Hari ini mungkin adalah hari paling bahagia dan penuh sejarah. Akan tetapi hari itu tak berlaku bagi Gendis sebab ia merasa hari ini adalah hari paling menyesakkan baginya. Hari bahagia itu hanya berlaku pada Fatma.
Senyum masih tersungging sampai saat ini. Bahkan setelah tak ada satu pun tamu di rumahnya. Kebahagiaan itu jelas terpancar di wajahnya yang masih cantik di usianya yang menginjak setengah abad."Mama senang banget hari ini. Akhirnya kamu udah bertunangan malam ini. Kayaknya hari ini nggak bakal bisa Mama lupain deh," ungkap Fatma dengan menggebu. Wajahnya terlihat ceria, kerutan halus mulai terlihat karena saking lamanya ia tersenyum."Aku nggak nyangka kalau hari ini bakal ada second party," komentar Januar yang baru saja menyesap teh hangat. Kepalanya terasa pening sehingga ia meminta Mbok Las untuk menyeduhkannya teh. Efek acara yang penuh kejutan malam ini membuatnya ikut terkejut.Januar yang notabene sebagai anak pertama di keluarga Raharjo jugPagi ini langit sedikit mendung. Akan tetapi seperti yang kita tahu jika tak selamanya mendung berarti hujan. Bisa saja beberapa menit kemudian langit kembali bersinar cerah. Langit pagi ini rupanya menggambarkan suasana hati Gala. Lelaki itu baru saja masuk ke gedung capital tower di mana Manggala Group berada. Tak ada raut ramah yang biasa ia tunjukkan. Bibir Gala tertekuk ke bawah. Alisnya hampir menyatu. Raut wajah Gala sungguh lain daripada biasanya. Di sampingnya, Angga berjalan mengikuti langkah lebar atasannya. Ia belum sempat bertanya ada apa dengan sikap Gala yang bisa disebut luar biasa. Gala menghentikan langkahnya. Matanya mengarah ke segerombolan karyawannya yang tengah bersantai ria. Terlihat sekali obrolan mereka sangat seru. Bahkan sesekali mereka tertawa bersama. Entahlah, Gala tak tahu topik obrolan mereka. Namun, hal itu rasanya cukup mengganggu bagi Gala. Hatinya terusik melihat orang lain bisa tertawa dengan begitu bebasnya. Sementara d
"Kamu mau tidur di kantor, Gal?"Angga membuka pintu ruangan Gala ketika tak ada tanda-tanda Gala keluar dari ruangannya. Angga yang bersiap pulang tentu saja tak enak jika harus pulang lebih dulu dibanding dengan atasannya. Terlebih lagi, ia cukup khawatir dengan Gala yang hari ini bak kerasukan 'Setan Rajin'. Atasannya tersebut sangat kalap bekerja seolah tak ada lagi hari esok. Ia baru mendengar kabar pertunangan Gendis ketika ia tak sengaja melihat story Alina (yang kebetulan ia ikuti) di sosial media. Seketika kepala mulai merangkai kepingan-kepingan puzzle yang ia temui. Pertunangan Gendis dan bagaimana kalapnya Gala bekerja sudah membuat Angga menyimpulkan satu hal. Gala ingin sekedar melupakan kesedihannya dengan memaksimalkan pekerjaan. Dan Angga tak suka akan fakta tersebut. Namun, bukan berarti Angga juga akan mendakwa Gala dengan sebutan 'lelaki lemah' atau 'lelaki payah'. Tak ada yang tahu bagaimana isi hati seseorang, apa yang dirasakan orang lai
"Are you okay, Gal?"Gala tersenyum tipis ketika pertanyaan itu meluncur dari bibir Dea. Ia bisa merasakan nada kekhawatiran yang tersemat lewat pertanyaan tersebut. Hal itu tentu saja membuat hatinya menghangat. Di saat perih merajai hatinya, masih ada seseorang yang mengkhawatirkannya. Kepedulian Dea sudah lebih dari cukup tuk membuat hatinya sedikit menguat. Memang tak sepenuhnya akan sekuat sebelumnya. Tapi setidaknya ia tak merasa sendiri sekalipun hanya dirinya yang merasakan 'kesakitan' ini. Dea sendiri baru mendengar kabar pertunangan Gendis dari Dana–anak perempuannya tadi sore. Ia cukup terkejut dengan kabar dadakan tersebut dan seketika pikirannya langsung tertuju pada Gala. Siapa yang tak terenyuh mengetahui hati anaknya terluka? "Ya, i'm okay, Ma." Gala tersenyum lebar meski Dea tahu jika senyum itu teramat palsu, Gala merentangkan kedua tangannya, "mama lihat sendiri kan kalau aku baik-baik aja?""Kamu nggak perlu bohong kalau sama Mama
