Home / Romansa / Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku / Bab 6. Brian Ravenshade

Share

Bab 6. Brian Ravenshade

Author: KiraYume
last update Last Updated: 2025-07-16 10:52:31

Langit Kaliandra baru saja kehilangan warna terakhirnya. Sisa cahaya jingga tenggelam di antara gedung-gedung tinggi. Di dalam butik Valestra Bridal yang kini mulai sepi, Alana sedang menyelesaikan catatan untuk tim penjahit ketika ponselnya bergetar.

Pesan masuk. Dari Brian.

“Aku sudah di depan Valestra Bridal.”

Alana mengetik cepat tanpa banyak pikir. “Aku lagi tanggung. Tunggu dulu di lobi.”

Ia menyimpan ponselnya lalu berdiri, mengambil jeda sejenak sebelum meninggalkan ruang kerjanya. Langkahnya menuju ruang tamu lantai bawah pelan tapi mantap, seolah tengah bersiap menuju panggung yang enggan ia pijak.

Brian berdiri di depan jendela besar, siluet tubuh atletisnya terbingkai oleh cahaya lampu jalan dari luar. Tangannya diselipkan ke dalam saku celana, santai. Alana berhenti di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya sejenak di kusen kayu putih.

"Aku tidak mau pergi," katanya pelan, tapi tidak ragu. Suaranya bening dan dingin.

Brian menoleh. Sorot matanya tak menunjukkan keterkejutan.

"Ini bukan pilihan, Alana." Suaranya datar, hampir seperti robot. "Bukan hanya kau yang tak mau, tapi ini kewajiban pertama kita sebagai pasangan di mata keluarga. Ayahku yang memintanya langsung. Kau tidak ingin memberi kesan buruk di hari pertama, bukan?"

Alana mengepal jemarinya, lalu perlahan menghela napas 

“Ya sudah, tunggu.”

Kalimat itu singkat, dingin.

Alana melangkah kembali ke atas. Di dalam kamar, ia berdiri di depan lemari terbuka. Matanya menyapu barisan gaun malam yang tersusun rapi. Lalu, alih-alih mengambi gaun malam yang anggun, dengan satu gerakan tegas, ia mengambil setelan pantsuit putih gading. Setelan dengan potongan tajam, garis leher bersih, siluet bersudut sempurna.

Ia mengenakannya dengan tenang. Tidak ada perhiasan mencolok, tidak ada riasan berlebih. Hanya bibir merah gelap yang menjadi aksen di wajahnya. Saat ia menatap pantulan dirinya di cermin, ia melihat bukan seorang istri, bukan menantu. Melainkan seorang pebisnis yang setara. 

Turun kembali ke bawah, Alana berjalan menghampiri Brian yang masih berdiri di tempat. Ia ingin pria itu marah karena penampilannya karena tak sesuai harapan. Mungkin akan menyindir pakaiannya, atau memberi komentar bernada kontrol. Lebih baik lagi jika membatalkan acara malam ini. 

Tapi yang ia terima hanyalah tatapan singkat dari kepala hingga kaki.

"Warna putih selalu cocok untukmu, Alana."

“Selalu?” Alana mengerutkan dahi. Bingung. Kalimat itu terasa terlalu ... personal. Terlalu hangat. Tidak terdengar seperti Brian yang seharusnya dingin.

“Cih, sok tahu.”

Ia langsung melangkah menuju pintu, lalu membuka sendiri gagangnya.

"Ayo." Suaranya datar.

Brian menyusul tanpa kata. Tak ada yang berkata lagi di antara mereka saat mobil hitam itu melaju menembus malam menuju rumah keluarga Ravenshade.

Mobil melaju mulus di jalan utama Kaliandra, menyusuri lampu kota yang berpendar. Interior kendaraan mewah itu sunyi. Sunyi yang menekan. 

Alana bersandar, menatap keluar jendela dengan dagu sedikit terangkat. Jalanan malam tak memberinya pelarian, tapi tetap lebih baik daripada menatap pria di sampingnya. Hatinya tetap waspada. Kepalanya menyusun strategi.

“Aku akan Tersenyum secukupnya, bicara seperlunya, Lihat saja ….”

Ia menutup matanya sejenak, membayangkan wajah Isabella yang selalu terlihat terlalu sempurna, terlalu tajam. Dan Leo, dengan senyum miring dan mata yang seperti tahu sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui.

“Aku tak akan jadi gadis manis malam ini,” gumam Alana dalam hati, “Biar mereka tahu aku tidak takut. Aku tidak akan jadi properti mereka.”

