"Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya pelan, tanpa menoleh.

Brian menggeleng kecil. "Enggak. Cuma... mau bilang makasih untuk sarapannya. Juga… Makasih udah mau ngomong sama aku."

Ia berdiri, merapikan lengan bajunya, lalu berjalan menuju pintu apartemen.

Alana tetap diam di kursinya. Rasa kemenangan itu tidak muncul. Yang tertinggal justru... kekosongan yang aneh.

Ia menatap piring kosong di depannya.

Di depan pintu, Brian berhenti sejenak dan menoleh sedikit ke arah Alana. "Tapi lain kali, ga usah repot-repot. Aku ga punya alergi apa pun. Aku jalan dulu ya."

Alana tidak menjawab. Kalimat itu terasa seperti tamparan keras di pipinya. Ia menatap roti panggang yang sudah tak bersisa di atas piring.

“Apa-apaan ini…Risetku salah? Atau pria itu berbohong?” Rasa tidak puas menyelinap pelan, membakar rasa di hatinya perlahan.

Ia melipat lengan di dada dan bersandar di meja, menatap pintu yang baru saja tertutup.

"Permainan macam apa yang sedang kau mainkan, Brian Ravenshade?"

Butik adalah pelariannya. Bangunan dua lantai dengan fasad kaca dan logo ‘Valestra Bridal’ berwarna emas itu selalu menjadi tempat di mana Alana merasa utuh. Di dalamnya, semua terasa dalam kendali. Gaun, cahaya, musik, dan langkah kaki ringan para karyawannya. Dunia yang ia bentuk sendiri.

Riana menyambutnya di pintu, senyumnya ragu. Ia mengikuti Alana hingga ke ruang kerja.

"Kau baik-baik saja?" tanya Riana pelan sambil menyerahkan secangkir teh.

Alana hanya duduk dan memijat pelipisnya. "Aku mencoba memberi pelajaran pagi ini. Kudengar dia punya alergi ringan. Jadi aku memberinya roti dengan selai kacang. Tapi dia memakannya tanpa reaksi apa pun. Lalu menatapku… tapi ada sesuatu yang lebih... lembut? Bikin aku makin kesel aja."

Riana menyimak sambil membuka tablet di pangkuannya. Ia menunjukkan layar ke arah Alana.

"Aku rasa kamu harus lihat ini."

Di layar, terbuka sebuah artikel dari laman bisnis ternama: Brian Ravenshade Kembali Pimpin Rapat Dewan Direksi Pasca-Kecelakaan, Patahkan Spekulasi. Artikel itu menyebutkan bahwa Brian tampil prima, bahkan disebut ‘lebih tajam dan lebih tegas dari sebelumnya’ menurut salah satu sumber internal.

Alana membaca pelan. Kata demi kata seperti tidak cocok dengan kenyataan yang ia tahu.

"Ini ga masuk akal," gumamnya. "Kepalanya terbentur keras. Dokter bilang mungkin amnesia. Atau perubahan perilaku. Tapi semua yang kulihat... bukan penurunan. Justru... makin terkendali."

Riana mengangkat alis. "Mungkin dia cuma lebih licik dari yang kita bayangkan."

Ponselnya bergetar. Alana meliriknya dan merasa dadanya mengencang. Nomor asing. Tapi ia tahu dari siapa itu.

Isi pesannya singkat. Makan malam keluarga di kediaman Ravenshade malam ini. Jam 7. Jangan terlambat.

Bukan ajakan. Ini perintah.

Alana mengembuskan napas dan meletakkan ponselnya pelan di meja.

"Akhirnya," katanya, "wajah aslinya muncul."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 6. Brian Ravenshade

    Langit Kaliandra baru saja kehilangan warna terakhirnya. Sisa cahaya jingga tenggelam di antara gedung-gedung tinggi. Di dalam butik Valestra Bridal yang kini mulai sepi, Alana sedang menyelesaikan catatan untuk tim penjahit ketika ponselnya bergetar.Pesan masuk. Dari Brian.“Aku sudah di depan Valestra Bridal.”Alana mengetik cepat tanpa banyak pikir. “Aku lagi tanggung. Tunggu dulu di lobi.”Ia menyimpan ponselnya lalu berdiri, mengambil jeda sejenak sebelum meninggalkan ruang kerjanya. Langkahnya menuju ruang tamu lantai bawah pelan tapi mantap, seolah tengah bersiap menuju panggung yang enggan ia pijak.Brian berdiri di depan jendela besar, siluet tubuh atletisnya terbingkai oleh cahaya lampu jalan dari luar. Tangannya diselipkan ke dalam saku celana, santai. Alana berhenti di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya sejenak di kusen kayu putih."Aku tidak mau pergi," katanya pelan, tapi tidak ragu. Suaranya bening dan dingin.Brian menoleh. Sorot matanya tak menunjukkan keterkejutan.

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 5. Siapa Dia?