Gendis baru saja turun dari kamarnya di lantai dua lalu berjalan ke arah ruang makan. Saat tiba di sana matanya seketika menatap nanar ketika melihat seseorang yang paling tak ingin ia temui sudah duduk manis di meja makan dan bercengkrama dengan hangatnya bersama kedua orang tuanya. Ia tak suka dengan pemandangan itu. Suasana hatinya belum juga membaik sekalipun Gendis sudah melakukan berbagai cara tuk sekedar 'healing' atau menyegarkan pikiran. Pokoknya kegiatan semacam menghibur diri. Hari ini Gendis ingin pergi ke Onilicius supaya tak melulu memikirkan pertunangan sialan dan agenda pernikahan yang sudah Fatma susun. Ia tak peduli dengan pernikahan yang jelas saja tak ingin ia lakukan. "Pagi, Dis."Gendis baru saja membalikkan badan. Ia berniat tuk segera berangkat tanpa perlu sesi sarapan di rumah. Toh, ia bisa sarapan di Onilicius atau di perjalanan menuju ke toko kue miliknya. Namun, rupanya Jalu Satria—orang yang amat ia benci malah sudah lebih dulu me
Gendis memegang pipinya yang terasa kebas dengan tangannya. Tatapan wajahnya mengarah ke arah lain sebab tamparan itu begitu keras hingga membuat tulang kepalanya berderak. Sakit? Jelas! Tak perlu dijelaskan betapa terasa panas pipi Gendis saat ini. Akan tetapi semua itu ia abaikan begitu saja. Semua rasa kebas, panas, pun dengan perih di pipinya tak ada artinya dibanding dengan sakit di ulu hati Gendis. Seumur-umur, Gendis tak pernah mendapat perlakuan kasar seperti ini. Tak ada satupun anggota keluarganya yang sering 'bermain tangan'. Lalu sekarang? Fatma menamparnya dengan ringan 'hanya' karena ia menentang tentang pernikahan dengan Jalu. Sungguh ironis. Suasana ruang makan berubah menegang setelah satu tamparan mendarat cantik di pipi Gendis. Semua orang cukup syok dengan perilaku tersebut. Terlebih lagi, Setyo yang notabenenya tahu jika di rumahnya diharamkan adanya kekerasan dalam bentuk apapun.Lidah Setyo bahkan terasa kelu tuk sekedar
"Gaun ini kayaknya cocok buat kamu deh, Babe."Gendis menoleh ke arah sumber suara dimana Jalu sedang memperlihatkan gaun pengantin berwarna pink. Gaun itu sangat cantik dan dipastikan akan kontras dengan kulit Gendis yang putih. Gaun itu juga rancangan desainer terkenal dan sering berseliweran di televisi. Tak ada yang cacat sedikitpun dari gaun tersebut. Apalagi jika dibuat khusus dari tangan Maya Ratri–desainer yang sering dipakai para artis dan istri pejabat. Hanya saja gaun tersebut memiliki potongan dada yang cukup rendah. Satu hal yang perlu diketahui bahwa Gendis tak suka mengumbar tubuhnya pada orang lain. Apa jadinya jika ia memakai gaun tersebut sehingga memperlihatkan dadanya pada semua tamu? Sungguh Gendis tak pernah membayangkan hal itu di kepalanya. Selain itu sesuatu yang tak Gendis sukai dari gaun tersebut adalah warnanya. Meski dirinya seorang perempuan tetapi ia tak cukup menyukai warna pink. Gendis lebih suka warna-warna net
"Mas temenin aku nyari kado, yuk!"Gala mendongak ke arah pintu ruangannya dimana Cendana baru saja masuk (tentu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dulu) dan berjalan dengan santainya. Gala masih menatap Dana yang langsung duduk dan merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dana terlihat tak peduli dengan tatapan sang Kakak yang begitu lekat. Ia bahkan tak merasa bersalah sedikit pun dengan apa yang saat ini ia lakukan. Tak habis pikir dengan kelakuan Dana. Padahal ini di kantor Gala bukan di rumah. Namun, perempuan itu selalu saja tak bisa memilah situasi dan kondisi sekitarnya. "Kamu kalau ke sini cuma mau bikin rusuh mending pulang sana deh, Na!" ujar Gala gemas. Sampai kapan Dana bisa menjadi perempuan yang penurut sih? gumamnya. Gala kembali memeriksa pekerjaannya yang sempat terdistraksi karena kedatangan Gala. Ia tak mau membuang waktunya begitu saja. Apalagi untuk meladeni Dana yang pastinya bisa mengurus dirinya sendiri. Sambil m
"Oh, aku inget kalau belum makan. Pantes aja pusing." Dana dengan polosnya memberitahu jika dirinya pusing karena belum sempat makan. "Astaga, Na." Dana menarik kedua sudut bibirnya. Menampilkan deretan giginya yang putih. "Makan dulu yuk, Mas, kalau gitu," usul Dana yang tentu saja mendapat penolakan dari Gala. Waktunya sudah terbuang percuma. Itulah yang ada di pikiran Gala saat ini. "Nggak! Kamu cepetan aja beli kadonya. Setelah itu kita pulang dan kamu bisa makan di rumah," tukas Gala sarkas. Bibir Dana cemberut. Ia memutar otak supaya sang Kakak mau diajak makan lebih dulu. "Mas Gala tega biarin aku kelaparan? Kalau aku pingsan yang repot juga Mas Gala sendiri lho nanti."Gala mendengkus pelan. Kenapa juga ucapan Dana harus bener sih, gumamnya. "Ya, udah. Ayo." Gala akhirnya mengalah, "Tapi nggak pakai lama.""Siap, Boskyu."Dana menarik tangan Gala tuk memasuki En Dining–restoran Jepang yang merupakan restoran favorit mereka.