Alana tercekat. matanya membelalak. Nafasnya kembali terhenti. Nama itu. Dua kata yang membawa beban lebih berat dari apa pun dalam hidupnya.
Brian. Nama itu kini Kini nama itu punya wajah.
Dua tubuh. Satu tragedi. Tapi di dalam kepala Alana, segalanya sudah jelas.
Satu korban. Satu pelaku.
Di rumah sakit, Alana duduk diam, punggungnya menyentuh sandaran Kursi yang keras di koridor rumah sakit. Udara terlalu dingin, menusuk hingga ke tulang.Di sisi kanan, keluarga Valestra berkumpul dalam barisan senyap. Ayahnya duduk tegak, wajahnya datar, mulutnya terkunci rapat. Di sisi kiri, berkumpul keluarga Ravenshade. Lebih berjarak, lebih asing.
Tak lama kemudian pintu ruang rawat terbuka.
Seorang perempuan keluar. Langkahnya tenang, tak tergesa. Wajahnya bersih tanpa riasan, jas putihnya jatuh rapi sampai lutut, papan nama kecil di dada kanan menampilkan tulisan sederhana, dr. Nadia.
Alana langsung berdiri.
“Dokter... Nadia?” suaranya pelan. “Bagaimana keadaannya? Kondisi... Chandra?”
Nadia menatapnya. Sekilas. Tatapan itu aneh. Bukan tatapan dokter yang berusaha netral. Ada sesuatu di balik matanya.
Lalu, dengan suara selembut kapas dan setegas karang, Nadia bicara.
“Mohon maaf. Pasien Chandra Aditama...” Ia menarik napas perlahan. “Kami telah melakukan semua yang kami bisa. Tapi... takdir memiliki kehendak lain.”
Satu kalimat terakhir itu menghancurkan segala harapan Alana. Dunia di sekelilingnya mendadak runtuh. Dan Kakinya menyerah.
Ia jatuh terduduk, tak bersuara, hanya napas yang pendek-pendek. Tangan yang gemetar, menggenggam lantai yang terlalu keras dan dingin. Air matanya mengalir deras tanpa bisa tertahan.
Nadia menyentuh pundaknya dengan perlahan. Sebentar. Lalu berjalan menjauh.
Langkahnya menuju kubu yang satunya lagi. Ravenshade.
“Siapa penanggung jawab atas pasien Brian Ravenshade?”
Seorang pria berdiri.
Edgar Ravenshade. Rambut peraknya disisir rapi, jas hitamnya tampak lebih seperti perisai daripada pakaian. Tatapannya kaku, tapi tubuhnya sedikit condong ke depan.
“Saya,” jawabnya.
Nadia mengangguk. “Pasien mengalami luka berat, tapi keadaannya mulai stabil. Ia masih belum sadar, tapi... ada harapan. Ini... bisa dibilang sebuah keajaiban.”
Kata itu menusuk telinga Alana. “Keajaiban?”
Nadia melanjutkan.
“Namun, trauma di kepalanya cukup signifikan. Jika dia sadar, ada kemungkinan besar terjadi efek samping. Mungkin amnesia parsial. Mungkin perubahan kepribadian. Itu reaksi umum dari benturan seperti ini.”
Kalimat-kalimat itu terdengar logis. Klinis. Profesional.
Tapi di telinga Alana, semuanya terdengar seperti ejekan takdir yang sedang bercanda dengannya.
Dan saat Nadia selesai bicara, Alana tidak lagi merasa hancur. Tidak juga rapuh.
Karena di dalam dirinya, kekosongan itu mulai terisi.
Bukan oleh harapan. Tapi oleh sesuatu yang lebih tajam. Lebih terarah.
Bukan karena Brian selamat. Tapi karena Chandra tidak.
Satu yang dicintai mati. Sedangkan yang menjadi alasan kematiannya... hidup.
Keesokan paginya, lorong-lorong rumah sakit terasa lebih tegang. Cahaya pagi menyelinap lewat kisi-kisi jendela, tapi tidak membawa kehangatan.
Di ujung lorong, dua pria berdiri saling berhadapan. Keduanya mengenakan jas gelap. Keduanya membawa beban nama keluarga masing-masing.
Edgar Ravenshade lebih tinggi setengah kepala dari Silvano. Bahunya lebar. Matanya cekung dan tajam. Suaranya rendah tapi cukup untuk menembus dinding tipis rumah sakit.
“Putraku selamat,” katanya. “Tapi ia hampir mati dalam perjalanan untuk memenuhi perjanjian dengan keluargamu.”
Silvano tidak menjawab.
Edgar mendekat setengah langkah. “Kecelakaan ini bisa menjadi bahan bakar skandal. Pers di luar sudah mulai mencium sesuatu. Dan mereka tidak akan memberi ampun demi keuntungan mereka sendiri. Kau tahu itu kan Silvano?”
“Lalu?” tanya Silvano perlahan.
“Cara terbaik untuk meredamnya adalah dengan menunjukkan bahwa aliansi kita lebih kuat dari tragedi. Pernikahan ini harus tetap berjalan, secepatnya.. Ini bukan permintaan, Silvano.”
