Rama menyenggol bahu kakaknya. "Ada apa? Kayaknya serius banget.""Bukan urusanmu. Ngapain, sih, kesini lagi?" Sahut Ines ketus."Jangan ketus-ketus banget sama adikmu. Nanti kalau aku udah nikah Mbak pasti kesepian karena nggak ada yang ngajak main Icha.""Ck.." Ines memandang sinis Rama lalu pergi meninggalkan Rama. Maryam sudah terlalu lama bicara di luar. Ia takut Maryam kenapa-kenapa atau tengah bimbang.Ines menyusul keluar.Seperti dugaannya, Maryam sudah selesai bicara. Wanita itu sedang termangu menatapi ponsel. Maryam memang tengah bimbang. Ia mengambil keputusan untuk tidak bertemu laki-laki yang telah banyak menggoreskan luka di hatinya itu. Juga luka pada anak-anaknya.Maryam bertanya soal keputusannya apa sudah benar pada Ines. Ines menggeleng lalu memeluk Maryam. "Kamu perlu waras untuk tetap hidup dan mencari kebahagiaan bersama anak-anak kamu. Dan dia hanya akan merusak kebahagiaanmu. Biarin aja dia cari cara pulangnya sendiri." Kata Ines. Ia melepas pelukannya. "Mati
"Ceritanya panjang. Alasan saya tidak bisa pulang setelah pergi dinas itu karena saya di guna-guna oleh salah satu warga di tempat dimana saya dinas. Saya di guna-guna dan dinikahkan paksa dengan gadis disana. Maafkan saya, Yah. Saya mau lepas darinya, saya masih ingin sama-sama sama Mar."Ujar Enggar tanpa mempedulikan perubahan raut kedua lawan bicaranya.Pak Ahsin dan istrinya terlihat sangat enggan mendengar cerita dari mulut Enggar. Mereka tak peduli. Enggar mau dipaksa menikah atau sukarela menikah dengan gadis lain, tanpa itu semua mereka sudah kecewa dengan laki-laki itu karena telah menyusahkan anaknya."Saya selalu diancam agar tidak keluar dari desa itu. Mereka selalu bilang mau celakain Maryam kalau saya nggak menuruti kemauan mereka. Mereka punya ilmu hitam yang kuat, Yah." Terang Enggar."Kalau begitu apa yang kamu lakukan disini sekarang? Kamu harus menuruti mereka agar anak saya tidak celaka. Lagipula, anak saya pasti lebih kesusahan kalau kamu disisinya." Tukas Bu Ahsi
Tiga tahun yang lalu, Enggar datang bersama beberapa rekannya menangani proyek yang akan berjalan di pedalaman Kalimantan. Sebuah pembangunan jembatan yang melibatkan perusahaan tempatnya bekerja.Itu adalah proyek pertama Enggar yang berada di luar provinsi, luar pulau bahkan. Dan juga, kali pertama ia harus berjauhan dalam kurun waktu yang lama dengan keluarganya.Dalam kunjungan itu Enggar dan rekannya harus menginap di rumah-rumah warga karena terbatasnya fasilitas penginapan dan akses jalan yang buruk jika harus bolak balik ke kota. Dan juga demi efisiensi waktu dan biaya operasional.“Proyek ini merupakan hasil lelang dari pemerintah setempat, kalau biasanya lelang akan dimenangkan oleh yang bertaruh paling mahal, namun, untuk jenis lelang proyek dari pemerintah seperti ini kita main di harga paling murah. Yang bisa memberikan RAB dan biaya operasional termurah dia lah pemenangnya. Dan perusahaan kita yang menang. Jangan harap dapat tidur nyenyak di hotel ber-ac. Bisa dapat kasu
Pedalaman Kalimantan, saat ini..4 hari kemudian..PYAARRRRPRANGGGBRAKKK"Fifi!!" Ibu-ibu paruh baya berlari setelah mendengar suara gaduh di rumah anaknya yang hanya berjarak lima langkah dari rumahnya sendiri. "Kamu kenapa? Kenapa semuanya berantakan begini, Fi? Ada apa denganmu?!" Ibu itu adalah ibu Fifi sekaligus ibu mertua Enggar. Ibu itu menyapu seluruh ruangan yang berantakan karena si anak. Ibu Fifi memeluk Fifi dari belakang dan menghentikan gerakan yang hendak melempar barang-barang lagi."Enggar keterlaluan! Dia berani bohongi Fifi." Teriak Fifi histeris."Bohong apa? Kemana suamimu?" Tanya Ibu panik mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah panggung itu."Enggar akan terima akibatnya!" Desis Fifi dengan suara ketatnya. Matanya melotot memerah menatap ibunya. "Fi! Ada apa? Jangan marah begini. Ngomong baik-baik." Bujuk sang ibu. "Enggar menemui mantan istrinya. Enggar bohong soal kerjaan itu, Enggar kembali ke pulau itu dan menemui istrinya!" Fifi berteriak. Am