Mobil melambat tajam, mengerem mendadak. Tubuh Alana terdorong ke depan, hanya sebentar. Dalam sepersekian detik, tangan Brian terulur, refleks, seolah hendak menahan bahunya.

Alana membeku, matanya melebar.

Tangan itu tidak menyentuhnya. Tapi kehadirannya cukup untuk membuat tubuh Alana menegang, bukan karena takut, tapi karena bingung.

Brian menarik kembali tangannya. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya berdeham pelan, lalu menatap ke depan dengan dagu kaku. Gerakannya cepat, seolah malu pada tindakannya sendiri.

Alana melirik, hanya dari sudut mata. Wajahnya tetap menghadap jendela, tapi pikirannya terbelah. Itu bukan sesuatu yang ia harapkan dari seorang Ravenshade. Terlalu manusiawi.

“Refleks?” pikirnya, “atau... kau pura-pura?”

Ia membuang napas perlahan, mengatur nadanya sebelum berkata.

“Tadi itu …” katanya pelan, nyaris sinis, tidak memandang ke arahnya.

Brian tak butuh detik untuk memotong. “Kalau kau jatuh... aku akan menangkapmu,” jawabnya tenang, datar, nyaris terdengar jujur.

Alana mengernyit kecil. Ia tidak membalas. Hanya menunduk, menggenggam tas di pangkuannya lebih erat. Jantungnya mulai tidak setenang tadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Yuli Darmono
"Kalau kau jatuh... aku akan menangkapmu." GILA. Satu kalimat itu doang bisa bikin pertahanan Alana goyah. Dalem banget artinya. Merinding
goodnovel comment avatar
Vivi Olivia
ALANA, KUATKAN IMANMU! Jangan goyah cuma karena refleks sama omongan manis! Inget Chandra! Pertahanannya mulai retak nih, bahaya!
goodnovel comment avatar
Siska Pudjiastuti
Tangan refleks Brian itu lho... Gak nyentuh tapi bikin deg-degan. Adegan di mobil ini lebih tegang dari film horor. Diem-dieman tapi berasa banget.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 179. Epilog : Cinta Yang Tak Pernah Mati

    Mobil hitam Alana meluncur pelan menuju Taman Kota, tempat yang sudah menjadi semacam ritual baginya selama setahun terakhir ini. Tempat di mana perjumpaan, cinta, penyesalan, dan perpisahan pernah bertemu dalam satu titik.Sesampainya di gerbang taman, ia menoleh pada Riana.“Riana, tolong biarkan aku sendiri kali ini,” ucapnya lembut.Riana sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan mata majikannya, ia hanya mengangguk.“Kau yakin Alana, apa nggak sebaiknya aku temani aja?”“Nggak usah, Riana. Tolong, Aku lagi nggak mau diganggu, sebentar aja, sampai aku hubungi kamu lagi.”

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 178. Dia Telah Tiada

    Alana terhuyung mendekat, napasnya terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah ledakan cahaya tadi. Di bawah pohon tua, ia melihatnya, tubuh Brian terbaring lunglai di atas rumput basah.“Tidak… tidak, tidak…” suaranya tertahan, hampir tidak bisa keluar.Dia menjatuhkan diri berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh wajah yang dulu begitu asing, namun kini terasa paling dicintainya. Jemarinya mencari-cari, menekan lembut di sisi leher, berusaha merasakan denyut nadi. Kosong.“Tidak… kumohon…” Alana memindahkan tangannya, kali ini mendekat ke hidung, mencari sedikit hembusan napas. Hampa.Panik, ia menempelkan telinganya di dada bidang itu, menahan napas, berharap, hanya berharap, mendengar detak jantung yang samar. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan.Tubuh ini… wadah yang selama 77 hari terakhir menampung jiwa kekasihnya, kini betul-betul kosong. Jiwa itu telah pergi. Brian Ravenshade … telah tiada.Alana tidak melepaskan pelukannya sepanjang malam. Di bawah

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 177. AKU MENCINTAIMU!