Silvano menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
Alana duduk di taman belakang rumah sakit. Tempat itu seharusnya menenangkan, tapi yang ia rasakan hanya kekosongan. Bangku batu, rumput hijau yang rendah, dan suara angin yang melintasi dedaunan, semuanya terasa sunyi dan asing.
Ia tak menyadari ayahnya sudah berdiri di belakangnya.
Silvano duduk di sampingnya tanpa suara. “Aku baru bertemu Edgar.”
Alana tidak menoleh.
“Dia ingin pernikahan ini tetap berjalan,” lanjutnya. “Kalau kita menolak sekarang, semua akan hancur, Alana. Perusahaan. Nama keluarga. Dan bukan hanya kita, tapi seluruh orang yang bergantung pada Valestra. Ini satu-satunya cara untuk selamat.”
Alana tetap diam.
Ia memejamkan mata sejenak. Dalam pikirannya, wajah Chandra muncul. Di tengah jalan, senyumnya. Janji yang tidak sempat ditepati. Rumah kecil yang tidak akan pernah mereka tinggali, selamanya. Dan di atas segalanya, kematiannya diabaikan, seolah bukan apa-apa.
Ia membuka mata. Menatap lurus ke arah gedung rumah sakit. Di lantai dua, di balik jendela yang tertutup tirai, terbaring seseorang yang selamat.
Seseorang yang seharusnya tidak.
Alana berdiri.
Lalu suaranya keluar. Pelan, jelas.
“Baik. Aku akan menikahinya.”
Silvano terdiam sejenak. Lalu ia berdiri, menyentuh rambut Alana dengan satu gerakan pelan.
“Bagus,” katanya dengan suara yang terdengar lega. Lalu ia pergi. Langkahnya perlahan, menjauh.
Alana tidak bergerak. Tidak tersenyum. Tidak menangis.
Ia hanya berdiri sendiri di tengah taman yang sunyi.
Tapi dalam benaknya, kalimat itu belum selesai. sebuah rencana mulai tumbuh. Tenang. Teratur. Dingin.
“Lihat saja, aku akan masuk ke dalam hidupnya. Ke dalam keluarganya. Ke dalam dunianya. Aku akan menjadi istri yang paling sempurna di mata mereka. Dan kemudian... dari dalam, aku akan menghancurkan setiap pilar kekuasaan yang menopang nama Ravenshade.”
Ia menghela nafas sejenak. Mencoba menenangkan diri.
“Aku akan meruntuhkan imperiumnya hingga menjadi debu. Ini bukan lagi pernikahan, Ini adalah sumpah pembalasan dendamku untukmu, Chandra.”Langit Kaliandra baru saja kehilangan warna terakhirnya. Sisa cahaya jingga tenggelam di antara gedung-gedung tinggi. Di dalam butik Valestra Bridal yang kini mulai sepi, Alana sedang menyelesaikan catatan untuk tim penjahit ketika ponselnya bergetar.Pesan masuk. Dari Brian.“Aku sudah di depan Valestra Bridal.”Alana mengetik cepat tanpa banyak pikir. “Aku lagi tanggung. Tunggu dulu di lobi.”Ia menyimpan ponselnya lalu berdiri, mengambil jeda sejenak sebelum meninggalkan ruang kerjanya. Langkahnya menuju ruang tamu lantai bawah pelan tapi mantap, seolah tengah bersiap menuju panggung yang enggan ia pijak.Brian berdiri di depan jendela besar, siluet tubuh atletisnya terbingkai oleh cahaya lampu jalan dari luar. Tangannya diselipkan ke dalam saku celana, santai. Alana berhenti di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya sejenak di kusen kayu putih."Aku tidak mau pergi," katanya pelan, tapi tidak ragu. Suaranya bening dan dingin.Brian menoleh. Sorot matanya tak menunjukkan keterkejutan.