Untuk kali pertamanya Rama melihat Maryam muncul di depannya dengan wajah kusut dan penuh kekhawatiran. Biasanya, perempuan itu akan selalu berpura baik-baik saja dan selalu rapi."Sampe lupa ada orang disini.. Buru-buru banget." Gumamnya saat Maryam melewatinya begitu saja.Rama melirik jam di tangannya. Sudah lewat dari waktu yang ia janjikan. Rama ikut bergegas pergi ketika Salma selesai berpamitan padanya.Orang yang hendak ia temui telah duduk rapi menyesap minuman di cafe di depan matanya. Rama merapatkan bibirnya. Ia siap dengan apa yang akan ia dengar."Selamat sore." Sapa Rama."Selamat sore, Pak Rama?"Kedua orang itu saling berjabat tangan."Ya. Saya. Maaf saya terlambat." Kata Rama."Saya juga belum lama. Silakan duduk.""Saya langsung saja. Saya mau dengar apa yang sebenarnya terjadi beberapa tahun silam." Kata Rama. Hasil yang dimintanya pada bawahannya beberapa hari yang lalu sudah ia pegang. Lalu bertemulah ia pada orang di hadapannya ini yang katanya mengerti benar ce
"Tante. Kenapa nangis?" Tanya Icha.Maryam menggeleng tapi air matanya justru semakin menderas. Firasatnya sudah tak enak sejak semalam. Pikirannya terus tertuju pada orang tuanya tapi ia tak sempat pulang. Lalu tiba-tiba kabar duka itu datang menghantam dadanya hingga sulit bernapas.Icha berlari masuk memanggil mamanya. "Ma. Tante Maryam nangis banget. Aku nggak tau kenapa."Ines langsung berdiri meninggalkan Salma dan Fatih tak sempat memperhatikan raut Salma yang tiba-tiba cemberut."Mama nangis?" Tanya Salma.Icha menyadari kesalahannya. Seharusnya ia tak mengatakan terang-terangan di depan Salma soal mamanya. "Salma di sini dulu sama Mbak. Mama Salma biar ngomong sama Mamanya Mbak Icha dulu, ya?" Kata Icha.Salma mengangguk dan langsung tertunduk. Apa karena papa lagi? Pikir Salma.Maryam menunduk dengan memegang ponselnya sangat erat. "Ada apa, Mbak? Mbak Mar kenapa?" Tanya Ines."Ayah. Saya-, Ayah saya. Saya ma-u pulang." Jawab Maryam terbata. Air matanya semakin deras mengali
"Ayah. Mana ayah, Bu?""Di sana. Ayo." Ibu Ahsin menuntun anaknya. Saat melewati Rama, Ibu Ahsin memandang Rama cukup lama. Dan Rama mengangguk sebagai sapaan.Ia undur diri memberikan waktu untuk Maryam berduka. Menahan diri untuk memperkenalkan diri dan kembali ke mobil setelah mendapat jawaban soal jadwal pemakanam ayah Maryam pada salah seorang warga.Maryam tak menangis. Melihat wajah pucat sang ayah yang sudah diliputi kain kafan Maryam justru tak menangis. Ia mengusap wajah ayahnya. Duduk bersimpuh di samping jasad sang ayah lalu menunduk."Ayah. Maafkan Mar belum bisa membahagiakan ayah. Mar minta maaf karena jarang mengunjungi ayah. Mar..." Maryam tercekat. "Mary minta maaf karena dulu tak mendengar kata-kata ayah. Maafkan Mar, Yah... Mar akan hidup lebih baik setelah ini. Mar akan berusaha."Ibu Ahsin tersedu di belakang Maryam. Maryam menoleh ke belakang dan menggenggam tangan sang ibu.Mereka hanya berpandangan cukup lama lalu kembali berpelukan. Banyak kata-kata yang ingi
"Maryam.." Sapa Enggar.Maryam dan Ahmad menoleh bersamaan. Kedua matanya sama-sama melebar dalam waktu yang bersamaan pula."Ngapain kesini lagi?" Ahmad melonjak berdiri. Ia hendak menubruk Enggar tapi tangan Maryam dengan cepat mencegahnya. "Kak..." Sela Maryam. "Biar Maryam aja yang ngomong."Ahmad, kakaknya, memilih masuk ke dalam untuk memberikan waktu adiknya berbicara. Terlanjur berhadapan. Pikir Maryam. Jika bisa tidak ditemui maka Maryam tak akan pernah lagi menemui Enggar. Namun kali ini ia akan mendengar apa yang akan dituturkan oleh Enggar serta apa yang laki-laki itu inginkan. Hanya itu.Maryam tak ingin mendengar soal masa lalu lagi. Baginya ia telah tenang dengan kehidupannya saat ini meski tertatih membesarkan dua anak sendirian. Ia tak ingin mendengar alasan kepergian Enggar meski ia sangat ingin dulunya."Mau ngomong apa?" Katanya saat telah berhadapan dengan jarak yang lumayan."Aku minta maaf, Mar..." Ucap Enggar lagi, Tapi matanya tak benar-benar menatap Maryam