    Alana menahan napas dan membanting setir ke kiri. BRAK! Mobilnya menghantam keras pembatas jalan, tubuhnya tersentak ke depan, hampir menghantam kemudi. Ban berdecit panjang, lalu berhenti mendadak.Truk itu melintas, klaksonnya masih meraung, pengemudinya berteriak marah dari balik kaca. Tapi suara itu hilang, tertelan oleh degup jantung Alana yang membahana di telinganya.Tangannya bergetar. Napasnya terengah-engah. Dunia seperti berputar.Tapi lalu matanya menangkapnya, deretan pepohonan hijau yang menandakan Taman Kota sudah sangat dekat.Dia tidak lagi peduli pada mobilnya yang penyok. Dengan gerakan putus asa, ia meraih tuas, membuka pintu, dan melompat keluar.Kakinya menghantam aspal, dingin dan keras, tapi ia tidak merasakannya. Ia langsung berlari, tubuhnya diterpa angin malam, langkahnya terhuyung-huyung oleh adrenalin yang membuncah.Melewati gerbang besi tua taman itu, ia berlari semakin kencang. Nafasnya tersengal-sengal, paru-parunya seperti terbakar, tapi ia tidak ber

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 176. Cahaya Putih

    “Cepat katakan padaku di mana dia!” desak Alana, suaranya bergetar antara ketakutan dan kemarahan.Nadia menatapnya lama, seolah sedang menimbang aturan tak tertulis yang mengikat dirinya. Sunyi sesaat terasa memanjang, lalu wanita itu menghela napas panjang.“Aku tidak bisa memberitahumu lokasi tepatnya,” katanya akhirnya. “Tapi… aku bisa memberimu petunjuk.”Alana menahan napas, tubuhnya tegang.“Dia akan pergi … di tempat di mana semuanya dimulai dan seharusnya berakhir. Tempat yang paling penting bagi kalian berdua.” Mata Nadia menatap lurus ke dalam jiwa Alana, seolah kalimat itu bukan sekadar petunjuk, melainkan sebuah kunci.Alana terpaku. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menyingkap kenangan satu per satu.“Tapi…” suara Nadia menggema rendah, seperti gema dari ruang tak kasat mata, “…waktunya hampir habis. Bahkan jika kau tahu di mana dia… kau mungkin tidak akan sampai tepat waktu.”“Aku tidak peduli,” jawab Alana tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Aku tetap akan mencarinya.”

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 175. Giliranku Melindunginya

    Penyesalan itu menusuk dalam, seperti belati yang dipelintir berkali-kali di jantungnya. Alana baru menyadari ia telah menyia-nyiakan tujuh puluh tujuh hari bersama Chandra. Hari-hari yang ia habiskan dengan dingin, dengan kecurigaan, dengan jarak yang disengaja. Dan sekarang… waktu itu hampir habis.Panik merayap lebih cepat daripada air mata. Kesedihan yang tadi mencekik dadanya kini berubah menjadi kepanikan murni. Waktunya, berapa lama yang tersisa? Beberapa jam? Beberapa menit? Atau mungkin, ia bahkan sudah terlambat?Sambil masih terisak, ia bangkit berdiri dengan gerakan mendadak, kursi hampir terguling ke belakang. Nafasnya terengah, matanya merah, tapi tekadnya keras. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penolakan.Dia harus menemukannya. Dia harus memberitahunya.“Chandra…” bibirnya bergetar ketika menyebut nama itu, kali ini penuh dengan cinta yang selama ini ia tahan.Tanpa berpikir panjang, Alana berlari keluar dari ruang kerja, langkahnya terhuyung-huyung tapi tak ber

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 174. Semuanya Adalah Chandra

    Alana masih terduduk di lantai ruang kerja, tubuhnya gemetar. Jurnal itu terbuka di pangkuannya, lembar-lembar usang berisi coretan tangan Chandra yang begitu familiar. Ia baru saja menyelesaikan membaca entri tentang perjanjian mustahil dengan sosok bernama Nadia, dan kini pikirannya terasa seperti pecah berkeping-keping.Dia menggeleng keras, air mata memburamkan pandangannya.“Enggak… ini nggak mungkin,” bisiknya, suaranya parau, seolah ia memohon pada ruangan kosong agar menyangkal kenyataan itu. “Ini pasti… bohong kan?”Tapi tulisannya terasa begitu nyata. Terlalu pribadi. Terlalu Chandra.Dengan tangan gemetar, Alana membalik halaman. Satu lagi. Dan satu lagi. Setiap baris seperti menancapkan jarum di dadanya.Ia membaca entri tentang hari pernikahan mereka. Kata-kata Chandra begitu sederhana namun menghancurkan: bagaimana jantungnya berdebar ketika melihat Alana melangkah di altar, bagaimana harapannya runtuh saat Alana memalingkan wajah, menolak ciuman yang seharusnya menjadi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status