Alana membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang masuk dari celah tirai jatuh lurus ke sisi bantalnya, menyilaukan tapi tak menghangatkan. Ranjang di bawah tubuhnya empuk dan bersih, namun tak membuatnya tidur nyenyak.Dari luar pintu, ia mendengar suara pelan, langkah kaki. Brian sudah bangun. Ia bangkit dan berdiri sebentar, menyentuh permukaan meja rias dengan ujung jarinya.Ia tahu apa yang ingin ia lakukan pagi ini. Sesuatu kecil. Tapi cukup untuk mengingatkan siapa yang sebenarnya punya kuasa."Permainan akan segera dimulai, Tuan Ravenshade," bisik Alana sambil melangkah ke dapur.Ia membuka lemari dapur dengan gerakan perlahan. Tangannya bergerak cepat. Dua lembar roti dimasukkan ke pemanggang, lalu ia membuka selai kacang dari toples kaca mewah yang dibeli khusus untuk isi pantry mereka. Ia tahu pasti, Brian Ravenshade memiliki riwayat alergi ringan terhadap kacang. Tidak mematikan. Tapi cukup mengganggu.“Rasakan,” gumamnya sinis.Ia menyusun roti panggang di atas piring putih d
Sebulan kemudian. Di balik tirai ruang rias, Alana berdiri diam. Gaun pengantinnya jatuh dengan sempurna. Potongan leher sabrina memperlihatkan tulang selangkanya yang jenjang, sementara renda halus menjalar dari lengan hingga pergelangan tangan. Setiap detail pada gaun itu adalah rancangannya sendiri.Dina, berdiri di sampingnya, membenarkan kerudung tipis di atas kepalanya sambil tersenyum lebar.“Kak... kamu kelihatan cantik banget. Sempurna,” bisiknya. “Kalau aku Brian, aku pasti langsung jatuh cinta saat melihatmu.”Alana hanya menoleh sebentar. Bibirnya menarik garis senyum yang datar, tanpa makna.“Bagus…,” ucapnya lirih. “Kalau dia jatuh cinta. Akan lebih mudah menghancurkannya”Bunga-bunga putih menggantung dari langit-langit, membentuk lengkung sempurna di sepanjang lorong altar. Harumnya memenuhi ruangan, menyamarkan ketegangan yang merayap di antara tamu undangan. Di sisi kanan, keluarga Ravenshade duduk tegak dan dingin. Di sisi kiri, keluarga Valestra terlihat gelisah.
Alana tercekat. matanya membelalak. Nafasnya kembali terhenti. Nama itu. Dua kata yang membawa beban lebih berat dari apa pun dalam hidupnya.Brian. Nama itu kini Kini nama itu punya wajah.Dua tubuh. Satu tragedi. Tapi di dalam kepala Alana, segalanya sudah jelas.Satu korban. Satu pelaku.Di rumah sakit, Alana duduk diam, punggungnya menyentuh sandaran Kursi yang keras di koridor rumah sakit. Udara terlalu dingin, menusuk hingga ke tulang.Di sisi kanan, keluarga Valestra berkumpul dalam barisan senyap. Ayahnya duduk tegak, wajahnya datar, mulutnya terkunci rapat. Di sisi kiri, berkumpul keluarga Ravenshade. Lebih berjarak, lebih asing. Tak lama kemudian pintu ruang rawat terbuka.Seorang perempuan keluar. Langkahnya tenang, tak tergesa. Wajahnya bersih tanpa riasan, jas putihnya jatuh rapi sampai lutut, papan nama kecil di dada kanan menampilkan tulisan sederhana, dr. Nadia.Alana langsung berdiri. “Dokter... Nadia?” suaranya pelan. “Bagaimana keadaannya? Kondisi... Chandra?”Nad
Dorongan itu datang begitu cepat, keras, dan tanpa peringatan. Bahu Alana terasa dihantam. Udara tercekat dari dadanya. Tubuhnya terhempas ke samping, melayang rendah dan keras, lalu jatuh menghantam tanah.Sebelum Ia menyadari apa yang terjadi, terdengar suara decitan ban memekakkan telinga. Lalu... hening.Alana terbatuk. Tenggorokannya gatal, penuh debu dan ketakutan. Ia mencoba bangun, satu tangan menopang tubuh, tubuhnya masih gemetar. Sakit di bahu dan lengan hanya setitik dibanding kekacauan di kepalanya.Pandangan matanya kabur, tapi perlahan menjadi lebih jelas.Seseorang. Terbaring tak bergerak. “Chandra…enggak.”Otaknya menolak memproses. “Tidak…Tolong Tuhan…Jangan.”Alana menggeleng pelan. Bibirnya mulai bergetar. Ia mundur satu langkah, tubuhnya kehilangan kekuatan."Enggak... enggak mungkin..."Alana mencoba berdiri. Tapi tubuhnya tidak merespons. Kakinya gemetar hebat, seolah semua ototnya menolak perintah. tapi ia tak bisa berhenti, ia memaksakan diri untuk merangka
“Sayang, kamu menangis?”Alana yang berdiri di pojok ruangan langsung berlari ke dekapannya. Chandra dengan cekatan memeluknya, terheran karena bahu Alana berguncang hebat.“Apa yang terjadi?”Alana menatapnya sejenak. Wajahnya pucat. Matanya merah. Butuh beberapa detik sebelum Alana bicara."Ayah… Memberiku ultimatum semalam," suaranya nyaris seperti bisikan. “Valestra Group diambang kebangkrutan. Aku ga tahu sejak kapan, Tapi tadi Ia berkata ... satu-satunya cara menyelamatkan semuanya adalah dengan menjualnya ke Ravenshade.”Chandra mendengarkan. Napasnya mulai berubah.Alana melanjutkan. “Tapi mereka bukan cuma mau perusahaan. Mereka mau ... aku.” “Aku harus menjadi pendamping putra mereka, menikah dengan Brian Ravenshade sebagai bagian dari kesepakatan. Kalau nggak … Ratusan karyawan kehilangan pekerjaan.”Alana menunduk. “Ayah bilang ini pengorbanan yang harus aku lakukan demi keluarga. Demi perusahaan. Demi semua orang.” Air matanya menetes. Chandra mengulurkan tangan, mengge