    Alana membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang masuk dari celah tirai jatuh lurus ke sisi bantalnya, menyilaukan tapi tak menghangatkan. Ranjang di bawah tubuhnya empuk dan bersih, namun tak membuatnya tidur nyenyak.Dari luar pintu, ia mendengar suara pelan, langkah kaki. Brian sudah bangun. Ia bangkit dan berdiri sebentar, menyentuh permukaan meja rias dengan ujung jarinya.Ia tahu apa yang ingin ia lakukan pagi ini. Sesuatu kecil. Tapi cukup untuk mengingatkan siapa yang sebenarnya punya kuasa."Permainan akan segera dimulai, Tuan Ravenshade," bisik Alana sambil melangkah ke dapur.Ia membuka lemari dapur dengan gerakan perlahan. Tangannya bergerak cepat. Dua lembar roti dimasukkan ke pemanggang, lalu ia membuka selai kacang dari toples kaca mewah yang dibeli khusus untuk isi pantry mereka. Ia tahu pasti, Brian Ravenshade memiliki riwayat alergi ringan terhadap kacang. Tidak mematikan. Tapi cukup mengganggu.“Rasakan,” gumamnya sinis.Ia menyusun roti panggang di atas piring putih d

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 4. Pernikahan Paksa

    Sebulan kemudian. Di balik tirai ruang rias, Alana berdiri diam. Gaun pengantinnya jatuh dengan sempurna. Potongan leher sabrina memperlihatkan tulang selangkanya yang jenjang, sementara renda halus menjalar dari lengan hingga pergelangan tangan. Setiap detail pada gaun itu adalah rancangannya sendiri.Dina, berdiri di sampingnya, membenarkan kerudung tipis di atas kepalanya sambil tersenyum lebar.“Kak... kamu kelihatan cantik banget. Sempurna,” bisiknya. “Kalau aku Brian, aku pasti langsung jatuh cinta saat melihatmu.”Alana hanya menoleh sebentar. Bibirnya menarik garis senyum yang datar, tanpa makna.“Bagus…,” ucapnya lirih. “Kalau dia jatuh cinta. Akan lebih mudah menghancurkannya”Bunga-bunga putih menggantung dari langit-langit, membentuk lengkung sempurna di sepanjang lorong altar. Harumnya memenuhi ruangan, menyamarkan ketegangan yang merayap di antara tamu undangan. Di sisi kanan, keluarga Ravenshade duduk tegak dan dingin. Di sisi kiri, keluarga Valestra terlihat gelisah.

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 3. Cinta dan Dendam

    Alana tercekat. matanya membelalak. Nafasnya kembali terhenti. Nama itu. Dua kata yang membawa beban lebih berat dari apa pun dalam hidupnya.Brian. Nama itu kini Kini nama itu punya wajah.Dua tubuh. Satu tragedi. Tapi di dalam kepala Alana, segalanya sudah jelas.Satu korban. Satu pelaku.Di rumah sakit, Alana duduk diam, punggungnya menyentuh sandaran Kursi yang keras di koridor rumah sakit. Udara terlalu dingin, menusuk hingga ke tulang.Di sisi kanan, keluarga Valestra berkumpul dalam barisan senyap. Ayahnya duduk tegak, wajahnya datar, mulutnya terkunci rapat. Di sisi kiri, berkumpul keluarga Ravenshade. Lebih berjarak, lebih asing. Tak lama kemudian pintu ruang rawat terbuka.Seorang perempuan keluar. Langkahnya tenang, tak tergesa. Wajahnya bersih tanpa riasan, jas putihnya jatuh rapi sampai lutut, papan nama kecil di dada kanan menampilkan tulisan sederhana, dr. Nadia.Alana langsung berdiri. “Dokter... Nadia?” suaranya pelan. “Bagaimana keadaannya? Kondisi... Chandra?”Nad

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 2. Tragedi

    Dorongan itu datang begitu cepat, keras, dan tanpa peringatan. Bahu Alana terasa dihantam. Udara tercekat dari dadanya. Tubuhnya terhempas ke samping, melayang rendah dan keras, lalu jatuh menghantam tanah.Sebelum Ia menyadari apa yang terjadi, terdengar suara decitan ban memekakkan telinga. Lalu... hening.Alana terbatuk. Tenggorokannya gatal, penuh debu dan ketakutan. Ia mencoba bangun, satu tangan menopang tubuh, tubuhnya masih gemetar. Sakit di bahu dan lengan hanya setitik dibanding kekacauan di kepalanya.Pandangan matanya kabur, tapi perlahan menjadi lebih jelas.Seseorang. Terbaring tak bergerak. “Chandra…enggak.”Otaknya menolak memproses. “Tidak…Tolong Tuhan…Jangan.”Alana menggeleng pelan. Bibirnya mulai bergetar. Ia mundur satu langkah, tubuhnya kehilangan kekuatan."Enggak... enggak mungkin..."Alana mencoba berdiri. Tapi tubuhnya tidak merespons. Kakinya gemetar hebat, seolah semua ototnya menolak perintah. tapi ia tak bisa berhenti, ia memaksakan diri untuk merangka

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 1. Pelarian

    “Sayang, kamu menangis?”Alana yang berdiri di pojok ruangan langsung berlari ke dekapannya. Chandra dengan cekatan memeluknya, terheran karena bahu Alana berguncang hebat.“Apa yang terjadi?”Alana menatapnya sejenak. Wajahnya pucat. Matanya merah. Butuh beberapa detik sebelum Alana bicara."Ayah… Memberiku ultimatum semalam," suaranya nyaris seperti bisikan. “Valestra Group diambang kebangkrutan. Aku ga tahu sejak kapan, Tapi tadi Ia berkata ... satu-satunya cara menyelamatkan semuanya adalah dengan menjualnya ke Ravenshade.”Chandra mendengarkan. Napasnya mulai berubah.Alana melanjutkan. “Tapi mereka bukan cuma mau perusahaan. Mereka mau ... aku.” “Aku harus menjadi pendamping putra mereka, menikah dengan Brian Ravenshade sebagai bagian dari kesepakatan. Kalau nggak … Ratusan karyawan kehilangan pekerjaan.”Alana menunduk. “Ayah bilang ini pengorbanan yang harus aku lakukan demi keluarga. Demi perusahaan. Demi semua orang.” Air matanya menetes. Chandra mengulurkan tangan, mengge

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status